memaksakan suatu tindakan yang terindikasi korupsi selalu diajukan ke depan persidangan pidana apabila ternyata salah satu unsur tindak pidana korupsu
tersebut tidak cukup bukti. Sehingga tidak perlu penyidik melakukan berbagai cara untuk memaksakan pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut dengan
cara-cara yang melawan hukum, seperti dengan pembuatan berita acara pemeriksaan yang palsu yang pada akhirnya dapat menghasilkan putusan bebas
terhadap terdakwa.
139
Terhadap direksi persero yang melakukan pelanggaran baik yang sengaja maupun lalai yang mengakibatkan kerugian baik kerugian tersebut oleh pihak
penegak hukum dianggap kerugian dalam resiko bisnis maupun kerugian yang dianggap termasuk dalam kerugian negara dapat dimintai pertanggungjawaban
secara perdata dimana pertanggungjawaban secara perdata tersebut bertujuan untuk mengembalikan kerugian yang telah dilakukan oleh direksi persero tersebut.
2. TANGGUNG JAWAB PIDANA DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.
Kesalahan pengelolaan keuangan negara menyebabkan penggunaannya menjadi tidak tepat sasaran dan menimbulkan kerugian negara. kesalahan terjadi
karena pelakunya melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam mengelola keuangan negara. Hal ini tidak boleh dilakukan agar terhindar dari cengkraman
hukum sebagai objek hukum bukan merupakan subjek hukum selaku pendukung
139
Ibid, hal 126.
Universitas Sumatera Utara
hak dan kewajiban dalam perhubungan hukum. Faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan kebijakan yang tidak benar, yang
akhirnya justru memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Jika terjadi haal seperti itu, pengelola keuangan negara seperti melupakan identitasnya pada
saat diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian. Kerugian negara yang dimaksud adalah seperti kekurangan uang, surat
berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik disengaja maupun kelalaian.
140
Ketika negara mengalami kerugian karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian
berdasarkan hukum keuangan negara, prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai
akibat kerugian negara tanpa melalui peradilan. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan lebih difokuskan kepada aspek
administrasi, tetapi tetap berada dalam koridor hukum keuangan negara. Namun upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaa
keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah disiapkan instrument hukum yang berada dalam konteks hukum pidana. Walaupun telah
ada, bila moral dan komitmen penegak hukum tidak menunjangnya untuk ditegakkan, berarti instrument hukum pidana hanya bersifat cita-cita hukum
belaka.
141
140
Muhammad Djafar Saidi, op.cit, hal 71.
141
Ibid, hal 94.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi merupakan instrument hukum yang disiapkan untuk menindak setiap pihak yang menyebakan kerugian negara secara melawan hukum baik
dikarenakan sengaja maupun karena kelalaian. Ketentuan di dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi yang berkaitan dengan kerugian negara,
diantaranya adalah : Pasal 2 ayat 1 menyatakan :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,-
satu miliar rupiah.” Pasal 3 menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
satu milyar rupiah.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seperti yang sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya, ditegaskan bahwa keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara, dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena : 1.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik NegaraDaerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sementara itu, pengertian perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan
rakyat. Dalam arti perkonomian negara termasuk pula sebagai unsur tindak pidana korupsi ketika perekonomian negara dirugikan atas perbuatan termaksud.
Sebenarnya tindak pidana korupsi sebagai sasaran instrument hukum pidana diupayakan agar dapat diperkecil dan bahkan diharapkan tidak terjadi lagi.
142
142
Ibid, hal 97, lihat juga Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Perhitungan kerugian negara terhadap penyimpangan pengelolaan keuangan negaradaerah harus melalui penentuan yang sangat akurat, sehingga
diperlukan langkah-langkah yang tepat dalam menghitung kerugian negara tersebut. Walaupun tidak dapat dipolakan secara seragam dalam penetapan
langkah-langkah perhitungan kerugian negara, mengingat terus berkembangnya modus operandi dalam tindak pidana korupsi tersebut, tetapi setidaknya
perhitungan dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, antara lain :
143
1. Mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi, meliputi : scoring jenis
penyimpangan, penelaahan dasar hukum, pencermatan kategori kasus, identifikasi waktu dan kejadian, identifikasi ada tidaknya perbuatan melawan
hukum, penentuan sebab terjadinya kasus. 2.
Identifikasi transaksi, yang meliputi : proses, jenis, besaran nilai transaksi, para pihak yang terlibat, dan penetuan jenis kerugian.
3. Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi, dan menganalisis bukti
yang berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus. 4.
Menghitung jumlah kerugian keuangan negara berdasarkan bukti-bukti yang telah diidentifikasi, dikumpulkan, diverifikasi dan dianalisis.
Selain itu adapun nilai yang digunakan untuk menghitung kerugian negara, antara lain yaitu :
144
1. Historical cost atau nilai yang lazim digunakan;
143
Rosihan Indriwanto, Yuridiksasi Kerugian Keuangan Negara dan Lembaga Yang Berwenang Menilai
, artikel, Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi III, Tahun 2007, hal 3, seperti dikutip oleh, Marwan Effendi,
kapita selekta …, op.cit, hal 108.
144
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Sales price;
3. Replacement cost;
4. Fair market value;
5. Historical cost yang disesuaikan dengan indeks tertentu;
6. Nilai Jual Objek Pajak NJOP;
7. Nilai buku, yaitu nilai perolehan dikurangi dengan penyusutan.
Terkait dengan pertanggungjawaban pidana direksi persero dalam tindak pidana korupsi, terlebih dahulu kita lihat unsur dari Pasal 2 ayat 1 dan pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu : Pada Pasal 2 ayat 1 :
- Setiap orang;
- Secara melawan hukum;
- Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi; -
Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan pada Pasal 3 : -
Setiap orang; -
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
Universitas Sumatera Utara
- Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada unsur Pasal tersebut terdapat kata “dapat” yang menimbulkan perbedaan pandangan diantara para ahli serta penegak hukum sehingga didalam
penerapannya menimbulkan pro dan kontra. Di dalam bagian penjelasan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi, terhadap kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dipenuhi
dengan unsur-unsur perbuatan yan sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
145
Menurut Barda Nawawi Arief, dicantumkannya kata “dapat” di depan unsur merugikan keuangan negara pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut membuat delik ini menjadi “delik formil”.
146
Terkait Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 003PUU-IV2006
terkait Judicial review terhadap Pasal yang dimaksud, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat bahwa :
Menimbang terhadap “kalimat dapat merugikan keuangan negara atau perekonomiannegara” tidak bertentangan dengan hak atau kepastian hukum yang
adil sebagaimana dimaksud Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan ditafsirkan Mahkamah conditionally
constitutional. Pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebabkan perbuatan yang akan
dituntut di m
uka pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan
145
Lihat Penjelasan Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
146
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal 149, seperti dikutip oleh Marwan Effendi, Kapita Selekta
…, op.cit,hal 110.
Universitas Sumatera Utara
keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potensial loss,
jika unsure perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut
penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut diatas, yang menyatakan bahwa kata “dapat” tersebut sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”,
menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsure perbuatan yang
dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pas
al 2 ayat 1 sepanjang menyangkut kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk
dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan
tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti adanya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah
mendorong antisipasi atau akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. dalam
hal tidak diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah
dipandang cukup untuk menuntut dan memidana si pelaku, sepanjang unsure dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan cara melawan hukum telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, dimana unsur-unsur perbuatan harus
telah terpenuhi, dan bukan sebagai delik materill, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul
tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat
dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan
akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut tidak perlu harus telah nyata terjadi.
Menimbang dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”,
kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formal, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang nyata harus
terjadi, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur
Universitas Sumatera Utara
kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan
oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam
penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang
meringankan. Oleh karena itu, persoalan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih merupakan
persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma.
Dari penjelasan serta pandangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dapat kita lihat bahwa tindak pidana korupsi yang menyangkut
dengan kerugian terhadap keuangan negara merupakan delik formil, yang berarti terhadap besaran nilai kerugian negara tidak perlu secara akurat terbukti dahulu
baru dapat diajukan tuntutan melainkan apabila unsur perbuatan dari tindak pidana korupsi tersebut telah terpenuhi maka kepada pihak perbuatannya dapat
mengakibatkan kerugian negara dapat diajukan tuntutan dengan dasar telah melakukan tindak pidana korupsi. Terhadap besaran nilai kerugian harus tetap
ada, tetapi hanya sebatas perkiraan prediksi potensial loss yang berasal dari pihak yang berwenang melakukan auditpemeriksaan.
Terkait dengan kedudukan direksi persero di dalam melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan timbulnya kerugian negara dapat dituntut dan dimintai
pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada pembahasan sebelumnya terkait dengan tanggung jawab perdata
yang juga terdapat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 32 ayat {1} menyatakan apabila terkait dengan unsur kerugian negara yang telah
Universitas Sumatera Utara
pasti ada sedangkan terhadap unsur lainnya belum dapat dipenuhi maka dapat diajukan gugatan perdata terhadap tindak pidana korupsi. Akan tetapi setelah
melihat pendapat dari Mahkamah konstitusi terkait dengan Judicial Review terhadap Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
maka untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi, unsur kerugian negara tidak harus secara akurat harus dibuktikan,
melainkan ketika unsur perbuatan telah terpenuhi maka dapat dituntut dengan peraturan yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Dari segi Undang-Undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, juga mengatur terhadap dapat
digunakannya ketentuan pidana di dalam perusahaanpersero. Pasal 155 Undang- Undang PT menyatakan bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab direksi
danatau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengatur ketentuan diatur dalam Undang-Undang
tentang hukum pidana. T. Suhaimi
147
berpendapat bahwa Pasal 155 Undang- Undang PT tersebut telah membuka kranjalan agar tuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap direksi melalui Pengadilan Negeri. T.Suhaimi memberikan pendapat bahwa, kata-kata kesalahan yang ada
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tersebut adalah identik dengan kesengajaan karena ketika melihat ketentuan di dalam Pasal 155 Undang-Undang
PT, disitu dikatakan ketentuan mengenai tanggung jawab direksi danatau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini
147
T.Suhaimi, op.cit, hal 61.
Universitas Sumatera Utara
tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana. Kata-
kata “kesalahan atau kelalaiannya” menunjukkan bahwa kelalaian lawan katanya pasti kesengajaan.
148
Menurut pendapat T.Suhaimi, ada beberapa Pasal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat dikenakan kepada direksi yang
melakukan kesalahan atau kelalaian, antara lain sebagai berikut :
149
1. Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menentukan bahwa di
dalam hal-hal dimana pengurus-pengurus, anggota-anggota dari pengurus atau komisaris karena suatu pelanggaran dinyatakan sebagai dapat dihukum,
maka tidak dapat dijatuhkan hukuman kepada pengurus atau komisaris, jika ternyata pelanggaran itu telah dilakukan di luar pengetahuan mereka.
2. Pasal 392 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa
pengusaha, pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas, dari suatu maskapai bangsa Indonesia dengan saham atau dari suatu perkumpulan
koperasi, yang dengan sengaja mengumumkan suatu daftar atau neraca yang tidak benar, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun
dan empat bulan. Berbeda dengan tanggung jawab perdata yang diemban oleh direksi yang
sudah dibahas sebelumnya, bahwa ketika direksi menyebabkan kerugian, maka direksi dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkannya
itu dengan cara menggantimenanggungnya secara perdata. Namun dalam
148
Ibid, hal 64.
149
Ibid, hal 65-66.
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana, penggantian kerugian yang disebabkannya tidak menyebabkan menghapuskan tanggung jawab pidana dari perbuatan tersebut.
150
Hal ini dapat kita lihat pada contoh kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara, H.Syamsul Arifin, yang ketika hasil temuan Badan
Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa telah terjadi kebocoran anggaran sebesar Rp.67.000.000.000,- enam puluh tujuh miliar rupiah pada saat beliau menjabat
sebagai Bupati Kabupaten Langkat, beliau berinisiatif untuk mengembalikan kerugian negara tersebut, namun hal tersebut tidak dapat melepaskan
pertanggungjawabannya dari hukum pidana, terbukti dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara 2 dua
tahun 6 enam bulan dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- seratus lima puluh juta rupiah terhadap H.Syamsul Arifin. Merasa tidak puas kemudian H. Syamsul
Arifin mengajukan upaya hukum pada tingkat banding. Kemudian Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis terhadap H.Syamsul Arifin menjadi 4
tahun dan denda Rp. 200.000.000,- dua ratus juta rupiah. Merasa tidak puas, kubu H.Syamsul Arifin pun kembali mengajukan upaya hukum Kasasi ke
Mahkamah Agung dan akhirnya Mahkamah Agung memperberat vonis terhadap H.Syamsul Arifin menjadi pidana penjara selama 6 enam tahun dan denda
150
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lihat juga Pasal 64 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, lihat juga Pasal 38 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara, lihat
juga Pasal 10 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
sebesar Rp. 500.000.000,- lima ratus juta rupiah.
151
Dari contoh kasus tersebut dapat kita lihat bahwa pengembalian kerugian negara tidak akan menghapuskan
sanksi pidana. Erman Rajagukguk berpendapat, bahwa direksi dari suatu BUMN
Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana. Hal ini dapat dilakukan apabila direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan
keuangan, pelanggaran terhadap Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, Pelanggaran Undang-
Undang Anti Pencucian Uang Money Laundering dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana.
152
Kedudukan direksi didalam melakukan pengurusan terhadap perseroan tidak terlepas dari tanggung jawab pidana ketika
direksi melakukan tindakan yang merugikan keuangan, termasuk dalam hal ini tindak pidana korupsi. Hal ini karena tindak pidana korupsi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil yang
mana unsur kerugian negara tidak harus nyata, akurat terjadi melainkan ketika ada indikasi terkait tindak pidana korupsi maka dapat dijerat dengan undang-undang
tersebut. hal ini juga sudah perkuat dengan hasil Judicial Review yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait delik formil yang ada dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
151
“koruptor, berhati-hatilah dalam membela diri, telaah kasus syamsul arifin”
http:regional.kompasiana.com20120505koruptor-hati-hatilah-kalau-membela-diri- telaah-kasus-syamsul-arifin-460748.html
diakses pada 13 April 2015, 09:50 WIB
152
Prof. Erman Rajagukguk, op.cit, hal 7-8.
Universitas Sumatera Utara
Terkait apabila dimasukkannya jalur perdata di dalam tindak pidana korupsi, Amir Syamsuddin berpendapat bahwa :
153
1. Dalam kasus korupsi terdapat beberapa unsur penting antara lain a unsur
melawan hukum, b unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan c unsur merugikan keuangan negara. Unsur memperkaya diri sendiri atau
merugikan keuangan negara memang erat kaitannya dengan masalah
keperdataan, tetapi unsur melawan hukum lebih bersifat publik yang menunjukkan perbuatan pidana yang bertentangan dengan kepentingan publik
yang diancam dan dapat dijatuhi hukum pidana. Oleh karena itu, jelas bahwa walaupun ada sifat perdatanya, tetapi sebuah kasus korupsi tidak dapat
dialihkan menjadi kasus perdata karena perbuatan korupsi tidak hanya menyangkut kekayaan negara atau uang negara yang sifatnya perdata, tetapi
juga menyangkut perbuatan pidana. Berkaitan dengan perbuatan pidana, korupsi harus dihukum sesuai dengan ketentuan pidana karena melanggar
peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Banyak sekali kasus korupsi yang terpenuhi unsur perbuatan melawan hukumnya, tetapi unsur
kerugian negaranya tidak terpenuhi, sehingga sebuah kasus korupsi tidak
semuanya dapat dialihkan ke kasus perdata. 2.
Apabila dalam kasus korupsi terbukti dan terpenuhi semua unsur dari ketentuan pidana menurut perundang-undangan korupsi, pelaku korupsi harus
dihukum dan dijatuhkan pidana dan semua kekayaan pelaku korupsi yang
153
Lihat Amir Syamsuddin, Pendekatan Hukum Perdata Dalam Kasus Korupsi di Indonesia
, PPH Newsletter No. 66, September 2006, hal 7-8 seperti dikutip oleh Jonker Sihombing, op.cit, hal 83-84.
Universitas Sumatera Utara
terkait dengan perbuatan korupsinya harus dirampas untuk negara. Dan apabila tidak semua unsur dari ketentuan pidana korupsi terpenuhi, perlu
dilihat apabila unsur merugikan keuangan negara atau unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain terpenuhi atau tidak. Apabila terpenuhi, permasalahaan
mengenai kekayaan yang diperoleh dan keuangan negara yang hilang dapat diajukan tuntutan perdata. Dan jika unsur kerugian negara tidak ada maka
tidak dapat diajukan gugatan perdata. Dari pernyataan tersebut diatas, Amir Syamsuddin menambahkan bahwa
jalur pidana menjadi prioritas untuk ditempuh dikarenakan korupsi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa sehingga penanganannya harus menjadi prioritas,
sedangkan terkait ditempuhnya jalur perdata, hal tersebut merupakan upaya untuk mengembalikan keuangan negara yang hilang akibat perbuatan korupsi.
154
Terkait diterapkannya hukum pidana terhadap direksi perseroan yang melakukan tindak pidana korupsi sudah banyak terjadi. Salah satunya adalah
kasus yang menjadi banyak perbincangan adalah kasus yang menyeret E.C.W. Neloe cs yang menjadi terpidana karena posisi mereka sebagai direksi yang
berwenang sebagai pemutus pemberian fasilitas kredit yang dikucurkan oleh PT. Bank Mandiri Persero Tbk. kepada PT. Cipta Graha Nusantara CGN.
Pemberian kredit oleh PT. Bank Mandiri Persero Tbk. kepada CGN bermula pada akhir bulan Oktober 2002, yang diwujudkan dalam wujud pemberian kredit
talangan bridging loan dalam rangka refinancing pembelian asset kredit PT. Tahta Medan berupa Hotel Tiara dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional
154
Ibid, hal 85.
Universitas Sumatera Utara
BPPN sejumlah maksimal sebesar Rp. 165.000.000.000,- seratus enam puluh lima miliar. Kemudian fasilitas bridging loan tersebut dilunasi dari hasil
pencairan fasilitas kredit investasi sebesar USD. 18.500.000,- delapan belas juta lima ratus ribu Dolar Amerika yang diberikan kepada CGN pada awal tahun
2003. Dalam perjalanannya, objek kredit hotel tiara mengalami sengketa dengan pihak penyewanya sehingga menghambat proses pelunasan kredit dan akhirnya
menjadi macet. Pihak Kejaksaan pada bulan mei 2005 telah melakukan penyidikan terhadap fasilitas kredit yang dikucurkan oleh PT. Bank Mandiri
Persero Tbk. kepada CGN dan dilakukan dengan mengajukan penuntutan pada tanggal 26 Januari 2006 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut
Umum di dalam Surat Dakwaannya mendakwa bahwa E.C.W. Neloe cs masing- masing selaku pemutus kredit, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan
Direksi dan Komisaris CGN Edison cs dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200. Yang mana terdakwa diduga dapat menimbulkan kerugian
negara dalam hal ini PT. Bank Mandiri Persero Tbk. sebesar USD. 18.500.000,- delapan belas juta lima ratus ribu Dolar Amerika atau setidak-
tidaknya sejumlah Rp. 160.000.000.000,- seratus enam puluh miliar rupiah. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum menuntut para terdakwa dengan pidana
penjara selama 20 dua puluh tahun dan denda masing-masing sebesar Rp.
Universitas Sumatera Utara
1.000.000.000,- satu miliar rupiah. Kemudian setelah melalui serangkaian pemeriksaan, pada tanggal 20 februari 2006, Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara tersebut, melalui putusannya No. 2068Pid.B2005PN.Jak.Sel. di dalam amarnya menyatakan bahwa para terdakwa E.C.W. Neloe cs tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan perbuatan pidana yang didakwakan kepada mereka. Atas putusan tersebut, kemudian pihak
Jaksa Penuntut Umum menyatakan Kasasi dan telah menyampaikan memori kasasinya pada tanggal 14 Maret 2006 dan diikuti oleh kuasa hukum E.C.W.
Neloe cs pada tanggal 15 November 2006 pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dengan alasan, antara
lain bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan terdakwa E.C.W. Neloe cs dari seluruh dakwaan bukan merupakan
sebuah pembebasan murni. Menurut Jaksa Penuntut Umum, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo tersebut telah salah menerapkan hukum
atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Bahwa putusan tersebut menurut Jaksa Penuntut Umum majelis hakim tidak konsisten dalam menerapkan
tindak pidana yang didakwakan. Dalam membuktikan unsur “ barang siapa” dan unsur “yang dengan melawan hukum” serta unsur “memperkaya orang lain atau
korporasi”, majelis hakim mempergunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun disisi lain pada waktu akan membuktikan unsur “dapat merugikan
keuangan negara” mendasarkan pada ketentuan yang terdapat pada hukum administrasi negara yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan hukum perdata yakni perjanjian kredit. Di dalam pertimbangan hukumnya, majelis
hakim kasasi memberikan pandangan, beberapa diantaranya adalah : 1.
Bahwa dalam proses pemberian kredit kepada debitur, terdakwa telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan dan
Kebijakan Perkreditan PT. Bank Mandiri Persero tahun 2000, yang mana terdakwa telah melanggar asas prinsip kehati-hatian.
2. Sebagai badan hukum keperdataan, tindakan direksi memang
dipertanggungjawabkan pada RUPS, meskipun demikian, pertanggunjawaban direksi tidak semata-mata bersifat keperdataan. Apabila terbukti bahwa
direksi melakukan penyalahgunaan wewenang yang merugikan badan hukum atau melakukan tindakan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat
dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum pidana. 3.
Meskipun PT. Bank Mandiri Persero Tbk. merupakan PT. Tbk, tetapi secara struktur PT. Bank M
andiri Persero tetap sebagai sebuah “persero” yang menunjukkan ciri khas bahwa PT. Bank Mandiri Persero Tbk. merupakan
milik negara. walaupun terdapat perubahan-perubahan komposisi pemegang saham,
namun negara
tetap menjadi
sebagai pemilik
saham mayoritasterbesar. Sehingga hal tersebut menjadikan status hukum PT. Bank
Mandiri Persero Tbk. sebagai BUMN yang mengelola keuangan negara. dalam status demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja pada PT. Bank
Mandiri Persero Tbk. tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan tetapi juga fungsi public yang menjalanakan tugas pemerintahan pada PT.
Universitas Sumatera Utara
Bank Mandiri Persero Tbk. sebagai BUMN. Hal tersebut secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada PT. Bank
Mandiri Persero Tbk. berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan. Oleh karena itu kepada, mereka dapat diberlakukan ketentuan-
ketentuan mengenai penyelenggara pemerintahan seperti ketentuan mengenai pemberantasan korupsi.
4. Sebagai BUMN, PT. Bank Mandiri Persero Tbk.mengelola kekayaan
negara. sebagai institusi yang mengelola kekayaan negara, tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi atau pegawai PT. Bank Mandiri Persero
Tbk. dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi karena telah menimbulkan kerugian atau dapat merugikan negara, yaitu kekayaan negara
yang dipisahkan yang dikelola oleh PT. Bank Mandiri Persero Tbk. Setelah memberikan pertimbangannya, hakim kasasi melalui putusannya No.
1144 KPid2006 tertanggal 13 September 2007 memutuskan untuk mengadili sendiri perkara a quo dan menyatakan bahwa para terdakwa E.C.W. Neloe cs
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Kemudian menjatuhkan hukuman
berupa pidana penjara selama 10 sepuluh tahun dan denda Rp. 500.000.000 lima ratus juta rupiah kepada masing-masing terdakwa.
155
Dari pertimbangan hakim dalam putusan tersebut dapat kita lihat bahwa status keperdataan yang ada dalam persero tidak membatasi untuk diterapkannya
155
Jonker Sihombing, op.cit, hal 87-92.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana kepada direksi yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal ini tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN