BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN Persero DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. TANGGUNG JAWAB BUMN Persero SEBAGAI KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan badan hukum yang telah memenuhi kriteriaciri yang
ada pada badan hukum umumnya. Persero dalam Undang-Undang BUMN juga dijelaskan bahwa pengurusannya didasarkan pada prinsip-prinsip yang ada pada
Undang-Undang Perseroan Terbatas, diantaranya mengenai tata cara
pengesahannya, struktur kepengurusannya, sehingga persero telah memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai badan hukum.
Upaya globalisasi diantaranya telah memperlihatkan adanya dimensi korporasi, yaitu pertumbuhan korporasi terus meningkat sangat pesat dari jumlah
dan ukurannya seiring dengan peranannya. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, sosial, dan politik sebagian besar dipengaruhi oleh perilaku korporasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mempunyai peranan penting dalam upaya globalisasi melalui proses pembangunan di bidang ekonomi. Peranan
korporasi dalam perkembangan aktivitasnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemasukan negara dalam bentuk pajak bahkan devisa, serta
Universitas Sumatera Utara
penyediaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat. Dalam perkembangan kegiatan ekonomi, tidak jarang korporasi menunjukkan aktivitas menyimpang
dalam kegiatannya. Aktivitas menyimpang ini dikenal dengan istilah kejahatan korporasi.
97
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggunjawaban korporasi dalam perkara pidana. Hal ini karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti
manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Kemudian pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Namun, karena adanya dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, timbul juga pemikiran untuk mempertanggunjawabkan korporasi dalam perkara
pidana. Sekarang ini korporasi atau badan-badan usaha dalam dunia bisnis dapat diminta pertanggungjawaban pidananya secara luas atau tindakan kriminal yang
dilakukan oleh agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.
98
Perumusan dan ruang lingkup kejahatan korporasi
99
corporate crime, menurut J.E.Sahetapy adalah sebagai berikut :
100
97
Muhamad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009, hal 40.
98
Sue Titus Reid, Criminal Law, Prentice Hall, New Jersey, 1995, hal 53, seperti dikutip oleh Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005, hal 28.
99
Kejahatan Korporasi menurut Black‟s Law Dictionary adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or
employees e.g., price fixing, toxic waste dumping, often referred to as “white collar crime ”.kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat
dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya seoerti penetapan harga, pembuangan limbah, sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Lihat
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990,
edisi 6, hal 339, seperti dikutip oleh Muhammad Topan, op.cit, hal 45.
Universitas Sumatera Utara
“Jenis kejahatan korporasi seringkali digunakan dalam berbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan kalau di Amerika Serikat, setiap
Negara bagian menyusun perundang-undangannya terdapat lebih kurang 20 dua puluh perumusan yang berhubungan dengan kejahatan korporasi.
Sehingga perlu dicatat bahwa istilah kejahatan korporasi corporate crime seringkali digunakan dalam konteks white-collar crime, organizational
crime, organized crime, georganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crime of business business crime, syndicate
crime . Untuk sementara tidak ada maksud untuk mendskripsikan makna
dan perbedaan dari berbagai istilah itu. ”
Pengelompokan terhadap white-collar crime menurut Munir Fuady adalah sebagai berikut:
101
1. White-collar crime yang bersifat individual, berskala kecil dengan modus
operandi yang sederhana. 2.
White-collar crime yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks.
3. White-collar crime yang melibatkan korporasi.
4. White-collar crime di sektor publik.
Menurut pengelompokan diatas, white-collar crime adakalanya dilakukan bukan oleh individu melainkan oleh korporasi. Tindakan white-collar crime
100
J.E.Sahetapy, Kejahatan Korporasi, PT. Refina Aditama, Bandung, Cetakan kedua, 2002, hal 1, seperti dikutip oleh Ibid, hal 40.
101
Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahtan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal 1, seperti dikutip oleh Ibid, hal 41.
Universitas Sumatera Utara
tersebut manfaatnya banyak dinikmati oleh korporasi, walaupun tindakan ini umumnya dilakukan oleh pengurus-pengurus korporasi bersangkutan yang pada
dasarnya juga mempunyai kepentingan terhadap tindakan tersebut. Jadi kejahatan korporasi merupakan bentuk white-collar crime dengan bentuk khusus, tidak sama
halnya dengan white-collar crime yang sering melibatkan individu atau kelompok kecil dari para individu yang melakukan kejahatan dalam lingkup profesi mereka
atau kapasitas pekerjaan mereka white-collar accupations. Kejahtan korporasi merupakan kejahatan organisasi yang terjadi dalam konteks saling keterkaitan
yang sangat kompleks, sehingga istilah “kejahatan korporasi” disebut juga dengan istilah “kejahatan organisasi”.
102
Pada awal pembahasan white-collar crime, perhatian lebih terfokus pada kejahatan yang dilakukan oleh individu, sedangkan perhatian terhadap kejahatan
korporasi masih kurang. Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan penekanan kejahatan white-collar secara individu kepada kejahatan korporasi,
dengan alasan :
103
1. Dalam abad ini kita telah menyaksikan ledakan yang luar biasa dalam jumlah
dan ukuran korporasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya semua kegiatan ekonomi, sosial, dan politik sebagian besar dipengaruhi oleh
perilakuk korporasi. Selama periode yang sama dan sebagian sebagai reaksi atas pertumbuhan korporasi yang begitu dramatis, yaitu dalam upaya
102
Ibid, hal 42.
103
Arief Amarullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hal 48- 49, seperti dikutip oleh Ibid, hal 42-43.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan mengatur kegiatan tersebut melalui pembuatan sejumlah undang-undang oleh pemerintah.
2. Sekalipun media massa sedikit memberikan publisitas penuntutan terhadap
kejahatan korporasi, bukan berarti tidak ada kasus kejahatan korporasi. 3.
Upaya-upaya konsumen mendukung tuntutan terhadap korporasi telah berdampak luar biasa pada perhatian publik terhadap kejahtan korporasi
seperti upaya legislatif untuk mengendalikan kejahatan tersebut. 4.
Perhatian yang lebih besar berkaitan dengan lingkungan bahwa dalam kenyataannya banyak korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan.
5. Kurang berhasilnya penanggulangan kejahatan dalam tahun 1960-an terhadap
kejahatan yang disebabkan oleh kemiskinan meskipun hal itu merupakan cara terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya membawa
kepada kenyataan bahwa dalam upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan orang miskin tidak hanya masalah kejahatan itu yang dapat diatasi,
tetapi juga kejahatan yang dilakukan oleh golongan kelas menengah dan atas, sedangkan korporasi diabaikan.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan schuld pada pelaku. Menurut Vos,
pengertian kesalahan schuld mempunyai 3 tiga tanda khusus, yaitu:
104
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan.
104
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
CV Utomo, Bandung, 2004, hal 34, seperti dikutip oleh Edi Yunara, op.cit
, hal 28.
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan. 3.
Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.
Sehingga untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana, hal tersebut tidaklah mudah karena korporasi sebagai subjek
tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan kerohanian seperti halnya manusia alamiah natuurlijk persoon.
Dalam perkembangan hukum pidana kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan terdiri dari beberapa
bentuk, yaitu:
105
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
4. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus beserta korporasi yang
bertanggung jawab. Dasar pembenaran dapat dipidananya korporasi menurut C.M.V Clarkson
sebagaimana yang dikutip oleh Kariawan Barus dan dikutip kembali oleh Elly
105
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia,
CV Utomo, Bandung, 2004, hal 53, seperti dikutip oleh Ibid, hal 30.
Universitas Sumatera Utara
Syafitri Harahap, terdapat beberapa doktrin tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
106
1. Strict Liability
Menurut doktrin ini, bila korporasi melakukan suatu perbuatan yang telah melanggar apa yang dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan,
maka ia dapat dibebankan tanggung jawab atas perbuatan tersebut tanpa perlu dibuktikan apakah korporasi tersebut memenuhi unsur kesalahan
kesengajaankelalaian. 2.
Vicarious Liability Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam
lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan , tanggung jawab pidananya dibebankan kepada
perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah
dilarang perusahaan atau tidak. 3.
Identification Doctrine Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam suatu korporasi,
atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan
106
Elly Syafitri Harahap, Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2014, hal 13-14.
Universitas Sumatera Utara
korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung.
4. Aggregation Doctrine
Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak hanya bisa diketahui atau dilakukan oleh satu orang, sehingga perlu mengumpulkan semua tindakan
dan niat dari beberapa orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan
suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.
5. Reactive Corporate Fault
Menurut pendekatan ini, suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi
kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan mengambil
suatu tindakan displin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut
tidak terulang kembali. Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan
sungguh-sungguh. Kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan
yang tepat atas kesalahan yang dilakukan pekerjanya.
Universitas Sumatera Utara
6. Management Failure Mode
Menurut pendekatan ini, bahwa kejahatan tanpa rencana manslaughter yang dilakukan oleh korporasi ketka ada kesalahan manajemen oleh korporasi yang
menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan
oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefenisikan dengan mengacu kepada kegagalan manajemen sebagai lawan dari kegagala korporasi.
7. Corporate Means Rea Doctrine
Telah dikemukakan bahwa perusahaan itu sendiri tidak dapat melakukan kejahatan, mereka tidak dapat berpikir atau memiliki kemauan. Hanya orang-
orang yang ada di dalam perusahaan yang dapat melakukan kejahatan. Namun demikian orang dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang
personalitas korporasi adalah fiksi tetapi dibuat dengan baik dan sangat berguna. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai
agen yang melakukan kesalahan yang bertindak melalui staf mereka dan pekerja dan means rea-nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijaksanaan
korporasi. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu kelalaian maupun niatmaksud, dapat ditemukan dalam kebijakan-kebijakan,
operasional prosedur dan lemahnya tindakan pencegahan korporasi. 8.
Specific Corporate Offences Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang
kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat maupun kelalaian, dapat
Universitas Sumatera Utara
diatasi dengan membuat definisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.
Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
107
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas
dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2. Atas dasar asas kekeluargaan, sesuai dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945. 3.
Untuk memberantas anomie of success sukses tanpa aturan. 4.
Untuk perlindungan konsumen. 5.
Untuk kemajuan teknologi. Di dalam Persero, Persero yang menganut prinsip pengurusan yang ada di
dalam Perseroan Terbatas, akan bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pengurusnya, apabila pengurus Persero yang melakukan kesalahan
tersebut telah bertindak berdasarkan asas itikad baik Fiduciary Duty sebagaimana terdapat di dalam Pasal 97 ayat 2 Undang-Undang Perseroan
Terbatas dan telah melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghindari kesalahan tersebut Duty Of Care. Undang-Undang Perseroan, di dalam Pasal 97
107
Djoko Sarwoko, Tindak Pidana Korporasi dan Etika Bisnis, Majalah Hukum Varia Peradilan
, Tahun XIII No. 146, November 1997, hal 58,seperti dikutip oleh Edi Yunara, op.cit, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
ayat 5 telah menyebutkan bahwa terhadap Direksi maupun pengurus lainya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban apabila dapat membuktikan :
1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan; 3.
Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian;
4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut. Sehingga ketika direksi maupun pengurus lainnya dapat memenuhi Pasal 97 ayat
5 tersebut, maka kesalahankerugian yang ditimbulkan oleh direksi maupun pengurus lainnya ditanggung oleh Persero.
Di dalam delik Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini di dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terhadap tanggung jawab korporasi telah dengan jelas disebutkan. Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”, sehingga terhadap subjek hukum di
dalam Tindak Pidana Korupsi korporasi sudah termasuk.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga mengatur hukuman dan tata cara penuntutan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi,
yaitu:
108
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya;
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama;
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus; 4.
Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat diwakili oleh orang lain;
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut di bawa ke siding pengadilan;
6. Dalam tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor;
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 sepertiga.
108
Lihat Pasal 20 Undag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
B. TANGGUNG JAWAB DIREKSI BUMN Persero DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.