11 penekanan pada kemandirian dan keberlanjutan, dan 3 permasalahan ekologi.
Konsep ini kemudian menjadi tema yang sangat kuat dalam kebijakan dan politik pembangunan internasional, seperti yang dilihat pada Konferensi Lingkungan
PBB 1992 di Rio, Brazil; World Summit for Social Development 1995, dan World Food Summit 1996 Solesbury 2003.
Selanjutnya, Chambers dan Conway 1992, dua orang scholars dari Institute of Development Studies IDS, membangun definisi penghidupan
berkelanjutan yang kemudian dikenal secara luas, dirujuk, dan diadopsi oleh scholars
lain dan juga lembaga donor pembangunan, seperti DFID. Definisi penghidupan berkelanjutan yang dimaksud adalah
A livelihoods comprises the capabilities, assets stores, resources, claims and access and activities required for a means of living; a livelihoods is
sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, and provide sustainable
livelihoods opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoodss at the local and global levels and in the
short and long-term
Chambers dan Conway, 1992: 7. Inti dari definisi tersebut adalah penghidupan berkelanjutan berarti harus
mampu 1 melakukan coping dan beradaptasi dengan goncangan shock dan tekanan stress; 2 memelihara kapasitas dan aset-aset yang dimiliki; dan 3
menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Konsep ini menghubungkan dari tiga konsep, yaitu kemampuan, keadilan equity, dan keberlanjutan
sustainability
. Lewat konsep penghidupan berkelanjutan, Chambers dan Conway 1992 menawarkan kerangka untuk kebijakan pembangunan, yaitu:
1. Meningkatkan kemampuan adaptasi dan pemanfaatan sumberdaya dan kesempatan yang beragam dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian.
2. Meningkatkan keadilan dengan prioritas diberikan pada peningkatan kemampuan, aset, dan akses komunitas dan rumah tangga yang lebih miskin,
termasuk kaum minoritas dan perempuan. 3. Meningkatkan keberlanjutan sosial dengan meminimalisasi kerentanan
komunitas dan rumah tangga miskin dengan mengurangi tekanan dan guncangan dari luar serta melalui penyediaan program jaring pengaman sosial.
2.2 Perkembangan Kerangka Penghidupan
Setelah Chambers dan Conway 1992 membangun konsep dan penghidupan berkelanjutan, berbagai organisasi akedemik, organisasi riset, dan
lembaga donor mengembangkan dan mempraktikan konsep tersebut dalam berbagai program yang dilakukannya. misalnya OXFAM dan Care International.
Berbagai penelitian yang menguji pendekatan sustainable livelihoods dilakukan oleh berbagai scholars dari berbagai lembaga riset, seperti International Institut
for Sustainabile Development IISD, Society for International Development SID, International Institute for Environment and Development IIED, Overseas
12 Development Institute ODI, International Development Studies IDS-
University of Sussex, Overseas Development Administration ODA, Overseas Development Group ODG-University of East Anglia, dan lain-lan. Sebagian
besar penelitan dengan pendekatan sustainable livelihoods yang dilakukan IDS, ODA, dan ODG mendapat dukungan dari Departement for International
Development DFID. Sementara itu, lembaga donor yang mengaplikasikan konsep penghidupan berkelanjutan, di antaranya, adalah OXFAM dan Care
International lihat Solesbury 2003. Uraian mengenai perkembangan kerangka penghidupan disampaikan pada uraian di bawah ini.
Kerangka Penghidupan Pedesaan Berkelanjutan IDS IDS
’s Sustainable Rural Livelihoods Framework
Gambar 2.1 Kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan IDS
Sumber: Scoones 1998
Kerangka pertama yang akan diuraikan adalah kerangka penghidupan berkelanjutan IDS
IDS’s Sustainable rural livelihoods yang disusun oleh Scoones 1998. Kerangka ini digunakan untuk menganalisis bagaimana
penghidupan yang berkelanjutan, dalam konteks yang berbeda —diantaranya:
sejarah, politik, kondisi makro-ekonomi, terms of trade, iklim, demografi, agroekologi, dan diferensiasi sosial
—, dicapai melalui akses ke berbagai sumber daya kehidupan modal alam, ekonomi, manusia, sosial, dan lainnya yang
dikombinasikan dalam berbagai aktivitas strategi penghidupan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi. Pusat atau inti
dari kerangka ini adalah analisis berbagai faktor institusi dan organisasi, baik
13 formal dan informal yang mempengaruhi atau menjadi determinasi terwujudnya
penghidupan yang berkelanjutan Scoones 1998. Pertanyaan penting yang ingin dijawab adalah apa saja sumberdaya penghidupan, faktor institusi dan
organisasi, serta strategi penghidupann yang penting dalam mendukung atau menghambat tercapainya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan
komunitas yang berbeda?
Kerangka ini mempunyai lima elemen dasar yang saling berinteraksi, yaitu konteks, sumberdaya, institusi, strategi, dan outcome
Gambar 2.1 Tabel 2.1
Tabel 2.1 Elemen, unsur, dan analisis kerangka penghidupan berkelanjutan IDS
Elemen Dasar Unsur-unsur
Analisis Situasi contexts,
kondisi conditions, dan kecenderungan
trends Sejarah, politik, kondisi makro-
ekonomi, pasar terms of trade, iklim climate,
agro-ekologi agro-ecology, demografi, diferensiasi sosial.
Situasi, kondisi, dan kecenderungan serta
penilaian pengaturan kebijakan
Sumberdaya penghidupan
livelihoods resources
Modal alam, modal ekonomifinansial, Modal sumberdaya manusia, modal
sosial, dll. sumberdaya
penghidupan: kompromi trade-
offs,
kombinasi, rangkaian
sequences , dan
kecenderungan trends
Proses Kelembagaan Institutional
Processes dan
Struktur Organisasi Organisational
Structures Institusi dan organisasi
Institusi dan organisasi yang
mempengaruhi akses terhadap sumberdaya
penghidupan dan komposisi strategi
penghidupan
Strategi Penghidupan Livelihoods
Strategies Intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian, diversifikasi penghidupan, migrasi
Menganalisis strategi penghidupan
Wujud Penghidupan Berkelanjutan
Sustainable Livelihoods
Outcomes Outcomes
penghidupan yang berkelanjutan: 1 peningkatan jumlah
hari kerja, 2 pengurangan kemiskinan, 3 peningkatan kesejahteraan dan
kemampuan, 4 peningkatan adaptasi penghidupan dan kelentingan
resilience
, dan 5 kepastian kelestariankeberlanjutan sumberdaya
alam Menganalisis hasil
outcomes
Sumber: Scoones 1998
14
Kerangka Penghidupan Berkelanjutan DFID DFID’s Sustainable Livelihoods Frameworks
Kerangka penghidupan berkelanjutan DFID dibangun oleh para peneliti yang bekerja di lembaga tersebut, termasuk Diana Carney yang pada waktu itu
1998 menjabat sebagai sekertaris. Oleh karena itu, kerangka penghidupan berkelanjutan DFID mengadopsi kerangka penghidupan yang sebelumnya
dibangun oleh Carney 1998 lihat Gambar 2.2. Kerangka ini menyajikan faktor- faktor utama yang mempengaruhi penghidupan masyarakat dan hubungan di
antara faktor-faktor tersebut. Penghidupan dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan yang berbeda dan selalu berubah, termasuk kerentanan.
Kerangka ini berpusat pada orang, baik rumah tangga maupun komunitas. Analisis dilakukan dengan melakukan investigasi terhadap aset yang dimiliki
rumah tangga atau komunitas, tujuanhasil outcome penghidupan yang dicari, dan strategi penghidupan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Umpan
balik yang penting dari kerangka ini adalah transformasi struktur dan proses; konteks kerentanan; tujuanhasil outcomes penghidupan; dan aset penghidupan.
Gambar 2.2 Kerangka penghidupan perkelanjutan DFID
Sumber: Carney 1998 dan DFID 1999.
Kerangka Analisis Micro-policy Penghidupan Pedesaan Frank Ellis 2000
Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan disusun oleh Ellis 2000 dengan mengadopsi kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan yang
telah disusun oleh Scoones 1998 dan Carney 1998. Kerangka ini bertujuan untuk mempermudah para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan dalam
menyusun kebijakan pembangunan pedesaan. Dengan mengidentikasi komponen- komponen utama dalam penghidupan pedesaan, yaitu aset A, proses yang
mempengaruhi B, dan aktivitas D dan E, dalam berbagai konteks, baik tren maupun goncangan yang tiba-tiba C, Ellis 2000 ingin membantu para
pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan menyusun kebijakan pembangunan
15 pedesaan yang dapat menghadirkan ketahanan penghidupan livelihood security
dan kelestarian lingkungan environmental sustainability F.
A B
C D
E F
Livelihood platform
Access modified by
In context of
Resulting in Composed
of With effects
on
Assets
Natural capital Physical capital
Human capital Financial
Social capital
Social relations
Gender Class
Age Ethnicity
Trends Population
Migration Technological
change Relative
prices Macro policy
Nat
econ trend
World econ
trends Livelihood
strategies NR-based
activities Collection
Cultivation food
Cultivation non-food
Livestock Non-farm NR
Livelihood security
Income level Income
stability Seasonality
Degrees
of risk
Institutions Rules
and customs
Land tenure Markets
in practice
Shocks Drought
Floods Pests
Diseas Civil war
Non-NR- based
Rural trade Other
services Rural
manufacture Remittances
Other transfers
Environment sustainability
Soils and land quality
Water Rangeland
Forests Biodiversity
Organisations Associations
NGOs Local admin
State agencies
Gambar 2.3 Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan
Sumber: Ellis 2000
2.3 Perkembangan Penelitian Terkini dengan Pendekatan Penghidupan Saat ini, banyak penelitian yang menganalisis peningkatan kerentanan
ekologi pedesaan yang disebabkan oleh berbagai trends, shock,dan permasalahan yang bersifat musiman dan strategi yang dilakukan masyarakat pedesaan dengan
menggunakan pendekatan dan kerangka penghidupan. Beberapa sintesis hasil penelitian terdahulu yang telah disampaikan di beberapa jurnal internasional
ditampilkan dalam bagian ini lihat Tabel 2.2. Semua penelitian tersebut menyampaikan bahwa saat ini telah terjadi peningkatan kerentanan di pedesaan
yang disebabkan oleh berbagai trends, shock, dan seasonality, terutama disebabkan oleh dampak perubahan iklim.
16 Tabel 2.2 Daftar penelitian terdahulu yang disintesis
Nama Peneliti dan tahun terbit
Judul Penelitian Nama Jurnal
Internasional, Edisi, dan Halaman
Jouni Pavoola 2008 Livelihoods, vulnerability, and
adaptation to climate change Envioronmental
Science dan Policy: 642-654
Julia Z McDowell, Jeremy J Hess 2012
Accessing adaptation: multiple stressors on livelihoods in the Bolivian
highlands under a changing climate. Global
Environmental Change 22: 342-352
Jun Wang, Daniel G. Brown, Arun Agrawal
2013 Climate adaptation, local institutions,
and rural livelihoods: A comparative study of herder communities in
Mongolia and Inner Mongolia, China Global Enviromental
Change 23: 1673- 1683
Henny Osbahr, Chasca Twyman, W. Neil
Adger, David S.G. Thomas 2008
Effective livelihood adaptation to climate change disturbance: scale
dimensions of practice in Mozambique Geoforum 39: 1951-
1964
Stephanie Amaru, Netra B. Chhetri
2013 Climate adaptation: institutional
response to environmental constrains, and the need for increased flexibility,
participation, and integration of approaches
Applied Geography 39: 128-139.
Peningkatan kerentanan tersebut mengganggu aset dan sistem penghidupan di pedesaan sehingga masyarakat pedesaan, baik di tingkat
komunitas maupun rumah tangga dituntut melakukan respons penghidupan atau adaptasi untuk menghadapinya. Ada yang menyatakan bahwa respons
penghidupan yang dilakukan merupakan bagian dari adaptasi; namun ada juga yang menyatakan bahwa tindakan adaptasi yang dilakukan sebagai upaya
menghadapi perubahan iklim merupakan bagian dari strategi penghidupan masyarakat pedesaan. Apabila kita merujuk pada konsep penghidupan pedesaan,
semuanya benar. Dalam uraian sebelumnya, Chambers dan Conway 1992 menekankan pentingnya beradaptasi terhadap perubahan dan ketidakpastian yang
disebabkan oleh shock dan stress. Sementara itu, Scoones 1998 dalam kerangkanya memasukkan berbagai aktivitas adaptasi yang dilakukan dalam
merespons dampak perubahan iklim ke dalam strategi penghidupan. Selain itu, Scoones juga memasukan peningkatan kapasitas adaptasi penghidupan sebagai
salah satu outcome penghidupan berkelanjutan yang harus dicapai setiap rumah tangga.
Pavoola 2008 melakukan penelitian di Morogoro, Tanzania. Aspek yang dilihat dari penelitiannya adalah penghidupan, kerentanan, dan adaptasi perubahan
iklim. Dalam artikel yang dipublikasikan di Jurnal Environmental Science and Policy tahun 2008, Pavoola menyebutkan bahwa perubahan iklim dalam bentuk
17 variabilitas iklim dan juga tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi
dan mengganggu kegiatan budidaya pertanian yang merupakan penghidupan utama rumah tangga di Morogoro. Adaptasi perubahan iklim pun dilakukan oleh
rumah tangga pertanian melalui strategi penghidupan dalam bentuk ekstensifkasi dan intensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi untuk
mendapatkan akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan.
Gambar 2.4 Kerangka penelitian Pavoola 2008
Keterangan: Hasil sintesis
Di lokasi penelitiannya, Pavoola menemukan fakta bahwa tidak semua rumah tangga berhasil melakukan adaptasi. Beberapa rumah tangga yang rentan
secara fisik dan sosial gagal melakukan adaptasi. Kerentanan rumah tangga disebabkan oleh akses lahan yang terbatas. Beberapa rumah tangga yang rentan
juga disebabkan karena rumah tangga tersebut berkepala keluarga seorang perempuan. Kerentanan yang besar mengurangi kapasitas adaptasi rumah tangga
tersebut. Intervensi pemerintah yang dilakukan melalui kebijakan investasi infrastruktur, reformasi institusi, penguatan sumber daya manusia kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan, serta pemberian akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan yang secara akumulasi dapat menghadirkan partisipasi pasar terbukti
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptasi rumah tangga petani sehingga berhasil melakukan adaptasi. Kerangka penelitian Pavoola dapat dilihat
pada Gambar 2.4.
Mc Dowell dan Hess 2012 melakukan penelitian adaptasi perubahan ikim dengan pendekatan penghidupan dan akses. Perubahan iklim dan tekanan-
tekanan non-iklim, seperti orientasi pasar komersialisasi telah berdampak pada peningkatan kerentanan, berupa penurunan ketahanan pangan dan kualitas
18 penghidupan rumah tangga. Atas tekanan-tekanan tersebut, semua rumah tangga
petani dituntut untuk melakukan strategi atau beradaptasi agar dapat mempertahankan penghidupannya. Namun, temuan di lapangan menemukan
hanya petani kaya yang beraset dan berakses luas yang mampu beradaptasi dan mempertahankan kekayaannya, bahkan beberapa rumah tangga kaya berhasil
melakukan akumulasi sehingga semakin kaya. Sementara itu, petani miskin yang beraset dan berakses sangat terbatas gagal beradaptasi dan tetap miskin, bahkan
beberapa menjadi semakin miskin. Beberapa aset utama yang menjadi kunci keberhasilan strategi adaptasi adalah lahan, air, tenaga kerja, pendidikan,
kesehatan, modal sosial, dan modal finansial. Kemampuan petani kaya dan ketidakmampuan petani miskin dalam mengakses sumber daya tersebut menjadi
salah faktor determinan perbedaan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, menurut Mc Dowel dan Hess, upaya terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kapasitas adaptasi petani miskin adalah dengan melakukan intervensi kebijakan kelembagaan yang memberikan akses petani miskin yang lebih luas terhadap
berbagai aset kunci lihat Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kerangka peneltian Mc Dowell dan Hess 2012
Keterangan: Hasil sintesis
Wang et al. 2013 melakukan penelitian dengan penekanan pada peran institusi lokal dalam mendukung praktik adaptasi yang mewujudkan livelihoods
outcomes masyarakat pedesaan, baik di tingkat rumah tangga dan komunitas.
Wang et al. mengadopsi kerangka Agrawal 2008 yang membagi institusi lokal ke dalam tiga tipe, yaitu public, civic, dan private. Ketiga tipe institusi tersebut
memberikan intervensi eksternal, berupa informasi, teknologi, dana, dan kepemimpinan, kepada rumah tangga dan komunitas. Intervensi eksternal yang
dilakukan sangat mempengaruhi berbagai aksi adaptasi yang dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu mobility, storage, diversifiaction, communal pooling,
19 dan exchange.
Kerangka yang dinamakan dengan “Adaptation, Institutions, and Livelihoods Framework” ini merupakan sintesis dari 300 kasus aksi adaptasi di 15
negara, termasuk Indonesia, yang digambarkan dalam database Strategi Coping UNFCC
lihat Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Kerangka penelitian Wang et al. 2013 —mengadopsi Agrawal and Perrin 2008
Osbahr et al. 2008 melakukan penelitian tentang adaptasi penghidupan terhadap perubahan iklim yang efektif. Menurut Osbahr et al. 2008, perubahan
iklim global telah menyebabkan peningkatan kerentanan pedesaan di Mozambique sebagai akibat peningkatan intensitas dan frekuensi variabilitas
iklim, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kondisi ini berdampak pada kelembagaan dan penghidupan pedesaan. Coping dan adaptasi pun dilakukan oleh
rumah tangga dan komunitas di Mozambique dengan melakukan strategi penghidupan dalam bentuk diversifikasi penghidupan dan pertanian dengan
collective dual land-use systems.
Institusi indegenousnon formal berupa resporisitas yang kuat di dalam komunitas sangat membantu rumah tangga dan
komunitas mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien. Di sisi lain, pemerintah, LSM internasional, dan jaringan ilmuwan sosial menganggap
bahwa dampak perubahan iklim telah mengancam ketahanan pangan dan agenda pembangunan berkelanjutan. Melihat kondisi ini, mereka kemudian melakukan
intervensi dengan memanfaatkan institusi indigenousnon-formal resporisitas yang dimiliki komunitas. Mereka melakukan reorganisasi institusi sosial dengan
melakukan formalisasi resiprositas. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kapasitas adaptasi, mereka juga memfasilitasi inovasi dan mengintervensi adaptasi
penghidupan yang dilakukan rumah tangga dan komunitas. Hasilnya proses untuk
20 mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien menjadi lebih
cepat lihat Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Kerangka penelitian Osbahr et al. 2008
Keterangan: Hasil sintesis
Amaru dan Chhetri 2013 melakukan penelitian adaptasi perubahan iklim dengan fokus terhadap respons kelembagaan dengan latar belakang terjadinya
perubahan iklim yang mengganggu kegiatan pertanian sebagai aktivitas penghidupan utama di pedesaan. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan, terutama
petani harus melakukan adaptasi kelembagaan untuk menghadapi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Menurutnya, Adaptasi terhadap dampak perubahan
ikilm adalah proses dinamis yang dibentuk oleh kelembagaan, budaya, dan konteks sosial ekonomi. Upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim
mungkin terjadi pada banyak skala dan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan dan tidak terjadi dalam ruang hampa kelembagaan. Globalisasi telah
meningkatkan pertukaran pengetahuan di seluruh ruang, sejumlah besar lembaga telah terlibat dalam langkah-langkah adaptasi di berbagai skala.
Dari banyaknya kasus yang dijadikan sampel penelitian, Amaru dan Chhetri mengidentifikasi empat jenis langkah-langkah adaptasi yang berbeda dan
memilih salah satu kasus yang mewakili masing-masing tipe. Dari kasus-kasus terpilih, mereka kemudian menilai berbagai peran lembaga dalam melakukan
inovasi. Dari temuan-temuan yang dihasilkan, mereka meneyrankan dua hal mengenai tindakan adaptasi yang harus dilakukan agar lebih berhasill, yaitu 1
perlunya partisipasi yang luas, fleksibilitas, dan integrasi berbagai stakeholder untuk melakukan respons cepat dan efektif, dan 2 kebutuhan untuk mentransfer
kepemimpinan leadership dan tanggung jawab responsibility dari langkah- langkah adaptasi kelembagaan yang terpimpin ke langkah-langkah adaptasi
21 berbais masyarakat sehingga adaptasi bisa berlanjut ke masa depan. Temuan ini
menunjukkan bahwa jenis tindakan adaptasi yang dilaksanakan secara top-down kemungkinan tidak mendukung ketahanan lokal dalam jangka panjang dan
tindakan adaptasi yang dilksanakan secara bottom-up memerlukan beberapa tingkat kolaborasi dari atas untuk memaksimalkan efektivitas tindakan yang
dilakukan lihat Gambar 2.13.
Amaru dan Chhetri merujuk pada Klein, Schipper, Dessai 2005, menyebutkan adaptasi terhadap perubahan iklim terjadi pada berbagai skala, di
tingkat lokal atau regional dengan tindakan yang diambil dalam upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan dan dapat dilakukan oleh berbagai
pemangku kepentingan termasuk petani, lembaga-lembaga publik, masyarakat, masyarakat sipil LSM, dan sektor swasta. Beberapa elemen penting dari
langkah-langkah adaptasi yang sukses meliputi kepemimpinan, sumber daya, pertukaran informasi dan komunikasi antara para pemangku kepentingan, dan
pandangan dan keyakinan yang kompatibel. Sebuah upaya yang berkelanjutan untuk beradaptasi menuntut keterlibatan aktif dari berbagai pemangku
kepentingan sehingga teknologi yang bersifat lokal-spesifik dapat digunakan sebagi inovasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Gambar 2.9 Kerangka penelitian Amaru Chhetri 2013
Keterangan: Hasil sintesis
2.4 Kerangka Penelitian