pada masing-masing daerah. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Balitsereal mengkaji proses pascapanen jagung di provinsi Gorontalo dan
kaitannya dengan cemaran Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin. Hasil penelitian menyebutkan bahwa produk biji jagung dari petani sampai pedagang
pengumpulpengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb
– 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi 72,0 ppb ditemukan pada tingkat pedagang pengumpulpengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat
pengering pada saat berlangsungnya penelitian. Mengingat efeknya pada kesehatan, suatu badan yang bertanggungjawab
terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik, yaitu Food and Drug Administration FDA mengeluarkan kadar baku tertinggi aflatoksin yang
diizinkan pada makanan yaitu sebesar 20 ppb Shanhan dan Brown, 2001. Di Indonesia sendiri, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI seperti tercantum pada Tabel 4
Tabel 4. Batas Maksimum Aflatoksin pada Produk Olahan Jagung BPOM RI
No Jenis Pangan
Batas Aflatoksin Jenis
ppb Total
1. 2.
3. 4.
Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak : - Minyak jagung
Sereal dan Produk Sereal Termasuk Tepung dan Pati dari Akar-Akaran dan
Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan:
- Biji jagung - Tepung jagung
- Pati jagung - Makanan Cereal Corn flakes
Makanan Ringan Siap Makan: - Pop corn
Lain-Lain: -Pangan Olahan Lain yang Mengandung
Jagung B1
B1 B1
B1 B1
B1 B1
20 20
20 20
20 20
20 35
35 35
35 35
35 35
H. Metode Analisis Aflatoksin
Beberapa metode analitik untuk deteksi dan analisis kuantitatif dari residu mikotoksin di makanan maupun pakan sangat penting dilakukan untuk
memastikan bahwa suatu komoditi aman dikonsumsi hewan maupun manusia. Secara kimia, analisis aflatoksin dilakukan menggunakan metode Thin layer
chromatography TLC dan High performance liquid cromatography HPLC. TLC banyak digunakan sebagai teknik separasi yang mengkombinasikan metode
analisis kualitatif maupun kuantitatif. Limit deteksinya berada pada kisaran microgram dan nanogram. Pada metode TLC, digunakan pelat yang umum
dipakai adalah silika gel. Tahap elusi dapat dilakukan secara monodimensional ataupun bidimensional. Jenis pelarut yang digunakan untuk elusi tergantung pada
jenis pelat yang digunakan. Pelarut yang banyak digunakan adalah etanol, kloroform ataupun aseton. Deteksi yang paling umum digunakan adalah
menggunakan UV ataupun fluoresens karena teknik ini memungkinkan dilakukan kuantifikasi residu mikotoksin Cazes, 2005. TLC merupakan metode yang
paling umum dilakukan saat ini karena memberikan beberapa keuntungan, seperti cukup singkatnya waktu analisis yang diperlukan, teknik yang sederhana untuk
dilakukan serta memiliki kesensitivitasan yang cukup tinggi. Secara biokimia, analisis aflatoksin dapat dilakukan menggunakan uji
biologis seperti immunoassays. Akan tetapi, uji ini jarang sekali dilakukan oleh para pengawas pangan. Teknik immunoassay yang sedang dikembangkan adalah
radio immunoassay RIA dan enzyme-linked immunosorbent assay ELISA. Limit deteksinya berada pada kisaran pikogram hingga nanogram. Selain itu,
terdapat aplikasi metode yang lebih canggih dikenal dengan teknik kromatografi afinitas antibodi. Penggunaan kolom tunggal yang terdiri dari antibodi anit-
aflatoksin yang secara kovalen berikatan dengan matriks gel agarosa dalam cartridge plastik telah diperkenalkan. Cara ini pernah diaplikasikan pada jenis
aflatoksin M1 yang ditemukan di susu. Limit deteksinya diperkirakan sekitar 0.05 µg l , sepuluh kali lebih rendah daripada level yang disarankan FDA Nielsen,
1998.
III. METODOLOGI PENELITIAN