1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 312004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia
untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini tentu berlaku juga untuk sumberdaya
perikanan, seperti ikan, udang, lobster, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima dan kerang mutiara. Meskipun sumberdaya tersebut secara umum disebut
sumberdaya dapat pulih, namun kemampuan alam untuk memperbaharui sumberdaya alam tersebut bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi
sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, maka sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan
kepunahan. Penangkapan berlebih atau over fishing sudah menjadi kenyataan pada
berbagai perikanan tangkap dunia. Pada Tahun 2010, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia FAO memperkirakan 6 dari stok perikanan laut dunia under
exploited , 20 moderately exploited, 50 telah mengalami full fished, 15
over fished , 6 depleted dan hanya 2 saja dari sumberdaya masih berada
pada kondisi developing. Sekitar 73 yang fully or over exploited membutuhkan pengelolaan dan 76 dapat mendukung tingkat produktivitas optimal FAO
2011 Gambar 1. Untuk dapat pulih sumberdaya membutuhkan waktu yang cukup lama walaupun telah dilakukan moratorium dan penghentian
penangkapan. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki perairan yang luas
yaitu sekitar 5,8 juta km
2
yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 km
2
juta serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI seluas 2,7 juta km
2
dengan kekayaan sumberdaya ikan laut yang sangat potensial sebesar 6,4 juta ton per tahun Nikijuluw, 2002. Didorong oleh harapan publik di mana
sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, maka pertanyaannya
adalah sejauh manakah perairan laut Indonesia bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan mengingat
perairan laut Indonesia bagian Barat telah mengalami penangkapan berlebih, khususnya perairan pantai utara Jawa.
Gambar 1 Status perikanan dunia akibat kegiatan penangkapan ikan tahun 2010.
Berdasarkan pada kondisi geografi dan untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya ikan di laut, perairan laut Indonesia dibagi menjadi sebelas Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia WPPI yaitu : 1 WPPI 571 : perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; 2 WPPI 572 : perairan Samudera Hindia sebelah
Barat Sumatera dan Selat Sunda; 3 WPPI 573 : perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan
Laut Timor bagian Barat; 4 WPPI 711 : perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan; 5 WPPI 712 : perairan Laut Jawa; 6 WPPI 713 :
perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; 7 WPPI 714 : perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; 8 WPPI 715 : perairan Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; 9 WPPI 716 : perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera 10 WPPI 717 : perairan
Teluk Cendrawasih dan samudera Pasifik dan 11 WPPI 718 : perairan laut Aru, laut Arafura dan laut Timor bagian timur. Namun pengelompokan tersebut lebih
dititik beratkan pada geografi dan administrasi tempat pendaratan ikan, sehingga perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan wilayah pengelolaan
sumberdaya perikanan berdasarkan ekosistem. Salah satu isu yang muncul dan berkembang pada WPPI ini adalah
terjadinya overfishing dan ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan jenis sumberdaya ikan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan telah terjadi
pada beberapa WPPI, seperti WPPI 571 yang meliputi Selat Malaka dan WPPI 712 yang meliputi Laut Jawa. Overfishing ini berkaitan dengan intensitas dan
frekuensi upaya penangkapan serta kemampuan sumberdaya ikan untuk pulih kembali. Walaupun sumbedaya ikan termasuk sumberdaya yang dapat pulih
renewable resources namun harus dimanfaatkan secara hati-hati. Anggapan bahwa sumberdaya ikan adalah sumberdaya milik bersama common property
yang dapat dimanfaatkan secara bebas dan terbuka oleh semua orang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah sebagaimana yang dituangkan
dalam tujuan
pembangunan perikanan
tangkap adalah
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan guna menyediakan ikan untuk konsumsi dalam negeri dan bahan industri
Manggabarani, 2005. Keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan tercapai apabila sumberdaya perikanan tersebut dapat dikelola dengan baik sesuai
kaidah yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah rasionalisasi penangkapan effort rationalization untuk mendorong tingkat
pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau menjadi terdistribusi secara lebih merata di sejumlah WPPI lainnya. Hal ini dapat dilihat
dari ketidakseimbangan fishing effort di antara wilayah pengelolaan Perikanan Indonesia.
Di dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pemerintah RI, 2004 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Demikian pula di dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries CCRF, dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan
sebagai suatu proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan,
menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegak hukum dan aturan yang mengendalikan
kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dan sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya FAO,1995.
Salah satu perairan yang potensi sumberdaya ikannya perlu dikelola secara optimum adalah perairan teluk. Teluk adalah suatu perairan semi
tertutupsemi terbuka yang menjorok ke darat serta memiliki karakteristik lingkungan biofisik perairan yang sangat berbeda dengan perairan terbuka.
McConnaughey dan Zottoli 1983 menyatakan bahwa kondisi perairan teluk berbeda dengan perairan lainnya dari segi sejarah pembentukan secara geologi,
luasnya, volume airnya dan muatan sedimen yang dibawa sungai, fluktuasi musiman dan banyaknya air yang dibawa, pola pasang surut, frekuensi dan arah
angin, volume air hujan di wilayahnya serta lapisan dari batu karang yang berada di garis pantai.
Perairan teluk di daerah tropis relatif subur karena pada daerah pesisirnya umumnya ditemukan berbagai ekosistem seperti mangrove, terumbu
karang dan padang lamun. Pada perairan teluk yang jernih terjadi proses fotosintesa oleh biota perairan tingkat tinggi dan fitoplankton dapat berlangsung
dengan baik. Perairan yang subur biasanya merupakan suatu daerah pemijahan spawning ground, daerah pembesaran nursery ground dan sebagai daerah
untuk mencari makan feeding ground bagi berbagai jenis ikan. Teluk Bone adalah perairan semi tertutup yang terletak di antara propinsi
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Perairan ini dibatasi oleh Laut Flores di bagian selatan sehingga massa air di dalam teluk Bone sangat dipengaruhi
oleh massa air yang ada di luar teluk khususnya Laut Flores. Hengky 2002 dan Hadikusumah et al.2005 menyatakan bahwa perairan laut Flores merupakan
perairan yang sangat dinamis di mana kondisi arus permukaan dan karakteristik massa airnya dipengaruhi oleh angin musim. Pada saat angin musim Barat
massa air yang hangat dari laut Jawa akan bergerak menuju Laut Flores dan pada saat angin musim Timur massa air yang dingin akan bergerak dari laut
Banda menuju laut Flores bergabung dengan massa air dari selat Makassar menuju Laut Jawa.
Perairan Teluk Bone merupakan perairan yang subur. Nontji 1993 menyatakan bahwa di Teluk Bone dan Laut Flores kemungkinan terjadi
pengangkatan massa air up welling dalam skala kecil. Pengangkatan massa air ini diduga terjadi pada bulan Maret dan mencapai permukaan pada bulan Juli
dan menurun kembali pada bulan Oktober. Dari citra NOOAAVHRR bulan Juli sampai September 1998 terlihat massa air dingin di bagian timur Laut Flores.
Kondisi seperti ini diperkirakan ada hubungannya dengan massa air dingin dari
laut Banda yang pada saat yang sama terjadi penaikan massa air di laut Banda yang berpengaruh terhadap musim penangkapan cakalang di Teluk Bone
Amiruddin 1993; Hengky 2002. Kondisi lingkungan yang demikian akan berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan sumberdaya ikan di dalam
maupun di luar teluk terutama ikan-ikan yang bermigrasi seperti ikan-ikan pelagis besar pada umumnya. Di samping itu pula akan mempengaruhi ketersediaan
sumberdaya ikan sehingga perlu menentukan bentuk pengelolaan yang sesuai. Dapat diduga bahwa terdapat hubungan antara ketersediaan ikan di dalam dan
di luar teluk, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan teluk perlu memperhatikan kondisi sumberdaya ikan dan biofisik di dalam dan di luar teluk.
Perikanan tuna dan cakalang di Indonesia adalah salah satu pilar ekonomi nasional. Perikanan ini merupakan salah satu sumber devisa bagi
negara dan juga menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Perikanan cakalang ini telah berkembang terutama di perairan Indonesia bagian Timur. Uktoselja et al.
1989 menyatakan bahwa potensi cakalang di selatan Sulawesi diperkirakan sebesar 61.800 tontahun. Berdasarkan hasil kajian Widodo et al. 2003
melaporkan bahwa potensi sumberdaya ikan pelagis besar di WPPI 713 di mana wilayah pengelolaan Teluk Bone tercakup di dalamnya memiliki potensi sebesar
193.600 tontahun dengan tingkat pemanfaatan 43,96 sehingga masih memungkinkan untuk dikembangkan. Jenis ikan yang masih berprospek untuk
dikembangkan di Teluk Bone adalah ikan pelagis kecil, tuna, cakalang dan tenggiri
Kegiatan perikanan cakalang di Teluk Bone didominasi oleh nelayan tradisional yang menggunakan pole and line untuk kebutuhan pangan lokal.
Kegiatan pemanfaatan cakalang di perairan tersebut belum dilakukan oleh pengusaha lain selain nelayan setempat. Kegiatan perikanan cakalang saat ini
diharapkan tidak hanya menekankan pada hasil tangkapan yang sebanyak- banyaknya akan tetapi lebih diharapkan agar kegiatan tersebut dapat berjalan
terus menerus secara berkelanjutan dengan suatu bentuk pengelolaan cakalang yang memperhatikan aspek biologi, teknologi dan lingkungan setempat.
Perikanan cakalang sebagai suatu sistem di mana sumberdaya ikan aspek biologi dan unit penangkapan ikan sebagai sub sistem merupakan aspek
yang penting dalam menyusun suatu konsep pengelolan perikanan tangkap cakalang, namun tidak mudah untuk dilakukan dan mendefenisikannya.
Penelitian sumberdaya perikanan di Teluk Bone telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya.
Amiruddin 1993
meneliti hubungan
penangkapan cakalang dengan kondisi oseanografi fisika ; Kadir 1994 meneliti potensi sumberdaya cakalang; Rosana 1994 meneliti pengaruh jenis umpan
terhadap hasil tangkapan cakalang dan Suwardi 2005 meneliti pengembangan perikanan tangkap pelagis kecil. Namun penelitian tentang pengelolaan
cakalang belum dilaksanakan. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya telah dilaksanakan penelitian tentang Analisis Perikanan Cakalang Katsuwonus
pelamis di Teluk Bone : Hubungan Aspek Biologi dan Faktor Lingkungan,
sebagai salah satu informasi dasar dalam merumuskan suatu konsep pengelolaan perikanan cakalang di kawasan teluk dan sebagai acuan dalam
pengaturan usaha penangkapan ikan di masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah