114
BAB VIII KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI
DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN PEDESAAN
Desa Karangmulya merupakan desa persawahan di Pantai Utara Indramayu yang memiliki kerentanan ekologi yang sangat tinggi. Hampir setiap
tahun, desa ini tidak luput dari kekeringan dan banjir. Kedua peristiwa tersebut tidak jarang menyebabkan penurunan produksi dan gagal panen. Kekurangan stok
pangan menjadi permasalahan setiap tahun bagi sebagian besar rumah tangga di desa ini. Pemerintah Kabupaten Indramayu pun menyatakan bahwa desa ini
sebagai desa paling rentan di wilayah Kabupaten Indramayu. Hal ini pula-lah yang menyebabkan pemerintah pusat dengan berpedoman pada Permen No. 12
Tahun 2007 menilai desa ini sebagai “Desa Swadaya”, sebuah predikat terendah untuk sebuah desa. Artinya, Desa Karangmulya merupakan desa miskin yang laju
pembangunannya sangat lambat.
Gambar 8.1 Skema sosiologi kerentanan ekologi dan penghidupan diadaptasi dari kerangka penelitian
Penelusuran sejarah menemukan bahwa kerentanan ekologi banjir dan kekeringan muncul akibat terganggunya fungsi jaringan irigasi sejak pendudukan
Jepang 1942 dan pemberontakan DITII 1949-1962. Sebelumnya, terlebih sejak beroperasinya irigasi Rentang 1916, lahan persawahan di desa ini mendapatkan
pasokan air irgasi sepanjang tahun. Program revolusi hijau ala Orde Baru yang memperbaiki jaringan irigasi Rentang, membangun jaringan irigasi Jatiluhur,
membagi wilayah persawahan ke dalam empat golongan tetap tidak mampu
115 menyediakan pasokan air irigasi yang cukup untuk musim tanam kedua, apalagi
ketiga. Wilayah persawahan Desa Karangmulya hanya menjadi golongan tadah hujan dan banjir inlaat. Akibatnya, ketika musim kemarau, lahan sawah di Desa
Karangmulya lebih dahulu mengalami kekeringan dan ketika musim hujan lebih dahulu mengalami kebanjiran.
Kerentanan ekologi = ketidakmampuan pemerintah menyediakan air irigasi yang cukup, berlanjut, dan dapat dikontrol
Kerentanan memang menjadi semakin meningkat akibat variabilitas iklim yang semakin tidak menentu dan anomali iklim yang meningkat. Namun,
penelitian ini menemukan bahwa akar permasalahannya adalah ketidakmampuan pemerintah memperbaiki jaringan irigasi Rentang dan mengoptimalkan jaringan
irigasi Jatiluhur yang keduanya berakhir di Desa Karangmulya. Revolusi hijau yang dimulai 50 tahun lalu 19631964 dan digadang-gadang mampu
“merevolusi pertanian” melalui peningkatan produksi dan produktivitas lahan sawah ternyata tidak terbukti di desa yang sejak abad ke-16 sampai pertengahan
abad ke-20 menjadi lumbung padi. Revolusi hijau dilakukan dengan memaksakan intensifikasi input produksi berupa bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan
mekanisasi pertanian, tanpa menghadirkan air irigasi yang cukup, berlanjur, dan dapat dikontrol. Padahal, menurut Asnawi 1988, green revolution tidak akan
berhasil tanpa adanya blue revolution. Tersedianya air irgasi yang cukup dan terkontrol tidak saja merupakan input kunci untuk meningkatkan produksi padi,
tetapi juga merupakan unsur yang vital untuk efektifnya penggunaan teknologi yang lebih baik, yaitu varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan berumur
pendek serta pupuk kimia dan pestisida.
Akibatnya, berbeda dengan desa-desa lainnya di Indramayu, bahkan beberapa desa tetangga yang mendapatkan aliran air irigasi teknis sebagai buah
dari revolusi hijau sehingga menjadi desa yang mengalami revolusi pertanian, desa ini malah mengalami “kemandegan involusi pertanian”. Bahkan, beberapa
petani yang mengalami masa-masa kejayaan desa mengatakan situasi sekarang bera
da pada “kemunduran pertanian”. Status “Desa Swadaya” yang berarti desa miskin dan terbelakang lambat dan tidak maju seakan menjadi justifikasi atas
hal ini. Revolusi hijau nampaknya malah memberikan dampak pada peningkatan serangan hama penyakit-tanaman padi. Diskusi kelompok yang melibatkan
seluruh rumah tangga petani dari semua lapisan, misalnya, menyebutkan wereng batang coklat menjadi hama yang muncul dan tidak bisa dikendalikan setelah
budidaya pertanian padi menggunakan pestisida sesuai saran dari penyuluh revolusi hijau.
Temuan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan dokumen resmi pemerintah yang hanya menjadikan faktor iklim, baik variabilitas
maupun perubahan iklim, sebagai penyebab kerentanan ekologi desa ini, tanpa berhasil menemukan akar permasalahannya. Akibatnya, berbagai program yang
116 dilakukan tidak komprehensif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Berbagai
tekonologi terus didatangkan dan diajarkan. Akibatnya, sesuai dengan tesis Asnawi 1988 di atas, budidaya pertanian tetap mandeg.
Dengan kondisi kerentanan ekologi yang sangat tinggi dan berlangsung puluhan tahun ini, masyarakat Desa Karangmulya sebagai masyarakat yang telah
terbentuk dan tinggal ratusan tahun di desa dituntut untuk mampu bertahan dan terus melanjutkan penghidupannya melalui berbagai strategi penghidupan.
Strategi penghidupan dilakukan di tingkat rumah tangga sebagai bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai unit konsumsi dan unit produksi. Strategi
penghidupan dilakukan dengan mengkombinasikan aset penghidupan yang dimilikinya dan juga yang dapat diaksesnya. Setiap rumah tangga memiliki aset
penghidupan yang berbeda-beda. Rumah tangga lapisan atas merupakan rumah tangga yang memiliki aset penghidupan paling lengkap dan paling berkualitas.
Kepemilikan lahan sawah modal alam sebagai penentu status sosial rumah tangga
Pelapisan sosial rumah tangga ditentukan dari luasnya kepemilikan lahan sawah. Semakin luas lahan sawahnya, semakin tinggi lapisan sosial rumah tangga
tersebut. Atas dasar itu, ada enam lapisan sosial yang terdapat di Desa Karangmulya, yaitu 1 lapisan atas, 2 lapisan menengah, 3 lapisan bawah
pemilik, 4 lapisan bawah penggarap, dan 5 lapisan bawah buruh. Hasil survey menunjukkan bahwa rumah tangga lapisan atas memiliki luas lahan 25,869 m
2
, jauh lebih luas dibandingkan rumah tangga lapisan lainnya. Rumah tangga lapisan
menengah, misalnya, memiliki 8,350 m
2
dan rumah tangga lapisan bawah pemiliki hanya memiliki 2,689 m
2
. Lapisan-lapisan tersebut tidak eksklusif dan sangat longgar. Rumah tangga
atas selain menggarap lahan sawah sendiri juga menyewa lahan sawah orang lain untuk digarap dan juga menyewakan sebagian lahan sawahnya untuk digarap
rumah tangga lain. Rumah tangga lapisan menengah selain menggarap lahan sawahnya sendiri juga menjadi buruh tani. Rumah tangga bawah buruh juga bisa
seketika naik kelas lapisan sosial apabila dia mampu menggarap atau bahkan membeli lahan sawah. Begitu pun, dengan rumah tangga menengah bisa dengan
cepat turun kelas lapisan apabila lahan sawah yang dimilikinya dijual. Namun, hasil penelitian menunjukkan hanya ada 1.25 persen rumah tangga yang turun
kelas, sisanya sebagian besar naik kelas dan sebagiannya lagi berhasil mempertahankan kelasnya lihat Gambar 8.2.
117 Gambar 8.2 Skema hubungan lahan dan mobilitas sosial
Pembagian lapisan struktur dan peran fungsi sosial yang tidak eksklusif ini sudah lama diterapkan sejak awal pendirian desa. Bagi masyarakat desa,
pelapisan struktur sosial hanya digunakan untuk membagi peran fungsi sosial yang lebih jelas di masyarakat. Rumah tangga lapisan atas, misalnya, dituntut
memikul peran sosial yang lebih banyak. Rumah tangga atas harus menyediakan cadangan beras yang dapat dipinjam rumah tangga lapisan di bawahnya. Rumah
tangga atas harus menyumbang bahan makanan yang lebih banyak untuk tradisi budaya sedekah bumi. Rumah tangga atas harus menyumbang lebih banyak untuk
pembangunan mesjid. Rumah tangga atas harus sering melakuan selametan yang mengundang banyak rumah tangga untuk makan di rumahnya. Rumah tangga atas
harus mau membukakan pintu setiap saat bagi rumah tangga lain yang membutuhkan.
Kondisi ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Scott 1976 dan Hayami dan Kikuchi 1987 mengenai ciri masyarakat desa Asia Tenggara yang
tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Menurut mereka, pertukaran tenaga kerja, penggunaan harta benda komunal untuk biaya hidup anak yatim atau janda,
hadiah-hadiah yang diberikan oleh patron pada kelahiran seorang anak atau kematian seorang ayah, dan penurunan sewa pada tahun kegagalan panen
merupakan pola yang melembaga terinstitusionalisasi. Sejauh seorang patron rumah tangga kaya dengan lahan yang luas melindungi para kliennya penyewa
lahan dan buruh tani dari rumah tangga miskin di dalam masyarakat desa terhadap kesulitan ekonomi dan pangan pada tahun-tahun yang buruk, patron
tersebut akan dianggap sebagai pelindung yang baik. Hayami dan Kikuchi 1987, meskipun seringkali para petani di desa egois dengan selalu berusaha mencari
keuntungan pribadi seperti yang disampaikan Popkin 1979. Namun, para petani
118 akan tetap mempertahankan sikap altruistiknya sejauh keuntungan altruismenya
melebihi biaya untuk bertingkah laku sebagai altruis. Orang desa akan melanggarnya apabila mereka melihat peluang bahwa keuntungan karena
pelanggaran itu melebihi biayanya. Modal sosial memberikan akses yang memelihara resiliensi penghidupan rumah
tangga pedesaan
Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk hubungan sosial dan jaringan yang didasarkan
atas prinsip “… trust, mutual reciprocity, and norm of action”. Modal sosial lahir
dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari Syahyuti, 2008. Berbagai tulisan tentang modal sosial pun lahir dari pengamatan dan penelitian
yang dilakukan terhadap ribuan interaksi sosial tersebut. Tak ayal, sampai saat ini, definisi modal sosial sangat beragam, bahkan ada yang saling menegasikan.
Ancok 2003 membagi pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan
pada jaringan hubungan sosial social net-work, sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik traits yang melekat embedded pada diri
individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Syahyuti 2008 mengamini bahwa telah terjadi banyak perbedaan batasan antar ahli tentang modal
sosial. Menurut Syahyuti, beberapa ahli menekankan pentingnya trust, sebagian social network,
dan sebagian social networks. Namun, ada juga yang menekankan ketiganya sekaligus, misalnya Putnam 1993.
Penulis pun mencoba melakukan penelusuran berbagai literatur untuk mencari definisi modal sosial. Hasilnya memang benar, berbagai ahli menuliskan
definisi yang berbeda dari modal sosial. Beberapa saling mendukung, namun beberapa saling mengkritik. Coleman 1988; 1999 mendefinisikan modal sosial
sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Burt 1992 mendefinisikan
modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial lainnya. Cohen dan Prusak 2001 mendefiniskan modal sosial sebagai setiap hubungan yang
terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan trust, saling pengertian mutual understanding,
dan nilai-nilai bersama shared value yang mengikat anggota kelompok untuk membuat aksi bersama yang dapat dilakukan secara efektif dan
efisien. Brehm dan Rahn 1997 mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan kerja sama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi solusi dari
permasalahan yang dihadapi mereka. Pennar 1997 mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
119 Kalau kembali pada Ancok 2003, berbagai definisi yang dituliskan pada
paragraf di atas dapat menggambarkan pendapat kelompok pertama yang menekankan pada jaringan hubungan sosial social net-work. Namun, pendapat
ini berbeda, bahkan ditentang oleh Fukuyama dan berbagai ahli yang “bergabung” pada kelompok kedua yang lebih menekankan pada karakteristik traits yang
melekat embedded pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.
Menurut Fukuyama 1995, modal sosial adalah kemampuan individu untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan
berbagai organisasi. Fukuyama 1997 mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di
antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Pada tahun 2001, Fukuyama kembali menegaskan
adanya kesalahan dari ahli-ahli lain dalam mendefinisikan modal sosial. Menurut Fukuyama 2001, meskipun modal sosial telah memiliki beragam definisi,
beberapa di antaranya menunjukkan manifestasi modal sosial dibandingkan modal sosial itu sendiri. Fukuyama 2001 mendefinisikan modal sosial sebagai norma
informal instan yang mendorong kerja sama antar dua individu atau lebih. Norma- norma yang menyusun modal sosial dapat berkisar dari norma timbal balik norm
of reciprocity
antara dua teman sampai ke yang lebih komplek, menggunakan doktrin agamareligi, seperti konfusiusisme. Hal ini harus terjadi instan dalam
hubungan aktual manusia norma timbal balik berpotensi terdapat pada semua orang. Dengan definisi ini, trust, jejaring network, masyarakat madani, dan
sejenisnya yang berhubungan dengan modal sosial, semuanya adalah epiphenominal,
muncul sebagai hasil dari modal sosial, tetapi tidak menyusn modal sosial itu sendiri. Selain itu, norma-norma tersebut harus mendorong
kerjasama dalam grup sehingga sangat berhubungan dengan nilai-nilai tradisional, seperti kejujuran, menjaga komtmen, melaksanakan kewajban dengan baik, dan
sebagainya.
Untuk mempermudah memahami definisi modal sosial, Fukuyama 2001 menggambarkannya melalui konsep the radiust of trust. Semua grup yang
menyusun modal sosial memiliki radius trust tertentu, yaitu lingkaran dimana norma-norma kooperatif beroperasi. Jika modal sosial suatu grup menghasilkan
eksternalitas positif, radius trust lebih besar dibandingkan keanggotaan grup. Suatu masyarakat modern dapat dipandang sebagai seri radius trust konsentrik
dan saling tumpang tindih lihat Gambar 8.3. Di antara dua orang ahli modal sosial, Bowles dan Gintis 2001 adalah yang sependapat dengan Fukuyama.
Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai berikut
“Social capital refers to trust,
concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and topunish those who do not”.
120 Gambar 8.3 Ilustrasi network of trust
Sumber: Fukuyama 2001
Yang menarik, sementara para ahli terus berdebat, World Bank ternyata sangat tertarik dengan peranan dan implementasi modal sosial dalam pengentasan
kemiskinan di negara-negara berkembang. World Bank 1998 menyebutkan modal social sebagai
“… a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern inetractions among people and contribute to
economic and social development. Modal sosial berperan sebagai perekat yang
mengikat semua orang dalam masyarakat. Menurut World Bank 1998, i modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, politik, dan hubungan
sosial yang mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja dan begitu juga sebaliknya: pasar dan negara juga akan membentuk modal sosial di masyarakat;
ii hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong keefektifan dan efisiensi, baik perilaku kolektif maupun individual; iii modal sosial dalam satu
masyarakat dapat diperkuat, namun membutuhkan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya; dan iv agar tercipta hubungan sosial dan kelembagaan yang
baik, anggota masyarakat harus mendukungnya.
Selain membaca langsung dari berbagai naskah aslinya, buku berjudul Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik yang ditulis Lawang 2004 membantu
peneliti memahami modal sosial dalam perspektif sosiologi. Menurut Lawang 2004, hampir semua definisi tentang modal sosial menempatkan modal sosial
sebagai variabel independen. Artinya, kapital sosial merupakan penyebab dari suatu tindakan individual atau tindakan kolektif, termasuk rumah tangga, yang
memungkinkan suatu daya guna dan daya hasil tercapai. Lawang membuat ikhtisar mengenai inti definisi modal sosial menurut beberapa ahli, seperti yang
tersaji dalam Tabel 8.1.
121 Tabel 8.1 Inti definisi kapital sosial menurut beberapa ahli
Ahli Tertambat pada
Modal sosial variabel independen
Variabel dependen Coleman
Struktur sosial: hubungan sosial,
institusi sosial. Fungsi kewajiban, harapan,
layak percaya, saluran, norma, sanksi, jaringan,
organisasi Tindakan aktor atau
aktor dalam badan hukum.
Putnam Institusi sosial.
Jaringan, norma, kepercayaan
Keberhasilan ekonomi, demokrasi.
Fukuyama Agama, filasafat Kepercayaan, nilai
Tindakan sosial Bank
Dunia Institusi, norma, hubungan
Potensi perkembangan
ekonomi
Turner Hubungan sosial,
pola organisasi yang diciptakan individu
Kekuatan Potensi
perkembangan ekonomi
Lawang Struktur sosial
mikro, meso, dan makro
Kekuatan sosial komunitas. Efisiensi dan
efektifitas dalam mengatasi masalah.
Sumber: Lawang 2004
Kembali pada kerangka penghidupan yang menjadi framework dalam penelitian ini, DFID 1999 mengemukakan bahwa modal sosial terdiri dari: 1
jaringan dan ikatan, baik vertikal patron-klien maupun horisontal antara individurumah tangga yang senasib atau mempunyai tujuan yang sama yang
meningkatkan kepercayaan dan kemampuan orang-orang untuk bekerja sama dan saling memberikan akses melalui berbagai institusi sosial produksi; 2
heanggotaan dalam kelompok yang memiliki aturan, norma, dan sanksi yang disetujui bersama, serta 3 hubungan kepercayaan, resiprositas, dan pertukaran
yang memfasilitasi kerja sama, memberikan akses, mengurangi biaya transaksi, dan menjad basis untuk jaring pengaman sosial bagi rumah tangga miskin. DFID
1999 dan juga Scoones 1998, Ellis 2000 menekankan bahwa modal sosial yang terwujud dalam institusi sosial produksi dapat memberikan akses kepada
setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya. Dengan mengurangi biaya transaksi dalam produksi, modal sosial dapat
meningkatkan pendapatan dan jumlah uang yang bisa ditabung modal finansial. Modal sosial dapat membantu mengurangi pemboncengpenumpang gelap free
rider
yang menjadi masalah dalam pengelolaan common resources modal alam dan memelihara infrastruktur publik modal fisik. Jaringan sosial modal sosial
memfasilitasi penyebaran informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan seseorang atau rumah tangga modal insani.
122 Hasil penelitian ini juga menunjukkan dan membuktikan peran penting
modal sosial. Modal sosial terbukti memberikan akses kepada semua rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupannya. Pada Gambar 8.4
dapat terlihat pentagon aset penghidupan masing-masing rumah tangga. Dengan adanya
akses, kapasitas
aset penghidupan
setiap rumah
tangga mengembangmeningkat lihat warna merah. Sebaliknya, tanpa akses, kapasitas
aset penghidupan setiap rumahtangga akan mengkerut lihat warna biru. Apabila dilihat secara detail, pada gambar tersebut terlihat bahwa modal sosial merupakan
modal yang paling melimpah dan paling kuat yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Kerentanan ekologi yang membatasi sumber daya air serta menekan dan
mengguncang penghidupan setiap rumah tangga direspons dengan membangun modal sosial yang dapat memelihara resiliensi dan keberlanjutan penghidupannya.
Gambar 8.4 Pentagon aset penghidupan dan akses
Keterangan: Hasil analisis
5.0 4.6
5.0 4.2
5.0 5.0
5.0 5.0
5.0 5.0
3.5 4.0
4.5 5.0
Tanpa akses Dengan akses
Aset dan akses per rumah tangga
5.0 4.6
5.0 4.2
5.0 5.0
5.0
5.0 5.0
5.0 3.5
4.0 4.5
5.0 M.Insani
M.Alam M.Fisik
M.Finansial M.Sosial
RT Atas
3.1 0.5
2.8 1.2
4.9 3.3
0.9 3.1
2.6 4.9
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
M.Insani M.Alam
M.Fisik M.Finansial
M.Sosial
RT Bawah Pemilik
3.2 0.0
2.9 0.6
4.9 3.4
1.1 3.3
2.0 4.9
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
M.Insani M.Alam
M.Fisik M.Finansial
M.Sosial
RT Bawah Penggarap
3.5 0.1
2.6 0.0
3.8 3.7
0.0 2.8
1.8 3.8
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 M.Insani
M.Alam M.Fisik
M.Finansial M.Sosial
RT Bawah Buruh
3.7 1.5
3.6 1.9
4.9 4.0
1.9 3.8
2.8 4.9
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
M.Insani M.Alam
M.Fisik M.Finansial
M.Sosial
RT Menengah
•
•
•
•
•
123 Ilustrasi peran modal sosial dalam bentuk institusi sosial produksi dapat
dilihat pada Gambar 8.5. Pada gambar tersebut terlihat dengan adanya institusi sosial produksi yang dicontohkan dengan institusi bawon, rumah tangga bawah
miskin yang tidak memiliki lahan sawah modal alam dapat mengakses lahan sawah milik rumah tangga atas kaya, ikut memanen, dan mendapatkan bagian
padi. Rumah tangga atas pun mendapat akses terhadap tenaga kerja panen modal insani dan mengurangi biaya pengawasan sehingga bisa meningkatkan
pendapatan modal finansial. Sebagai timbal baliknya, rumah tangga bawah sebagai klien juga berkewajiban ikut serta dalam semua proses produksi padi, dari
mulai membantu menyediakan air irigasi, persiapan tanam, dan pelaksanaan tanam. Klien juga berkewajiban membantu rumah tangga atas apabila dibutuhkan,
misalnya membantu hajatan atau syukuran yang diselenggarakan rumah tangga atas.
Gambar 8.5 Ilustrasi peran modal sosial dalam menjaga resiliensi penghidupan rumah tangga petani
Selain memberikan akses melalui bawon, rumah tangga atas juga sebagai patron berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga bawah
yang menjadi kliennya. Rumah tangga atas memberikan pinjaman beras atau uang mdoal finansial ketika rumah tangga atas membutuhkannya, memberikan hadiah
ketika melahirkan anak, memberikan santunan ketika anggota rumah tangganya meninggal, meminjamkan aset fisiknya modal fisik, menyebarkan informasi,
Individual
Tidak Sejahtera Kolektivitas
Sejahtera
Petani kaya
RT atas
Petani miskin
RT bawah Petani
semakin miskin
Resilien karena modal sosial
Resilien karena keayaan modal alam, fisik, finansial
Bawon
Tanpa bawon Petani
dg patron-klien menjadi lebih
sejahtera
Resilien karena modal sosial peningkatan kapasitas modal alam,
fisik, finansial
Tidak resilien karena semua modal lemah
B awon
124 dan memastikan anak-anaknya dapat menempuh pendidikan dengan baik modal
insani. Tidak sedikit, rumah tangga atas juga kemudian memberikan akses untuk menggarap lahan sawah dengan biaya sewa yang murah dan dibayar setelah panen
serta ditambah pinjaman modal produksi. Bahkan, apabila terjadi gagal panen, sang patron juga memberikan kebijakan untuk menunda pembayaran sewa sampai
panen berikutnya yang menghasilkan.
Dengan adanya institusi sosial produksi yang dijalankan melalui ikatanhubungan patron-klien ini, rumah tangga bawah yang tadinya miskin dapat
meningkatkan kapasitas
aset penghidupannya
sehingga meningkatkan
kemampuan dan taraf penghidupannya menjadi lebih sejahtera dari sebelumnya. Sementara itu, rumah tangga atas pun tidak kehilangan kekayaannya. Rumah
tangga atas mendapatkan kepastian tenaga kerja dan keamanan dari para klien yang berada di sekitarnya. Selain itu, semakin banyaknya klien yang tergantung
pada sang patron akan menambah pengaruh dan status sosial rumah tangga atas tersebut.
Pertanian masih menjadi strategi penghidupan yang penting
Hasilnya, rumah tangga di Desa Karangmulya melakukan tiga strategi penghidupan, yaitu 1 pertanian, 2 diversifikasi penghidupan non-pertanian,
dan 3 migrasi, melalui berbagai aktivitas penghidupan. Strategi pertanian, terutama subsektor tanaman padi, dilakukan oleh semua lapisan rumah tangga.
Berbagai aktivitas dilakukan sesuai struktur dan fungsinya masing-masing. Rumah tangga atas dan menengah menjalankan usaha tani tanaman padi dan
rumah bawah buruh bekerja sebagai buruh tani. Selain menjalankan usaha tani sendiri, rumah tangga atas dan menengah juga menyewakan sebagian lahan yang
dimilikinya kepada rumah tangga lain sehingga rumah tangga tersebut dapat menjalankan usaha tani tanaman padi. Selain tanaman padi, beberapa rumah
tangga juga menjalankan usaha tani tanaman hortikultura, baik ditanam secara tumpang sari maupun secara khusus di musim tanam kedua dan ketiga. Aksi
adaptasi yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan risiko kegagalan panen dalam sepuluh tahun terkakhir telah membuat banyak rumah tangga di desa
meningkatkan aktivitas penghidupan tanaman padi dan hortikultura. Selain tanaman padi dan hortikultura, beberapa rumah tangga juga melakukan aktivitas
penghidupan pertanian yang lain, yaitu peternakan, jasa pertanian, dan pemungutan hasil alam.
Strategi penghidupan yang kedua, diversifikasi penghidupan pertanian, dilakukan dengan dorongan untuk mempertahankan dan meningkatkan
penghidupan rumah tangganya. Dengan memanfaatkan aset penghidupan dan surplus produksi keuntungan yang dihasilkan berbagai aktivitas pertanian,
sebagian rumah tangga dari semua lapisan sosial melakukan berbagai aktivitas penghidupan non-pertanian. Dengan aset penghidupan yang lebih besar dan
surplus produksi yang diperolehnya, rumah tangga atas menjadi rumah tangga
125 yang paling banyak melakukan aktivitas ini. Usaha penggilingan padi,
perdagangan beras, toko, pertukangan, dan lembaga pelatihan Korea merupakan beberapa aktivitas yang dilakukan. Berbagai aktivitas usaha yang dijalankan
rumah tangga lapisan atas juga memberi kesempatan kepada rumah tangga lain untuk ikut melakukan aktivitas penghidupan sebagai pengelola, tenaga kerja, dan
mitra.
Strategi penghidupan yang ketiga, migrasi, dilakukan di luar Kabupaten Indramayu. Strategi ini dilakukan oleh rumah tangga dari semua lapisan sosial.
Namun, meskipun sama-sama melakukan migrasi, terdapat alasan yang berbeda yang melatar belakangi migrasi yang dilakukan. Rumah tangga lapisan atas
cenderung melakukan migrasi karena tertarik ke luar desa pulled out dengan dibiayai oleh keuntungan yang diperoleh dari surplus keuntungan produksi
pertanian ke desa. Sementara itu, rumah tangga bawah yang tidak memiliki lahan melakukan migrasi karena didorong ke luar pushed-out dalam rangka membantu
ekonomi rumah tangga.
Berdasarkan lokasi
aktivitas penghidupannya,
strategi migrasi
dikelompokkan menjadi dua, yaitu migrasi internasional luar negeri dan migrasi domestik dalam negeri. Migrasi internasional lebih banyak dipilih dibandingkan
migrasi domestik. Korea, Taiwan, Hongkong, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Oman merupakan negara-negara yang menjadi tujuan migrasi. Sepuluh tahun
terakhir ini Korea menjadi negara tujuan utama aktivitas migrasi internasional yang dilakukan anggota rumah tangga.
Ketimpangan pendapatan dan berbagi kesempatan
Strategi penghidupan yang dilakukan melalui berbagai aktivitas nafkah, secara umum, menghasilkan outcome penghidupan berkelanjutan bagi rumah
tangga di Desa Karangmulya. Pendapatan, well-being kesejahteraan, adaptasi penghidupan, ketahanan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam dihasilkan
secara komprehensif dan saling melengkapi oleh setiap rumah tangga untuk menghadirkan penghidupan berkelanjutan.
Pendapatan dalam bentuk uang dan juga hasil panen, misalnya padi, diterima oleh rumah tangga dari berbagai aktivitas yang dilakukannya. Secara
umum, pendapatan dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi pendapatan bagi setiap rumah tangga meskipun bagi rumah tangga atas dan bawah
pemilik kontribusinya lebih kecil dari pendapatan lain. Rumah tangga atas dengan aset penghidupan yang lebih lengkap dan kemampuan memanfaatkan modal
sosial dengan baik menjadi rumah tangga yang menghasilkan pendapatan terbesar di desa. Surpluskeuntungan dari aktivitas usaha tani diakumulasikan menjadi
modal bagi aktivitas penghidupan non-pertanian bermodal besar dan menghasilkan untung yang besar. Surpluskeuntungan dari aktivitas penghidupan
pertanian kemudian digunakan kembali untuk modal usaha tani, baik dengan cara
126 intensifikasi pada lahan yang sudah ada maupun ekstensfikasi dengan membeli
lahan sawah milik orang lain. Meskipun pendapatan rumah tangga pemilik lahan jauh lebih tinggi, hal
ini tidak membuat rumah tangga lain merasa dirugikan. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan rumah tangga atas menjalankan usaha tani dan juga
usaha non-pertanian mempunyai risiko yang jauh lebih besar daripada hanya menjadi buruh. Risiko kegagalan panen dan kerugaian selalu mengintai setiap
saat. Selain itu, adanya institusi sosial, seperti bawon dan juga yang lainnya menjadi media saling berbagi pendapatan dan menjadi perekat keharmonisan
semua rumah tangga di desa.
Begitu juga dengan aktivitas lain. Pendapatan yang tertinggi diperoleh oleh rumah tangga yang lebih berani mengambil risiko dan mengeluarkan aset
penghidupannya sebagai input produksi dalam bekerja dan berusaha. Rumah tangga yang melakukan aktivitas migrasi internasional di Korea, misalnya,
mendapatkan pendapatan lebih tinggi dibanding rumah tangga lain yang hanya malas berdiam diri di rumah. Untuk pergi ke Korea, anggota rumah tangga
tersebut harus melakukan persiapan dan memenuhi persyaratan yang tidak mudah. Anggota rumah tangga tersebut harus mampu menyelesaikan pendidikan SMA,
mengikuti pelatihan bahasa Korea sedikitnya selama enam bulan, dan lulus tes bahasa Korea. Banyak waktu dan peluang yang dikorbankan untuk
mempersiapkan hal-hal tersebut. Belum lagi, biaya yang harus dikeluarkan.
Untunglah, beberapa tahun terakhir ini fasilitas dan akses pendidikan gratis sampai SLTA diterapkan di Kabupaten Indramayu. Sekolah-sekolah dari
mulai tingkat SD, SLTP, SLTA, dan juga perguruan tinggi dibangun di sekitar desa mereka. Setidaknya dengan fasilitas pendidikan yang dekat dan biaya gratis
sampai SLTA, semua anggota rumah tangga usia sekolah dari semua lapisan sosial bisa bersekolah sampai tingkat SLTA. Kemudian, untuk biaya persiapan,
mulai dari pelatihan bahasa sampai tingat keberangkatan, sudah terbangun institusi sosial yang mengatur pinjaman khusus untuk membiayai persiapan
keberangkatan anggota rumah tangga yang ingin berangkat ke Korea. Institusi tersebut terbukti berhasil memberikan keuntungan pendapatan, baik untuk
anggota rumah tangga yang berangkat bekerja ke Korea maupun rumah tangga atas yang membantu memberikan pinjaman. Sebagian pendapatan yang diperoleh
rumah tangga atas pun sebagian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui bantuan-bantuan, seperti penyediaan mobil gratis untuk kepentingan sosial
masyarakat dan bantuan dana untuk fasilitas umum.
Institusi ini dilahirkan dan disepakati untuk menjembatani keterbatasan aset finansial yang dimiliki oleh rumah tangga yang ingin anggotanya melakukan
aktivitas migrasi ke Korea. Bila dibandingkan dengan aturan yang diterapkan PJTKI dalam membantu anggota masyarakat melakukan aktivitas migrasi
internasional, institusi ini jauh lebih menguntungkan bagi pelaku aktivitas migrasi. Hal ini bisa terlihat dari remitans yang dikirimkan mereka ke rumah
127 tangga di desa. Dalam setahun, anggota rumah tangga yang bekerja di pabrik di
Korea mengirimkan setidaknya Rp 120 juta, sedangkan yang bekerja di pabrik di Taiwan hanya mengirimkan Rp 12 juta. Banyaknya potongan yang tidak
transparan oleh PJTKI menyebabkan gaji bersih yang diterima menjadi sangat kecil. Bahkan, sebagian dari mereka tidak mengetahui gaji yang sebenarnya.
Well-being kesejahteraan berhasil diwujudkan dari strategi penghidupan
yang dilakukan dan institusi sosial yang berlaku di masyarakat. Keduanya telah terbukti menghadirkan 1 penghargaan diri bagi setiap rumah tangga dan
anggotanya, 2 kesadaran sosial yang menjadikan setiap rumah tangga sebagai bagian dari masyarakat dapat ikut serta dalam kegiatan masyarakat, 3 keamanan
setiap anggota rumah tangga, keamanan fisik rumah tinggal dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, 4 status kesehatan dan pendidikan, 5 akses
terhadap berbagai pelayanan publik, 6 hak untuk berpolitik, serta 6 hak untuk memelihara tradisi budaya.
Untuk adaptasi penghidupan, uraian pada Bab VI dan VII sudah cukup jelas memaparkan bagaimana setiap rumah tangga melakukan adaptasi
penyesuaian pada aktivitas penghidupan yang dilakukannya. Setiap rumah tangga di Desa Karangmulya sudah cukup pandai memilih aktivitas penghidupan
sesuai dengan musim cuacaiklim. Aktivitas penghidupan juga disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan kebijakan pemerintah. Aktivitas penghidupan
yang mampu dikerjakan serta menghasilkan pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi akan terus dijalankan, namun yang tidak akan disesuaikan atau diganti
dengan aktivitas penghidupan yang baru.
Ketahanan pangan pun selalu diwujudkan oleh setiap rumah tangga di Desa Karangmulya. Setiap musim hujan tiba, seluruh rumah tangga yang
memiliki atau menyewa lahan sawah menanami lahan sawahnya dengan tanaman padi. Berbagai institusi sosial dalam bentuk ritual tradisi budaya pun dilakukan
berkali-kali dari sebelum menggarap sampai setelah panen sebagai wujud doa dan syukur kepada Sang Pencipta agar padi yang ditanamnya bisa tumbuh subur dan
dapat dipanen. Ketika waktunya panen tiba, seluruh rumah tangga turun ke sawah dan ikut memanen untuk mendapatkan padi bawon sesuai dengan bagiannya.
Selain itu, ada institusi remi yang memberi kesempatan kepada perempuan tua dan janda yang tidak bisa ikut bawon untuk tetap mendapatkan padi. Institusi
senggang pun sengaja diciptakan dan tetap dipelihara untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan padi. Padi yang diperoleh
tersebut sebagian besar disimpan di rumah sebagai stok pangan rumah tangga. Begitu pun dengan bagian panen yang diperoleh rumah tangga pemilik. Mereka
akan mengutamakan stok pangan yang cukup bagi rumah tangganya terlebih dahulu sebelum dijual. Bahkan, semua rumah tangga lapisan atas menyiapkan
stok pangan yang bisa dipinjam oleh tetangga, kerabat, dan kliennya yang dibutuhkan di saat paceklik. Selain institusi asli, program beras miskin raskin
dari pemerintah yang dengan prinsip resiprositas dimodifikasi menjadi program
128 beras rata rasta sehingga memberi kesempatan kepada rumah tangga lain yang
sebetulnya membutuhkan beras, namun tidak terdata, untuk bisa mendapatkan beras.
Karena sejak kelahirannya, masyarakat desa persawahan ini sangat tergantung dengan sumber daya alam lahan sawah, air, cuaca sosial, maka sudah
dipastikan seluruh rumah tangga akan mengelola sumber daya alam tersebut secara berkelanjutan. Suprastruktur sosial mengenai padi dan lahan sawah;
struktur sosial yang ditentukan oleh kepemilikan lahan sawah; dan berbagai institusi sosial infrastruktur sosial yang bertujuan mengelola sumber daya alam
secara berkelanjutan turut memastikan bahwa strategi penghidupan yang dilakukan rumah tangga di Desa Karangmulya mewujudkan pengelolaan sumber
daya alam berkelanjutan. Benang merah
Temuan penelitian yang telah disampaikan di atas membuktikan teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh Chambers dan Conway 1991,
Scoones 1998, Carney 1998, DFID 1999, dan Ellis 2000, dan juga Dharmawan 2007:184-185, sebagai berikut:
1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga
selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui
berbagai cara strategi bertahan hidup melalui manipulasi sumber- sumber penghidupan yang tersedia di hadapannya.
2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme
survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosio- budaya-eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga]
tersebut berada.
3. Ada kekuatan infrastruktur kelembagaaninstitusi sosial dan kekuatan
suprastruktur tata nilai serta struktur sosial pola hubungan sosial yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu
maupun kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap lokalitas.
4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan
rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat.
Sebaliknya dinamika
kehidupan masyarakat
akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga.
129
BAB IX PENUTUP