Hubungan antar lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam

56 1. Institusi yang mengatur hubungan petani pemilik dan penggarap lahan sebagai manusia dengan sang pencipta, sebagai bentuk berdo’a dan bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas. 2. Institusi yang mengatur hubungan antar rumah tangga dari semua lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi. 3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam. Tabel 5.1 Institusi dan organisasi sosial dalam sistem penghidupan masyarakat Institusi Keterangan Organisasi formal Organisasi informal 1. Hubungan petani pemilik dan penggarap dengan “sang pencipta” sebagai bentuk berdo’a dan bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas Sedekah bumi Berdo’a bersama dan selametan di tingkat desa sebelum memulai musim tanam pertama. Kelompok tani, pemerintah desa Ulu-ulu, raksa bumi Labu macul Berdo’a dan bersedekah di tingkat rumah tangga sebelum mengolah lahan sawah. Patron-klien, ketetanggaan Labu tandur Berdo’a dan bersedekah di tingkat rumah tangga sebelum melakukan tandur Patron-klien, ketetanggaan Mapag tamba Berdo’a bersama di tingkat desa untuk menolak bala dan melindungi tanaman dari serangan HPT Kelompok tani, pemerintah desa Ulu-ulu, raksa bumi Mbuburi Berdo’a di tingkat rumah tangga untuk menolak bala dan melindungi tanaman dari serangan HPT Patron-klien, ketetanggaan Mapag sri Berdo’a bersama dan selametan di tingkat desa menjelang panen raya musim pertama. Kelompok tani, pemerintah desa Ulu-ulu, raksa bumi Labu panen Berdo’a dan bersedekah di tingkat rumah tangga menjelang panen. Patron-klien, ketetanggaan

2. Hubungan antar lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi

Geleduk cengkuk Pengolahan lahan segera di awal musim hujan, untuk musim tanam pertama. Kelompok tani, penyuluh Ulu-ulu, raksa bumi Culik tanam Mempercepat tanam untuk musim kedua dengan membuat persemaian sebelum panen musim pertama. Kelompok tani, penyuluh Ulu-ulu, raksa bumi Irigasi Pemeliharaan jaringan irigasi, penyediaan pasokan air, dan pengendalian banjir Kelompok tani, pemerintah desa, mantri air Ulu-ulu, raksa bumi Tandur Penanaman bibit padi dari persemaian ke lahan sawah Kelompok kerja tandur Bawon Sistem pemanenan padi yang memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk ikut memanen dan mendapatkan hasil 16 dari total hasil panen. Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan pasangan bawon Ceblokan Tandur + penyiangan + pemanenan padi dengan sistem bawon. Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan pasangan bawon Remi Pengambilan padi dari sisa-sisa Kekerabatan, 57 perontokan padi ketetanggaan Senggang Pengambilan padi yang tumbuh setelah panen. Kekerabatan, ketetanggaan Sewa sawah “yarnen” Penyewaan lahan sawah dengan sistem pembayaran setelah panen. Kelompok tani Patron-klien Gadai sawah Pengalihan hak pengelolaan lahan sawah sementara dengan cara memberikan uang gadai. Pemerintahan desa

3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam

Pranata pinjam modal usaha tani Aturan pinjam-meminjam modal usaha tani untuk budidaya padi dan sayuran Kelompok tani, KUR Bank Patron-klien Pranata pinjam modal kerja ke Korea Aturan pinjam-meminjam modal kerja untuk persiapan ke Korea LPK Al-Amin Patron-klien, kekerabatan Pranata pinjam beras Aturan pinjam-meminjam beras untuk kebutuhan konsumsi di masa paceklik Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan Arisan Semacam tabungan dalam satu kelompok tertentu yang diperoleh anggotanya secara giliran. Kelompok arisan. Sumber: Data primer penelitian 2014 Institusi sosial produksi yang dilakukan melalui berbagai organisasi sosial menjadi modal sosial yang memberikan akses terhadap berbagai aset penghidupan lainnya modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Selain itu, merujuk pada pengertian modal sosial, peneliti juga memperhitungkan peran kelompok tani sebagai modal sosial dalam penghidupan di Desa Karangmulya. Kelompok tani yang dibentuk dan berkembang sejak puluhan tahun yang lalu telah menjadi modal sosial yang memberikan akses signifikan bagi peningkatan kapasitas aset penghidupannya. Pada tabel 5.2 di bawah ini disajikan mengenai keanggotan dan manfaat yang diperoleh dari kelompok tani. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kepengurusan kelompok tani sebagian besar dipegang oleh rumah tangga lapisan atas. Hal ini menyebabkan berbagai bantuan, program, dan kegiatan lebih dahulu diperoleh lapisan atas. Bantuan benih, misalnya, dapat dinikmati oleh seluruh rumah tangga lapisan atas. Namun, untuk lapisan sosial di bawahnya, tidak semuanya bisa mendapatkan bantuan tersebut. Terlebih, rumah tangga lapisan bawah buruh tani. Karena tidak mempunyai atau memiliki lahan sawah, lapisan bawah buruh tani tidak bisa menjadi anggota kelompok tani. Padahal, merekalah lapisan yang paling rentan di desa. Persyaratan pemilikan dan penguasaan lahan yang ditentukan pemerintah sebagai syarat menjadi anggota kelompok tani telah membatasi akses mereka secara formal terhadap apapun yang berkaitan dengan kegiatan kelompok tani. 58 Tabel 5.2 Keanggotaan dan manfaat kelompok tani yang diperoleh rumah tangga dalam persen Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014 Namun, meskipun demikian, beberapa buruh tani yang diwawancara, mengemukakan bahwa mereka juga seringkali ikut dengan kesadaran sendiri atau diajak oleh pengurus untuk ikutan kegiatan-kegiatan kelompok di luar pemberian bantuan. Dalam kegiatan penyuluhan, SLI, SLPHT, misalnya, mereka seringkali ikut. Namun, ketika ada pembagian uang transport yang mensyaratkan laporan formal, mereka tidak boleh menerimanya. Menurut salah satu ketua kelompok tani, para ketua kelompok tani sebetulnya ingin melibatkan buruh tani, termasuk diberikan bantuan. Namun, hal ini berkaitan dengan aturan formal dari pemerintah, apalagi masalah pertanggungjawaban pemberian bantuan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Menurutnya, gara-gara memberikan bantuan kepada bukan anggota kelompok tani yang tidak terdaftar, beberapa pengurus kelompok tani di sebuah kecamatan, akhirnya menjadi tersangka dan sekarang dipenjara. Atas kejadian itu, para ketua kelompok tani sekarang menjadi lebih berhati-hati. Menurutnya, jangan sampai niat baik, berujung petaka. Dengan kenyataan seperti ini, rumah tangga lapisan bawah buruh tani hanya bisa mengandalkan modal sosial dalam institusi sosial produksi yang dijalankan oleh organisasi informal, seperti sistem panen bawon yang memberi kesempatan kepada mereka ikut memanen dan mendapatkan padi sebanyak 16 dari padi yang berhasil dipanen. Untuk keselamatan penghidupannya, mereka membina hubungan baik dengan rumah tangga lapisan atas yang memiliki lahan sawah luas melalui ikatan patron-klien. Selain mengharapkan bawon dan upah Modal sosial Lapisan Sosial Atas n=8 Menengah n=24 Bawah Pemilik n=16 Bawah Penggarap n=16 Bawah Buruh n=16 Keikutsertaan dalam institusi sosial produksi 100 100 100 100 100 Kelompok tani - Pengurus 50 11.1 16.7 10 - - Anggota 50 83.3 75.0 80 - - Tidak 5.6 8.3 10 100 Manfaat kelompok tani - Modal usaha 40 29.4 10 - Benih 100 72.2 63.6 40 - Pupuk bersubsidi 100 94.4 90.9 80 - Sewa alsintan 100 83.3 90.9 60 - Penyuluhan 100 72.2 27.3 40 - SLI 40 16.7 9.1 20 - SLPHTSLPTT 40 16.7 9.1 10 - Informasi iklim dari media 40 16.7 10 - Tanam serentak 100 77.8 81.8 90 - Pengairan di musim gadu 20 16.7 10 - Pemeliharaan saluran irigasi 20 16.7 10 59 kerja mengelola sawahnya, mereka juga menggantungkan perut, kesehatan, dan pendidikan anggota rumah tangganya pada sang patron. 5.2 Modal Alam Sesuai dengan karakteristik wilayahnya yang merupakan desa persawahan, aset atau modal alam yang terpenting adalah lahan sawah dan air irigasi untuk mengairi sawah. Hal ini juga dipengaruhi oleh suprastruktur sosial sistem nilai dan cara pandang masyarakat Desa Karangmulya yang menilai dan memandang kegiatatan pertanian padi sawah bukan hanya sebagai budi daya, namun juga sebagai budaya bisa dilihat banyaknya institusi tradisi-budaya dalam kegiatan padi sawah pada Tabel 5.1. Suprastruktur sosial inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan lahan sawah menjadi penentu struktur sosial lapisan sosial masyarakat. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, semakin luas lahan sawah yang dimiliki, semakin tinggi lapisan sosial sebuah rumah tangga. Dalam tabel 5.3 dapat dilihat setiap rumah tangga lapisan atas memiliki lahan sawah rata- rata 25,869 m 2 , rumah tangga lapisan menengah 8,350 m 2 , rumah tangga lapisan bawah pemilik 2,689 m 2 , dan rumah tangga lapisan bawah penggarap 0 m 2 . Yang menarik adalah ada satu rumah tangga yang saat ini tercatat sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani rumah tangga tidak berlahan ternyata pada waktu disurvei menyebutkan bahwa sebetulnya masih memiliki lahan sawah sebanyak 7,000 m2, namun saat ini masih digadaikan ke rumah tangga lain. Transaksi gadai dilakukan sudah cukup lama sehingga masyarakat desa menyangka rumah tangga tersebut sudah tidak mempunyai lahan sawah lagi dan langsung dikategorikan sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani. Padahal, ketika lahan sawahnya belum digadaikan, masyarakat memandang rumah tangga tersebut sebagai lapisan menengah. Tabel 5.3 Aset lahan sawah yang dimiliki dan diakses rumah tangga Lahan sawah Lapisan Sosial Atas n=8 Menengah n=24 Bawah Pemilik n=16 Bawah Penggarap n=16 Bawah Buruh n=16 Rata-rata Luas Lahan - Lahan milik sendiri m 2 25,869 8,350 2,689 438 - Lahan milik orang lain m 2 2,188 1,871 1,831 6,213 - Total lahan m 2 28,056 10,221 4,521 6,213 438 Pengairan - Kecukupan pasokan irigasi musim rendeng 100 100 100 90.9 - - Kecukupan pasokan irigasi musim gadu - - Air dalam tanah sawah bisa dipantek dan dipakai 16.7 22.2 7.7 8.3 - Kemudahan dijangkau - Dapat dijangkau dg mobil 16.7 5.6 10 - - Dapat dijangkau dg motor 50.0 72.2 83.3 60 - Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014 60 Fakta sosial ini semakin menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan sangat menjadi penentu posisi rumah tangga dalam lapisan sosial. Sebaliknya, bagi rumah tangga lapisan bawah buruh tani tidak berlahan bisa naik kelas mobilisasi sosial dengan segera ketika mereka mampu memiliki lahan sawah. Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa 12.5 persen rumah tangga lapisan atas, 12.5 persen rumah tangga lapisan menengah, dan 6.7 persen rumah tangga bawah pemilik dipastikan rumah tangga-rumah tangga yang mengalami kenaikan kelas mobilisasi sosial. Ini terlihat dari asal lahan sawah mereka yang seluruhnya diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain. Begitu pun dengan sebagian rumah tangga yang lahan sawahnya sebagian besar diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain merupakan rumah tangga yang berusaha meningkatkan status sosialnya. Tabel 5.4 Keterangan asal lahan sawah yang dimiliki dalam persen Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014 Meskipun semua rumah tangga ingin memiliki lahan sawah, namun dengan harga yang menurut mereka cukup mahal Rp 250 juta per bahu, tidak semuanya sanggup membeli. Selain itu, banyak rumah tangga yang tidak mau menjual lahan sawahnya. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak sanggup membeli atau punya uang, namun tidak ada lahan yang mau dijual, mereka bisa menguasaimenggarap lahan-lahan sawah milik orang lain melalui institusi sewa dan gadai lihat Tabel 5.2 dan 5.3. Penguasaan lahan sawah orang lain ini ternyata dilakukan oleh semua lapisan rumah tangga. Bahkan, bagi Rumah tangga lapisan bawah penggarap, semua lahan yang digarapnya adalah lahan milik orang lain. Selain itu, hampir dari setengah luas lahan yang dikuasai dan digarap rumah tangga lapisan bawah pemilik adalah lahan milik orang lain. Harga pasaran normal untuk sewa lahan adalah 2 ton padi per bahu per tahun dibayar dengan padi atau dikonversi ke dalam uang sesuai harga padi saat itu: 7-8 juta. Harga tersebut jauh lebih murah dari harga sewa lahan sawah irigasi teknis di kecamatan tetangga Kecamatan Bongas yang mencapai Rp 20 juta per tahun harus dibayar dengan uang di muka. Selain murah, sebagian besar perjanjian sewa lahan di Desa Karangmulya dilakukan dengan sistem sewa “yarnen”—dibayar setelah panen. Hal ini memberi kesempatan kepada rumah tangga lapisan bawah untuk bisa menggarap lahan sawah. Modal sosial yang kuat yang dipengaruhi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran juga memberikan Asal lahan sawah yang dimiliki Lapisan Sosial Atas n=8 Menengah n=24 Bawah Pemilik n=16 Bawah Penggarap n=16 Bawah Buruh n=16 Seluruhnya beli 12.5 12.5 6.7 Sebagian besar beli 37.5 4.2 Sebagian besar warisan 12.5 37.5 6.7 Seluruhnya warisan 37.5 45.8 86.7 100 61 kemudahan apabila terjadi gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan serangan HPT. Sementara itu, untuk gadai, rumah tangga yang mau menggadai harus memberikan uang “pinjaman” Rp 60 juta untuk dua tahun. Transaksi atau perjanjian gadai biasanya dilakukan secara tertulis serta disaksikan dan dicatat aparat pemerintahan desa. Setelah dua tahun, mereka bisa mengakhiri atau melanjutkan perjanjian gadai. Berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam, uang gadai biasanya tidak dikenakan bunga. Gambaran mengenai hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 Keterangan akses yang dimiliki rumah tangga terhadap lahan sawah milik orang lain Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014 Pada Tabel 5.5 di atas juga terlihat tidak adanya satupun penguasan lahan milik orang lain yang dilakukan melalui institusi bagi hasil. Rupanya dengan kerentanan lingkungan yang tinggi, pemilik lahan dan penggarap lebih sepakat menggunakan institusi sewa “yarnen” dan gadai. Kedua institusi ini dianggap mengurangi risiko untuk kedua belah pihak. Dengan sistem sewa “yarnen”, rumah tangga pemilik lahan yang menyewakan lahannya pasti akan mendapatkan sejumlah hasil tertentu dan rumah tangga penyewa lahan dapat membayar sewa lahan setelah panen dengan jumlah yang pasti.

4.3 Modal Fisik