TANGGUNG JAWAB PERDATA DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

B. TANGGUNG JAWAB DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

1. TANGGUNG JAWAB PERDATA DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 5 Undang-Undang menyatakan bahwa pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi, yang mana direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN demi kepentingan dan tujuan BUMN serta berwenang mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan serta wajib mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta melaksanakan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik. Kembali mengingatkan bahwa Pasal 11 Undang-Undang BUMN mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang PT sehingga segala prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang ada di dalam Undang-Undang PT berlaku juga terhadap persero. Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang BUMN menyatakan bahwa direksi wajib menyampaikan laporan tahunan mengenai persero paling lama 5 lima bulan kepada RUPS setelah tahun buku persero berakhir. Hal ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang PT. Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang PT menyatakan bahwa jangka waktu maksimal untuk menyampaikan laporan tahunan adalah 6 enam bulan kepada RUPS setelah tahun buku perseroan. Walaupun terdapat perbedaan, namun untuk persero tentu Universitas Sumatera Utara akan mengikuti peraturan yang mengaturnya yang ada di dalam Undang-Undang BUMN. Di dalam laporan tahunan yang disampaikan oleh direksi terdapat berbagai jenis laporan yang diantaranya adalah laporan keuangan dari persero. Laporan keuangan menjadi penting untuk diperhatikan karena merupakan hal yang sensitif dan menyangkut tentang kelangsungan operasional persero. Terhadap laporan keuangan persero sebelumnya sudah dibahas bahwa di dalam persero terdapat satuan pengawas intern SPI yang bertugas untuk melakukan audit dan evaluasi terhadap persero diberbagai sisi persero dan SPI tersebut merupakan organ bentukan direksi persero yang bertanggung jawab kepada direksi. Hasil evaluasi dan audit dari SPI akan menjadi bahan laporan pertimbangan bagi dewan pengawaskomisaris di dalam melakukan pengawasan terhadap persero yang dipimpin oleh direksi. Hasil laporan SPI tersebut nantinya juga akan dibawa oleh direksi untuk menyampaikan laporan tahunan di hadapan RUPS. Proses evaluasi dan audit tidak hanya berasal dari dalam persero saja. Baik Undang-Undang BUMN maupun Undang-Undang PT menghendaki adanya pihak eksternal untuk melakukan evaluasi terhadap persero. Undang-Undang BUMN menghendaki Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan evaluasi dan audit terhadap BUMN, bahkan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar konstitusi Republik Indonesia memberikan wewenang kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan evaluasi dan audit terhadap BUMN termasuk persero. Sedangkan Undang-Undang PT di dalam Pasal 68 ayat 1 nya menyatakan bahwa Universitas Sumatera Utara dengan kondisi tertentu termasuk terhadap persero evaluasi dan audit eksternal dapat dilakukan oleh akuntan publik. Terhadap hal pemeriksaan yang dilakukan terhadap perseroan baik yang berasal dari internal maupun eksternal tidaklah merupakan hal yang tumpang tindih. Hal ini dikarenakan pihak eksternal di dalam melakukan evaluasi dan audit terhadap persero juga menggunakan data hasil audit internal yang dilakukan oleh persero sebagai salah satu bahan pertimbangannya. Adapun hasil dari pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui apakah terdapat kerugian dari persero tersebut. Apabila di dalam pemeriksaan terdapat unsur kerugian maka terhadap direksi dapat dimintai pertannggungjawaban secara pribadi. Terhadap pelanggaran yang ditemukan di dalam pemeriksaan internal maka pertanggungjawaban direksi akan ditentukan melalui RUPS sedangkan apabila di dalam pemeriksaan eksternal, dalam hal ini yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, maka tanggung jawab terhadap direksi ditentukan sesuai dengan standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, dalam hal ini adalah tanggung jawab secara perdata atau ganti rugi terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh direksi tersebut dengan prosedur yang sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Terkait tanggung jawab pidana, hanya terdapat di dalam proses pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tersebut saja, karena jika terdapat kerugian yang disebabkan secara melawan hukum maka Badan Pemeriksa Keuangan akan menyerahkannya kepada pihak yang berwenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di peradilan dalam hal Universitas Sumatera Utara ini seperti kepada Kepolisian, Kejaksaan maupun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Terkait dengan tanggung jawab di dalam pengurusan Persero oleh direksi, Pasal 97 ayat 2 Undang-Undang PT menyatakan bahwa direksi didalam melakukan pengurusan terhadap perusahaan harus berlandaskan atas itikad baik. Itikad baik dalam hal ini dikenal juga dengan Teori Fiduciary Duty 109 . Teori Fiduciary Duty berasal dan mempunyai akar-akar dalam hukum Romawi tetapi banyak dikembangkan oleh sistem hukum Anglo Saxon ini masuk ke dalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas Fiduciary dari direksi. Dalam prakteknya teori Fiduciary Duty ini berkembang secara unik terhadap direksi dalam hubungan amanah hubungan Fiduciary dengan perusahaan, bahkan sampai pada batas- batas tertentu dalam hubungan dari direksi persero dengan pemegang saham dan para pekerja dalam perusahaan. Di samping itu, ternyata aplikasi teori Fiduciary Duty ini terhadap direksi juga akan berdampingan dengan berbagai teori atau hubungan hukum yang lain, yang juga secara historis berlaku terhadap direksi, seperti hubungan keagenan. Atau berhadapan dengan tugas direksi yang lain yang 109 Tri Widyono mengutip pendapat Henry Campbell Black yang mengatakan bahwa “Fiduciary Duty, a duty to act for someone else’s benefit, while subordinating one’s personal interest to do that of the other person. It is the hignest standard of duty implied by law. suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain, dimana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum”, lihat Tri Widyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hal 38, seperti dikutip oleh T.Suhaimi, op.cit, hal 32. Universitas Sumatera Utara berkenaan dengan tugas kepedulian Duty of care yang juga dituntut dari seorang direksi. 110 Terkait dengan tugas dan tanggung jawab direksi tersebut, yaitu antara Fiduciary Duty dan Duty Of Care dapat dibedakan sebagai berikut : 111 1. Fiduciary Duty Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang muncul dari suatu hubungan Fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Maka seorang direksi haruslah mempunyai kemampuan dan kepedulian duty of care and skill, itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaanya dengan derajatstandar yang tinggi. 2. Duty Of Care Tugas memperdulikan Duty Of Care yang diharapkan dari direksi adalah yang sebagaimana dimaksudkan dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad, dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian negligence yang merugikan pihak lain. Dari penjelasan tersebut maka akan timbul yang disebut standard of care yang pada dasarnya bersifat artifisalfiktif, hal ini karena kata-kata itikad baik dan penuh tanggung jawab sebagaimana yang tertera dalam Pasal 97 ayat 2 Undang- 110 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Coorporate Law Eksistensinya dalam Hukum Indonesia Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2002, hal 31, seperti dikutip oleh Ibid. 111 Ibid, hal 35. Universitas Sumatera Utara Undang PT merupakan kata-kata yang tidak mempunyai standar baku sehingga menimbulkan kesulitan dalam prakteknya. Itikad baik berhubungan dengan hati nurani seseorang yang masih misteri. 112 Remi Sjahdeini memberikan contoh dari standar kehati-hatian adalah sebagai berikut : 113 1. Direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban biaya perusahaan apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan sangat kecil manfaat kepada perusahaan bila dibandingkan dengan manfaat pribadi yang diperoleh direksi yang bersangkutan. Namun demikian, hal ini dapat dikecualikan apabila dilakukan atas biaya representasi jabatan dari direksi yang bersangkutan berdasarkan keputusan RUPS. 2. Direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perusahaan yang dipimpinnya, misalnya mengambil sendiri kesempatan bisnis yang seyogyanya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perusahaan yang dipimpinnya, tetapi kesempatan bisnis itu disalurkan kepada perusahaan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi direksi tersebut. 3. Direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai 112 Ibid, hal 36. 113 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Faillsementverodening Juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal 100, seperti dikutip oleh Ibid, hal 37. Universitas Sumatera Utara perusahaan terancam sanksi oleh otoritas yang berwenang, misalnya digugat oleh pihak lain. 4. Direksi yang sengaja atau kelalaiannya telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian perusahaan tersebut. 5. Direksi dengan sengaja atau kelalaiannya telah melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil untuk meningkatkan keuntungan perseroan. Di dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan duty of loyalty. 114 Menurut Duty Of Loyalty, kesetiaan dan kepatuhan direksi tersebut merupakan tugas dan kewajiban direksi terhadap perseroan, oleh karena itu, pelanggaran terhadap kesetiaan dan kepatuhan direksi merupakan pelanggaran Fiduciary Duty. Pasal 97 ayat 3 Undang-Undang PT menyatakan bahwa apabila terjadi kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan maupun kelalaian dari direksi, maka direksi akan bertanggung jawab secara pribadi untuk mengganti kerugian tersebut. Cara pertangungjawaban yang dimaksud oleh pasal ini adalah tanggung jawab secara perdata, dikarenakan direksi yang melakukan kesalahan maupun kelalaian tersebut dimintai untuk mengganti kerugian yang disebabkannya. Perusahaan tidak bertanggung jawab lebih dari tindakan yang dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan dari perusahaan, oleh karena itu perbuatan dan tindakan yang 114 Joel Seligman, Corporations Cases and Materials Boston Newyork Toronto London: Little Brown and Company, 1995, seperti dikutip oleh Ibid. Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar perusahaan tersebut merupakan tanggung jawab pribadi direksi dan bukan merupakan tanggung jawab perusahaan. Namun pasal 97 ayat 5 undang-undang yang sama menyatakan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian sebagaimana yang dimaksud pasal 97 ayat 3 apabila dapat membuktikan : 1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya; 2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan; 3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; 4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang PT tersebut sering disebut juga dengan teori Business Judgement Role 115 . Dasar pemikiran dari teori ini adalah pengakuan dari pengadilan bahwa sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang bernuansa resiko, direksi harus terbebas dari rasa takut atas jeratan hukum yang mungkin menjerat direksi dalam hal direksi mengambil keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut direksi dalam mengambil resiko bisnis tersebut akan 115 Menurut Prof. Remi Syahdeni, berdasarkan Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis para direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak pengadilan atau pemegang saham. Para direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Li hat “Business Judgement Rule”, http:www.ka-lawoffices.comarticles100.html , akses 06 April 2015, 11:47 WIB. Universitas Sumatera Utara memperngaruhi keputusan bisnis direksi tersebut. 116 “The Jugdes are not business experts ”. Hakim merupakan ahli dalam bidang hukum, namun bukan merupakan ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu hakim harus menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan member pendapat bandingan atas keputusan bisnis direksi. 117 Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang PT tersebut secara tidak langsung memberikan beban pembuktian pada pihak yang menyatakan bahwa Direksi berhak atas perlindungan Business Judgement Rule. Dengan demikian berarti seseorang yang hendak menggugat direksi harus membuktikan : 118 1. Kesalahan atau kelalaian telah dilakukan oleh direksi; 2. Direksi telah tidak melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati- hatian; 3. Mempunyai benturan kepentingan atau sesame anggota direksi dan atau keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; 4. Direksi tidak mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. 116 Kristanto, “Ananlisis Pemahaman Konsep Business Judgement Rule Menurut Hukum I ndonesia Terhadap Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010 hal 53, yang juga mengutip dari Wikipedia, the free ecyclopedia, “Busniness Judgment Rule ” http:en.wikipedia.orgwikiBusiness_judgment_rule yang diunduh tanggal 5 April 2010. 117 Ibid , yang juga mengutip Urs Bertschinger, “Business Judgement Rule – A Valuable Concept for Business ”, diunduh dari www.google.com , yang diunduh pada 03 Maret 2010. 118 T.Suhaimi, op.cit, hal 47. Universitas Sumatera Utara “Itikad baik” dan “kehati-hatian” merupakan salah satu unsur esensial bagi direksi untuk mendapatkan perlindungan teori Business Judgement Rule. Akan tetapi apabila dalam keadaan direksi tidak memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 97 ayat 5 tersebut maka, atas nama perusahaan para pemegang saham yang mewakili 110 satu per sepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh direksi, seperti yang terdapat pasal 97 ayat 6 Undang-Undang PT. Pada Pasal 97 ayat 6 Undang-Undang PT tersebut mengatur tentang hak Gugatan Derivatif 119 terhadap direksi sebagai satu dewan. Ketentuan ini berlaku tidak hanya terhadap direksi saja, apabila kita perhatikan Pasal 114 ayat 6 Undang-Undang yang sama, hal ini juga berlaku terhadap dewan komisaris terkait didalam menjalankan tugasnya. Terkait dengan Gugatan Derivatif, hal ini pastinya berbeda dengan gugatan langsung Direct Action yang diajukan oleh pemegang saham. Meskipun sama-sama diajukan oleh pemegang saham, tetapi jika dilihat dari segi siapa yang diwakilinya, maka gugatan langsung direct action merupakan kontras dari gugatan derivative. Jika pada gugatan derivative, gugatan diajukan kepada pihak yang telah merugika perusahaan, serta diajukan oleh pemegang saham yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan, maka pada 119 Taqiyuddin Kadir menyatakan bahwa gugatan derivative merupakan pemberian hak kepada pemegang saham minoritas untuk mengambil tindakan luar biasa melalui pengadilan, agar hak-hak perusahaan dapat dipulihkan, atau tidak dirugikan yang umumnya muncul karena diduga adanya tindakan penyimpangan manajerial perusahaan managerial misconduct . Lihat “pemegang saham minoritas dilindungi melalui gugatan derivatif”, http:www.hukumonline.comberitabacalt53a1736964316pemegang-saham-minoritas- dilindungi-melalui-gugatan-derivatif diakses 06 April 2015, 20:53 WIB. Universitas Sumatera Utara gugatan langsung, pihak pemegang saham mengajukan gugatan juga terhadap pihak yang telah merugikan perusahaan, tetapi pemegang saham tersebut bertindak untuk dan atas namanya sendiri bukan untuk dan atas nama perusahaan. 120 Jika kita mengacu kepada ketentuan yang berlaku di dalam sistem perusahaan seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang PT, maka tanggung jawab yang dibebankan kepada direksi apabila terbukti melakukan kesalahan maupun kelalaian yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian, termasuk dalam hal ini persero, maka direksi akan dimintai pertanggungjawaban secara perdata, dalam hal ini direksi akan digugat untuk melakukan ganti rugi terhadap kerugian yang disebabkannya. Masalah akan timbul bagi pihak-pihak penegak hukum yang masih menganggap keuangan yang ada pada persero, merupakan termasuk keuangan negara sehingga apabila persero mengalami kerugian maka negara dalam hal ini juga dirugikan. Hal ini umumnya terjadi di dalam kasus perbankan, dimana ketika bank yang berstatus persero, seperti PT. Bank Mandiri Persero Tbk 121 , PT. Bank Nasional Indonesia 1946 Persero Tbk 122 , PT. Bank Rakyat Indonesia 120 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Coorporate Law Eksistensinya dalam Hukum Indonesia Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal 82, seperti dikutip oleh T.Suhaimi, op.cit, hal 48. 121 Lihat Pasal 2 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2010 Tentang Perubahan Struktur Saham Kepemilikan Negara Melalui Penerbitan dan Penjualan Saham Baru Pada Perusahaan Perseoran Persero PT. Bank Mandiri Tbk. Yang menyatakan bahwa kepemilikan saham negara pada Bank tersebut adalah minimal 60 enam puluh persen dari jumlah keseluruhan saham yang ada pada Bank Mandiri. 122 Pada tahun 2007 dan 2010 PT. Bank Nasional Indonesia telah menerbitkan saham baru melalui penawaran umum terbatas Right Issue dengan memperluas komposisi kepemilikan saham pubik menjadi 40 empat puluh persen, lihat “Sejarah BNI „46”, http:www.bni.co.idid -idtentangkamisejarah.aspx diakses pada 08 April 2015, 22:21 WIB. Universitas Sumatera Utara Persero 123 , menyalurkan kegiatan pemberian kredit dan akhirnya menjadi tertunggakmacet yang akan menimbulkan kerugian terhadap bank tersebut, para penegak hukum yang menganggap keuangan pada bank persero tersebut merupakan keuangan negara akan menjerat bankirdireksi dari bank yang bersangkutan dengan delik tindak pidana korupsi. Pada saat ini berkembang pemikiran yang berbeda dalam memandang posisi kredit macet, terutama dikaitkan dengan peranan bankirdireksi yang sebelumnya telah mengucurkan fasilitas kredit yang menjadi macet tesebut. Suasananya kelihatan lebih mendapat sorotan publik apabila kredit macet tersebut terjadi pada bank-bank umum yang saham-sahamnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh pemerintah bank BUMN. Penganut paham ini berpandangan bahwa karena modal dari bank BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, berarti kredit macet yang terjadi pada bank BUMN telah mengurangi kekayaan negara, tegasnya hal tersebut telah mengakibatkan kerugian negara. sebagai konsekuensi dari pendapat bahwa telah terjadi kerugian negara apabila kredit yang diberikan oleh bank BUMN mengalami kemacetan, bankirdireksi BUMN yang turut terlibat dalam proses pemberian kredit yang menjadi macet tersebut harus mempertanggungjawabkan kerugian negara yang ditimbulkannya. Bankirdireksi BUMN dewasa ini sangat potensial menghadapi tuduhan perbuatan 123 Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 tahun 1992 statu BRI berubah menjadi perseroan terbatas. Kepemilikan BRI pada saat itu masih 100 seratus persen ditangan Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjual 30 tiga puluh persen saham bank ini, sehingga menjadi perusahaan publik dengan nama resmi PT. Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk., yang masih digunakan sampai pada saat ini. Lihat “Sejarah BRI”, http:www.bri.co.idarticles9 , diakses pada 08 April 2015, 20:48 WIB. Universitas Sumatera Utara tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit. 124 Akibatnya proyek-proyek pembangunan nasional yang umumnya mendapatkan bantuan dana pembangunan melalui pemberian kredit investasi oleh Bank-Bank BUMN tersebut menjadi berkurang dikarenakan ketakutan serta kehati-hatian yang berlebihan dari para bankirdireksi dari bank BUMN tersebut karena dapat dijerat kasus korupsi apabila prestasi yang diharapkan dari pemberian fasilitas kredit tersebut tidak sebanding. Penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan dapat dilihat dari 2 dua sisi dan saat yang berbeda. Pada satu sisi, adalah yang berkaitan erat dengan saat pemberian kredit tersebut, sedang di sisi lainnya adalah apabila terjadi kegagalan pelunasan dari kredit dimaksud kepada nasabahnya, pada umumnya semua sependapat bahwa kegiatan dimaksud merupakan bagian dari transaksi perdata yang terwujud dalam suatu perjanjian, yakni perjanian pinjam-meminjam uang antara kreditur di satu pihak dengan pihak debitur di pihak lainnya. 125 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan selanjutnya disebut Undang- Undang Perbankan tidak member defenisi tentang kejahatan perbankan. Namun, dengan melihat isi Pasal 46 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Perbankan tersebut dapat diperoleh gambaran tentang adanya 13 tiga belas jenis tindak 124 Jonker Sihombing, op.cit, hal 8. 125 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan III Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal 282, seperti dikutip oleh Jonker Sihombing, op.cit, hal 6. Universitas Sumatera Utara pidana perbankan di Indonesia, yang secara singkat dapat digolongkan ke dalam 4 empat golongan, yakni : 126 1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan; 2. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank; 3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; 4. Tindak pidana yang dengan usaha bank. Sampai saat ini kejahatan perbankan yang berkaitan dengan usaha bank sebagaimana yang disebutkan pada butir ke-4 diatas paling banyak kasusnya yang berlanjut sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini disebabkan banyak bankirdireksi terutama bankirdireksi pada bank-bank swasta nasional yang memanfaatkan sarana yang dimiliki oleh bank yang dipimpinnya untuk mendapatkan dana bagi kepentingan pribadinya sendiri. Namun, dari uraian kejahatan perbankan yang disebutkan tersebut, tidak terlihat adanya kaitannya dengan tindakan atau keputusan yang diambil oleh bankirdireksi yang pada akhirnya menimbulkan fasilitas kredit nasabah menjadi macet. Hal ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang tidak pada posisi untuk menyatakan bahwa kredit macet yang terjadi merupakan sebuah tindak pidana. Apakah dalam pemberian kredit yang akhirnya menjadi macet terkandung didalamnya unsure tindak pidana yang melibatkan bankirdireksi yang memberikan fasilitas kredit tersebut diserahkan 126 Ibid, hal 64. Universitas Sumatera Utara sepenuhnya kepada pengadilan, dan hanya majelis hakim yang berwenang menentukan hal itu. 127 Terkait dengan Undang-Undang Perbankan, secara teknis perundang- undangan, Romli Atmasamita, menyebutkan bahwa dimasukkanya sanksi administratif dan sanksi pidana pada suatu undang-undang sebagaimana Undang- Undang Perbankan tersebut telah mengakibatkan status undang-undang itu berada dipersimpangan jalan, apakah perbuatan tersebut merupakan pelanggaran murni hukum administratif genuine administrative law ataukah merupakan sebuah tindak pidana genuine criminal law. 128 Kemudian pada bank BUMN, terkait dengan kedudukan keuangan negara, Tan Kamello berpendapat bahwa ditinjau dari sudut hukum perdata, makna kekayaan negara yang dipisahkan berarti bahwa negara seharusnya tidak dibenarkan mencampuri pengelolaan korporasi yang dilakukan pengurus bank BUMN tersebut. apabila terjadi kelalaian yang dilakukan oleh direksi dan mengakibatkan kerugian bagi bank BUMN, pertanggungjawaban dapat dimintakan secara perdata bukan pidana, kecuali RUPS menentukan lain. Berbeda halnya apabila frase tersebut berbunyi kekayaan negara yang disisihkan, dalam hal demikian negara masih diperkenankan untuk melakukan campur tangan terhadap pengelolaan korporasi dari usaha bank BUMN, dan aturan tentang tindak pidana korupsi dapat diterapkan. 129 127 Ibid, hal 66-67. 128 Ibid. 129 Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah , Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang ilmu hukum perdata Universitas Sumatera Utara Kemudian timbul pertanyaan, apakah hanya dari satu kerugian transaksi yang dilakukan oleh direksi persero berarti menyebabkan persero mengalami kerugian? Terkait hal tersebut, Erman Rajagukguk menjelaskan bahwa, dalam Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang BUMN menjelaskan bahwa dalam waktu 5 lima bulan setelah tahun buku persero ditutup, direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan ke RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru berakhir dan perhitungan labarugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian persero tersebut karena bias jadi ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan persero. Apabila ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian persero, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang sebelumnya atau ditutup dari dana cadangan perusahaan, sehingga tidak benar kerugian satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi di dalam persero. 130 Negara yang berkedudukan sebagai pemegang saham di dalam persero, hanya dapat mengajukan gugatan kepada direksi atau komisaris persero ketika tindakan yang dilakukan mereka merugikan persero. Tidak benar bahwa negara menuntut direksi dengan menggunakan peraturan Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi dengan dasar anggapan bahwa harta yang ada di dalam persero pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006, hal 3, seperti dikutip oleh Ibid, hal 81. 130 Prof. Erman Rajagukguk, op.cit, hal 7. Universitas Sumatera Utara merupakan termasuk harta kekayaan negara sebagai pemegang saham karena harta persero bukanlah merupakan harta dari negara sebagai pemegang saham. 131 Pada bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efesiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, dinyatakan tindak pidana korupsi sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 132 Oleh karenanya dengan mempertimbangkan karakteristik dan akibat dari tindak pidana korupsi tersebut maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 bertujuan untuk mencegah dan memberantas secara efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi. Dengan jiwa seperti itu maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berisi ketentuan yang komprehensif karena selain berisi aturan hukum pidana yang bersifat formil dan materill juga diatur mengenai aspek lainnya dalam penanganan masalah tindak pidana korupsi yakni aspek perdata sebagaimana yang ternyata dalam Pasal 32,33 dan Pasal 34. 131 Ibid. 132 Guse Prayudi, Tindak Pidana Korupsi Dipandang Dalam Berbagai Aspek Yogyakarta: Pustaka Pena, 2010, hal 122. Universitas Sumatera Utara Ketentuan yang menjadi dasar penggunaan jalur perdata dalam perkara korupsi adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 32 ayat 1 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa : “ Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Jika dicermati dan ditafsirkan secara otentik isi ketentuan Pasal 32 ayat 1 tersebut diatas maka pemilihan jalur perdata dalam penanganan masalah korupsi harus didasari atau dipenuhi syarat-syarat, yang pada pokoknya berisi 2 syarat yakni: 133 1. Syarat Materill, jalur perdata dijalankan apabila: Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti. Telah ada kerugian negara yang jelas dan nyata. 2. Syarat Formil, mengenai pihak yang dapat mengajukan gugatan perdata. Dari ketentuan tersebut terlihat adanya perintah yang nyata dan tegas dari undang-undang agar permasalahan korupsi tidak selalu harus berujung pada peradilan pidana, dan tentunya jalur lain dalam hal ini jalur perdata harus diupayakan dan diberdayakan setelah dipenuhi syarat-syarat yang secara jelas 133 Ibid, hal 123. Universitas Sumatera Utara ditentukan oleh Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut merupakan dasar penggunaan jalur perdata dalam pemeriksaan perkara korupsi sebelum proses peradilan pidana dilakukan. Tetapi aspek perdata tidak selalu dapat digunakan sebelum proses peradilan pidana berlangsung karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga mengatur penggunaan jalur perdata setelah proses persidangan pidana berjalan yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 ayat 2 yang menyatakan “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”. Dimana yang dimaksud putusan bebas disini adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yakni diputus bebas dan diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 134 Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga mengatur masalah perdata dalam tindak pidana korupsi yang sebagaimana diatur dalam Pasal 38C yang menyatakan bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah memiliki kekuatan hukum tetap, namun diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat 2, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Dasar pemikiran ketentuan pasal ini adalah 134 Ibid, hal 124. Universitas Sumatera Utara untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 atau setelah berlakunya undang-undang tersebut. 135 Yang menjadi salah satu syarat penting ketika akan menggunakan jalur perdata untuk menuntut tanggung jawab dalam tindak pidana korupsi adalah adanya unsur kerugian negara yang sudah jelas yang ditemukan dari hasil penyidikan. Hasil perhitungan kerugian negara tersebut berasal dari hasil perhitungan dan temuan dari instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang pasti dan nyata jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun karena lalai. 136 Dengan melihat pengertian dan kualifikasi dari kerugian keuangan negara tersebut maka terdapat hal yang perlu digaris bawahi, yakni : 137 135 Ibid, hal 125. 136 Pengertian kerugian negara dapat dilihat pada Pasal 1 angka 22, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. 137 Guse Prayudi, op.cit, hal 132 Universitas Sumatera Utara 1. Jalur perdata dapat digunakan terhadap perbuatan korupsi dimana kerugian keuangan negara telah terjadi secara materill sehingga kerugian negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya; 2. Kerugian keuangan negara tersebut ditemukan berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk melalui tata cara prosedur audit yang benar. Dalam hal melakukan temuan yang benar, Soeyatno Soenoesoebrata, mantan deputi kepala BPKP bidang pengawasan khusus, menyatakan bahwa suatu perhitungan adanya kerugian negara haruslah dilakukan sesuai dengan standar audit yang benar yaitu memperhatikan ruang lingkup pemeriksaan atau perhitungan yang tidak hanya berdasarkan hanya pada dokumen yang diberikan oleh pihak penyidik atau kejaksaan saja akan tetapi si auditor harus benar-benar melakukan perhitungan dan hasil perhitungan tersebut harus dikonfirmasikan kepada auditan sepanjang perhitungan tidak memenuhi kedua standar audit seperti di atas maka hasil perhitungan tersebut tidak valid dan harus diulangdi-review kembali. 138 Adanya suatu pilihan bagi penyidik untuk menuntut melalui jalur perdata yang sudah memiliki dasar di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut tentunya memberikan suatu pijakan yang kuat bahwa penyidik haruslah bersikap profesional dan proporsional dalam penanganan tindakan korupsi dalam jalur pidana, dalam pengertian penyidik melalui diskresinya tidak harus 138 Soeyatno Soenoesoebrata, Apa Peranan Akuntan di dalam Mengungkap Tindak Pidana Korupsi, Majalah Varia Peradilan Tahun XX Nomor 241, November, IKAHI, 2005, seperti dikutip oleh Ibid, hal 138. Universitas Sumatera Utara memaksakan suatu tindakan yang terindikasi korupsi selalu diajukan ke depan persidangan pidana apabila ternyata salah satu unsur tindak pidana korupsu tersebut tidak cukup bukti. Sehingga tidak perlu penyidik melakukan berbagai cara untuk memaksakan pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut dengan cara-cara yang melawan hukum, seperti dengan pembuatan berita acara pemeriksaan yang palsu yang pada akhirnya dapat menghasilkan putusan bebas terhadap terdakwa. 139 Terhadap direksi persero yang melakukan pelanggaran baik yang sengaja maupun lalai yang mengakibatkan kerugian baik kerugian tersebut oleh pihak penegak hukum dianggap kerugian dalam resiko bisnis maupun kerugian yang dianggap termasuk dalam kerugian negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata dimana pertanggungjawaban secara perdata tersebut bertujuan untuk mengembalikan kerugian yang telah dilakukan oleh direksi persero tersebut.

2. TANGGUNG JAWAB PIDANA DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.