b. Uji Validitas Pengukuran validitas dilakukan dengan memeriksa nilai
α Cronbach dari korelasi antar variabel Reliability Coefficients atas item variable yang
diperlihatkan matriks nilai korelasinya pada Tabel. Nilai untuk responden adalah sebesar :
Menurut Singarimbun dan Effendi 1989, standar untuk uji validitas dapat dikatakan valid adalah 0.75. Dengan nilai Alpha Cronbach yang diperoleh
dari pengolahan menggunakan SPSS versi 12 for windows lebih besar dari 0.75 maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dianggap
valid.
B. Profil Responden
Deskripsi profil responden diperoleh berdasarkan penyebaran kuesioner yang dilakukan pada 2 lokasi survei. Profil responden meliputi jenis kelamin,
usia, dan status pekerjaan. a. Jenis Kelamin
Dari total 50 responden yang berlokasi di Bojonegoro, 30 dari jumlah responden 14 orang adalah wanita dan 70 33 orang adalah pria. Di
Bogor, 90 dari jumlah responden 37 orang adalah wanita dan 10 4 orang adalah pria. Sebaran frekuensi jenis kelamin responden konsumen
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.
Reliability Statis tics
.806 12
Cronbac hs A lpha
N of Items
Gambar 6. Frekuensi Jenis Kelamin Responden
b. Usia Berdasarkan usia responden yang berlokasi di Bojonegoro, 88 42
orang responden berusia 15-25 tahun dan 12 responden berusia di atas 25 tahun. Tabel frekuensi usia repsonden konsumen selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 . Frekuensi Umur Responden
Kategori usia Responden
Bojonegoro Responden Bogor
n n
15-25 tahun 42
88 43
100 26-35 tahun
3 6
- -
36-45 tahun 2
4 -
- 45 tahun
1 2
- -
Total 48
100 43
100 Tidak menjawab
2 -
7 -
c. Status Pekerjaan Dari total 50 responden di Bojonegoro, sebagian besar responden
54 berstatus sebagai mahasiswa, sedangkan sebanyak 50 responden yang berlokasi di Bogor, total keseluruhan responden yakni 100 50
orang adalah mahasiswa. Sebaran frekuensi status pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 7.
30
70
wanita pria
90 10
wanita pria
Tabel 7 . Frekuensi Status Pekerjaan Responden
Kategori status pekerjaan
Responden Bojonegoro
Responden Bogor n
n Pelajar
17 35
- -
Mahasiswa 26
54 43
100 Wiraswasta
5 10
- -
Total 48
100 43
100 Tidak menjawab
2 -
7 -
C. Aspek Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung
a. Kesukaan Terhadap Produk Pangan Berbasis Jagung Kesukaan terhadap suatu makanan akan berpengaruh terhadap konsumsi
pangan Suhardjo, 1989. Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : 1Karakteristik individu umur, jenis
kelamin, pendidikan ; 2 Karakteristik pangan itu sendiri rasa, harga, penampakan; dan 3 Karakteristik lingkungan musim, pekerjaan, tingkat
social dalam masyarakat Sanjur, 1982. Selain itu, keterikatan yang kuat
terhadap pola makan kebiasaan biasanya terbentuk ketika masyarakat
menyukai makanan tersebut seperti dikutip oleh Khumaidi 1989.
Penilaian perilaku konsumsi responden di 2 lokasi survei, yakni Bojonegoro dan Bogor berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk jagung
dapat dilihat pada Tabel 8
Tabel 8. Frekuensi Tingkat Kesukaan Responden Terhadap
Produk jagung No
Tingkat Kesukaan Terhadap Produk
Jagung Responden
Bojonegoro Responden Bogor
n n
1. Suka
14
a
28 21
a
42 2.
Netral 30
b
60 25
a
50 3. Tidak Suka
4
a
8 -
- Total
48 96
46 92
Tidak menjawab 2
- 4
- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda
nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95.
Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 60 responden yang berada di Bojonegoro bersikap netral terhadap produk jagung dan hanya 28 responden yang
menyukai produk jagung. Sedangkan di Bogor, persentase responden yang menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di
Bojonegoro. Sebanyak 42 menyukai produk jagung dan 50 lainnya bersikap netral.
Data ini menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh responden di kedua lokasi. Adanya dominasi sikap netral responden
Bojonegoro dapat dijadikan motivasi bagi industri pangan untuk menghasilkan produk olahan jagung yang lebih menarik. Hasil pengolahan produk jagung
yang lebih variatif dan berkualitas nantinya akan dapat meningkatkan kesukaan responden. Hal serupa juga dapat ditujukan bagi kelompok
responden di Bogor. Bogor sebagai daerah sub-urban menuntut warganya untuk mengikuti gaya hidup modern. Hal ini memicu munculnya produk-
produk pangan baru yang berupaya memenuhi tuntutan akan gaya hidup tersebut. Responden Bogor yang hanya bersikap netral terhadap produk
jagung akan bertambah kesukaannya jika produk-produk jagung yang ditawarkan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang memenuhi
tuntutan gaya hidup modern. Sejalan dengan penelitian ini, penelitian lain yang pernah dilakukan
kepada mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi angkatan tahun 1999-2001 sebanyak 100 orang memberikan hasil kajian mengenai perilaku konsumen
terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Berdasarkan kajian tersebut, seluruh responden diketahui mengenal jagung. Hal ini disebabkan jagung merupakan
bahan pangan yang sudah tersebar hampir di seluruh wilayah tanah air dan sudah banyak dikonsumsi sebagi pangan pokok maupun sebagai pangan
olahan dalam bentuk yang beragam seperti sereal instan untuk sarapan, snack atau makanan selingan Juniawati, 2003. Berdasarkan penelitian tersebut juga
diketahui bahwa responden mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi yang mewakili responden Bogor umumnya menyukai produk jagung. Hal ini
terlihat dari banyaknya responden yang mengonsumsi jagung pada 1 minggu yang lalu saat kajian dilakukan menunjukkan bahwa jagung merupakan bahan
pangan yang sering dikonsumsi. Waktu terakhir mengonsumsi pangan asal jagung dapat dilihat pada Gambar 7
Gambar 7. Waktu Terakhir Mengonsumsi Pangan Asal Jagung n=100
Juniawati, 2003 b. Tempat Memperoleh Produk Pangan Berbasis Jagung
Akses responden di Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tersebar hampir merata di pasar, warung, minimarket dan supermarket. Data
kuesioner menunjukkan bahwa banyaknya responden Bojonegoro yang memilih pasar, warung, minimarket maupun supermarket tidak berbeda nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk olahan jagung terdistribusi secara merata di lokasi-lokasi tersebut. Ketersediaan yang merata ini menunjang
akses konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan produk. Hal ini nantinya dapat dilihat berdampak pada frekuensi konsumsi produk olahan jagung
responden di Bojonegoro. Sumarwan di dalam Nadeak 2004 mengungkapkan bahwa adanya
keinginan membeli produk akan mendorong konsumen untuk mencari toko atau pusat perbelanjaan tempat untuk membeli produk tersebut. Konsumen
akan memilah-milah dan membandingkan karakteristik toko yang sesuai dengan keinginannya. Pasar swalayan atau supermarket merupakan konsep
pasar modern yang cepat berkembang di Indonesia dan mendapat respon yang baik dari konsumen. Pasar swalayan memiliki konsep dengan operasi yang
relatif lebih besar, berbiaya rendah, memiliki margin yang rendah, serta volume yang tinggi. Swalayan dirancang untuk memenuhi semua kebutuhan
51
12 4
4 23
10 20
30 40
50 60
1 minggu lalu
2 minggu lalu
3 minggu lalu
4 minggu lalu
4 minggu lalu
konsumen. Dari hasil survey mengenai sifat dan kualitas keragaman barang di Superindo, sebanyak 33 responden mengatakan sangat penting dan 61
lainnya menyatakan penting Nadeak, 2004. Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di
lokasi ini lebih memilih warung 44 dan minimarket 32 sebagai tempat membeli dibandingkan pasar 24 dan supermarket 22. Kondisi ini
cukup menarik karena responden di Bogor, yang dikenal sebagai daerah sub urban, tentunya lebih familiar dengan keberadaan supermarket. Akan tetapi,
responden di daerah ini justru lebih memilih warung dan minimarket. Bila diamati lebih lanjut, tidak ada perbedaan jenis produk olahan jagung yang
ditawarkan di keempat lokasi tersebut. Hal ini diasumsikan terkait dengan kemudahan responden untuk menjangkau lokasi warung dan minimarket di
Bogor. Responden Bogor yang 100 berstatus sebagai mahasiswa yang berdomisili di Dramaga lebih memilih lokasi mendapatkan produk olahan
jagung di tempat-tempat yang lebih mudah dijangkau tanpa harus melakukan perjalanan yang cukup jauh. Lokasi suatu toko sangat ditentukan oleh letaknya
yang strategis, kemudahan dalam menjangkau toko dengan berbagai sarana transportasi dan keadaan jalan yang lancar Purba, 2006. Dalam pemilihan
lokasi, toko harus strategis supaya mudah dicapai oleh para konsumen. Menurut Purba 2006, keputusan dimana pembelian akan dilakukan
tergantung pada pengetahuan tentang pembelian yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kepentingan konsumen mengenai lokasi dan sarana
untuk menuju Matahari Bandar Lampung, sebanyak 94 menyatakan penting dan sangat penting.
Selain itu, citra toko merupakan realitas yang diandalkan oleh konsumen sewaktu membuat pilihan dimana mereka memutuskan tempat untuk
berbelanja Setiadi dalam Nadeak, 2004. Minimarket yang berada di daerah Dramaga memiliki citra yang baik sebagai tempat strategis untuk mencari
produk-produk yang dibutuhkan oleh para mahasiswa. Konsumen sering mengembangkan citra toko didasarkan pada iklan, kelengkapan di dalam toko,
pendapat teman dan kerabat dan juga pengalaman belanja Nadeak, 2004
Data sebaran frekuensi pilihan tempat mengakses produk olahan jagung oleh responden di kedua lokasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8
Gambar 8. Grafik Sebaran Tempat Memperoleh Produk
c. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari
kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada
saat anak-anak. Biasanya jenis makanan yang telah terbiasa disukai sejak masa anak-anak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada usia dewasa
Khumaidi, 1989. Selain itu, kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat
dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan Suhardjo et al.,
1988. Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung
memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung. Penduduk di sekitar daerah tersebut biasa mengkonsumsi produk olahan
jagung ini sebagai camilan. Terbentuknya kebudayaan mengkonsumsi jagung ini mungkin memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap frekuensi
konsumsi produk jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suryana
22 24
24 44
22 32
32 22
5 10
15 20
25 30
35 40
45
pas ar
wa run
g mi
nim arke
t superm
ark et
tempat memperoleh responden Bojonegoro
responden Bogor
1991, kabupaten Bojonegoro termasuk ke dalam kelompok daerah tingkat konsumsi jagung tinggi. Bila dihubungkan dengan keragaan tingkat produksi,
ternyata daerah tingkat konsumsi tinggi ini berimpit dengan kabupaten yang diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi dimana Bojonegoro merupakan
salah satu sentra produksi jagung di Indonesia. Perbandingan antara rata-rata frekuensi konsumsi jagung per minggu dari responden di Bojonegoro dan
responden di kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 . Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung
Selama Periode 5 Tahun Terakhir No Rata-Rata Frekuensi
Konsumsi Responden
Bojonegoro Responden Bogor
n n
1. 1 kaliminggu
16
a
32 35
a
70 2.
1 kaliminggu 16
a
32 7
b
14 3.
2 kaliminggu 12
ab
24 1
b
2 4.
3 kaliminggu 3
b
6 2
b
4 Tidak menjawab
3 6
5 10
Total 50
100 50
100 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95. Ada hubungan penilaian konsumen terhadap makanan dengan frekuensi
yaitu penilaian yang positif diikuti dengan frekuensi yang semakin sering. Menurut Suhardjo 1989, hal ini disebabkan makanan-makanan yang disajikan
dan diterima menjadi kesukaan dan kebiasaan makan konsumen remaja menjadikan seseorang mempunyai emosional yang kuat terhadap loyalitas dan
kepekaan terhadap makanan tersebut yang ditunjukkan dari frekuensi mengonsumsinya. Lewin 1943 dalam Suhardjo 1989, sebagian besar orang
lebih suka makan apa yang mereka sukai daripada menyukai apa yang mereka makan.
Meskipun responden di Bogor yang menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di Bojonegoro, frekuensi konsumsi per minggu
terhadap produk jagung di Bojonegoro ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan frekuensi konsumsi di Bogor. Sebanyak lebih dari 50 responden 62 di Bojonegoro mengkonsumsi produk jagung minimal sekali dalam
seminggu. Sedangkan, sebanyak 70 responden di Bogor belum tentu mengkonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari literatur disebutkan bahwa ketersediaan dan harga merupakan faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi
pengaruh terhadap kesukaan Meiselman dan Macfie, 1996.
d. Perkiraan Porsi Konsumsi Produk Olahan Jagung Oleh Responden Pada butir kuesioner, responden mengisi rata-rata porsi konsumsi produk
olahan jagung dalam 1 kali konsumsi. Porsi dibedakan berdasarkan jenis kemasan seperti kemasan plastik dan kemasan kaleng. Selain itu, jenis ukuran
kemasan juga dibedakan berdasarkan ukuran besar, kecil ataupun porsi konsumsi setiap menyantap sereal sarapan cornflakes. Perhitungan perkiraan
porsi konsumsi dilakukan hanya terhadap produk yang sering dan kadang- kadang dikonsumsi responden. Hasil perhitungan perkiraan porsi konsumsi
produk jagung responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 10
Tabel 10. Perkiraan Rata-Rata Porsi Konsumsi Produk Jagung
Lokasi Tingkatan Frekuensi Rata
– Rata Porsi Konsumsi gram
Bojonegoro Kadang-kadang
78.03 Sering
85.37 Rata-Rata Total
81.7 Bogor
Kadang-kadang 80.41
Sering 65.09
Rata-Rata Total 72.75
Berdasarkan Tabel 10, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Hasil ini dapat
didukung oleh hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Fachrina 2005 mengenai pola konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di pedesaan dan
perkotaan di lima propinsi pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Bogor yang dapat diwakili oleh rumah tangga miskin perkotaan di Jawa Barat
memiliki tingkat konsumsi per kapita yang lebih rendah dibandingkan rumh
tangga miskin di wilayah perkotaan Jawa Timur. Hasil penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 11
Tabel 11 . Konsumsi pangan pokok pada rumah tangga Miskin Berdasarkan
Propinsi dan Wilayah gkapitahari Jenis Pangan
Propinsi DKI
Jawa Barat Jawa Tengah
DIY Jawa Timur
Kota Kota
Desa Kota
Desa Kota
Desa Kota
Desa Beras
205.1 256.8 306.2
227.1 209.4
208.3 199.1 224.7 212.7 Jagung
0.1 1.4
0.5 0.2
25.9 0.0
8.6 7.4
25.6 Ubi Jalar
3.4 5.5
8.4 3.2
9.8 5.1
3.3 6.9
4.1 Ubi kayu
8.7 15.3
21.5 17.3
34.3 23.6
20.6 17.8
25.5 Tepung
terigu 0.9
1.4 0.8
1.6 1.9
1.5 1.1
0.3 0.4
Mie 5.8
2.7 1.5
3.0 1.6
4.1 3.6
1.6 1.2
jagung pipilan mie basah dan mie kering
Selain itu juga, penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Situmorang 2005 mengungkapkan bahwa bila dibandingkan antara masing-masing
komoditi, jagung masih jarang atau tidak pernah dikonsumsi oleh kebanyakan responden bila dibandingkan dengan beras yang rata-rata konsumsi per
minggunya mencapai 21 kali, serta roti dan mie yang dikonsumsi sebanyak 2 kali per minggu.
e. Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung di Pasaran
Produk-produk olahan jagung yang beredar di pasaran cukup beragam. Meningkatnya keberadaan teknologi pengolahan pangan memicu diproduksinya
produk-produk pangan sebagai hasil inovasi. Beragamnya produk pangan yang dihasilkan membuat produk olahan jagung kini tidak hanya dikonsumsi dalam
bentuk makanan tradisional tetapi juga sebagai makanan dalam kemasan camilan.
Salah satu butir dalam kuesioner yang diajukan kepada responden dapat dijadikan gambaran mengenai preferensi konsumen terhadap jenis-jenis produk
Jenis produk
Jenis produk olahan jagung yang beredar di pasaran. Data preferensi responden di kedua
lokasi survei secara lengkap disajikan pada Gambar 9a dan Gambar 9b
10 20
30 40
50 60
70 80
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Gambar 9a. Grafik Preferensi Responden di Bojonegoro
10 20
30 40
50 60
70 80
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Gambar 9b. Grafik Preferensi Responden di Bogor
Keterangan : 1 = tortilla
6 = keripik jagung 2 = corn flakes
7 = snack marning 3 = snack jagung puff
8 = sup krim jagung 4 = popcorn siap makan
9 = sup krim jagung kaleng 5 = popcorn siap masak
10 = pangan tradisional
Bar menunjukkan persentase responden n-100 yang memilih produk tertentu dari 10 jenis produk olahan jagung yang ditampilkan pada kuesioner.
Berdasarkan grafik, responden di daerah Bojonegoro paling banyak memilih snack marning 76. Snack marning ini merupakan produk olahan jagung yang
dikonsumsi sebagai camilan. Selanjutnya, sebanyak 70 responden Bojonegoro memilih popcorn siap makan. Hal ini dapat dijadikan gambaran bahwa produk
camilan lebih banyak disukai oleh konsumen. Sehingga, upaya peningkatan konsumsi jagung nantinya diaarankan untuk lebih diarahkan kepada jenis
produk-produk camilan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosegrant et al. 1987 yang mengungkapkan bahwa konsumsi jagung di daerah perkotaan
bisanya sebagai makanan selingan. Snack termasuk makanan jajanan. Pada umumnya, konsumen lebih memperhatikan makanan jajanan dari segi rasa yang
enak dan murah Guhardja dalam Setiawan, 2006. Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di
kota Bogor. Sebanyak 74 responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan
lainnya. Makanan yang berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan sesuai dengan tradisi daerah setempat disebut makanan tradisional Winarno,
1993. Bogor sebagai daerah sub-urban tentunya dibanjiri dengan produk-produk
pangan modern baik produk impor maupun hasil produksi industri dalam negeri. Produk-produk ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di daerah
perkotaan. Keberadaan produk pangan tradisional seringkali dijadikan sebagai bentuk ”penyegaran” terhadap kejenuhan akan produk-produk pangan modern.
Selain itu, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan daerah yang tidak hanya dihuni oleh penduduk asli Bogor sendiri, tetapi juga oleh penduduk pendatang
dari daerah lain. Keberadaan penduduk pendatang ini juga diasumsikan memberikan pengaruh terhadap preferensi konsumsi produk pangan tradisional.
Sejalan dengan hal tersebut, hasil survey konsumsi makanan tradisional Sunda yang dilakukan Yasminia 2003 menyebutkan bahwa sumber informasi
yang membuat responden tertarik mengonsumsi makanan tradisional Sunda adalah paling banyak didapat dari responden yaitu keluarga sebanyak 158 orang
79, teman sebanyak 56 orang 28, majalah sebanyak 36 orang 18, iklan sebanyak 21 orang 10.5, brosur atau leaflet sebanyak 11 orang 5.5,
lainnya yaitu pedagang makanan Sunda 4 dan koran 3. Hasil survey secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Persentase Responden Remaja Berdasarkan Sumber Informasi yang
Membuat Tertarik Mengonsumsi Makanan Tradisional Sunda Yasminia, 2003
Bila dilakukan perbandingan pemilihan antara makanan tradisional dengan makanan ”modern”, Yasminia 2003 juga mendapatkan hasil survey yang
menunjukkan bahwa responden paling banyak memilih makanan tradisional Sunda sebanyak 155 orang 77.5 dan sedangkan yang memilih makanan
fastfood sebanyak 45 orang 22.5. Menurut Dewi 2004, konsumen di perkotaan cenderung lebih mudah
terpengaruh oleh : a Budaya makan di luar rumah baik jajanan maupun makan di lingkungan bekerja atau sekolah ;b Jenis-jenis makanan bergengsi dan
menyenangkan ; dan c Aspek kepraktisan dan kecepatan pelayanan, sedangkan konsumsi di wilayah pengembangan industri akan lebih mempertimbangkan
aspek kepraktisan dan efisiensi dalam pemilihan makanan. Bila dikaitkan dengan data tempat mengakses produk olahan jagung
seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, responden Bogor lebih memilih warung dan minimarket sebagai tempat membeli. Hal ini dapat menjadi
gambaran bahwa akses untuk mendapatkan produk tradisional tidak hanya terbatas pada pasar saja. Produk pangan tradisional ini sudah mulai terdistribusi
di warung, minimarket hingga supermarket. Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap makanan, sehingga preferensi ini akan berpengaruh
79
28 18
10.5 5.5
4 3
10 20
30 40
50 60
70 80
keluarga teman
majala h
iklan brosu
rleafl et
pdgg mk nn S
unda kora
n
terhadap konsumsi pangan Setyawan, 2006. Kotler di dalam Setyawan 2006 mengungkapkan bahwa preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen
dari berbagai pilihan produk yang ada.Preferensi terhadap makanan sangat dipengaruhi oleh sikap erat hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak
atau menerima terhadap makanan. Menurut Sanjur 1982, sikap terhadap pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang
dipelajari dan apa yang dilihat misalnya melalui berbagai iklan di media massa. Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari
kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan Khumaidi, 1989. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman mengonsumsi produk akan sangat
berdampak pada keputusan untuk mengonsumsi pada masa selanjutnya. Pada butir kuesioner, responden diminta untuk memilih jenis produk olahan jagung
yang biasa dikonsumsi. Pilihan berkisar di antara 10 produk olahan jagung yang banyak beredar di pasaran. Responden yang tidak memilih salah satu produk
diasumsikan tidak pernah mengonsumsi produk tersebut. Kesepuluh produk dikategorikan menjadi produk pangan tradisional, cemilan tradisional, cemilan
dalam kemasan, dan produk instan. Hasil tabulasi data perbandingan preferensi responden untuk masing-masing kategori produk olahan jagung dapat dilihat
pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran Pernyataan Sikap Mengonsumsi Responden Berdasarkan
Kategori Produk Olahan Jagung
No Jenis Produk
Lokasi Responden
Perrnyataan Mengonsumsi orang
Pernah Tidak Pernah
1. Pangan tradisional
Bojonegoro 33
17 Bogor
37 13
2. Cemilan tradisional
Marning Bojonegoro
38 12
Bogor 33
17 Keripik jagung
Bojonegoro 33
17 Bogor
23 27
3. Cemilan dalam kemasan
Tortilla Bojonegoro
32 18
Bogor 35
15 Popcorn
Bojonegoro 35
15 Bogor
29 21
4. Produk instan
Sup krim bubuk Bojonegoro
21 29
Bogor 20
30 Sup krim kaleng
Bojonegoro 23
27 Bogor
17 33
Pop corn instan Bojonegoro
25 25
Bogor 17
33 5.
Sereal sarapan
corn flakes
Bojonegoro 24
26
Berdasarkan Tabel 12, kategori produk pangan tradisional, cemilan tradisional, dan cemilan dalam kemasan dapat dikatakan cukup populer di
masyarakat Bogor dan Bojonegoro karena frekuensi responden yang pernah mengonsumsi lebih besar dibandingkan responden yang tidak pernah
mengonsumsi. Produk instan dan sereal sarapan yang tergolong produk ’modern’ justru belum begitu diminati masyarakat di kedua lokasi.
Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi pangan tradisional, baik berupa cemilan maupun jajanan tradisional, lebih besar dibandingkan produk-
produk pangan ’modern’. Hal ini dapat dijadikan landasan untuk mengoptimalkan pengembangan produk pangan tradisional berbasis jagung.
Hardinsyah, dkk 2001 pernah mengadakan penelitian mengenai konsumsi pangan tradisional pada siswa remaja di kota Bogor menyebutkan bahwa lebih
dari 50 responden menyukai produk pangan tradisional karena citarasanya yang enak. Hal ini menunjukkan bahwa cita rasa pangan tradisional dapat
memenuhi selera responden. Banyak alasan seseorang memilih makanan, preferensia atau kesukaan merupakan salah satu faktor utama yang
dipertimbangkan konsumen dalam pemilihan makanan Hardinsyah, 1996. Kebiasaan mengonsumsi produk camilan menjadi hal yang tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Produk camilan ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan atas waktu senggang di sela-sela kesibukan kehidupan
perkotaan. Bagi industri, prospek pengembangan produk camilan berbasis jagung pun masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Juniawati 2003, Produk pangan non beras paling banyak dikonsumsi pada saat sarapan dan sebagai makanan selingan. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan beras sebagai bahan pangan pokok belum dapat tergantikan dengan jenis komoditi lain. Sebanyak 62 responden mengonsumsi pangan non beras
saat sarapan dan sebanyak 49 responden mengonsumsi pangan sebagai makanan selingan Gambar 11
62 49
5 11
10 20
30 40
50 60
70
sarapan selingan
makan siang makan malam
Gambar 11. Waktu frekuensi konsumsi produk pangan non beras n=100
Juniawati, 2003
Di lain pihak, keberadaan produk-produk instan maupun sereal sarapan merupakan tuntutan akan gaya hidup masa kini. Akan tetapi, berdasarkan Tabel
12, jumlah responden yang pernah mengonsumsi lebih sedikit dibandingkan jumlah responden yang belum pernah mengonsumsi produk tersebut. Merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniawati 2003, hasil kajian mengenai perilaku konsumen dalam mengkonsumsi karbohidrat non beras
menunjukkan bahwa sereal termasuk salah satu produk dengan frekuensi konsumsi paling kecil. Juniawati menyebutkan bahwa faktor harga menjadi
salah satu penyebabnya. Produk dengan cita rasa yang enak tetapi menawarkan harga yang kurang terjangkau akan kurang diminati oleh konsumen.
g. Opini Responden Terhadap Upaya Perbaikan Konsumsi Jagung Pada butir terakhir kuesioner, responden diminta untuk memberikan opini
mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki dalam upaya peningkatan konsumsi jagung masyarakat. Beberapa pilihan jawaban kemudian dikelompokkan ke
dalam 6 kategori, yakni opini yang berkaitan dengan peningkatan variasi, perbaikan harga, perbaikan kualitas dan kuantitas, perbaikan distribusi dan
promosi, perbaikan keamanan pangan, serta dari segi organisasi perusahaan. Data sebaran pilihan opini responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Gambar
12a dan Gambar 12b
87 4 7
2 variasi
harga kualitas-kuantitas
distr.-prom osi keam anan pangan
perusahaan
Gambar 12a . Grafik Sebaran Opini Responden Bojonegoro
76 4
7 11
2 variasi
harga kualitas-kuantitas
distr.promosi keamanan pangan
perusahaan
Gambar 12b . Grafik Sebaran Opini Responden Bogor
Berdasarkan hasil analisis, responden di Bojonegoro 86.96 dan Bogor 76.1 memiliki kecenderungan yang sama dimana opini yang diberikan lebih
mengarah kepada upaya peningkatan variasi produk. Menurut Suhardjo 1989, kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna dan bentuk makanan akan
mempengaruhi nafsu makan seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan perlunya dilakukan inovasi terhadap produk pangan berbasis jagung.
Selanjutnya, perbaikan kualitas dan kuantitas menjadi perhatian bagi 6.52 responden baik di Bojonegoro maupun di Bogor. Perbaikan dari segi kualitas
dan kuantitas akan sangat mempengaruhi harga produk yang beredar di pasaran. Berdasarkan data pada tabel dapat diasumsikan bahwa responden di
Bojonegoro merasa tidak memiliki masalah dalam hal distribusi dan promosi. Hal ini mungkin terkait dengan tingginya ketersediaan jagung di kota ini,
sedangkan responden di Bogor 10.9 menyatakan masih perlu dilakukan
upaya perbaikan dari segi distribusi dan promosi. Promosi pun mungkin perlu lebih ditekankan kepada sosialisasi jenis-jenis produk pangan baru yang
berbasis jagung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pembahasan sebelumnya mengenai sikap mengonsumsi responden, produk-produk instan dan sereal
sarapan masih belum terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat. Kenyataan yang cukup memprihatinkan teramati dimana kesadaran
responden mengenai keamanan pangan produk berbasis jagung belum menjadi hal yang cukup mendapat perhatian. Hanya 2.17 responden di Bogor 1 orang
yang menyatakan perlunya perbaikan dari segi keamanan pangan, sedangkan tidak ada seorang pun responden Bojonegoro yang memiliki kekhawatiran akan
hal ini. Seperti dikutip oleh Yasminia 2003, perilaku konsumen terhadap makanan yang aman dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu 1 Faktor predisposisi
perorangan kepribadian, kebiasaan, norma, nilai, kepercayaan, kemampuan, ketrampilan, pengetahuan dan sikap dari konsumen sehubungan dengan
makanan tersebut ; 2 Faktor dukungan pemerintah maupun swasta terhadap keberadaan makanan yang aman sehingga tersedia kapan saja dibutuhkan,
terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan menyenangkan, tempatnya nyaman dan tersedia informasi rujukan ; dan 3
Faktor penguat ajakan teman dekat, dukungan orangtua, pimpinan, guru dan petugas kesehatan yang menganjurkan makan makanan yang aman.
Kondisi keamanan pangan dari produk-produk jagung ini dibahas pada pembahasan selanjutnya mengenai kandungan aflatoksin yang telah dianalisis.
D. Korelasi Antara Dua Variabel