Kerentanan Ekologi Dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani Di Pantai Utara Indramayu

(1)

i

KERENTANAN EKOLOGI

DAN STRATEGI PENGHIDUPAN RUMAH TANGGA PETANI

DI PANTAI UTARA INDRAMAYU

ALI YANSYAH ABDURRAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS

DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Ali Yansyah Abdurrahim


(3)

iii

RINGKASAN

ALI YANSYAH ABDURRAHIM. Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, dan I MADE SUDIANA.

Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian padi sawah yang subur dan lumbung padi nasional. Iklim yang sesuai, topografinya yang landai, dan pasokan air irigasi yang mengalir sepanjang tahun dikenal menjadi faktor yang mendukung lahan-lahan sawah di Pantura Indramayu dapat ditanam tiga kali dalam setahun. Namun, Desa Karangmulya yang juga berada di Pantura Indramayu justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Desa yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur ini mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Lahan-lahan sawah di desa ini hanya mampu ditanami padi dengan optimal sekali dalam setahun. Meskipun perubahan iklim terbukti meningkatkan kerentanan ekologi, penelitian ini menemukan bahwa ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor utama tingginya kerentanan ekologi di desa.

Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya, yaitu modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Dengan kombinasi kelima aset penghidupan tersebut, rumah tangga di desa menjalankan berbagai aktivitas penghidupan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian, non-pertanian, dan migrasi, untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Strategi ini menjadi yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Modal sosial yang kuat yang dimiliki seluruh rumah tangga menjadi faktor kunci terpeliharanya resiliensi dan keberlanjutan penghidupan setiap rumah tangga di desa.

Kata kunci: kerentanan, banjir, kekeringan, iklim, strategi penghidupan, modal sosial, penghidupan berkelanjutan


(4)

iv

SUMMARY

ALI YANSYAH ABDURRAHIM. Ecological Vulnerability and Farmer Households Livelihood Strategies in North Coast of Indramayu. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, dan I MADE SUDIANA.

Rural North Coastal Areas of Java (North Coast) specifically the regency of Indramayu has long been known as a main paddy growing area of Java and it is considered as main national grain growing region. Some supporting factors such as suitable climate, supportive topography sloping, and adequate supply of water irrigation flowing throughout the year have been known as key factors helping rice-fields keep in existence in Indramayu. However, Karangmulya Village which is also located in the northern coastal region of Indramayu actually shows the opposite. The village is located at the end of the irrigation network which face a very high susceptibility to drought and floods. Most of rice-field existing in the area can only grow rice with optimally once a year. Although climate change proven to increase ecological vulnerability, the study found that the government's inability to manage the irrigation network has been considered to be a major factor in the village high ecological vulnerability .

Ecological vulnerability as faced by the farm households are responded actively through buildingstrong social capital structure. Strong social capital gives access to every household to increase the capacity of other livelihood assets, namely natural capital, physical capital, financial capital, and human capital. With the combination of the five livelihood assets as conceptualized bt Scoones and Ellis, the households in the village run various livelihood activities. The livelihood activities can be categorized into three livelihood strategies, namely: agriculture, non-farm activities, and out-migration, in order to sustain their livelihood. Agriculture became the main economic-base of household livelihood in the Karangmulya Village. This strategy is performed mostly by the fram households. Agricultural income is also used to support the non-agricultural livelihood strategies and vice versa. In addition, the out-migration strategy to Korea or other overseas countries also became an important livelihood strategy, especially for the household having more labor force in the family. Some farm households labor, showed their capability to achieve vertical mobility using migration income for rent and pawn wetland other households.

This shows that every household of all social layers sought to cope and adapt to ecological vulnerability that usually disrupt the livelihoods while maintaining or even improving the capacity of livelihood assets. They usually combine strategies by using livelihood assets owned by and are accessible to farm household to sustain their livelihood. Finally, it is recognized that strong social capital owned by the whole farm household has become a key factor maintaining the resilience and sustainability of the livelihoods for every household in the village.

Keywords: vulnerability, flooding, drought, climate, social capital, livelihood strategies, sustainable livelihoods


(5)

v

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

vi Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

KERENTANAN EKOLOGI

DAN STRATEGI PENGHIDUPAN RUMAH TANGGA PETANI

DI PANTAI UTARA INDRAMAYU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(7)

vii Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Titik Sumarti

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Titik Sumarti Dr Ir Naresworo Nugroho, MS


(8)

viii Judul Tesis : Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga

Petani di Pantai Utara Indramayu Nama : Ali Yansyah Abdurrahim

NIM : I353120071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Arya Hadi Dharmawan Ketua

Dr Satyawan Sunito Anggota

Prof Dr I Made Sudiana Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

Dr Arya Hadi Dharmawan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah


(9)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu berhasil diselesaikan. Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pembangunan ketahanan pangan, peningkatan resiliensi penghidupan rumah tangga petani, dan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan harapan Kementerian Riset dan Teknologi yang memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascarjana pada Program Studi Sosiologi Pedesaan-Sekolah Pascarsajana IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Arya Hadi Dharmawan, Dr Satyawan Sunito, dan Prof Dr I Made Sudiana sebagai pembimbing yang telah membimbing sepenuh hati, serta Dr Titik Sumarti sebagai penguji yang telah menyampaikan banyak saran dan masukan bagi penyempurnaan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pengelola Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beserta seluruh teman-teman staf peneliti dan staf non-peneliti di berbagai satuan kerja di LIPI yang telah memberikan dukungan penuh, serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan dan analisis data, di antaranya teman-teman dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Pemerintah Kabupaten Indramayu, serta seluruh pengurus kelompok tani, perangkat desa, dan seluruh petani di Desa Karangmulya yang telah menjadi responden dan narasumber. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Siti Maryam—perempuan yang tak kenal lelah menyemangati suaminya untuk menyelesaikan karya ilmiah ini, dan Azzura Syah Alfarisy—anak semata wayang yang tulus memanjatkan do'a dan kecupan sayang untuk ayahnya untuk bisa segera lulus, serta seluruh keluarga atas semua dukungan yang diberikan.

Bogor, Januari 2015


(10)

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1! PENDAHULUAN 1!

1.1 Latar Belakang 1!

1.2 Perumusan Masalah 9!

2! TINJAUAN PUSTAKA 10

2.1 Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan 10

2.2 Perkembangan Kerangka Penghidupan 11

2.3 Perkembangan Penelitian Terkini dengan PendekatanPenghidupan 15

2.4 Kerangka Penelitian 21

2.5 Definisi Operasional 25

3! METODE 28!

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 28!

3.2 Pendekatan dan Paradigma Penelitian 29!

3.3 Pengumpulan dan Prosedur Analisis Data 34!

4! ANALISIS KERENTANAN EKOLOGI LOKASI PENELITIAN 37!

4.1 Potret Desa Persawahan di Kecamatan Pantai 37!

4.2 Perkembangan Sejarah Desa: Menelusuri Jejak Kerentanan 44

5! ANALISIS ASET PENGHIDUPAN DAN AKSESNYA 52

5.1 Modal Sosial 53

5.2 Modal Alam 59

5.3 Modal Fisik 61

5.4 Modal Finansial 64

5.5 Modal Insani (Sumber Daya Manusia) 67

6 ANALISIS STRATEGI PENGHIDUPAN DAN PENDAPATAN 73

6.1 Strategi Penghidupan Rumah Tangga 73

6.2 Analisis Pendapatan Rumah Tangga 94

7! ANALISIS OUTCOME PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN 104 8 KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI

DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN PEDESAAN 114

9! SIMPULAN DAN SARAN 129!

9.1 Simpulan 129!

9.2 Saran 130!

DAFTAR PUSTAKA 134!

LAMPIRAN 142


(11)

xi

DAFTAR TABEL

1 Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kuantitatif dan kualitatif 30! 2 Tabel 3.2 Keterangan responden survei rumah tangga 35!

3 Tabel 3.3 Tahapan proses penelitian 36!

4 Tabel 4.1 Jumlah hari dan curah hujan di Kec. Kandanghaur 2012 41 5 Tabel 4.2 Shocks dan dampaknya terhadap produksi padi

6 di salah satu blok sawah di Desa Karangmulya 42

7 Tabel 4.3 Kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Desa

Karangmulya 45

8 Tabel 5.1 Institusi dan organisasi sosial dalam sistem penghidupan

masyarakat 56

9 Tabel 5.2 Keanggotaan dan manfaat kelompok tani yang diperoleh

rumah tangga 58

10 Tabel 5.3 Aset lahan sawah yang dimiliki dan diakses rumah tangga 59 11 Tabel 5.4 Keterangan asal lahan sawah yang dimiliki 60 12 Tabel 5.5 Keterangan akses yang dimiliki rumah tangga terhadap

lahan sawah milik orang lain 61

13 Tabel 5.6 Modal fisik yang dimiliki rumah tangga 64 14 Tabel 5.7 Modal finansial yang dimiliki dan dapat diakses rumah

tangga 66

15 Tabel 5.8 Karakteristik sumber daya manusia rumah tangga 69 16 Tabel 6.1 Strategi pertanian yang dijalankan rumah tangga 75 17 Tabel 6.2 Aksi adaptasi yang dilakukan dalam strategi pertanian 77 18 Tabel 6.3Strategi diversifikasi penghidupan non-pertanian yang

dijalankan rumah tangga 84

19 Tabel 6.4 Strategi migrasi yang dilakukan rumah tangga 87 20 Tabel 6.5 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan

yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi internasional 88 21 Tabel 6.6 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan

yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi dalam negeri 91 22 Tabel 6.7 Pendapatan yang dihasilkan rumah tangga dari berbagai

aktivitas penghidupan 95

23 Tabel 7.1 Tindakan yang dilakukan rumah tangga untuk memenuhi

kebutuhan pangan apabila kekurangan stok pangan 111 24 Tabel 8.1 Inti definisi kapital sosial menurut beberapa ahli 121


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 3.1 Triangulasi penelitian 32!

2 Gambar 4.1 Lahan sawah yang mengalami kekeringan tahun 2014 39! 3 Gambar 4.2 Banjir yang melanda Desa Karangmulya 2014 40! 4 Gambar 4.3 Zonasi tipe hujan di wilayah Kabupaten Indramayu 41 5 Gambar 4.4 Tren perubahan awal dan panjang musim kemarau di

Indramayu 1981-2009 43

6 Gambar 4.5 Tren perubahan awal dan panjang musim hujan di

Indramayu 1981-2009 44

7 Gambar 5.1 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan

sosial tanpa akses yang diberikan modal sosial 71 8 Gambar 5.2 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan

sosial dengan akses yang diberikan modal sosial 72 9 Gambar 6.1 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah

tangga lapisan atas 97

10 Gambar 6.2 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah

tangga lapisan menengah 97

11 Gambar 6.3 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah

tangga lapisan bawah pemilik 98

12 Gambar 6.4 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah

tangga lapisan bawah penggarap 99

13 Gambar 6.5 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah

tangga lapisan bawah buruh 100

14 Gambar 6.6 Persentase strategi (aktivitas) penghidupan rumah tangga

setiap lapisan sosial 101

15 Gambar 6.7 Perbandingan pendapatan rumah tangga setiap lapisan

sosial 102

16 Gambar 8.1 Skema sosiologi kerentanan ekologi dan penghidupan 114 17 Gambar 8.2 Skema hubungan lahan dan mobilitas sosial 117

18 Gambar 8.3 Ilustrasi network of trust 120

19 Gambar 8.4 Pentagon aset penghidupan dan akses 122 20 Gambar 8.5 Ilustrasi peran modal sosial dalam menjaga resiliensi


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lampiran 1 Kuesioenr survei penghidupan rumah tangga 142 2 Lampiran 2 Peta bagan persil Desa Karangmulya 149 3 Lampiran 3 Skema jaringan irigasi yang menuju Desa Karangmulya 150


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Iklim, topografi, dan kondisi ekologi wilayah Pantai Utara (Pantura) Indramayu sangat sesuai untuk pertanian padi sawah (Lindbald 1998). Sabuk pantai (the coastal belt) membentuk suatu dataran rendah yang terbentang dari laut ke bukit-bukit di bawah Gunung Ciremai. Sungai Cimanuk mengalir melintasi dataran ini menyediakan air irigasi (sekaligus sarana perhubungan utama dengan daerah pedalaman). Kondisi ini menyebabkan wilayah Pantura Indramayu memiliki tanah yang subur dan sangat cocok dijadikan sawah (Padmo 1998).

Pemerintah Kabupaten Indramayu (2014) dan Puspitawati et al. (2007) dengan bersumberkan naskah Babad Dermayu menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 di wilayah Pantura Indramayu sudah ada perkampungan (pedukuhan) pertanian dengan penghidupan utamanya pertanian padi sawah. Berbagai dokumen resmi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menjelaskan bahwa di Pantura Indramayu, penanaman padi sawah telah meluas sejak awal abad ke-17. Bahkan di akhir abad ke-18, kehidupan desa yang mapan menjadi fenomena yang terdapat di wilayah yang menjadi bagian dari Karesidenan Cibinong (F de Haan 1910 dalam Padmo 1998). Padmo (1998) yang mengutip Fernando (1982) menyebutkan pada 1830, rasio sawah terhadap tanah sudah mencapai 15:1. Selama 1813–1830 terjadi peningkatan luas lahan sawah di Pantura Indramayu (dan juga Cirebon) dari 19,178.2 ha menjadi 21,559.2 ha. Selain disebabkan oleh iklim, topografi, dan kondisi ekologi, peningkatan luas lahan sawah juga disebabkan oleh perpindahan penduduk dari Jawa Tengah ke wilayah ini.

Dengan peningkatan luas lahan, sawah-sawah di wilayah ini menghasilkan produksi padi lebih dari cukup untuk penduduknya. Pada 1820-an, padi dan beras dikirim ke daerah lain di Jawa dan juga ke pulau-pulau luar Jawa. Perang Jawa yang terjadi di Jawa Tengah meningkatkan permintaan padi dari wilayah ini. Padi dan beras dikumpulkan dari desa-desa oleh para pedagang di tingkat kecamatan dan kemudian dibawa ke Pelabuhan Indramayu dan Pelabuhan Cirebon untuk dikapalkan dan dikirim oleh para pedagang dari Cina, Arab, dan Eropa ke daerah-daerah lain di Jawa dan di luar Jawa. Pada 1824, di Pelabuhan Indramayu dan Cirebon dilaporkan ada 872 kapal yang berlabuh dan 712 kapal yang bertolak (Jaarverslag Cirebon 1824 dalam Padmo 1998). Selain lewat laut, perdagangan padi juga dilakukan lewat darat sejak awal abad ke-17 ketika Indramayu dan Cirebon menjadi bagian dari Kerajaan Mataram.

Ekspor beras dari Pantura Indramayu juga tidak hanya dilakukan ke daerah lain di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi juga dilakukan ke negara lain. Prince (1998) menyebutkan pada paruh kedua tahun 1911, karena kenaikan harga beras di pasar dunia akibat panen buruk di Cina dan Jepang, Pemerintah Hindia


(15)

2

Belanda menaikkan ekspor beras. Namun, karena persediaan beras dalam negeri juga tidak mencukupi kebutuhan penduduk, Pemerintah Hindia Belanda atas saran Departemen Pertanian memutuskan untuk melarang ekspor beras untuk sementara waktu sejak 23 September 1911.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi padi Indramayu, Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1912 membangun jaringan irigasi Rentang yang diawali dengan pembangunan bendung Rentang di Sungai Cimanuk. Jaringan irigasi Rentang mulai berfungsi mengairi 91,000 hektar lahan sawah pada tahun 1916. Wilayah Pantura Indramayu pun tetap menjadi lumbung padi dan pengekspor beras terbesar di Jawa (56 persen) (Ed Frank 1979 dalam Kalo 1983 dalam Hartoyo 1986). Selain itu, sejak 1880, Pemerintah Hindia Belanda sebetulnya juga merencanakan pembangunan Bendungan Jatiluhur yang salah satu fungsinya untuk mengairi areal persawahan di Pantura Indramayu bagian barat.

Selama masa Revolusi Hijau yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan dirintis oleh IPB 1963/1964, Kabupaten Indramayu pun tetap menjadi lumbung padi dan daerah andalan produksi padi nasional (Fakultas Pertanian IPB 1992). Mulai tahun 1969, Pemerintahan Orde Baru memperbaiki dan merevitalisasi irigasi Rentang. Selain itu, Pemerintahan Orde Baru juga mulai mengaktifkan Bendungan Jatiluhur pada tahun 1967. Bendungan yang mula dibangun pada 1957 oleh Pemerintahan Orde Lama ini mengairi 240,000 Ha lahan sawah yang di antaranya adalah sawah-sawah di Pantura Indramayu bagian Barat melalui jaringan irigasi upper Jatiluhur (PJT II 2014).

Sampai saat ini, status dan peran Indramayu sebagai lumbung padi terus dipertahankan, bahkan terus ditingkatkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah (lihat Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2010; lihat juga Bappenas 2010). Setiap tahun, Indramayu dituntut untuk mempertahankan statusnya sebagai lumbung padi dan meningkatkan produksi padi. Pada tahun 2012, misalnya, Kabupaten Indramayu ditargetkan memproduksi padi 1.3 juta ton dan tahun 2013 naik 10 persen menjadi 1.43 juta ton.

Uraian di atas memaparkan dengan sangat jelas bahwa dengan kondisi iklim, topografi, dan ekologi yang cocok untuk pertanian padi sawah telah menjadikan wilayah Pantura Indramayu sejak dulu sampai sekarang menjadi lumbung padi nasional. Namun, kondisi tersebut, ibarat dua sisi mata uang, menjadikan wilayah Pantura Indramayu mempunyai kerentanan ekologi yang tinggi. Berbagai hasil penelitian dan dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan hal tersebut. Pramudia (2002), misalnya, menyampaikan bahwa wilayah Indramayu memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kekeringan dan penurunan produksi, terutama pada tahun el-nino. Utomo (2013) menyampaikan wilayah di Indramayu didominasi oleh wilayah yang memiliki potensi rawan banjir tinggi (32,7 persen) dan rawan banjir sangat tinggi (62,4


(16)

3 persen). Kalsim (2007) yang merujuk berbagai data, di antaranya data Kementerian Pertanian, menyebutkan Kabupaten Indramayu sebagai daerah yang sangat rawan kekeringan (dan juga banjir). Siregar dan Crane (2011) menyebutkan sebagian besar air tanah permukaan di wilayah Pantura Indramayu memiliki tingkat salinitas yang tinggi sehingga tidak bisa digunakan untuk mengairi sawah di musim kemarau.

Dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan BNPB (2011) menyebutkan bahwa Kabupaten Indramayu merupakan wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. BMKG melalui hasil analisis yang dilakukan Sucahyono dan Aldrian (2012) menyebutkan wilayah Pantura Indramayu (terutama wilayah pertanian di Kecamatan Kandanghaur, Juntinyuat, dan Losarang) sebagai wilayah yang sangat rentan terhadap kekeringan dan banjir. Bappenas dan Kementan (2010) melaporkan bahwa intensitas dan frekuensi kekeringan dan banjir mengalami peningkatan dan akan terus mengalami peningkatan sebagai akibat dampak perubahan iklim. Laporan ini mengkonfirmasi hasil penelitian yang disampaikan IPCC (2001, 2007), UNDP (2007), ADB (2009) yang menyebutkan Indonesia, terutama wilayah persawahan di Pantai Utara Jawa (termasuk Indramayu) menjadi daerah yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-API) yang diterbitkan Bappenas (2014), Indramayu kembali disebutkan sebagai salah satu wilayah paling rentan terkena dampak perubahan iklim, terutama kekeringan, banjir, dan penurunan produksi padi. BPS Kabupaten Indramayu (2006, 2009, 2012, 2013) menyebutkan bahwa pada tahun 2005, 2008, 2011, dan 2012 terjadi penurunan luas panen yang disertai penurunan produksi sebagai akibat banjir dan kekeringan.

Dalam kerangka penghidupan yang disampaikan Carney (1998), Chambers dan Conway (1991), DFID (1999, 2004), Ellis (2000), Scoones (1998, 2009), banjir dan kekeringan merupakan tekanan dan goncangan yang meningkatkan kerentanan ekologi suatu wilayah dan mengancam penghidupan masyarakat pedesaan, terutama rumah tangga petani padi yang sangat tergantung kepada belas kasihan alam yang banyak ulahnya (Scott 1976). Setiap rumah tangga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dituntut untuk bisa menghadapi (coping) dan menyesuaikan (adaptasi) dengan berbagai tekanan (stressors) dan goncangan (shocks) tersebut serta memelihara kapabilitas dan aset penghidupan yang dimilikinya dengan melakukan berbagai strategi penghidupan yang mampu menjamin penghidupannya dan generasi berikutnya. Kerangka ini sangat menekankan keberlanjutan penghidupan masyarakat (sistem sosial) dan keberlanjutan sumber daya alam (sistem ekologi) (lihat juga Dharmawan 2009). 1.2 Perumusan Masalah

Strategi penghidupan dilakukan dengan cara mengkombinasikan berbagai aset (sumber daya) penghidupan yang tersedia. Carney (1998), Ellis (2000), dan


(17)

4

Scoones (1998, 2009) mengelompokkan berbagai aset penghidupan ke dalam lima bentuk modal yaitu modal sosial (social capital), modal alami (natural capital), modal fisik (physical capital), dan modal insani (human capital). Karena kondisi masyarakat pedesaan sudah tidak homogen dan rumah tangga-rumah tangga (sebagai anggota masyarakat) cenderung terstratifikasi ke dalam berbagai lapisan sosial (Bernstein et al. 1992 dan Leach et al. 1997 dalam Ellis 2000), maka aset-aset penghidupan dimiliki oleh setiap rumah tangga dengan kuanitas dan kualitas yang berbeda. Rumah tangga lapisan atas (kaya) biasanya memiliki kelima aset (modal) penghidupan dengan lengkap dan sempurna. Namun sebaliknya, rumah tangga lapisan bawah (miskin) biasanya hanya bisa mengandalkan tenaga sebagai aset (modal) penghidupannya.

Scott (1976) mengemukakan bahwa di wilayah-wilayah dengan kerentanan ekologi tinggi, rumah tangga lapisan bawah seringkali hanya memiliki tenaga sebagai satu-satunya faktor produksi yang melimpah. Rumah tangga bawah akan terpaksa melakukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan banyak pekerjaan dengan hasil yang sangat kecil, sampai kebutuhan minimalnya terpenuhi. Hal tersebut bisa berupa aktivitas buruh tani, pemanfaatan waktu senggang dengan membuat kerajinan tangan, menjadi tukang (buruh bangunan), serta berjualan di pasar dan di rumahnya. Aktivitas-aktivitas inilah yang yang mereka dapat lakukan untuk memanfaatkan kelebihan tenaga kerja.

Keterbatasan aset penghidupan yang dimiliki rumah tangga lapisan bawah membatasi kemampuan dan pilihan strategi penghidupan yang bisa dilakukannya. Dalam kondisi seperti ini, meskipun sama-sama tinggal di wilayah dengan kerentanan ekologi tinggi, rumah tangga lapisan bawah mempunyai kerentanan penghidupan yang lebih tinggi dibanding rumah tangga lapisan atas dan lapisan menengah. DFID (2004) menyebutkan rendahnya kapasitas aset yang dimilikinya menyebabkan sebagian besar rumah tangga lapisan bawah tidak mampu mempersiapkan, mengatasi, dan bangkit dari permasalahan yang ditimbulkan oleh banjir dan kekeringan. Meningkatnya intensitas dan frekuensi kekeringan dan banjir menghabiskan waktu rumah tangga lapisan bawah untuk terus mengatasi dan memperbaiki dampak yang ditimbulkan dari kejadian banjir dan kekeringan yang terus berulang.

Penelitian di dua puluh empat negara menunjukkan peningkatan kerentanan ekologi yang kemudian meningkatkan kerentanan penghidupan rumah tangga bawah. Banjir 1998 di Bangladesh yang merendam dan merusak lahan-lahan pertanian, misalnya, menyebabkan sebagai rumah tangga mengalami kerawanan pangan dan beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh serabutan untuk tetap mempertahankan penghidupan. Bahkan, rumah tangga miskin mengatasinya dengan mengurangi konsumsi pangan dan menjual sebagian aset penghidupan yang dimilikinya (DFID 2004). Hal ini tentunya mengurangi resiliensi rumah tangga tersebut terhadap tekanan dan guncangan di masa yang akan datang.


(18)

5

Pavoola (2008) menemukan bahwa perubahan iklim dalam bentuk peningkatan variabilitas iklim dan juga tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi dan mengganggu kegiatan budidaya pertanian yang merupakan aktivitas penghidupan utama rumah tangga di Morogoro, Tanzania. Untuk mempertahankan penghidupannya, rumah tangga petani melakukan berbagai strategi penghidupan dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi. Namun, Pavoola (2008) menemukan fakta bahwa tidak semua dapat melakukan strategi untuk mempertahankan penghidupannya. Tidak adanya akses terhadap lahan menjadi penyebab ketidakmampuan rumah tangga bawah (miskin) melakukan strategi yang mampu mempertahankan penghidupannya. Intervensi pemerintah yang dilakukan melalui peningkatan kapasitas aset penghidupan, seperti investasi infrastruktur (modal fisik), reformasi institusi sosial (modal sosial), program kesehatan dan pendidikan (modal insani), serta pemberian akses terhadap lahan (modal alam), pasar dan finansial (modal finansial) dan pekerjaan, terbukti mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan rumah tangga bawah untuk mempertahankan penghidupannya.

Mc Dowell dan Hess (2012) menemukan bahwa perubahan iklim dan berbagai tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi yang berdampak pada penurunan ketahanan pangan dan kualitas penghidupan rumah tangga di Bolivia. Semua rumah tangga petani dituntut untuk melakukan strategi mempertahankan penghidupannya. Namun, hanya rumah tangga petani yang beraset dan berakses luas yang mampu mempertahankan penghidupannya, bahkan beberapa rumah tangga atas (kaya) berhasil melakukan akumulasi kekayaannya. Sementara itu, rumah tangga petani bawah (miskin) yang beraset dan berakses sangat terbatas tidak mampu mempertahankan penghidupannya. Aset penghidupan yang menjadi kunci keberhasilan adalah lahan dan air (modal alam); tenaga kerja, pendidikan, dan kesehatan (modal insani), institusi sosial (modal sosial), dan modal finansial. Oleh karena itu, menurut Mc Dowell dan Hess (2012), intervensi terpenting yang harus dilakukan adalah pembentukan institusi sosial (modal sosial) yang dapat memberikan akses rumah tangga petani bawah terhadap berbagai aset penghidupan kunci.

Uraian di atas memaparkan bahwa pentingnya aset dan akses terhadap aset tersebut. Dengan aset dan akses yang dimilikinya, rumah tangga lapisan atas dapat melakukan berbagai aktivitas untuk mempertahankan penghidupannya, bahkan mengakumulasi kekayaan (aset penghidupannya). Sementara itu, pemberian akses kepada rumah tangga lapisan bawah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset penghidupan yang dibutuhkannya terbukti mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuannya untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat mempertahankan penghidupannya. Selain akses terhadap berbagai aset penghidupan, akses yang


(19)

6

diberikan untuk mendapatkan pekerjaan (aktivitas penghidupan) membantu rumah tangga lapisan bawah mempertahankan penghidupannya.

Akses diberikan melalui institusi sosial produksi yang menjadi bagian dari modal sosial. Agrawal (2008) menemukan besarnya peran institusi sosial (modal sosial) dalam berbagai aktivitas yang dilakukan rumah tangga di lima belas negara, termasuk Indonesia, untuk mempertahankan penghidupannya dari kerentanan yang disebabkan dampak perubahan iklim. Osbahr et al. (2008) juga menemukan peran penting institusi sosial indigenous berupa resiprositas (modal sosial) dalam mewujudkan penghidupan berkelanjutan di Mongolia. Dengan modal sosial yang kuat, rumah tangga dan komunitas di Mongolia dapat menghadapi peningkatan kerentanan ekologi berupa banjiir dan kekeringan serta mempertahankan penghidupannya. Di Indonesia, berbagai penelitian tentang sosiologi penghidupan yang dilakukan oleh Sajogyo sejak tahun 1970-2006 (Sajogyo 2006), Geertz (1963), Collier et al. (1974, 1996); Hayami dan Kikuchi (1987); Pincus (1996); Breman dan Wiradi (2004); Dharmawan (2007) menunjukkan peran penting institusi sosial produksi, seperti bawon dan patron-klien, sebagai modal sosial yang dapat memberikan akses terhadap rumah tangga lapisan bawah untuk mendapatkan manfaat dari aset penghidupan yang dimiliki rumah tangga lapisan atas dan mempertahankan penghidupannya.

Scott (1976) mengemukakan bahwa pola-pola resiprositas, kedermawanan sosial, ikatan patron-klien, dan berbagai institusi sosial produksi, seperti institusi sewa lahan, institusi bawon, dan lain-lain tumbuh dan berkembang dengan kuat sebagai modal sosial di wilayah-wilayah yang kerentanan ekologinya tinggi. Modal sosial tersebut menjadi pengaturan-pengaturan sosial yang memberikan akses terhadap semua rumah tangga di desa atas penghidupan yang diperoleh dari kekayaan (aset-aset penghidupan) yang terdapat di desa. Keterbatasan sumber daya dan ancaman kekurangan pangan yang disebabkan kegagalan panen akibat banjir dan kekeringan yang datang hampir setiap tahun menjadi pemicu kuatnya modal sosial di wilayah-wilayah pedesaan dengan kerentanan ekologi tinggi. Berbagai tekanan dan goncangan mempunyai efek redistributif tertentu. Rumah tangga petani atas (kaya) diharapkan menjadi dermawan, mensponsori perayaan-perayaan desa, melakukan selametan sesering mungkin, menolong kerabat dan tetangga yang sedang dalam kesulitan, banyak bersedekah kepada tempat-tempat suci dan tempat-tempat ibadah. Berbagai kegiatan tersebut mengandung makna sebagai bentuk asuransi-asuransi sosial yang terselubung.

Modal sosial dalam berbagai bentuk jaringan dan institusi sosial produksi seringkali menjadi peredam-kejutan selama masa-masa sulit dalam kehidupan petani. Seorang petani akan akan dibantu oleh sanak-saudaranya, kawan-kawannya, pelindung (patron) yang berpengaruh untuk mengatasi masa-masa sulit akibat jatuh sakit atau panen yang gagal. Ikatan patron-klien merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat di kalangan petani Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara.


(20)

7 Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa di kebanyakan desa di Asia, termasuk Indonesia, ikatan sosial (modal sosial) yang tumbuh dari kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja sama dengan berbagai cara demi keamanan dan kelangsungan hidup mereka. Modal sosial di pedesaan pertanian tumbuh secara alamiah karena saling ketergantungan secara ekologis dalam proses-proses pertanian. Kebutuhan akan air irigasi bagi sawahnya akan menyebabkan setiap rumah tangga petani menjalani interaksi sosial dengan rumah tangga petani lainnya. Seorang petani atau satu rumah tangga petani merupakan unit sosial produksi yang terlalu kecil untuk mendatangkan dan mengatur air irigasi. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antar rumah tangga petani adalah permintaan tenaga kerja yang sangat tergantung pada musim dalam produksi pertanian. Peningkatan permintaan tenaga kerja dapat muncul tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi yang disebabkan oleh ketidakpastian cuaca yang berubah-berubah dan kondisi ekologis lainnya, bahkan dalam masa-masa puncak rumah tangga petani pemilik lahan sawah seringkali kekurangan tenaga kerja. Tindakan secara kolektif diperlukan untuk mengatasi ketidakpastian dalam produksi. Hubungan saling tolong-menolong, seperti pertukaran tenaga dan pertukaran faktor-faktor lainnya menjadi berkembang. Menyewa atau mempekerjakan seorang buruh tani di desa, meskipun bersifat tidak tetap, cenderung menjadi bagian yang rumit, yang menyangkut berbagai hubungan tukar-menukar. Hubungan seperti itu memungkinkan para rumah tangga lapisan atas pemilik lahan sawah (majikan) menggantungkan diri pada persediaan buruh tani yang berasal dari rumah tangga lapisan bawah yang ada di desa untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja pada masa-masa puncak permintaan.

Hayami dan Kikuchi (1987) menambahkan bahwa di dalam masyarakat petani, mereka yang tidak punya lahan (modal alam) pun merasa berhak menggarap lahan, seperti melalui institusi sewa dan mendapatkan bagian dari hasil panennya, seperti melalui institusi bawon. Rumah tangga lapisan atas yang menyewakan lahan sawahnya atau mempekerjakan anggota rumah tangga lapisan bawah seringpula menjadi pelindung (patron) terhadap penyewa dan buruh tani (klien), seperti memberikan pinjaman untuk keperluan produksi maupun konsumsi, memberikan hadiah-hadiah pada waktu melahirkan atau ketika anggota rumah tangga meninggal dunia, membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan penyewa dan buruh tani yang berhubungan dengan orang-orang di luar desa. Si penyewa dan buruh tani membalasnya dengan kesetiaan dari dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk membantu di rumah majikan ketika ada pesta. Pertukaran dalam ikatan patron-klien merupakan jalinan rumit, saling menguntungkan, berkelanjutan, dan baru bisa terhapus dalam jangka panjang.

Bentuk hubungan patron-klien, misalnya dalam instiusi bawon, yang banyak seginya dan bertahan lama ini memberikan keuntungan dalam proses pemantauan rangkaian produksi pertanian. Semua pihak akan berusaha untuk


(21)

8

berlaku jujur dan tidak saling menipu karena apabila satu pihak berlaku tidak jujur akan membahayakan seluruh perangkat hubungan yang sudah terjalin Institusi bawon akan meningkatkan moral para buruh panen dan mengurangi biaya pemantauan karena kegiatan kerja mereka (memanen) akan dibayar dengan bagian dari hasil.

Kembali pada kerangka penghidupan yang disusun Carney (1998), Chambers dan Conway (1991), Scoones (1998, 2009), DFID (1999, 2004), dan Ellis (2000), kerangka tersebut sejak awal sudah menekankan pentingnya akses setiap rumah tangga terhadap aset dan aktivitas (strategi) penghidupan. Ellis (2000) mendefinisikan penghidupan sebagai sekumpulan aset, aktivitas, dan akses yang mempengaruhi suatu rumah tangga mendapatkan dan mempertahankan penghidupannya. Akses diberikan melalui institusi sosial produksi yang dilahirkan, disepakati, dan dijalankan untuk mengatur interaksi sosial antar rumah tangga dalam mengelola dan memanfaatkan berbagai aset penghidupan. Institusi sosial produksi merupakan bagian dari modal sosial yang dimiliki oleh setiap rumah tangga (Coleman 1988, Putnam 1993, Fukuyama 1999, DFID 1999, Ellis 2000).

Berbagai aset penghidupan yang dimiliki dan dapat diakses dikombinasikan ke dalam berbagai strategi penghidupan. Scoones (1998, 2009) mengelompokkan strategi penghidupan yang dijalankan rumah tangga pedesan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) pertanian, (2) diversifikasi penghidupan non-pertanian, dan (3) migrasi. Masing-masing strategi penghidupan dijalankan melalui berbagai aktivitas penghidupan oleh setiap anggota rumah tangga yang sudah mampu bekerja. Oleh karena itu, sebagian besar rumah tangga menjalankan lebih dari satu strategi penghidupan.

Chambers dan Conway (1991) mengemukakan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial harus berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi dengan tetap memelihara/meningkatkan kapasitas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Carney (1996), Scoones (1998, 2009), DFID (1999), Ellis (2000) terwujudnya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan masyarakat dapat dilihat dari (1) adanya kesempatan bekerja dan berusaha, (2) pencapaian well-being [kesejahteraan], (3) adaptasi dan resiliensi penghidupan, (4) pemenuhan pangan, dan (4) keberlanjutan sumber daya alam. Sementara itu, Dharmawan (2007:184-185) mengemukakan bahwa (1) dalam kondisi dan situasi apapun, setiap rumah tangga akan mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya penghidupannya; (2) setiap rumah tangga membangun mekanisme survival melalui kelompok/komunitas sesuai konteks sosio-budaya-eko-geografi dan lokalitas; (3) ada kekuatan infrastruktur (institusi sosial) dan kekuatan suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) dalam


(22)

9 membentuk bentuk strategi nafkah; dan (4) hingga batas tertentu, strategi penghidupan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial masyarakat; begitu pun sebaliknya.

Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai pertanyaan utama sebagai berikut: “Di tengah-tengah kerentanan ekologi, bagaimana setiap rumah tangga dari berbagai lapisan sosial di Pantura Indramayu menjalankan strategi penghidupannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitan ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis kerentanan ekologi desa di Pantura Indramayu

2. Menganalisis aset penghidupan yang bisa dimiliki dan diakses rumah tangga melalui institusi sosial yang dijalankan organisasi sosial tradisional-informal dan modern-formal

3. Menganalisis strategi penghidupan rumah tangga dari semua lapisan sosial yang ada di desa

4. Menganalisis outcome penghidupan yang dihasilkan dari strategi penghidupan rumah tangga.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Daerah Perubahan Iklim (RAD-PI) Kabupaten Indramayu dan program pemerintah lainnya. Dengan analisis kerentanan tingkat desa dan strategi penghidupan yang dilakukan setiap rumah tangga di tingkat desa akan membantu pemerintah menentukan bentuk kegiatan aksi adaptasi prioritas dan program pendukung lainnya yang dianggap paling penting (KLH, 2013).


(23)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Konsep penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihoods) menjadi perdebatan penting dalam pembangunan dan menjadi isu yang terus dibicarakan dalam berbagai literatur dan forum ilmiah sejak dua dasawarsa akhir abad 20 sampai memasuki dasawarsa kedua abad 21 ini (lihat Scoones 1998, 2009; Solesbury 2003). Konsep penghidupan berkelanjutan secara resmi mulai dibicarakan pada tahun 1987 dalam The World Commision on Environment and Development Report (atau sering juga disebut the  ‘Bruntdland  Commisions’  report) yang berjudul Our Common Future. Pendekatan penghidupan berkelanjutan lahir mengikuti perkembangan penggunaan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam kebijakan dan agenda politik pembangunan dunia. Dalam laporan tersebut, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai:

Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within it two key

concepts: the concept of ‘needs’, in particular the essential needs of the world’s 

poor, to which overriding priority should be given; and the idea of limitations

imposed by the state of technology and social organisation on the environment’s 

ability to meet present and future needs (World Commission on Environment and Development 1987a:43 dalam Solesbury 2003).

Dalam laporan tersebut disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sebagai berikut:

1. Sistem politik yang menjamin penduduk mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan

2. Sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus dan pengetahuan teknis secara mandiri dan berkelanjutan

3. Sistem sosial yang menyediakan solusi untuk ketegangan yang timbul dari pembangunan yang harmonis

4. Sistem produksi yang respek terhadap kewajiban melestarikan dasar ekologi untuk pembangunan

5. Sistem teknologi yang dapat mencari solusi baru secara terus menerus.

6. Sistem internasional yang menumbuhkan pola perdagangan dan keuangan yang berkelanjutan

7. Sistem administrasi yang fleksibel yang memiliki kapasitas untuk koreksi diri. Pendekatan pembangunan berkelanjutan kemudian diadopsi oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam Human Development Report pertamanya pada tahun 1990. Dalam dua laporan tersebut disebutkan bahwa hal penting dari pendekatan sustainable livelihoods adalah (1) fokus pada orang-orang miskin dan kebutuhan mereka, (2) pentingnya partisipasi masyarakat, (3)


(24)

11

penekanan pada kemandirian dan keberlanjutan, dan (3) permasalahan ekologi. Konsep ini kemudian menjadi tema yang sangat kuat dalam kebijakan dan politik pembangunan internasional, seperti yang dilihat pada Konferensi Lingkungan PBB 1992 di Rio, Brazil; World Summit for Social Development 1995, dan World Food Summit 1996 (Solesbury 2003).

Selanjutnya, Chambers dan Conway (1992), dua orang scholars dari Institute of Development Studies (IDS), membangun definisi penghidupan berkelanjutan yang kemudian dikenal secara luas, dirujuk, dan diadopsi oleh scholars lain dan juga lembaga donor pembangunan, seperti DFID. Definisi penghidupan berkelanjutan yang dimaksud adalah

A livelihoods comprises the capabilities, assets (stores, resources, claims and access) and activities required for a means of living; a livelihoods is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, and provide sustainable livelihoods opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoodss at the local and global levels and in the short and long-term (Chambers dan Conway, 1992: 7).

Inti dari definisi tersebut adalah penghidupan berkelanjutan berarti harus mampu (1) melakukan coping dan beradaptasi dengan goncangan (shock) dan tekanan (stress); (2) memelihara kapasitas dan aset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Konsep ini menghubungkan dari tiga konsep, yaitu kemampuan, keadilan (equity), dan keberlanjutan (sustainability). Lewat konsep penghidupan berkelanjutan, Chambers dan Conway (1992) menawarkan kerangka untuk kebijakan pembangunan, yaitu: 1. Meningkatkan kemampuan adaptasi dan pemanfaatan sumberdaya dan

kesempatan yang beragam dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian. 2. Meningkatkan keadilan dengan prioritas diberikan pada peningkatan

kemampuan, aset, dan akses komunitas dan rumah tangga yang lebih miskin, termasuk kaum minoritas dan perempuan.

3. Meningkatkan keberlanjutan sosial dengan meminimalisasi kerentanan komunitas dan rumah tangga miskin dengan mengurangi tekanan dan guncangan dari luar serta melalui penyediaan program jaring pengaman sosial.

2.2 Perkembangan Kerangka Penghidupan

Setelah Chambers dan Conway (1992) membangun konsep dan penghidupan berkelanjutan, berbagai organisasi akedemik, organisasi riset, dan lembaga donor mengembangkan dan mempraktikan konsep tersebut dalam berbagai program yang dilakukannya. misalnya OXFAM dan Care International. Berbagai penelitian yang menguji pendekatan sustainable livelihoods dilakukan oleh berbagai scholars dari berbagai lembaga riset, seperti International Institut for Sustainabile Development (IISD), Society for International Development (SID), International Institute for Environment and Development (IIED), Overseas


(25)

12

Development Institute (ODI), International Development Studies (IDS)-University of Sussex, Overseas Development Administration (ODA), Overseas Development Group (ODG)-University of East Anglia, dan lain-lan. Sebagian besar penelitan dengan pendekatan sustainable livelihoods yang dilakukan IDS, ODA, dan ODG mendapat dukungan dari Departement for International Development (DFID). Sementara itu, lembaga donor yang mengaplikasikan konsep penghidupan berkelanjutan, di antaranya, adalah OXFAM dan Care International (lihat Solesbury 2003). Uraian mengenai perkembangan kerangka penghidupan disampaikan pada uraian di bawah ini.

Kerangka Penghidupan Pedesaan Berkelanjutan IDS (IDS’s Sustainable Rural Livelihoods Framework)

Gambar 2.1 Kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan IDS Sumber: Scoones (1998)

Kerangka pertama yang akan diuraikan adalah kerangka penghidupan berkelanjutan IDS (IDS’s  Sustainable rural livelihoods) yang disusun oleh Scoones (1998). Kerangka ini digunakan untuk menganalisis bagaimana penghidupan yang berkelanjutan, dalam konteks yang berbeda—diantaranya: sejarah, politik, kondisi makro-ekonomi, terms of trade, iklim, demografi, agroekologi, dan diferensiasi sosial—, dicapai melalui akses ke berbagai sumber daya kehidupan (modal alam, ekonomi, manusia, sosial, dan lainnya) yang dikombinasikan dalam berbagai aktivitas strategi penghidupan (intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi). Pusat atau inti dari kerangka ini adalah analisis berbagai faktor institusi dan organisasi, baik


(26)

13

formal dan informal yang mempengaruhi atau menjadi determinasi terwujudnya penghidupan yang berkelanjutan (Scoones 1998). Pertanyaan penting yang ingin dijawab adalah apa saja sumberdaya penghidupan, faktor institusi dan organisasi, serta strategi penghidupann yang penting dalam mendukung atau menghambat tercapainya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan komunitas yang berbeda? Kerangka ini mempunyai lima elemen dasar yang saling berinteraksi, yaitu konteks, sumberdaya, institusi, strategi, dan outcome (Gambar 2.1 & Tabel 2.1)

Tabel 2.1 Elemen, unsur, dan analisis kerangka penghidupan berkelanjutan IDS

Elemen Dasar Unsur-unsur Analisis

Situasi (contexts), kondisi (conditions), dan kecenderungan (trends)

Sejarah, politik, kondisi makro-ekonomi, pasar (terms of trade), iklim (climate), agro-ekologi (agro-ecology), demografi, diferensiasi sosial.

Situasi, kondisi, dan kecenderungan serta penilaian pengaturan kebijakan Sumberdaya penghidupan (livelihoods resources)

Modal alam, modal ekonomi/finansial, Modal sumberdaya manusia, modal sosial, dll. sumberdaya penghidupan: kompromi (trade-offs), kombinasi, rangkaian (sequences), dan kecenderungan (trends) Proses Kelembagaan (Institutional Processes) dan Struktur Organisasi (Organisational Structures)

Institusi dan organisasi Institusi dan organisasi yang mempengaruhi akses terhadap sumberdaya penghidupan dan komposisi strategi penghidupan Strategi Penghidupan (Livelihoods Strategies)

Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, migrasi Menganalisis strategi penghidupan Wujud Penghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods Outcomes)

Outcomes penghidupan yang

berkelanjutan: (1) peningkatan jumlah hari kerja, (2) pengurangan kemiskinan, (3) peningkatan kesejahteraan dan kemampuan, (4) peningkatan adaptasi penghidupan dan kelentingan

(resilience), dan (5) kepastian kelestarian/keberlanjutan sumberdaya alam

Menganalisis hasil (outcomes)


(27)

14

Kerangka Penghidupan Berkelanjutan DFID (DFID’s Sustainable Livelihoods Frameworks)

Kerangka penghidupan berkelanjutan DFID dibangun oleh para peneliti yang bekerja di lembaga tersebut, termasuk Diana Carney yang pada waktu itu (1998) menjabat sebagai sekertaris. Oleh karena itu, kerangka penghidupan berkelanjutan DFID mengadopsi kerangka penghidupan yang sebelumnya dibangun oleh Carney (1998) (lihat Gambar 2.2). Kerangka ini menyajikan faktor-faktor utama yang mempengaruhi penghidupan masyarakat dan hubungan di antara faktor-faktor tersebut. Penghidupan dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan yang berbeda dan selalu berubah, termasuk kerentanan. Kerangka ini berpusat pada orang, baik rumah tangga maupun komunitas. Analisis dilakukan dengan melakukan investigasi terhadap aset yang dimiliki rumah tangga atau komunitas, tujuan/hasil (outcome) penghidupan yang dicari, dan strategi penghidupan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Umpan balik yang penting dari kerangka ini adalah transformasi struktur dan proses; konteks kerentanan; tujuan/hasil (outcomes) penghidupan; dan aset penghidupan.

Gambar 2.2 Kerangka penghidupan perkelanjutan DFID Sumber: Carney 1998 dan DFID 1999.

Kerangka Analisis Micro-policy Penghidupan Pedesaan Frank Ellis (2000)

Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan disusun oleh Ellis (2000) dengan mengadopsi kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan yang telah disusun oleh Scoones (1998) dan Carney (1998). Kerangka ini bertujuan untuk mempermudah para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan dalam menyusun kebijakan pembangunan pedesaan. Dengan mengidentikasi komponen-komponen utama dalam penghidupan pedesaan, yaitu aset (A), proses yang mempengaruhi (B), dan aktivitas (D dan E), dalam berbagai konteks, baik tren maupun goncangan yang tiba-tiba (C), Ellis (2000) ingin membantu para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan menyusun kebijakan pembangunan


(28)

15

pedesaan yang dapat menghadirkan ketahanan penghidupan (livelihood security) dan kelestarian lingkungan (environmental sustainability) (F).

A B C D E F

Livelihood platform Access modified by In context of

Resulting in Composed of With effects on Assets Natural capital Physical capital Human capital Financial Social capital Social relations Gender Class Age Ethnicity Trends Population Migration Technological change Relative prices Macro policy Nat econ trend

World econ trends Livelihood strategies NR-based activities Collection Cultivation (food) Cultivation (non-food) Livestock Non-farm NR Livelihood security Income level Income stability Seasonality Degrees of risk

Institutions Rules and customs Land tenure Markets in practice Shocks Drought Floods Pests Diseas Civil war Non-NR-based Rural trade Other services Rural manufacture Remittances Other transfers Environment sustainability Soils and land quality Water Rangeland Forests Biodiversity Organisations Associations NGOs Local admin State agencies

Gambar 2.3 Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan Sumber: Ellis (2000)

2.3 Perkembangan Penelitian Terkini dengan Pendekatan Penghidupan

Saat ini, banyak penelitian yang menganalisis peningkatan kerentanan ekologi pedesaan yang disebabkan oleh berbagai trends, shock,dan permasalahan yang bersifat musiman dan strategi yang dilakukan masyarakat pedesaan dengan menggunakan pendekatan dan kerangka penghidupan. Beberapa sintesis hasil penelitian terdahulu yang telah disampaikan di beberapa jurnal internasional ditampilkan dalam bagian ini (lihat Tabel 2.2). Semua penelitian tersebut menyampaikan bahwa saat ini telah terjadi peningkatan kerentanan di pedesaan yang disebabkan oleh berbagai trends, shock, dan seasonality, terutama disebabkan oleh dampak perubahan iklim.


(29)

16

Tabel 2.2 Daftar penelitian terdahulu yang disintesis Nama Peneliti dan

tahun terbit

Judul Penelitian Nama Jurnal Internasional, Edisi,

dan Halaman Jouni Pavoola (2008) Livelihoods, vulnerability, and

adaptation to climate change

Envioronmental Science dan Policy: 642-654

Julia Z McDowell, Jeremy J Hess (2012)

Accessing adaptation: multiple

stressors on livelihoods in the Bolivian highlands under a changing climate.

Global

Environmental Change 22: 342-352 Jun Wang, Daniel G.

Brown, Arun Agrawal (2013)

Climate adaptation, local institutions, and rural livelihoods: A comparative study of herder communities in Mongolia and Inner Mongolia, China

Global Enviromental Change 23: 1673-1683

Henny Osbahr, Chasca Twyman, W. Neil Adger, David S.G. Thomas (2008)

Effective livelihood adaptation to climate change disturbance: scale dimensions of practice in Mozambique

Geoforum 39: 1951-1964

Stephanie Amaru, Netra B. Chhetri (2013)

Climate adaptation: institutional response to environmental constrains, and the need for increased flexibility, participation, and integration of approaches

Applied Geography 39: 128-139.

Peningkatan kerentanan tersebut mengganggu aset dan sistem penghidupan di pedesaan sehingga masyarakat pedesaan, baik di tingkat komunitas maupun rumah tangga dituntut melakukan respons penghidupan atau adaptasi untuk menghadapinya. Ada yang menyatakan bahwa respons penghidupan yang dilakukan merupakan bagian dari adaptasi; namun ada juga yang menyatakan bahwa tindakan adaptasi yang dilakukan sebagai upaya menghadapi perubahan iklim merupakan bagian dari strategi penghidupan masyarakat pedesaan. Apabila kita merujuk pada konsep penghidupan pedesaan, semuanya benar. Dalam uraian sebelumnya, Chambers dan Conway (1992) menekankan pentingnya beradaptasi terhadap perubahan dan ketidakpastian yang disebabkan oleh shock dan stress. Sementara itu, Scoones (1998) dalam kerangkanya memasukkan berbagai aktivitas adaptasi yang dilakukan dalam merespons dampak perubahan iklim ke dalam strategi penghidupan. Selain itu, Scoones juga memasukan peningkatan kapasitas adaptasi penghidupan sebagai salah satu outcome penghidupan berkelanjutan yang harus dicapai setiap rumah tangga.

Pavoola (2008) melakukan penelitian di Morogoro, Tanzania. Aspek yang dilihat dari penelitiannya adalah penghidupan, kerentanan, dan adaptasi perubahan iklim. Dalam artikel yang dipublikasikan di Jurnal Environmental Science and Policy tahun 2008, Pavoola menyebutkan bahwa perubahan iklim dalam bentuk


(30)

17

variabilitas iklim dan juga tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi dan mengganggu kegiatan budidaya pertanian yang merupakan penghidupan utama rumah tangga di Morogoro. Adaptasi perubahan iklim pun dilakukan oleh rumah tangga pertanian melalui strategi penghidupan dalam bentuk ekstensifkasi dan intensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi untuk mendapatkan akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan.

Gambar 2.4 Kerangka penelitian Pavoola (2008) Keterangan: Hasil sintesis

Di lokasi penelitiannya, Pavoola menemukan fakta bahwa tidak semua rumah tangga berhasil melakukan adaptasi. Beberapa rumah tangga yang rentan secara fisik dan sosial gagal melakukan adaptasi. Kerentanan rumah tangga disebabkan oleh akses lahan yang terbatas. Beberapa rumah tangga yang rentan juga disebabkan karena rumah tangga tersebut berkepala keluarga seorang perempuan. Kerentanan yang besar mengurangi kapasitas adaptasi rumah tangga tersebut. Intervensi pemerintah yang dilakukan melalui kebijakan investasi infrastruktur, reformasi institusi, penguatan sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan), serta pemberian akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan yang secara akumulasi dapat menghadirkan partisipasi pasar terbukti mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptasi rumah tangga petani sehingga berhasil melakukan adaptasi. Kerangka penelitian Pavoola dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Mc Dowell dan Hess (2012) melakukan penelitian adaptasi perubahan ikim dengan pendekatan penghidupan dan akses. Perubahan iklim dan tekanan-tekanan non-iklim, seperti orientasi pasar (komersialisasi) telah berdampak pada peningkatan kerentanan, berupa penurunan ketahanan pangan dan kualitas


(31)

18

penghidupan rumah tangga. Atas tekanan-tekanan tersebut, semua rumah tangga petani dituntut untuk melakukan strategi atau beradaptasi agar dapat mempertahankan penghidupannya. Namun, temuan di lapangan menemukan hanya petani kaya yang beraset dan berakses luas yang mampu beradaptasi dan mempertahankan kekayaannya, bahkan beberapa rumah tangga kaya berhasil melakukan akumulasi sehingga semakin kaya. Sementara itu, petani miskin yang beraset dan berakses sangat terbatas gagal beradaptasi dan tetap miskin, bahkan beberapa menjadi semakin miskin. Beberapa aset utama yang menjadi kunci keberhasilan strategi adaptasi adalah lahan, air, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, modal sosial, dan modal finansial. Kemampuan petani kaya dan ketidakmampuan petani miskin dalam mengakses sumber daya tersebut menjadi salah faktor determinan perbedaan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, menurut Mc Dowel dan Hess, upaya terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani miskin adalah dengan melakukan intervensi kebijakan kelembagaan yang memberikan akses petani miskin yang lebih luas terhadap berbagai aset kunci (lihat Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Kerangka peneltianMc Dowell dan Hess (2012) Keterangan: Hasil sintesis

Wang et al. (2013) melakukan penelitian dengan penekanan pada peran institusi lokal dalam mendukung praktik adaptasi yang mewujudkan livelihoods outcomes masyarakat pedesaan, baik di tingkat rumah tangga dan komunitas. Wang et al. mengadopsi kerangka Agrawal (2008) yang membagi institusi lokal ke dalam tiga tipe, yaitu public, civic, dan private. Ketiga tipe institusi tersebut memberikan intervensi eksternal, berupa informasi, teknologi, dana, dan kepemimpinan, kepada rumah tangga dan komunitas. Intervensi eksternal yang dilakukan sangat mempengaruhi berbagai aksi adaptasi yang dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu mobility, storage, diversifiaction, communal pooling,


(32)

19

dan exchange. Kerangka yang dinamakan dengan “Adaptation, Institutions, and  Livelihoods Framework” ini merupakan sintesis dari 300 kasus aksi adaptasi di 15 negara, termasuk Indonesia, yang digambarkan dalam database Strategi Coping UNFCC (lihat Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Kerangka penelitian Wang et al. (2013) —mengadopsi Agrawal and Perrin (2008)

Osbahr et al. (2008) melakukan penelitian tentang adaptasi penghidupan terhadap perubahan iklim yang efektif. Menurut Osbahr et al. (2008), perubahan iklim global telah menyebabkan peningkatan kerentanan pedesaan di Mozambique sebagai akibat peningkatan intensitas dan frekuensi variabilitas iklim, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kondisi ini berdampak pada kelembagaan dan penghidupan pedesaan. Coping dan adaptasi pun dilakukan oleh rumah tangga dan komunitas di Mozambique dengan melakukan strategi penghidupan dalam bentuk diversifikasi penghidupan dan pertanian dengan collective dual land-use systems. Institusi indegenous/non formal berupa resporisitas yang kuat di dalam komunitas sangat membantu rumah tangga dan komunitas mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien. Di sisi lain, pemerintah, LSM internasional, dan jaringan ilmuwan sosial menganggap bahwa dampak perubahan iklim telah mengancam ketahanan pangan dan agenda pembangunan berkelanjutan. Melihat kondisi ini, mereka kemudian melakukan intervensi dengan memanfaatkan institusi indigenous/non-formal resporisitas yang dimiliki komunitas. Mereka melakukan reorganisasi institusi sosial dengan melakukan formalisasi resiprositas. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kapasitas adaptasi, mereka juga memfasilitasi inovasi dan mengintervensi adaptasi penghidupan yang dilakukan rumah tangga dan komunitas. Hasilnya proses untuk


(33)

20

mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien menjadi lebih cepat (lihat Gambar 2.8).

Gambar 2.8. Kerangka penelitian Osbahr et al. (2008) Keterangan: Hasil sintesis

Amaru dan Chhetri (2013) melakukan penelitian adaptasi perubahan iklim dengan fokus terhadap respons kelembagaan dengan latar belakang terjadinya perubahan iklim yang mengganggu kegiatan pertanian sebagai aktivitas penghidupan utama di pedesaan. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan, terutama petani harus melakukan adaptasi kelembagaan untuk menghadapi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Menurutnya, Adaptasi terhadap dampak perubahan ikilm adalah proses dinamis yang dibentuk oleh kelembagaan, budaya, dan konteks sosial ekonomi. Upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim mungkin terjadi pada banyak skala dan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan dan tidak terjadi dalam ruang hampa kelembagaan. Globalisasi telah meningkatkan pertukaran pengetahuan di seluruh ruang, sejumlah besar lembaga telah terlibat dalam langkah-langkah adaptasi di berbagai skala.

Dari banyaknya kasus yang dijadikan sampel penelitian, Amaru dan Chhetri mengidentifikasi empat jenis langkah-langkah adaptasi yang berbeda dan memilih salah satu kasus yang mewakili masing-masing tipe. Dari kasus-kasus terpilih, mereka kemudian menilai berbagai peran lembaga dalam melakukan inovasi. Dari temuan-temuan yang dihasilkan, mereka meneyrankan dua hal mengenai tindakan adaptasi yang harus dilakukan agar lebih berhasill, yaitu (1) perlunya partisipasi yang luas, fleksibilitas, dan integrasi berbagai stakeholder untuk melakukan respons cepat dan efektif, dan (2) kebutuhan untuk mentransfer kepemimpinan (leadership) dan tanggung jawab (responsibility) dari langkah-langkah adaptasi kelembagaan yang terpimpin ke langkah-langkah-langkah-langkah adaptasi


(34)

21

berbais masyarakat sehingga adaptasi bisa berlanjut ke masa depan. Temuan ini menunjukkan bahwa jenis tindakan adaptasi yang dilaksanakan secara top-down kemungkinan tidak mendukung ketahanan lokal dalam jangka panjang dan tindakan adaptasi yang dilksanakan secara bottom-up memerlukan beberapa tingkat kolaborasi dari atas untuk memaksimalkan efektivitas tindakan yang dilakukan (lihat Gambar 2.13).

Amaru dan Chhetri merujuk pada Klein, Schipper, & Dessai (2005), menyebutkan adaptasi terhadap perubahan iklim terjadi pada berbagai skala, di tingkat lokal atau regional dengan tindakan yang diambil dalam upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan dan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk petani, lembaga-lembaga publik, masyarakat, masyarakat sipil (LSM), dan sektor swasta. Beberapa elemen penting dari langkah-langkah adaptasi yang sukses meliputi kepemimpinan, sumber daya, pertukaran informasi dan komunikasi antara para pemangku kepentingan, dan pandangan dan keyakinan yang kompatibel. Sebuah upaya yang berkelanjutan untuk beradaptasi menuntut keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan sehingga teknologi yang bersifat lokal-spesifik dapat digunakan sebagi inovasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.

Gambar 2.9 Kerangka penelitian Amaru & Chhetri (2013) Keterangan: Hasil sintesis

2.4 Kerangka Penelitian

Setelah memahami latar belakang penyusunan pendekatan penghidupan berkelanjutan, mempelajari perkembangan kerangka penghidupan, dan mensintesis beberapa hasil penelitian terbaru, peneliti memutuskan untuk menyusun kerangka penelitian penghidupan baru yang mengadaptasi dari


(35)

22

kerangka-kerangka penelitian penghidupan Scoones (1998), Carney (1998), dan Ellis (2000) dan memperhatikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah disintesis. Kerangka penelitian penghidupan ini menekankan pada tiga analisis utama, yaitu aset, akses, dan aktivitas. Skema kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Kerangka penelitian

Mengikuti kerangka yang telah disusun, penelitian diawali dengan analisis kerentanan ekologi di lokasi penelitian yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor iklim dan faktor non-iklim. Faktor iklim terdiri dari dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim dan variabilitas iklim. Faktor non-iklim yang disebabkan oleh kondisi ekologi lokasi penelitian yang berada di dataran rendah, hilir DAS Cimanuk, ujung saluran irigasi Rentang dan upper Jatiluhur, perubahan ekologi lokasi penelitian yang disebabkan oleh deforestasi hulu sepanjang DAS Cimanuk, degradasi lingkungan sepanjang saluran irigasi, kerusakan fisik saluran irigasi; serta perubahan kebijakan irigasi.

Kondisi kerentanan ekologi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas aset penghidupan di suatu masyarakat, terutama menyebabkan rendahnya kapasitas modal alam (lahan sawah dan air) di lokasi penelitian. Jaringan irigasi yang ada di desa tidak berfungsi dengan baik. Posisinya yang berada di akhir saluran irigasi menyebabkan lahan-lahan persawahan hanya dapat mengandalkan air hujan untuk pengairannya. Di musim hujan, saluran irigasi yang melintasi areal persawahan desa terisi air dan dapat mengairi lahan-lahan sawah, bahkan seringkali karena debit air yang masuk berlebih lahan-lahan sawah di desa terendam air dan merusak tanaman padi. Namun, apabila hujan tidak turun dalam tiga atau empat minggu saja saluran irigasi akan mengering dan seringkali


(36)

23

menyebabkan penurunan produksi secara signifikan. Tak jarang, rumah tangga pemilik lahan sawah mengalami kerugian yang besar dan rumah tangga buruh kehilangan kesempatan bekerja. Ketahanan pangan dan finansial semua rumah tangga pun mengalami tekanan dan goncangan. Di sisi lain, seperti yang telah disampaikan pada pendahuluan dan uraian tinjauan pustaka di atas, keterbatasan akan air irigasi akan mendorong lahirnya modal sosial yang kuat. Kesulitan dan perasaan saling membutuhkan yang disebabkan kerentanan ekologi ditambah dengan faktor sejarah, tradisi, dan kekerabatan melahirkan interaksi sosial, ikatan kerja sama, dan saling tolong menolong yang kuat. Berbagai institusi sosial produksi untuk mengatasi keterbatasan aset penghidupan pun bermunculan untuk mendukung kegiatan produksi pertanian di lahan sawah, mulai dari penyediaan air irgasi, persiapan tanam, pelaksanaan tanam, sampai ke pemanenan.

Institusi sosial produksi bawon yang dinaungi hubungan patron-klien antara rumah tangga petani atas pemilik lahan sebagai patron dengan rumah tangga bawah buruh sebagai klien terus dijalankan untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok penghidupan semua pihak. Rumah tangga lapisan atas membutuhkan tenaga kerja (modal insani) untuk menjamin tersedianya air untuk mengairi lahan-lahan sawah mereka dan tersedianya tenaga kerja untuk semua rangkaian produksi padi. Sementara itu, rumah tangga lapisan bawah membutuhkan kesempatan kerja untuk menjamin kepastian pendapatan, baik uang maupun hasil produksi tanaman, untuk mempertahankan penghidupannya. Institusi bawon memberikan kesempatan kepada rumah tangga bawah untuk mendapatkan manfaat dari lahan sawah (modal alam) milik rumah tangga atas. Hubungan ini kemudia menjadi hubungan rumit, detail, dan meluas ke seluruh aspek kehidupan. Patron harus menjamin kebutuhan pokok para kliennya selama terjadi masa-masa krisis ketika para klien tidak bisa mendapatkan pendapatan yang cukup, misalnya ketika terjadi banjir dan kekeringan. Para patron harus bersedia memberikan pinjaman uang (modal finansial), meminjamkan aset fisiknya (modal fisik), dan menjamin proses pendidikan sekolah (modal insani). Hubungan ini adalah salah satu bentuk modal sosial yang sangat kuat yang terjadi desa. Modal sosial ini memberikan akses bagi semua rumah tangga yang ada di desa untuk memanfaatkan aset penghidupan yang tersedia di desa. Modal sosial ini akan terus kuat dan dipertahankan selama semua pihak memerlukannya dan merasa mendapat manfaat.

Aset-aset penghidupan dalam berbagai bentuk modal yang telah dimiliki atau diakses kemudian dikombinasikan oleh setiap rumah tangga menjadi berbagai bentuk aktivitas strategi penghidupan. Mengikuti Scoones (1998, 2009), berbagai bentuk aktivitas tersebut dikelompokkan ke dalam tiga akitvitas strategi penghidupan, yaitu (1) intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi penghidupan (non-pertanian), dan (3) migrasi (dalam dan luar negeri). Analisis mengenai bentuk-bentuk aktivitas strategi penghidupan rumah tangga ini merupakan aktivitas keempat dari penelitian ini.


(37)

24

Selanjutnya, berbagai aktivitas strategi penghidupan yang dijalankan setiap rumah tangga ini harus dianalisis dengan analisis outcomes apakah mewujudkan penghidupan berkelanjutan yang mampu menjamin keberlanjutan penghidupan rumah tangganya. Aktivitas strategi penghidupan sebuah rumah tangga mampu mewujudkan penghidupan berkelanjutan apabila lima indikator berikut terpenuhi: (1) kesempatan bekerja dan berusaha, (2) pencapaian kesejahteraan, (3) peningkatan kapasitas adaptasi dan resiliensi penghidupan, (4) pemenuhan kebutuhan pangan, dan (5) terjaminnya keberlanjutan/kelestarian sumber daya alam bagi generasi berikutnya. Hasil-hasil penelitian sebelumya menunjukkan tidak semuanya dapat terwujud dengan baik, misalnya, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hanya bisa dicapai oleh rumah tangga lapisan atas melalui akumulasi pendapatan. Bagi rumah tangga menengah hanya bisa memperkuat atau melakukan konsolidasi aset-aset penghidupannya. Bagi rumah tangga bawah sebagian besar hanya bisa bertahan (survival) dan tidak jatuh ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. Namun, tidak menutup kemungkinan ada beberapa rumah tangga dari berbagai lapisan yang mengalami mobilisasi sosial vertikal, baik ke atas maupun ke bawah. Begitu pun dengan ketahanan pangan, rumah tangga kaya karena mendapatakan hasil panen yang banyak tentunya bisa menyimpan sebagian padinya di rumah sehingga tidak akan kekurangan pangan. Namun, bagi rumah tangga petani tidak berlahan biasanya tidak mempunyai stok pangan yang cukup di rumahnya. Mereka mengandalkan pembelian eceran atau pinjaman dan pemberian dari tetangganya dan patronnya yang lebih kaya. Hasil atau outcome ini kemudian dianalisis untuk dijadikan masukan bagi penentu dan pelaksana kebijakan pembangunan pedesaan.

Di akhir, peneliti melakukan analisis sosiologi untuk mengkonseptualisasi kerentanan ekologi dan dinamika penghidupan pedesaan yang terjadi di lokasi penelitian. Selain mengacu pada kerangka penghidupan yang disampaikan Chamber and Conway (1991), Scoones (1998), Carney (1998), DFID (1999), dan Ellis (2000), analisis juga dilakukan dengan mengacu kepada statement of belief mengenai kerangka teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh Dharmawan (2007:184-185), sebagai berikut:

1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara (strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumber-sumber penghidupan yang tersedia di hadapannya.

2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosio-budaya-eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga] tersebut berada.

3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan/institusi sosial) dan kekuatan suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial)


(38)

25

yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu maupun kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap lokalitas.

4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga. Statement of belief tersebut disusun berdasarkan disertasi Dharmawan (2001) yang mencerminkan hibriditas pendekatan konfliktual-Marxistik dan pendekatan eco-developmentalism-oriented serta skripsi, tesis, dan disertasi IPB yang mengkaji penghidupan pedesaan di Indonesia dengan mengakomodasi ide-ide ekologi dan konteks budaya-lokalitas yang kental.

2.5 Definisi Operasional

 Aktivitas strategi penghidupan rumah tangga = kegiatan rumah tangga yang dilakukan dengan mengkombinasikan aset-aset penghidupan yang dimiliki atau dapat diakses dalam rangka meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, resiliensi penghidupan, ketahanan pangan, dan menjamin keberlangsungan sumber daya alam untuk generasi selanjutnya.

 Aset penghidupan = (1) modal alam (lahan dan air); (2) modal fisik (bangunan, jaringan irigasi, jalan, mesin dan alat pertanian, alat transportasi, alat komunikasi, dll); (3) modal manusia (anggota rumah tangga yang bisa bekerja, kemampuan bekerja, pendidikan, dan kesehatan); (4) modal finansial (tabungan, aliran uang masuk ke rumah tangga, dan pinjaman yang bisa diperoleh rumah tangga); (5) modal sosial (jaringan dan ikatan sosial, keanggotaan dalam kelompok, aturan-aturan bersama, dan relasi sosial). yang dimiliki, diakses, dan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas strategi penghidupan.

 Bawon = Sistem panen yang memberi peluang bagi semua anggota masyarakat, meskipun tidak punya sawah, tidak menggarap sawah, dan tidak bekerja di sawah, untuk ikut serta menderep (memanen) dan mendapat bagian tertentu, yaitu 1 bagian untuk penderep dan 5 bagian pemilik/penggarap lahan.

 Bikin nasi dari beras ketan dan dikasih kunyit. Di atasnya ditaburi gula merah dan parutan kelapa. Disimpen di sawah

 Ceblokan = Sistem yang memaksa untuk ikut tandur (dan mungkin kegiatan lainnya) sebagai syarat bisa ikut derep. Ini bertujuan untuk menjamin agar yang bersangkutan bisa ikut derep.

 culik tanam = membuat persemaian padi sebelum musim tanam rending (musim pertama di musim hujan) selesai (panen).


(1)

!

148!

IV. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG SEDANG ATAU PERNAH BEKERJA/BERUSAHA

DI LUAR DESA DALAM JANGKA WAKTU LAMA

1401 Nama anggota RT dan umur 1402 Jenis Pekerjaan

1403 Sistem kerja: 1. Pekerja tetap; 2. Kontrak; 3. Pekerja lepas (free lance); 4. Lainnya

1404 Berangkat sejak Rencana pulang pada Keberangkatan yang ke berapa 1405 Syarat keterampilan yang harus dimiliki

1. Bahasa Inggris; 2. Bahasa Korea/Arab; 3. Terampil …. 4.Terampil … 1406 Biaya persiapan s.d berangkat ke tempat tujuan

1407 Dana persiapan sampai dengan keberangkatan diperoleh dari? 1. Ya; 2. Tidak

i. Tabungan v. Menjual lahan sawah ii. Menjual emas/perhiasan vi. Meminjam dari Bank

iii. Menjual motor vii. Meminjam dari perorangan, siapa iv. Menggadaikan lahan sawah viii. Lainnya

1408 Berapa gaji yang diterima per bulan? 1411 Berapa uang (Rp) yang dikirim ke rumah?

1412 Uang yang diterima digunakan untuk apa? 1. Ya; 2 Tidak (Tandai yang paling utama)

i. Kebutuhan sehari-hari rumah tangga vi. Membeli sawah

ii. Membeli perhiasan vii. Mencicil pinjaman hutang iii. Membeli kendaraan bermotor viii. Menabung

iv. Merenovasi/membangun rumah ix. Membuka toko

v. Menggadai sawah x. Lainnya

1413 Siapa yang menyuruh untuk berangkat dan bekerja di luar

1. Sendiri; 2. Orang tua atau anggota rumah tangga lainnya; 3. Lainnya 1414

Faktor pendorong bekerja di luar desa 1. Ya;

2. Tidak

Urutan i. Tidak punya lahan sawah untuk melakukan usaha tani

ii. Luas lahan sawah yang dimiliki sangat terbatas

iii. Sering terjadi kekeringan/banjir sehingga kesempatan berusaha/bekerja menjadi tidak optimal iv. Keuntungan usaha/upah bekerja di pertanian sangat rendah dan tidak setimpal dengan tenaga

yang dikeluarkan dan tingginya risiko

v. Tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usaha tani sehingga dengan bekerja di luar, harapannya dapat memperoleh modal untuk usaha tani di masa yg akan datang

vi. Lainnya 1415

Faktor penarik bekerja di luar desa 1. Ya;

2. Tidak

Urutan i. Penghasilan yang besar dan pasti

iii. Kesuksesan tetangga/kerabat yang pernah atau sedang bekerja di luar iv. Diajak oleh orang/lembaga/perusahaan pengerah tenaga kerja/LPK Al Amin v. Lainnya

1416 Apakah penghasilan atau kiriman dari yang bersangkutan mampu memperbaiki kehidupan rumah tangga 1. Ya; 2. Tidak

1417 Apakah setelah pulang, anggota rumah tangga tersebut akan kembali lagi bekerja di sana? 1. Ya; 2. Tidak

1418 Sampai umur berapa akan bekerja di sana 1419 Sumber untuk modal keberangkatan berikutnya

i. Tabungan v. Menjual lahan sawah ii. Menjual emas/perhiasan vi. Meminjam dari Bank

iii. Menjual motor vii. Meminjam dari perorangan, siapa iv. Menggadaikan lahan sawah viii. PJTKI

1420 Apabila memutuskan tidak akan berangkat dan melakukan pekerjaan tersebut lagi, apa alasannya?

Uraian 1. Ya;

2. Tidak Urut i. Penghasilan yang diterima tidak sebanding dengan pengeluarannya

ii. Faktor keamanan dan risiko di tempat bekerja

iii. Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki

iv. Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini masyarakat di desa v. Faktor umur

vi. Tempat bekerja di sana sudah tutup vii. Lainnya

1421 Apakah anda akan mengaja tetangga/kerabat untuk mengikuti jejak bekerja di luar 1. Ya; 2. Tidak

1422 Apakah ketika kembali lagi ke desa, mau bekerja/berusaha di sektor pertanian? 1. Ya; 2. Tidak


(2)

(3)

!

149!

!

!

!

Lampiran 2 Peta bagan persil Desa Karangmulya

Sumber: Sekretaris Desa Karangmulya (diperbarui 2014)


(4)

!

Lampiran 3 Skema jaringan irigasi yang menuju Desa Karangmulya

Sumber: DPUP Kabupaten Indramayu (1999) diperbarui 2014


(5)

!

151!

Lampiran 4 Lokasi penelitian


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak pertama dari tiga

bersaudara dari pasangan pendidik H. Agus

Sirozudin dan Hj. Maliah yang dilahirkan di Ibukota

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada 13 Mei 1982

Pendidikan formalnya, dari mulai SD sampai dengan

SMA, diselesaikan di sekolah negeri di Kota Ciamis.

Selama sekolah, penulis juga aktif mengikuti

berbagai kegiatan organisasi ekstrakurikuler. Prestasi

akademik dan berbagai pengalaman organisasi,

seperti OSIS dan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR)

SMA Negeri 1 Ciamis, menghantarkan penulis

mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tanpa tes (PMDK) pada tahun

2001 di Program Studi S1 Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Pertanian, Jurusan

Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Kesenangannya

untuk belajar berorganisasi, membuat penulis aktif mengikuti organisasi

intra-kampus, seperti Majelis Permusyawaratan Mahasiswa KM-IPB, dan organisasi

ekstra-kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam.

Setelah lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada 2005, penulis

aktif menjadi asisten dosen di Departemen Manajemen, Fakultas Ekolonomi dan

Manajemen IPB serta guru di SMA Antam Bina Insani, Bogor. Kecintaannya pada

dunia penelitian membuat penulis tertarik untuk bergabung menjadi PNS peneliti di

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak akhir 2008, penulis menjadi

peneliti di Bidang Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang

berkantor di Jakarta. Tidak kurang dari dua puluh penelitian dilakukan penulis,

baik yang dilakukan dalam skema penelitian LIPI, seperti DIPA PPK-LIPI

(tematik), kompetitif, insentif, ICIAR-LIPI, COMPRESS-LIPI, dan

COREMAP-LIPI maupun kerja sama dengan lembaga lain, seperti Pusat Studi Bencana IPB,

Departemen SKPM IPB, Puslitbang BPN, BMKG, BNPB, Kemenristek,

UNSECO, UNDP, dan lain-lain. Dari berbagai penelitian tersebut dihasilkan lebih

dari sepuluh publikasi ilmiah dalam bentuk buku, artikel bunga rampai, dan jurnal

ilmiah nasional. Selain melakukan penelitian, penulis juga aktif menjadi asisten

dosen mata kuliah Ekologi Manusia di Departemen SKPM, Fakultas Ekologi

Manusia IPB serta mengikuti beberapa seminar nasional dan internasional.

Ketertarikannya untuk meningkatkan kemampuan akademik dalam

ilmu-ilmu yang mempelajari sistem sosial (manusia) dan ekologi (lingkungan)

menghantarkannya untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi S2

Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascsarjana IPB sejak tahun 2012 dengan Beasiswa

dari Kementerian Riset dan Teknologi. Tugas belajar yang diberikan dituntaskan

penulis dengan menyelesaikan tesis yang berjudul "Kerentanan Ekologi dan

Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu" dan

mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif akhir sebesar 3.87 (skala 4).

Saat ini, penulis tinggal di Pakuan Regency, Kota Bogor bersama Siti

Maryam—istri yang setia menjadi pendamping hidup dan Azzura Syah Alfarisy—

anak laki-laki yang selalu tulus mendo'akan. Penulis bisa dihubungi melalui email

di alamat

aliy002@lipi.go.id

dan

aliyansyah.lipi@gmail.com

.