upaya perbaikan dari segi distribusi dan promosi. Promosi pun mungkin perlu lebih ditekankan kepada sosialisasi jenis-jenis produk pangan baru yang
berbasis jagung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai sikap mengonsumsi responden, produk-produk instan dan sereal
sarapan masih belum terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat. Kenyataan yang cukup memprihatinkan teramati dimana kesadaran
responden mengenai keamanan pangan produk berbasis jagung belum menjadi hal yang cukup mendapat perhatian. Hanya 2.17 responden di Bogor 1 orang
yang menyatakan perlunya perbaikan dari segi keamanan pangan, sedangkan tidak ada seorang pun responden Bojonegoro yang memiliki kekhawatiran akan
hal ini. Seperti dikutip oleh Yasminia 2003, perilaku konsumen terhadap makanan yang aman dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu 1 Faktor predisposisi
perorangan kepribadian, kebiasaan, norma, nilai, kepercayaan, kemampuan, ketrampilan, pengetahuan dan sikap dari konsumen sehubungan dengan
makanan tersebut ; 2 Faktor dukungan pemerintah maupun swasta terhadap keberadaan makanan yang aman sehingga tersedia kapan saja dibutuhkan,
terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman dan tersedia informasi rujukan ; dan 3
Faktor penguat ajakan teman dekat, dukungan orangtua, pimpinan, guru dan petugas kesehatan yang menganjurkan makan makanan yang aman.
Kondisi keamanan pangan dari produk-produk jagung ini dibahas pada pembahasan selanjutnya mengenai kandungan aflatoksin yang telah dianalisis.
D. Korelasi Antara Dua Variabel
Untuk melihat keterkaitan antara dua faktor yang dapat menjadi dasar dalam upaya pengembangan produk pangan berbasis jagung, dilakukan
pengujian korelasi antara dua variabel yang berbeda. Kumpulan data dianalisis dengan menggunakan metode Chi-square, Pearson dan Spearman.
Hasil analisis ini berguna dalam mengetahui faktor-faktor hubungan perilaku konsumen terhadap variabel yang diteliti dalam kuesioner.
a. Hubungan Lokasi Responden dengan Kesukaan Terhadap Produk Jagung Dari hasil analisis, diperoleh hubungan tidak nyata antara variabel lokasi
responden dengan kesukaan terhadap produk jagung dengan nilai probabilitas p sebesar 0.055 lebih besar dari 0.05 seperti terlihat pada tabel. Adanya
hubungan yang tidak nyata ini memberikan pandangan bahwa tradisikebiasaan makan masyarakat yang berada di lokasi yang berbeda tidak mempengaruhi
kesukaan terhadap produk pangan berbasis jagung. Hal ini dapat dijadikan asumsi bahwa upaya perbaikan konsumsi jagung di Indonesia tidak akan
terbatas pada lokasi tertentu ssja, tetapi secara merata dapat diusahakan di setiap daerah. Faktor kesukaan produk pangan berbasis jagung ini mungkin
dipengaruhi oleh variabel lain yang dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Hasil analisis ini membuktikan bahwa kesukaan responden tidak
dipengaruhi oleh tempat dimana responden berdomisili. Seperti yang kita ketahui, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan tempat para pendatang
yang berasal dari berbagai daerah. Adanya pengalaman atau kebiasaan makan masa kanak-kanak di daerah asal kemudian terbawa hingga dewasa. Keadaan
inilah yang mempengaruhi preferensi ataupun kesukaan responden terhadap produk jagung ketika responden menemukan adanya ketersediaan akan produk
tersebut di Bogor. Menurut Khumaidi 1989, terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh
pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada saat anak-anak. Biasanya jenis makanan
yang telah terbiasa disukai sejak masa anak-anak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada usia dewasa.
Hasil analisis korelasi dan nilai probabilitas p yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan
Kesukaan terhadap Produk Jagung
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. 2-sided
Pearson Chi- Square
5.815a 2
.055 Likelihood Ratio
7.367 2
.025 N of Valid Cases
94 a 2 cells 33.3 have expected count less than 5. The minimum expected
count is 1.96. b. Hubungan Lokasi Responden dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Dari hasil analisis, diperoleh hubungan nyata antara variabel lokasi responden dengan frekuensi konsumsi terhadap produk jagung per minggu
dengan nilai probabilitas p sebesar 0.00 lebih kecil dari 0.05 seperti terlihat pada tabel. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi produk
jagung dipengaruhi faktor lokasi atau tempat domisili responden. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya perbedaan ketersediaan akan jagung di kedua lokasi.
Suryana 1991 mengungkapkan bahwa bila dihubungkan dengan keragaan tingkat produksi, daerah dengan tingkat konsumsi jagung tinggi ternyata
berimpit dengan kabupaten yang diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi dimana Bojonegoro merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia.
Selain itu, tradisi atau kebiasaan mengonsumsi produk pangan berbasis jagung juga mempengaruhi seberapa sering responden mengonsumsi produk
tersebut dalam tiap minggunya. Hal ini terkait dengan pilihan opini responden yang menyarankan perlunya perbaikan dari segi kualitas dan kuantitas dalam
rangka memperbaiki konsumsi jagung di Indonesia. Hasil analisis korelasi dan nilai probabilitas p yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan
Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. 2-sided
Pearson Chi- Square
20.074a 3
.000 Likelihood Ratio
21.998 3
.000 N of Valid Cases
92 a 2 cells 25.0 have expected count less than 5. The minimum
expected count is 2.45. c. Hubungan Tingkat Kesukaan dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung
Korelasi antara variabel “kesukaan” dengan “frekuensi” menunjukkan angka sebesar 0.031. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat
lemah dianggap tidak ada dan searah. Hubungan kedua variabel tidak signifikan karena angka probabilitasnya 0.770 0.05 seperti terlihat pada Tabel
15.
Tabel 15. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Kesukaan dan Frekuensi
Konsumsi Produk Jagung Responden
kesukaan Frekuensi Spearmans
rho Kesukaan Correlation
Coefficient 1.000
.031 Sig. 2-tailed
. .770
N 94
91 Frekuensi Correlation
Coefficient .031
1.000 Sig. 2-tailed
.770 .
N 91
92 Besarnya sumbangan atau peranan variabel kesukaan terhadap frekuensi dapat
dihitung dengan rumus koefisien determinasi : KD = r
2
x 100 = 0.031
2
x 100 = 0.09
Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat kesukaan responden terhadap produk jagung belum tentu menyebabkan semakin
meningkatnya frekuensi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang diberikan tidak signifikan, hanya sebesar 0.09.
Kesukaan yang tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi konsumsi responden semakin memberikan penguatan bahwa frekuensi konsumsi sangat
dipengaruhi oleh faktor ketersediaan akan produk jagung itu sendiri.
d. Hubungan Antara Variabel Frekuensi Konsumsi dengan Porsi Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung
Selanjutnya, pada penelitian juga dilakukan analisis korelasi Spearman untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi konsumsi
dengan porsi konsumsi produk pangan berbasis jagung responden. Korelasi antara variabel frekuensi dan porsi konsumsi menunjukkan angka sebesar -
0.042. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat lemah dianggap tidak ada dan korelasi yang dihasilkan merupakan korelasi negatif.
Korelasi negatif ini menunjukkan arah yang berlawanan. Hubungan kedua variabel tidak signifikan karena angka probabilitasnya 0.6930.05 seperti
terlihat pada Tabel 16
Tabel 16. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Frekuensi Konsumsi
dan Porsi Konsumsi Produk Jagung Responden frekuensi Porsi
Spearmans rho
Frekuensi Correlation Coefficient
1.000 -.042
Sig. 2-tailed .
.693 N
92 92
Porsi Correlation
Coefficient -.042
1.000 Sig. 2-tailed
.693 .
N 92
93 Besarnya sumbangan atau peranan variabel frekuensi terhadap porsi konsumsi
dapat dihitung dengan rumus koefisien determinasi :
KD = r
2
x 100 = -0.042
2
x 100 = 0.017
Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi frekuensi konsumsi produk jagung belum tentu menyebabkan semakin meningkatnya
porsi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang diberikan tidak signifikan, hanya sebesar 0.017. Hal ini mungkin dapat diperjelas dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Juniawati 2003 yang melakukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal kepuasan yang didapatkan saat mengonsumsi produk-produk pangan non
beras antar responden n=200. Sebanyak 60 responden merasa kepuasan yang didapat saat mengkonsumsi pangan non beras tidak sama dengan saat
mengonsumsi nsi. Adanya ketidakpuasan ini disebabkan karena tingkat kekenyangan yang didapatkan berbeda. Konsumsi produk jagung yang
didominasi sebagai produk camilan menyebabkan porsi konsumsinya hanya terbatas.
E. KANDUNGAN AFLATOKSIN PRODUK JAGUNG DI TINGKAT PETANI, TINGKAT BAHAN BAKU DAN TINGKAT PRODUK
AKHIR
a. Hasil
Analisis Aflatoksin
Menggunakan Metode
Thin Layer
Chromatography TLC Aflatoksin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan pada jagung
Cole et al. ,1982. Kontaminasi aflatoksin juga mungkin dapat menjadi lebih parah ketika tanaman yang sedang tumbuh mengalami kondisi kering dalam
waktu yang cukup lama Winter dan Helferich, 2001. Pencegahan pembentukan aflatoksin selama masa pra-panen sangatlah
sulit, terlebih kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan menjadi suatu resiko yang berkelanjutan Winter dan Helferich ,2001. Menurut Winter dan
Helferich 2001, kontaminasi aflatoksin pada makanan mulai terjadi ketika
spesies aflatoksigenik dari Aspergillus flavus berkoloni dan kemudian didukung oleh kondisi yang tepat untuk memproduksi toksin.
Selama ini, analisis mengenai kandungan aflatoksin pada produk jagung lebih banyak ditekankan kepada produk jagung di tingkat petani dan bahan baku
saja, sedangkan analisis terhadap produk akhir masih belum banyak dilakukan. Analisis aflatoksin menggunakan metode Thin Layer chromatography TLC
dilakukan terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Limit deteksi kadar aflatoksin yang dapat terukur menggunakan metode ini adalah 4 ppb untuk
aflatoksin B1 dan G1 dan 3 ppb untuk aflatoksin B2 dan G2. Pembahasan pada penelitian lebih ditekankan kepada aflatoksin B1 karena keseluruhan sampel
hanya mengandung ketiga jenis aflatoksin lainnya di bawah limit deteksi. Prevalensi cemaran aflatoksin pada berbagai tingkatan sampel dapat dilihat pada
Tabel 17
Tabel 17. Prevalensi Cemaran Aflatoksin Pada 3 Kategori Sampel
Kategori Jumlah
Sampel Jumlah Sampel
Terkontaminasi Terkontaminasi
Aflatoksin B1 Jagung pipil
6 2
33.33 Produk intermediate
9 4
44.44 Produk akhir
10 4
40 limit deteksi aflatoksin B1 adalah 4 ppb
Data di atas menunjukkan bahwa sampel jagung pipil sudah mulai terkontaminasi aflatoksin. Hal ini dapat ditunjukkan dari data yang
menggambarkan bahwa 2 dari 6 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 33.33. Sampel yang mengandung aflatoksin di bawah limit deteksi diasumsikan tidak
terkontaminasi aflatoksin. Titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin pun dapat dinyatakan sudah mulai terjadi pada sampel jagung pipil yang berasal dari
petani. Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. 1993, kontaminasi aflatoksin pada jagung berawal dari petani, kemudian meningkat selama masa
penyimpanan oleh pedagang pengumpul. Lebih lanjut, Deshpande 2002 menyatakan bahwa Aspergillus flavus sudah dapat memproduksi aflatoksin
sebelum masa panen.
Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. 1994, suatu survei yang dilakukan oleh BULOG dan Tropical Product Institute TPI menunjukkan
bahwa 27 contoh jagung yang dikumpulkan dari beberapa propinsi di Indonesia mengandung aflatoksin lebih dari 20 ppb. Survei yang dilakukan oleh
Biotrop pada tahun 1985 menunjukkan bahwa 6 dari 11 contoh tepung jagung yang sedang dikeringkan dan diperoleh dari Pedagang Pengumpul Pedesaan
PPP di Provinsi lampung mengandung 2-83 ppb aflatoksin B1 Rahayu dan Dharmaputra dalam Dharmaputra et al., 1993, sedangkan survey pada tahun
1992 menunjukkan bahwa 35 contoh jagung yang diperoleh dari petani, pedagang pengumpul pedesaan PPP, pedagang pengumpul menengah dan
pedagang besar di provinsi Lampung mengandung aflatoksin 23.4 – 367.4 ppb.
Tiga puluh contoh mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb Dharmaputra et al., 1993.
Prevalensi terbesar terdapat pada sampel produk intermediate dimana 4 dari 9 sampel terkontaminasi aflatoksin. Sampel-sampel bahan mentah yang
positif terkontaminasi aflatoksin adalah tepung jagung, menir jagung, beras jagung, serta 1 merk maizena. Sampel-sampel pada kategori ini diproduksi
tanpa melalui proses pemasakan, yakni hanya melewati proses pengecilan ukuran saja. Lamanya penyimpanan sebelum dimulainya proses produksi
sampel jenis ini pun diduga dapat menjadi penyebab kontaminasi aflatoksin. Hasil analisis aflatoksin pada 6 sampel uji jagung pipil secara lengkap
dapat dilihat pada Gambar 13.
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
kadar aflatoksin
ppb
JPP4 P3
PCR 3 JG
P6 P7
Gambar 13. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Pipil
Keterangan :
JPP 4 = jagung pipil 1 JG
= jagung pipil gorontalo P3
= jagung pipil 2 P6
= jagung pipil 4 PCR 3 = jagung pipil 3
P7 = jagung pipil 5
Berdasarkan grafik, keenam sampel yang berada pada tingkatan petani memiliki kadar aflatoksin pada batas yang masih diperbolehkan, yakni di bawah
20 ppb. Sebanyak 5 sampel didapat dari daerah Bojonegoro, sedangkan sisanya merupakan jagung pipil kering Gorontalo yang dijadikan bahan baku dalam
pembuatan maizena. Kondisi ini kemungkinan besar didukung oleh adanya upaya perbaikan yang cukup efektif dalam hal produksi jagung dimana cara
bercocok tanam merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam menghindari kontaminasi aflatoksin pada jagung Jonas dalam Dharmaputra et
al., 1994. Selain itu, Widstrom et al. 1990 mengatakan bahwa kondisi lingkungan terutama temperatur dan RH selama musim tanam merupakan faktor
yang mempengaruhi terjadinya kontaminasi aflatoksin pada jagung. Penelitian lain mengenai prevalensi aflatoksin pada beberapa tingkatan
sampel pernah dilakukan oleh Balitsereal pada tahun 2005. Berdasarkan hasil penelitian ini, pada umumnya produk biji jagung dari petani sampai pedagang
0.0 4
4 11.98
19.63
0.0
pengumpulpengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb
– 665 ppb dengan perincian 47,62 sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb
– 24 ppb; 52,38 sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb
– 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi 72,0 ppb ditemukan pada tingkat pedagang pengumpulpengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat
pengering pada saat berlangsungnya penelitian Balitsereal, 2007. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Toha 2008, kadar air contoh
jagung pipil dengan kode P3, P6 dan P7 berkisar antara 13.5-14.9 . sedangkan kelembaban relatif, a
w
dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 50-54 , 0.74-0.81 dan 34.5
o
C. Pada sampel P3 dan P6, populasi Aspergillus flavus belum ditemukan, sedangkan pada sampel P7 telah ditumbuhi
Aspergillus flavus sebanyak 10
2
cfug. Akan tetapi, ketiga sampel ini masih memiliki kandungan aflatoksin pada level yang aman.
Kandungan aflatoksin tertinggi dimiliki oleh jagung pipil dengan kode JPP 4 yakni sebesar 19.63 ppb. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan populasi
Aspergillus flavus yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan sampel lain, yakni sebesar 360 cfug, sedangkan untuk sampel jagung gorontalo tidak
dilakukan analisis Aspergillus flavus. Analisis kandungan aflatoksin juga dilakukan terhadap sampel uji produk
intermediate yang terdiri dari tepung jagung, menir jagung, beras jagung, nasi jagung, maizena dan babycorn. Hasil analisis aflatoksin pada 9 sampel produk
intermediate secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 14.
BC = Baby corn
PBB 4 = Maizena 1
PBB 6 = Maizena 2
PBB 5 = Maizena 3
5 10
15 20
25 30
35 40
kadar aflatoksin
ppb
PBB1 PBB3 PBB2 NJ
MH BC
PBB4 PBB6 PBB5
Gambar 14 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk
Intermediate
Keterangan :
PBB1 = Menir Jagung PBB3 = Tepung Jagung
PBB2 = Beras Jagung NJ
= Nasi Jagung MH
= Maizena 4
Sebanyak 4 sampel merupakan maizena dengan 4 merk berbeda yang didapat di daerah Bogor, sedangkan tepung jagung didapat dari daerah
Bojonegoro. Maizena dan tepung jagung merupakan jenis bahan baku yang populer digunakan masyarakat dan industri pangan. Keberadaan aflatoksin pada
kedua jenis bahan ini akan berkaitan erat dengan kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk akhir.
Menurut SNI tahun 1995, definisi tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung Zea Mays LINN yang baik dan
bersih. Mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, tepung jagung yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini mengandung
aflatoksin melewati batas maksimal yang ditetapkan, yakni 20 ppb untuk
4 4
4 4
4 7.92
9.8 38.84
29.65
aflatoksin B1 sedangkan keseluruhan sampel maizena memiliki kandungan aflatoksin yang masih berada pada batas yang aman.
Menurut Sinha 1993, sangat sulit untuk menghilangkan kandungan mikotoksin di dalam bahan pada kondisi lingkungan yang normal. Selain itu,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat,
kadar air bahan, suhu dan kelembaban relatif lingkungan dan lama penyimpanan Diener dan Davis ,1969. Menurut Butler 1974 substrat yang berbeda akan
berpengaruh terhadap pembentukan aflatoksin. Selanjutnya, hasil analisis aflatoksin pada 10 sampel uji produk akhir
secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 15.
20 40
60 80
100 120
140
kadar flatoksin ppb
PJ8 KJ
PJ5 PJ6 PC PJ4 CS
PU GJ PJ3
Gambar 15 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk Akhir
Keterangan :
PJ 8 = Marning tradisional
PJ 4 = Brondong jagung KJ
= Keripik jagung CS = Snack Corn Stick
PJ 5 = Emping jagung
PU = Jagung puff
PJ 6 = tortilla
GJ = Grontol Jagung PC
= Popcorn PJ 3
= Snack Jagung
9.64 4
4 4
4 4
0.0 43.99
4.99 137.53
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dharmaputra et al. 1993 didapatkan bahwa kandungan aflatoksin pada produk olahan jagung umumnya
lebih rendah daripada jagung itu sendiri. Hal ini tidak sejalan dengan hasil analisis yang didapat. Seperti terlihat pada Gambar 15, kadar aflatoksin masing-
masing sampel cukup beragam. BPOM RI menetapkan batas aflatoksin dalam makanan yang dikonsumsi
tidak melebihi 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan 35 ppb untuk aflatoksin total. Pada penelitian ini, sebanyak 20 2 dari 10 sampel contoh jagung pada
tingkatan produk akhir mengandung aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb. Produk corn stick yakni produk cemilan dalam kemasan memiliki kadar
aflatoksin sebesar 0 ppb. Dharmaputra dan Putri 1997 mengungkapkan bahwa produk olahan jagung yang berupa makanan ringan melalui banyak proses dan
biasanya dicampur dengan bahan lain seperti zat aditif. Bahan-bahan tersebut kemungkinan berpengaruh terhadap kandungan aflatoksin yang terdapat pada
produk-produk olahan jagung. Akan tetapi, hal yang cukup mengkhawatirkan dapat diamati dari hasil analisis dimana berondong jagung memiliki kadar
aflatoksin yang paling tinggi diantara keseluruhan sampel di berbagai tingkatan. Tingginya kandungan aflatoksin ini telah melewati batas aman yang ditetapkan
BPOM RI, yakni sebesar 20 ppb. Kandungan aflatoksin yang tinggi ini diduga karena pada produk berondong jagung jumlah populasi Aspergillus flavusnya
memang cukup tinggi. Selain itu, proses pengolahan popping pada pembuatan berondong jagung hanya menggunakan suhu proses sekitar 144-149
C dimana aflatoksin masih dapat bertahan. Snack jagung puff juga memiliki kadar
aflatoksin yang melewati batas yang telah ditetapkan oleh BPOM. Padahal, jenis produk dalam kemasan ini cukup populer dikonsumsi masyarakat beberapa
tahun terakhir ini. Produk-produk dengan kondisi seperti ini semestinya sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan efek bahaya terhadap
kesehatan manusia. Menurut Viquez et al. seperti dikutip oleh Putri 1996, faktor kimiawi seperti nutrisi dan substrat memegang peranan penting dalam
pembentukan aflatoksin. Jagung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan kandungan nitrogen yang rendah merupakan substrat yang baik untuk
produksi aflatoksin. Seperti dikutip oleh Samson et al. 1981, kebanyakan
pembentukan aflatoksin juga dipengaruhi oleh keberadaan beberapa asam amino, asam-asam lemak serta mineral Zn.
Secara keseluruhan, dari 25 sampel yang diuji kandungan aflatoksinnya, sebanyak 4 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb. Penelitian
yang pernah dilakukan oleh Biotrop pada tahun 1997 menyebutkan bahwa dari 9 sampel produk olahan jagung yang diperoleh dari pasar swalayan, sebanyak 4
sampel terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar 10-20 ppb.
b. Korelasi Kandungan Aflatoksin dan Populasi Aspergillus flavus Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate
Aspergillus flavus adalah mikroflora yang umum ditemukan di udara dan tanah. Spesies ini juga umum ditemukan pada gandum, jagung, biji kapas, beras,
barley, dedak, tepung, kacang, kedelai sorghum cabe bubuk, kopra, millet, tree nuts, biji kopi hijau, dibanding komoditi lain Winter dan Helferich, 2001.
Diener dan Davis 1987 melaporkan bahwa inokulum awal Aspergillus flavus pada jagung diduga berasal dari koloni cendawan yang bersporulasi.
Koloni tersebut berasal dari miselium yang terdapat pada sisa bahan tanaman yang membusuk di tanah dan atau dari spora yang terbawa angin. Produksi
aflatoksin bergantung pada galur Aspergillus flavus Diener dan Davis, 1969 dan dipengaruhi oleh keberadaan spesies cendawan lain yang berkompetisi
dengan Aspergillus flavus Choudhary dalam Dharmaputra et al., 1994. Kemungkinan keberadaan populasi fungi serta kontaminasi aflatoksin
akan lebih tinggi pada biji jagung yang pecah ataupun retak. Menurut Deshpande 2002, serangan Aspergillus flavus dapat terjadi pada saat tanaman
masih berada di lahan ataupun pada saat penyimpanan. Perlakuan pasca panen dapat berpengaruh terhadap serangan cendawan.
Pada umumnya, kadar air jagung yang baru saja dipanen masih tinggi, sehingga merupakan substrat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan dan produksi
mikotoksin. Oleh karena itu, pengeringan merupakan tahapan yang penting untuk mencegah serangan cendawan pada jagung
Hasil analisis aflatoksin pada beberapa sampel dihubungkan dengan hasil analisis Aspergillus flavus yang dilakukan oleh Toha 2008 untuk dilihat
korelasinya. Sebanyak 16 sampel dianalisis total Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksinnya seperti terlihat pada Tabel 18
Tabel 18. Hasil Analisis Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin
Kode Sampel Total
A.flavus cfug Kadar
aflatoksin B1ppb Jagung pipil 1
Jagung pipil 2 Jagung pipil 3
10
2
Jagung pipil 4 1.8 x 10
2
19.63 Jagung pipil 5
1.8 x 10
2
Menir jagung 9.8
Beras jagung 29.65
Tepung Jagung 10
3
38.84 Maize 1
Maize 3 Maize 2
7.92 Snack
Brondong Manis 10
2
137.53 Emping
Tortila Meksiko Marning
9.64 Sumber : Toha, 2008
y = 0.0322x + 5.3545
5 10
15 20
25 30
35 40
45
200 400
600 800
1000 1200
total A. flavus k
a da
r a
fl a
tok s
in pp
Gambar 17 . Korelasi Populasi Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin
Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate Menurut Makfoeld 1993, pati jagung biasanya tidak begitu banyak
mengandung fungi di dalamnya di bawah 10
2
kolonigram. Hal ini sesuai dengan hasil analisis dimana ketiga sampel maizena sama sekali tidak
ditumbuhi oleh koloni Aspergillus flavus. Total Aspergillus flavus paling tinggi terdapat pada sampel tepung jagung, yakni sebesar 10
3
cfug. Akan tetapi, berondong jagung yang diketahui memiliki kandungan aflatoksin tertinggi
masih memiliki total Aspergillus flavus yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung jagung. Sampel beras jagung dan menir jagung yang diuji
menunjukkan kadar aflatoksin melewati batas aman meskipun populasi Aspergillus flavus dinyatakan tidak ada. Padahal, jenis produk ini merupakan
produk yang hanya melewati proses pengecilan ukuran saja dimana proses tersebut semestinya tidak akan menyebabkan penurunan jumlah populasi
Aspergillus flavus. Populasi Aspergillus flavus kemungkinan telah ada sejak pasca panen sehingga kemungkinan juga sudah mulai memproduksi aflatoksin.
Akan tetapi, proses pengeringan yang berlangsung sebelum terjadinya pengecilan ukuran menyebabkan pertumbuhan Aspergillus flavus terhambat,
sementara residu aflatoksin masih tertinggal pada bahan. Berdasarkan analisis statistik, kandungan aflatoksin memiliki korelasi
positif dengan populasi Aspergillus flavus. Analisis regresi hanya dilakukan pada sampel jagung pipil dan produk intermediate saja. Hal ini dikarenakan
produk akhir umumnya memiliki korelasi yang bervariasi. Pada tabel dapat dilihat bahwa sampel produk akhir yang populasi Aspergillus flavus-nya tinggi
belum tentu kandungan aflatoksinnya juga tinggi. Proses pengolahan yang dilakukan pada saat memproduksi produk olahan jagung umumnya
mengakibatkan jumlah populasi Aspergillus flavus menurun bahkan hilang sama sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Dharmaputra et al. 1993 menemukan
bahwa terdapat korelasi positif antara populasi Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin pada sampel jagung yang diambil di tingkat petani dan
pedagang di propinsi Lampung. Menurut Diener dan Davis 1969 terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat, kadar air bahan, suhu dan
kelembaban relatif lingkungan, dan lama penyimpanan. Populasi Aspergillus
flavus sp.dan produksi aflatoksin dapat dipengaruhi oleh metabolit yang
dihasilkan oleh jagung. Selain itu, jenis metabolit yang dihasilkan bergantung
kepada varietas jagung. Pada penelitian ini, sampel yang diperoleh berasal dari berbagai varietas jagung sehingga menghasilkan variasi terhadap hasil analisis
yang didapat.
]
V. KESIMPULAN DAN SARAN