makanan. Menurut Sanjur 1982, sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang dipelajari dan apa yang dilihat misalnya
melalui berbagai iklan di media massa. Menurut Suhardjo 1989, kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna
dan bentuk makanan akan mempengaruhi nafsu makan seseorang. Dickins yang dikutip oleh Sanjur 1982 menegaskan bahwa preferensi makanan sebagian besar
ditentukan sejak dini. Selera makan merupakan faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang
terhdap makanan. Menurut Harper et al 1985, selera makan terdiri dari sekumpulan citarasa yang dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi
makanan. Rosegrant et al. seperti dikutip oleh Adiwirman 1992 mengungkapkan bahwa masyarakat di pedesaan memiliki pola konsumsi jagung yang berbeda
dengan masyarakat di perkotaan. Masyarakat desa memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk menggunakan jagung sebagai makanan pokok pengganti beras
maupun campuran beras, sedangkan masyarakat kota lebih senang mengkonsumsi jagung sebagai makanan selingan.
Suryana 1991 mengungkapkan bahwa di Jawa Timur, baik di pedesaan maupun perkotaan, konsumsi jagung segar jagung basah dengan kulit
meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa jagung segar menunjukkan karakteristik sebagai komoditas normal, bukan inferior.
Jagung segar ini biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan yang dijajakan dan dikonsumsi di tempat rekreasi.
Masyarakat kota Bogor lebih memilih mengkonsumsi jagung sebagai makanan selingan atau jajanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Chapman 1984, makanan jajanan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Bogor. Sebesar 25 anggaran belanja untuk makanan pada semua
tingkat pendapatan dikeluarkan untuk membeli makanan jajanan.
F. Aspergillus flavus sp.
Aspergillus flavus termasuk dalam divisi Thallophita, sub divisi
Deuteromycotine, kelas fungi imperfecti, ordo Moniciales, famili Moniliceae dan
genus Aspergillus. Warna spesifik dari koloni ini adalah hijau kekuningan dengan diameter umumnya 3-
6 μm Fassatiova, 1986.
Gambar 2. Aspergillus flavus
Aspergillus flavus sp.adalah suatu spesies cendawan yang galur-galurnya pada kondisi lingkungan tertentu dapat menghasilkan aflatoksin. Toksin tersebut
dapat menyebabkan kanker hati baik pada manusia maupun hewan piaraan Butler
dalam Dharmaputra et al., 1994.
Menurut Christensen dan Kauffman 1969, Aspergillus flavus umumnya terdapat di tanah, khususnya tanah-tanah garapan untuk tanaman pangan, dan juga
umum terdapat pada semua bahan yang telah rusak seperti biji-bijian yang kadar airnya memungkinkan untuk pertumbuhan Aspergillus flavus.
Menurut Shank 1970 dan Parpia 1971 dalam Samson et al., 1981, Aspergillus flavus sering menyerang berbagai hasil pertanian yang dikeringkan,
terutama bila pengeringan bahan berlangsung lambat, sedangkan makanan segar seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak menunjukkan kandungan aflatoksin
yang positif. Aspergillus flavus sp. dapat menimbulkan kerugian ekonomi dalam
industri dan dapat juga menimbulkan masalah kesehatan yaitu menghasilkan aflatoksin yang mempunyai efek racun toksigenik, mutagenik, teratogenik, dan
karsinogenik Makfoeld, 1993. Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin
tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang, persyaratan-
persyaratan lingkungan substrat, kelembaban, suhu, pH dan lamanya kontak antara kapang dengan substrat Jay, 1996.
Adanya pertumbuhan Aspergillus flavus pada beberapa bahan pangan menunjukkan kemungkinan terjadinya pencemaran aflatoksin pada bahan pangan
tersebut. Suatu penelitian melaporkan bahwa dari 1390 isolat Aspergillus flavus di berbagai negara, 803 di antaranya kurang lebih 60 menghasilkan aflatoksin
Diener dan Davis, 1969. Hesseltine et al. dalam Kusbiantoro 1984 melaporkan bahwa jagung,
gandum dan beras yang diinokulasikan dengan tiga isolat Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum dan kacang
kedelai pada kultur tetap maupun bergoyang. Aspergillus flavus juga menghasilkan aflatoksin jenis lain bila ditumbuhkan dalam media asam.
Aflatoksin tersebut mempunyai warna fluoresensi biru dan hijau dengan kepolaran lebih besar dan daya racun lebih kecil.