Pembahasan Analisis perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Teluk Bone hubungan aspek biologi dan faktor lingkungan

Hasil perhitungan besarnya alokasi upaya penangkapan optimum setiap zona untuk memanfaatkan stok bersama disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Alokasi upaya trip penangkapan optimum pada zona Utara, Tengah dan Selatan untuk memanfaatkan stok bersama. Jenis alat Zona Utara Tengah Selatan Fopt SS unit Propor si Aloka si unit Fopt SS unit Propor si Aloka si unit Fopt SS unit Propor si Aloka si unit 1.010 7.828 3.788 Pole and line 66 668 68 5.294 47 1.768 Purse seine 6 65 - - 27 1.019 Jaring insang hanyut 16 161 13 1.048 10 378 Pancin g tonda 11 116 19 1.486 16 623 Untuk tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang di teluk Bone secara berkelanjutan sebaiknya menggunakan nilai MSY pemanfaatan bersama shared stok dengan mempertimbangkan precautionary approach pendekatan kehati-hatian pada perikanan tangkap. Pembahasan lebih detail dijelaskan pada Bab 7.

4.5 Pembahasan

Produksi cakalang di Sulawesi Selatan sebagian besar dihasilkan dari pesisir kawasan Teluk Bone. Kontribusi kawasan Teluk Bone terhadap produksi cakalang di Sulawesi Selatan berkisar antara 47 - 68 dengan rata-rata 59 per tahun Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan 2006. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Teluk Bone merupakan kawasan yang potensil dalam pengembangan sumberdaya ikan cakalang di Sulawesi Selatan. Namun demikian produksi ikan cakalang ini berfluktuasi dalam setahun. Jika berdasarkan kuartal, maka produksi tertinggi dicapai pada kuartal IV yakni bulan Oktober – Desember, disusul kuartal III yakni bulan Juli – September, selanjutnya kuartal I yakni bulan Januari – Maret dan yang terendah pada kuartal II yakni dari bulan Maret – Juni. Tingginya produksi pada kuartal IV Oktober – Desember berhubungan dengan faktor angin musim yang terjadi di kawasan Teluk Bone, karena pada kuartal IV masih berlangsung angin barat. Pada angin barat tersebut arus permukaan teluk Bone relatif tenang dan mempengaruhi musim penangkapan ikan cakalang. Simbolon 2011 menyatakan bahwa angin yang tidak kencang dan tidak terjadi ombak merupakan puncak musim penangkapan karena ikan cakalang akan cenderung berenang di permukaan dan operasi penangkapan cakalang juga cukup kondusif. Di kawasan Teluk Bone dikenal ada 4 empat musim penangkapan, yaitu musim Barat Desember – Pebruari, musim peralihan I Maret – Mei, musim Timur Juni – Agustus dan musim peralihan II September – Nopember. Pada musim Barat dan musim Timur terjadi perbedaan kondisi di kawasan Teluk Bone. Pada musim Barat angin bertiup dari arah Barat, massa air di laut Flores berasal dari laut Jawa dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang teduh dan gelombang laut kecil. Sedangkan pada musim Timur angin bertiup dari sebelah Timur, massa air di laut Flores berasal dari laut Banda dan masuk ke kawasan Teluk Bone, pada musim ini ditandai dengan kondisi perairan yang bergelombang laut cukup besar. Pada musim Timur ini sekitar bulan Juli terjadi pengangkatan massa air dingin upwelling dibagian Timur laut Flores dan menurun kembali pada bulan Oktober Nontji 1993, hal ini akan berpengaruh terhadap produksi hasil tangkapan cakalang di kawasan Teluk Bone. Selanjutnya Amiruddin 1993 menyatakan bahwa musim peralihan II September – Nopember merupakan musim terbaik melakukan penangkapan di kawasan Teluk Bone khususnya di Kabupaten Luwu. Fluktuasi suhu permukaan laut bulanan dalam kurun waktu 2 tahun di sepanjang pantai kawasan Teluk Bone menunjukkan sebaran yang fluktuatif dengan pola perubahan yang cenderung sama. Hasil citra satelit Lampiran 24 menunjukkan suhu permukaan laut relatif tinggi pada bulan Januari hingga April dan cenderung memiliki pola yang sama di sepanjang perairan kawasan Teluk Bone. Pada bulan Juni hingga Oktober suhu permukaan laut cenderung lebih rendah di banding bulan-bulan lainnya. Kecenderungan perubahan suhu permukaan laut tersebut disebabkan proses pencampuran massa air, sebagaimana terlihat dari hasil citra satelit pada bulan Mei dan Juni, massa air di Laut Flores terdapat massa air dengan suhu permukaan laut yang relatif lebih dingin. Proses percampuran massa air yang relatif dingin menyebabkan pada bulan Juni hingga Oktober suhu permukaan laut perairan kawasan Teluk Bone cenderung lebih rendah dibandingkan bulan lainnya. Kecenderungan perubahan ini di sebabkan oleh pengaruh munson di perairan Indonesia, pola kecepatan dan arah angin mempengaruhi arus permukaan laut. Bulan Maret angin barat semakin lemah dan bulan April kondisi angin tidak menentu dan kondisi ini sebagai masa peralihan ke munson Timur Birowo 1982. Nontji 1993 menyatakan bahwa di Teluk Bone dan Laut Flores kemungkinan terjadi pengangkatan massa air up welling dalam skala kecil. Pengangkatan massa air ini diduga terjadi pada bulan Maret dan mencapai permukaan pada bulan Juli dan menurun kembali pada bulan Oktober. Dari citra NOOAAVHRR bulan Juli sampai September 1998 terlihat massa air dingin di bagian Timur Laut Flores. Kondisi seperti ini diperkirakan ada hubungannya dengan massa air dingin dari Laut Banda yang pada saat yang sama terjadi penaikan massa air di Laut Banda yang berpengaruh terhadap musim penangkapan cakalang di Teluk Bone Amiruddin 1993 dan Hengky 2002. Suhu permukaan laut yang diperoleh dari citra dalam kurun waktu 2 tahun berkisar antara 27,0 – 31,7 C. Variasi suhu tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengaruh massa air yang masuk ke dalam kawasan teluk Bone, penaikan massa air upwelling, pengaruh daratan dan kedalaman perairan. Suhu disekitar perairan pantai lebih tinggi dibandingkan di laut lepas, karena pada perairan pantai lebih dangkal sehingga penetrasi matahari lebih efektif menjangkau permukaan sampai ke dasar perairan. Suhu di sekitar perairan pantai kawasan teluk Bone berkisar antara 32 – 34 C dan di laut lepas 29 – 31 C Nessa et al. 2002. Nilai salinitas selama penelitian menunjukkan sebaran yang fluktuatif dengan pola perubahan yang cenderung sama. Nilai salinitas yang diperoleh adalah nilai salinitas yang diukur pada saat kapal melakukan setting. Nilai salinitas ini lebih tinggi dibandingkan nilai salinitas yang dilaporkan oleh DKP 2006 yaitu 30-31 o oo . Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh lokasi pengambilan sampel, pasang surut dan musim. Lokasi pengambilan sampel yang dekat muara sungai akan menurunkan nilai salinitas karena dilusi air tawar dari sungai yang memiliki salinitas rendah. Selanjutnya menurut Nessa et al. 2002 menyatakan bahwa variasi salinitas di Teluk Bone tidak hanya dipengaruhi oleh pasang surut namun juga bergantung pada musim baik pada lapisan permukaan dan lapisan bawah. Nilai salinitas pada musim Timur lebih rendah dari musim Barat. Jika dihubungkan dengan aspek bioekologi cakalang maka salinitas di Teluk Bone merupakan salinitas yang dapat ditoleransi oleh cakalang. Toepoer 1976 diacu dalam Simbolon 2011 mengemukakan bahwa salinitas yang cocok untuk cakalang berkisar antara 32-35 o oo , sedangkan Gunarso 1985 juga mengemukakan bahwa cakalang hidup pada perairan dengan salinitas 33-35 o oo . Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan kawasan Teluk Bone dalam kurun waktu 2 tahun menunjukkan bahwa di Zona Utara lebih tinggi dibandingkan Zona Tengah dan Selatan, sehingga dapat dikatakan bahwa pada Zona Utara ini memiliki produktivitas yang tinggi dibandingkan kedua zona lainnya, karena di Zona Utara perairannya lebih dangkal di badingkan Zona Tengah dan Selatan sehingga penetrasi sinar matahari hampir menembus kolom air menyebabkan proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Produktivitas perairan berkaitan dengan proses percampuran massa air dari lapisan bawah yang kaya nutrien ke lapisan permukaan dan di bantu cahaya akan terjadi proses fotosintesa oleh fitoplankton Birowo 1982 ; Tubalawony et al. 2007. Dengan demikian banyaknya konsentrasi klorofil-a dapat dijadikan ukuran produktivitas suatu perairan. Untuk mengeksploitasi cakalang, maka nelayan menggunakan alat tangkap yang khusus yaitu pole and line, meskipun cakalang dapat pula tertangkap oleh alat tangkap yang lain sebagai hasil tangkapan sampingan. Produksi yang dihasilkan dari pole and line mencapai 62,12 . Meskipun produksi yang dihasilkan cukup tinggi namun bukan berarti tidak ada permasalahan yang dihadapi. Masalah utama yang dihadapi nelayan adalah ketersediaan umpan hidup baik secara kualitas maupun kuantitas. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sangat tergantung oleh ketersediaan umpan hidup. Jenis umpan hidup yang digunakan adalah dari jenis teri. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh nelayan Sorong yang menggunakan pula jenis teri yaitu Stolephorus zollongeri and S. celebicus Gafa 1986 diacu dalam Rosana 1994. Umpan hidup ini memiliki karakteristik tersendiri seperti warna yang menarik, ukuran 3 - 6 cm, daya tahan hidupnya lama dan selalu tinggal dekat dengan kapal saat di tebar ke laut. Nilai produksi akan meningkat seiring dengan meningkatnya upaya, hal ini terlihat dari Gambar 21, 23, 25 dan 30, baik pada masing-masing zona dalam teluk maupun seluruh kawasan dalam teluk. Meskipun produksi meningkat namun produktivitas setiap unit mengalami penurunan, hal ini terlihat dari nilai CPUE pada masing-masing zona yaitu Utara, Tengah dan Selatan semakin menurun dengan penambahan upaya trip. Demikian juga dengan nilai MSY dan Upaya optimum yang sudah terlampaui, sehingga dengan demikian pertambahan upaya trip sudah tidak lagi berpengaruh terhadap peningkatan hasil tangkapan per unit upaya. Kemungkinan menurunnya CPUE juga karena tidak menentunya lokasi penangkapan ikan serta akibat pengaruh perubahan kondisi alamlingkungan cuaca, angin, salinitas, musim terhadap populasi dan komunitas sumberdaya. Menurut Potier et al. 1988 stok ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama penyebaran salinitas secara spasial yang dibangkitkan oleh angin munson. Selanjutnya menurut Boely et al. 1990 pengaruh kondisi lingkungan perairan memegang peranan yang signifikan dalam perubahan CPUE catch per effort unit sedang angin dan hujan berpengaruh langsung terhadap kegiatan penangkapan dan hasil tangkapan. Hal tersebut merupakan indikator bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang tersebut sudah tinggi. Fenomena tersebut merupakan konsekuensi yang wajar dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat terbuka open access . Dengan demikian maka harus segera diambil tindakan pengelolaan yang tepat misalnya dengan cara tidak menambah status quo jumlah alat tangkap agar pemanfaatan sumberdaya cakalang dapat berkelanjutan dan terjamin kelestariannya. Pemanfaatan bersama stok sumberdaya perikanan cakalang shared stok pada masing-masing zona dalam kawasan Teluk Bone adalah salah satu teknik pengelolaan perikanan. Widodo dan Suadi 2006 menyatakan bahwa shared stok dapat dilakukan dengan 1 melakukan pengendalian terhadap kuota hasil tangkapan per jenis atau kelompok jenis dan bila memungkinkan juga per wilayah dan 2 Pengendalian terhadap kuota upaya penangkapan Metode yang dipakai untuk menghitung nilai MSY adalah dengan mengolah data sekunder tentang produksi ikan berupa hasil tangkapan catch dan upaya penangkapan effort, berupa jumlah unit atau trip alat tangkap yang digunakan. Untuk menentukan nilai MSY digunakan model produksi surplus menurut Shaefer. Namun kelemahan dari metode ini adalah karena lebih cocok digunakan untuk monospecies, sementara di negara beriklim tropis seperti Indonesia yang jenis ikannya multispecies maka metode ini memberikan hasil yang kurang tepat.

4. 6 Kesimpulan

1 Alat tangkap yang khusus digunakan untuk menangkap cakalang di kawasan Teluk Bone adalah pole and line, namun dapat pula tertangkap oleh alat lain seperti purse seine, jaring nsang hanyut dan pancing tonda. 2 Lokasi penangkapan cakalang dilakukan pada daerah rumpon atau pada daerah-daerah yang dimana terdapat banyak burung-burung yang beterbangan atau kawanan ikan lumba-lumba. 3 Nilai suhu di Zona Utara adalah 28,8-31,7 C, Zona Tengah 27,9-31,5 C dan Zona Selatan 27,0-31,1 C; konsentrasi klorofil-a di Zona Utara adalah 0,26-0,78 mgm 3 , Zona Tengah 0,14-0,38 mgm 3 dan Zona Selatan 0,17-0,31 mgm 3 ; salinitas di Zona Utara adalah 32,4-33,8 o oo , Zona Tengah 32,6-33,9 o oo , dan Zona Selatan adalah 32,5-33,8 o oo . 4 Nilai CPUE yang diperoleh di Zona Utara dari tahun 1996-2006 berkisar antara 1,018 – 2,295 tontrip, di Zona Tengah berkisar antara 0,383 – 3,059 tontrip dan di Zona Selatan berkisar antara 1,067 – 2,040 tontrip. Nilai dugaan potensi maksimum lestari maksimum sustainable yield perikanan cakalang di Zona Utara sebanyak 1.387 tontahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 1.123 trip, di Zona Tengah sebanyak 11.886 tontahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 9.214 trip dan di Zona Selatan sebanyak 4.452 tontahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 4.220 trip 5 Nilai MSY dan Fopt dalam seluruh kawasan teluk Bone dalam rangka pemanfaatan bersama sumberdaya perikanan cakalang shared stok pada masing-masing zona diperoleh bahwa untuk Zona Utara MSY SS dan Fopt SS sebesar 1.263 tontahun dan 1.010 trip, Zona Tengah MSY SS dan Fopt SS sebesar 10.575 tontahun dan 7.828 trip dan di Zona Selatan MSY SS dan Fopt SS sebesar 3.946 tontahun dan 3.788 trip. 6 Alokasi upaya trip penangkapan optimum pada Zona Utara alat tangkap pole and line sebesar 668 unit, purse seine 65 unit, jaring insang hanyut 161 unit dan pancing tonda 116 unit ; Zona Tengah alat tangkap pole and line sebear 5.294 unit, jairng insang hanyut sebesar 1.048 unit dan pancing tonda 1.486 unit; dan Zona Selatan alat tangkap pole and line sebesar 1.768 unit, purse seine sebesar 1.019 unit, jaring insang hanyut sebesar 378 unit dan pancing tonda sebesar 623 unit. 7 Penambahan upaya trip akan menurunkan CPUE tontrip hal ini berarti penambahan trip telah menyebabkan sumberdaya ikan cakalang berkurang. 5 BIOLOGI PERIKANAN IKAN CAKALANG

5.1 Pendahuluan