Data identitas responden meliputi nama, umur dan jenis kelamin. Pada butir tingkat kesukaan, responden diminta memilih tingkat kesukaan ”suka”,
”netral”, hingga ”tidak suka” terhadap produk berbasis jagung. Pengolahan
dilakukan menggunakan uji Duncan untuk melihat adanya perbedaan yang nyata atau tidak terhadap kesukaan responden di kedua lokasi. Selanjutnya, pada butir
akses untuk mendapatkan produk berbasis jagung, responden diberikan pilihan ’warung’, ’pasar’, ’minimarket’ dan ’supermarket’. Pengolahan juga dilakukan
menggunakan uji Duncan untuk melihat kecenderungan responden di kedua lokasi dalam memilih tempat membeli produk olahan jagung. Frekuensi makan
merupakan butir pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengetahui seberapa sering responden mengkonsumsi produk berbasis jagung dalam
seminggu. Selanjutnya, kuesioner menampilkan 10 jenis produk jagung yang beredar di pasaran. Responden diminta memilih produk jagung yang biasa
dikonsumsi dan diberikan tingkatan frekuensi secara kualitatif, mulai dari ”jarang”, ”kadang-kadang” hingga ”sering”.
Selain itu, pengolahan data juga menggunakan uji korelasi Spearman, Pearson Product dan Chi-Square untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi
antara masing-masing variabel yang diuji. Variabel-variabel yang diuji adalah hubungan antara lokasi domisili responden dengan tingkat kesukaan terhadap
produk jagung, hubungan antara lokasi domisili responden dengan frekuensi konsumsi, hubungan antara tingkat kesukaan dengan frekuensi konsumsi dan
hubungan antara frekuensi dan porsi konsumsi produk jagung. Hasil analisis korelasi ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumsi produk jagung responden.
B. Analisis Aflatoksin Menggunakan Thin Layer Chromatography TLC
1. Prinsip Analisis
Metode analisis aflatoksin yang digunakan diadopsi dari metode Tropical Product Institute TPI tahun 1980. Aflatoksin dalam contoh diekstrak memakai
asetonitril dan dihilangkan lemaknya memakai n-heksana. Pemurnian dilakukan memakai diklorometana dan dehidrasi dilakukan memakai sodium sulfat anhidrat.
Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan cara elusi 1 satu dimensi pada TLC plate.
2. Ekstraksi Aflatoksin TPI, 1980
Sampel jagung ditimbang sebanyak 25 gram ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 50 ml setonitril, 10 ml larutan KCl 4 dan 1 ml larutan HCl
5 M. Campuran ini dikocok menggunakan mechanical shaker selama 30 menit. Setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman No.1.
Larutan sampel yang sudah disaring dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml. Selanjutnya ditambah 25 ml akuadest. Bagian ini diekstraksi
menggunakan 50 ml n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah fraksi asetonitril dikumpulkan dalam botol 100 ml. Diulangi dengan menambahkan
kembali 50 ml n-heksana. Fraksi asetonitril yang telah bebas lemak ini dimasukkan kembali ke
dalam labu kocok 250 ml, ditambahkan 25 ml aquadest, setelah itu ditambahkan 50 ml diklorometana. Dikocok 1 menit, kemudian fraksi asetonitril dan
diklorometana dikumpulkan dalam botol bersih. Ekstraksi dengan 50 ml diklorometana diulangi sekali lagi, setelah itu didehidrasi menggunakan 5 gram
Na
2
SO
4
anhidrat. Cairan hasil ekstraksi diuapkan sampai hampir kering, kemudian residu
yang diperoleh dipindahkan ke dalam vial memakai kloroform, setelah itu diuapkan kembali. Sebelum identifikasi, contoh hasil penguapan dilarutkan
kembali menggunakan 500 µL kloroform secara kuantitatif.
3. Pembuatan Deret Standar dan Pembercakkan Contoh
Disiapkan bejana kromatografi berisi eluen kloroform aseton 9:1. Pada lempeng kromatografi ukuran 10 x 20 cm, dibuat garis menggunakan pensil yang
mengindikasikan batas bawah 1.5 cm dari tepi bawah dan batas atas 1.5 cm dari tepi atas. Dibuat juga titik-titik yang menunjukkan tempat pembercakkan larutan
standar maupun contoh, masing-masing titik berjarak 1-1.5 cm. Sebanyak 1 µL sampai dengan 8 µL larutan working standard B1
konsentrasi 4 ppm dibercakkan pada lempeng kromatografi menggunakan
microsyringe 10 µL. Pada lempeng yang sama dibercakkan pula 5 µL dan 10 µL larutan contoh. Lempeng kromatografi tersebut dimasukkan ke dalam bejana yang
berisi eluen, lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas atas. Setelah dikeringkan memakai dryer, diamati menggunakan UV viewing cabinet
pada panjang gelombang 366 nm.
4. Identifikasi Aflatoksin