Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan dengan Polietilen Glikol (PEG) sebagai Plasticizer

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) SEBAGAI PLASTICIZER

Oleh :

FENNY SUPRIOTO F24061488

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) SEBAGAI PLASTICIZER

Oleh :

FENNY SUPRIOTO F24061488

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan dengan Polietilen Glikol (PEG) sebagai Plasticizer

Nama : Fenny Suprioto

NIM : F24061488

Menyetujui

Bogor, 2 September 2010

Pembimbing Akademik,

(Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA) NIP: 19701220.199512.1.001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814. 199002. 1. 001


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 03 September 1988 dan merupakan anak ke empat dari lima bersaudara pasangan Hoover Suprioto dan Lina Setiawan. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Dharma Buddhi Bhakti, Jakarta, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Dharma Buddhi Bhakti, Jakarta, hingga tahun 2003, dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMAK IPEKA Sunter, Jakarta, pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur SPMB pada tahun 2006.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus KMB IPB (Keluarga Mahasiswa Buddhis IPB), anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), anggota FPC (Food Processing Club) Himitepa bidang bakery, serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti “Vegetarian Day: Seminar and Training” tahun 2007, “7th National Student Paper Competition” tahun 2008, dan “Dhammapada Reading Competition” tahun 2008. Beberapa prestasi yang diperoleh penulis antara lain menjadi Finalis pada Pekan Ilmiah Nasional XXII, memperoleh penghargaan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM GT) dari Departemen Pendidikan Nasional, dan menjadi pemenang pertama lomba poster Pimnas XXII bidang PKM GT pada tahun 2009. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan dengan Polietilen Glikol (PEG) sebagai Plasticizer” di bawah bimbingan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA.


(5)

Development of Pectin/Chitosan Composite Edible Film with

Polyethylene Glycol (PEG) as Plasticizer

Fenny Suprioto1, Nugraha E. Suyatma2 1, 2

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor 16002, Indonesia.

Abstract

Interest in maintaining food quality while reducing packaging waste has encouraged further research on edible films. Considerable attention has been given to pectin because it is widely available from underutilized agricultural waste material and is readily modified through demethylation to form excellent films. The scope of composite films made from pectin and other polysaccharides was widened to include chitosan for several reasons.

The aims of this study were to prepare homogenous pectin/chitosan composite edible films, characterize and investigate the effect of different pectin to chitosan ratio on film properties. Pectin/chitosan composite edible film with PEG (10%) as plasticizer was prepared by solution casting method in this study. Five pectin to chitosan ratios (100:0, 75:25, 50:50, 25:75, 0:100) were used. The prepared films were characterized in terms of physicochemical and mechanical properties. Result showed that as chitosan content in composite edible film increased; pH, yellowish color, film thickness, and elongation percentage increased, while tensile strength and water vapor transmission rate decreased. PEG addition as plasticizer in edible film increased film thickness, elongation percentage, and water vapor transmission rate, whereas water activity of the plasticized film decreased.


(6)

Fenny Suprioto. F24061488. Pengembangan Edible Film Komposit Pektin/Kitosan dengan Polietilen Glikol sebagai Plasticizer. Dibawah bimbingan Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA.

RINGKASAN

Perhatian pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi limbah pengemas pangan serta permintaan konsumen yang terus meningkat terhadap kualitas, kemudahan, dan keamanan pangan mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai kemasan edible. Pektin sering digunakan sebagai bahan baku kemasan edible karena banyak terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak termanfaatkan lagi dan dapat dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh kemampuan membentuk film yang baik. Lingkup pembuatan kemasan edible dari komposit pektin dengan polisakarida lainnya meluas mencakup kitosan untuk beberapa alasan.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kemasan edible yang homogen dari komposit pektin/kitosan, mengkarakterisasi kemasan edible komposit pektin/kitosan, dan mempelajari pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan dan penggunaan PEG terhadap karakteristik kemasan edible yang dihasilkan. Lima perbandingan komposisi pektin/kitosan yang digunakan yaitu 100:0, 75:25, 50:50, 25:75, dan 0:100, sedangkan PEG yang digunakan sebesar 10% dari total berat padatan. Analisis yang dilakukan meliputi sifat fisikokimia dan sifat mekanik, dengan parameter yang diujikan yaitu pH larutan edible, warna, aktivitas air, ketebalan, nilai kuat tarik dan persen pemanjangan, serta aktivitas antimikroba film. Selain itu dilakukan juga analisis terhadap edible film yang dihasilkan dengan DSC, XRD, dan FTIR.

Edible film yang dihasilkan memiliki pH yang berkisar antara 2,02 - 3,36, berwarna transparan hingga kekuningan, nilai aw yang berkisar 0,63 - 0,70, ketebalan

film berkisar 41,7 - 118,3 µm, nilai kuat tarik 5,3 - 35,4 MPa, persen pemanjangan 28,3 - 97,9%, laju transmisi uap air berkisar 27,9 - 442, 7 g/m²/24 jam, aktivitas antimikroba dengan diameter penghambatan terhadap Escherichia coli 1,31 - 1,47 cm, dan diameter penghambatan terhadap Bacillus cereus 1,76 - 2,51 cm. Suhu transisi gelas dari edible film yang dihasilkan tidak dapat diamati dengan analisis menggunakan DSC. Dari hasil analisis dengan XRD terlihat bahwa edible film komposit pektin/kitosan memiliki struktur semikristalin. Analisis film menggunakan FTIR menunjukkan adanya interaksi antara pektin dan kitosan dalam film komposit.

Semakin tinggi komposisi kitosan dalam film komposit maka pH, warna kekuningan, ketebalan, dan persen pemanjangan film semakin meningkat, sedangkan kuat tarik dan laju transmisi uap air film menurun. Penambahan PEG sebagai plasticizer dalam edible film menurunkan nilai aw, meningkatkan ketebalan film,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan ke hadirat TRI RATNA yang telah melimpahkan bimbingan dan perlindungan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan skripsi, yang berjudul “PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN DENGAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) SEBAGAI PLASTICIZER” ini didasarkan pada pelaksanaan penelitian yang telah dilaksanakan sejak Januari 2010 sampai Juli 2010 di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Papa Hoover Suprioto dan Mami Lina Setiawan, yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang, doa, nasihat, dan dukungan moril maupun materi kepada penulis.

2. Almh. Mama Nancy Mantik yang telah menunjukkan betapa berharganya sebuah kehidupan kepada penulis, dan mengajari penulis untuk belajar hidup mandiri.

3. Bapak Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA selaku dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu di tengah-tengah kesibukannya memberikan saran, arahan, dan bimbingan yang sangat berarti kepada penulis.

4. Bapak Ir. Arif Hartoyo, M.Si dan Bapak Faleh Setiabudi, ST, MT atas waktu dan kesediannya sebagai dosen penguji pada sidang skripsi penulis.

5. Ibu Elvira Syamsir, STP, M.Si, Ibu Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr, Ibu Dr. Dra Suliantari M.S, dan Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Terima kasih atas bimbingan dan konsultasi yang diberikan selama penulis menjalani penelitian dan menyusun skripsi.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis.


(8)

7. Antony Demas tersayang, yang selama ini selalu bersabar menghadapi semua sifat buruk dan ego penulis, yang selalu memotivasi dan menyayangi penulis dengan tulus.

8. Sofian Suprioto, Jimmy Suprioto, Albert Setiawan, dan William Suprioto, atas nasehat, kepedulian, dan hiburan yang diberikan kepada penulis.

9. Arini Handayani, sebagai teman yang telah menjalankan penelitian satu proyek bersama, atas kerja keras dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

10. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Perwira 99, Puri Riveria: Feriana Chandra, Margaret Octavia, Yurina Haryanti, Limas Agung, Ivan Suwandi, Deni Setiawan, Suhendri, Glenn Chandra, Kenchi Tantra, Handika Gani, Dial Sugianto, Martin Dwiko, Henricus Ramadhani, Stevanus Budi Santoso, Loisa, Rheiner Sukarya, Goto Giok, Steffany Dharmawan, Ferry Rianto, Irsha, dan semua penghuni lainnya yang telah memberi dukungan, hiburan, dan kehangatan kepada penulis layaknya keluarga.

11. Sahabat terbaik penulis sejak IPEKA Sunter hingga ITP 43: Syenny Ihsan, Richie Rich, Stephanie Gabriela Handy, Yoanna Anggraini Wiryadi, yang memberikan keberanian kepada penulis untuk akhirnya memutuskan berkuliah bersama di kampus tercinta ini, terima kasih atas dukungan, kebersamaan, dan kepedulian yang diberikan kepada penulis.

12. Sahabat-sahabat terbaik penulis di ITP 43: Erinna Nidya Wijaya, Stephanie, Leonardus Stefanus, Felicia, Dyas, Daisy Natalia, Nina Ivana, Stella Darmadi, Jessica, Dessyana, Prima, Federika, Safiera Karleen, Mario Wibowo, Septi, Sandra Mariska, Riza Albarn, Wonojatun, Manik Kharda, Anto, Rijali Aroni, Helena Suri, Dhimas, Yohanes Zega, dan teman-teman ITP 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan, doa, kebersamaan, dan nasehatnya.

13. Sahabat-sahabat terbaik penulis KMB IPB: Yuni Alfian, Theresia, Diana, Nadya Belatrix Paramita, Leo Mualim, Steve Mualim, Andy, Yohan, Penfen Fealty, Andi Setiawan, Veronica, Gilang Sutanto, Eliana Susilo, Trancy Chandra, Kenny, Yunny Kosasih, Edi, Sally, Wahyu, Irene, Siska, dan


(9)

teman-teman KMB yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, kehangatan, dan motivasi kalian selama ini.

14. Kakak-kakak ITP 42 dan IPN: Leonardus Adi Wijaya, Marcel Segara, Irene, Eveline, Teresia, Stella, Yusi, Catherine Haryasyah, Diana Lo, Belinda, Cha Cha, Kalista, Esther, Tuthie, Midun, Sina, Nono, Alina, Meivie Lintang, Mutiara, Anas, Dito. Terima kasih atas bantuan, motivasi, saran, dan bimbingannya selama penelitian dan saat pengolahan data

15. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Jakarta: Christina Agustin, Stephanie Rosanto, Fransisca Tania, Vina Stephanie, Kenny Shibaura, Rudi, Ciputra, Andreas, Maria Gunawan, Cynthia, dan seluruh alumni IPEKA Sunter. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya.

16. Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Yahya, Pak Rojak, Bu Antin, Bu Rubiah, Pak Sobirin, Mbak Ari, Bu Sari, Mas Edi, Mas Aldi, dan teknisi lainnya. Terimakasih atas bantuannya, bimbingannya, masukkan, dan nasehat yang diberikan kepada penulis selama di melaksanakan penelitian.

17. Bapak dan Ibu di PITP, yang selalu melayani penulis dengan senang hati mencari skripsi, buku, artikel, jurnal, dan fotokopi semua bahan-bahan tersebut untuk kepentingan penulisan skripsi ini.

18. Para staf di UPT ITP: Bu Novi, Mbak Ani, Bu kokom, dan Bu Sofi. Terima kasih atas kesediaannya membantu penulis dalam menyelesaikan masalah birokrasi dan administrasi.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Agustus 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. MANFAAT ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. KEMASAN EDIBLE ... 3

B. PEKTIN ... 6

C. KITOSAN ... 8

D. PEMBENTUKAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN ... 10

E. PLASTICIZER ... 12

III. BAHAN DAN METODOLOGI ... 15

A. BAHAN DAN ALAT ... 15

B. METODE PENELITIAN ... 15

1. Pembuatan Edible Film ... 15

2. Karakterisasi Film Komposit Pektin/Kitosan ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. PEMBUATAN EDIBLE FILM ... 24

B. KARAKTERISASI FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN ... 27

1. Pengukuran Warna dengan Chromameter ... 27

2. Pengukuran Aktivitas Air (aw) ... 30


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tujuan Penggunaan Edible Film ... ..4 Tabel 2. Perbandingan bobot pektin/kitosan dalam formulasi ... 16 Tabel 3. Penurunan kualitas yang berkaitan dengan aw ... 30


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Transfer yang berpotensi untuk dikontrol oleh kemasan edible . 5 Gambar 2. Segmen berulang dari molekul pektin dan grup fungsional (a):

karboksil (b), ester (c), amida dalam rantai pektin (d) ... 6

Gambar 3. Diagram skematik percabangan rantai pektin, S = gula netral ... 7

Gambar 4. Perbandingan struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b) ... 9

Gambar 5. Pembentukan edible film komposit ... 11

Gambar 6. Mekanisme plastifikasi tingkat molekuler ... 14

Gambar 7. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin dan kitosan ... 17

Gambar 8. Pengukuran nilai aw Edible film ... 18

Gambar 9. Pengukuran kuat tarik dan persentase pemanjangan edible film ... 19

Gambar 10. Pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri: (a) kontrol dan (b) edible film ... 20

Gambar 11. Diagram alir persiapan kultur uji ... 21

Gambar 12. Diagram alir metode cakram ... 22

Gambar 13. Grafik nilai pH larutan komposit pektin/kitosan ... 25

Gambar 14. Proses pelepasan film yang telah terbentuk dari cawan ... 26

Gambar 15. Grafik pengukuran nilai L edible film komposit pektin/kitosan . 27 Gambar 16. Grafik pengukuran nilai a edible film komposit pektin/kitosan .. 28

Gambar 17. Grafik pengukuran nilai b edible film komposit pektin/kitosan . 29 Gambar 18. Grafik pengukuran aw edible film ... 31

Gambar 19. Grafik pengukuran ketebalan edible film ... 32

Gambar 20. Grafik pengukuran nilai kuat tarik edible film ... 33

Gambar 21. Grafik pengukuran persentase pemanjangan film ... 34

Gambar 22. Efek perubahan fase pada transfer massa ... 36

Gambar 23. Grafik pengukuran laju transmisi uap air edible film ... 37

Gambar 24. Film pektin murni (a) dan film kitosan murni (b) setelah diinkubasi pada nutrient agar yang berisi kultur uji ... 39


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai pH

Larutan Edible ... 56 Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai L Edible Film .... 57 Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai a Edible Film ... 59 Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Nilai b Edible Film ... 60 Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap aw Edible Film ... 62

Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Ketebalan

Edible Film ... 63 Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Kuat Tarik (TS)

Edible Film ... 64 Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Persen Elongasi

Edible Film ... 66 Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Laju Transmisi

Uap Air (WVTR) Edible Film ... 68 Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter

Penghambatan Edible Film terhadap Escherichia coli ... 70 Lampiran 11. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter


(14)

Gambar 25. Daerah penghambatan edible film komposit pektin/kitosan

terhadap: (a) Escherichia coli dan (b) Bacillus cereus ... 39

Gambar 26. Grafik hasil pengamatan kapasitas antimikroba edible film komposit pektin/kitosan (D = 1 cm) terhadap Escherichia coli dan Bacillus cereus ... 40

Gambar 27. Representasi skematik sistem DSC ... 42

Gambar 28. Kurva hasil analisis termal sampel dengan DSC ... 44

Gambar 29. Hasil analisis sampel dengan difraksi sinar-X ... 47

Gambar 30. Spektra FTIR edible film: (a) pektin + PEG, (b) pektin, (c) 50 : 50 + PEG, (d) 50 : 50, (e) kitosan + PEG, dan (f) kitosan ... 48


(15)

4. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan ... 32

5. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri... 35

6. Pengujian Aktivitas Antimikroba... 38

7. Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter (DSC) ... 42

8. Analisis dengan X-ray Diffraction ... 45

9. Analisis dengan FTIR Spectroscopy ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Peningkatan jumlah penduduk ditambah dengan penggunaan sumber daya alam dan energi secara besar-besaran mengakibatkan terciptanya sampah yang menumpuk dalam jumlah sangat besar. Sebagian besar dari sampah tersebut merupakan limbah kemasan pangan (food package waste) yang umumnya terbuat dari material yang tidak dapat terurai secara biologis (non-biodegradable), yaitu berupa plastik dan laminat.

Sepanjang daur hidup kemasan pangan, dari pembuatannya hingga menjadi limbah, memberikan dampak terhadap lingkungan yang tidak sedikit. Dampak keseluruhan (resultant impacts) proses pembuatan, penggunaan dan pembuangan bahan pengemas mencakup konsumsi energi, emisi gas-gas yang menyebabkan rumah kaca, dan deplesi sumber daya alam. Pembuangan limbah kemasan pangan secara bebas ke lingkungan maupun penimbunan terpusat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) serta proses insenerasi akan menimbulkan pencemaran, meskipun dalam aras yang berbeda (Widianarko, 2010).

Perhatian pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi limbah pengemas pangan serta permintaan konsumen yang terus meningkat terhadap kualitas, kemudahan, dan keamanan pangan mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai kemasan edible. Kemasan edible memiliki potensi untuk mengurangi kompleksitas kemasan (Melia, 1997) sehingga dapat mengurangi limbah pengemas pangan jika digunakan dalam industri. Kemasan edible tersebut juga dapat menggantikan beberapa jenis material kemasan sintetis yang digunakan untuk mengawetkan dan melindungi makanan (Schou et al., 2004).

Pektin sering digunakan sebagai bahan baku kemasan edible karena banyak terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak termanfaatkan lagi dan dapat dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh kemampuan membentuk film yang baik. Pektin merupakan polisakarida struktural utama pada dinding tanaman selain selulosa. Lingkup pembuatan kemasan edible dari komposit pektin dengan polisakarida lainnya meluas mencakup kitosan untuk beberapa alasan. Pertama, kitosan merupakan hasil derivatisasi kitin, polisakarida terbanyak kedua setelah


(17)

selulosa (Tuil et al., 2000),dan tersedia secara komersial dari sumber yang dapat diperbaharui. Kedua, kitosan memiliki kemampuan membentuk film yang baik, bersifat edible, biodegradable, biocompatible, dan mempunyai kapasitas sebagai anti bakteri dan anti kapang (Tsai et al., 2000; Coma et al., 2003). Ketiga, kitosan dapat berinteraksi secara elektrostatis dengan pektin yang telah mengalami demetilasi parsial.

Hingga saat ini aplikasi kemasan edible berbahan dasar pektin dan kitosan dalam bidang pangan masih terbatas pada aplikasi secara multilayer. Dalam penggunaan metode multilayer ini diperlukan beberapa langkah sehingga waktu pembuatannya lebih lama, pelarut yang digunakan lebih banyak, dan penanganannya lebih sulit (Perez-Gago dan Krochta, 2005). Pembentukan kemasan edible secara langsung dari komposit pektin/kitosan dengan sistem emulsi diharapkan dapat menghasilkan film dengan sifat yang lebih baik dibandingkan dengan film yang dihasilkan dengan metode multilayer.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kemasan edible yang homogen dari komposit pektin/kitosan, mengkarakterisasi, dan mempelajari pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan terhadap karakteristik kemasan edible yang dihasilkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Menghasilkan kemasan edible yang homogen dari komposit pektin/kitosan.

2. Mengkarakterisasi kemasan edible komposit pektin/kitosan.

3. Mempelajari pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan dan penggunaan PEG terhadap karakteristik kemasan edible yang dihasilkan.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dihasilkan edible film dari komposit pektin/kitosan yang bersifat homogen dengan karakteristik tertentu, dan informasi mengenai pengaruh perbandingan komposisi pektin/kitosan terhadap karakteristik edible film. Edible film komposit pektin/kitosan diharapkan dapat dimanfaatkan dan diaplikasikan terutama untuk buah terolah minimal.


(18)

II.TINJAUAN PUSTAKA A. KEMASAN EDIBLE

Kemasan edible didefinisikan sebagai bermacam bahan yang digunakan untuk menutupi (coating atau wrapping) makanan, dapat dimakan bersama dengan makanan tersebut, dan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan produk (Pavlath dan Orts, 2009). Menurut Krochta (1992), kemasan edibel adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) dan dapat berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan makanan seperti bahan pengawet untuk meningkatkan kualitas dan umur simpan makanan. Film dan coating dibedakan berdasarkan konsep bahwa coating diaplikasikan dan dibentuk langsung di atas permukaan makanan, sedangkan film merupakan struktur yang diaplikasikan pada makanan setelah dibentuk secara terpisah (Gontard dan Guilbert, 1994).

Edible film banyak mendapat perhatian karena beberapa keunggulannya dibanding kemasan sintetis. Keunggulan utama edible film terhadap kemasan sintetis tradisional adalah edible film dapat dikonsumsi bersamaan dengan produk yang dikemas. Tidak ada kemasan yang dibuang, dan meskipun tidak dikonsumsi edible film tetap berkontribusi dalam mereduksi pencemaran lingkungan. Proses produksi edible film menghasilkan lebih sedikit limbah dan polusi. Selain itu, edible film secara eksklusif dibuat dari bahan yang dapat diperbaharui, bersifat edible, dan lebih mudah terdegradasi dibanding material polimer (Bourtoom, 2008).

Edible film diproduksi dari material yang memiliki kemampuan membentuk film. Komponen yang digunakan untuk pembuatan edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu hidrokoloid (termasuk protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lainnya), lipid (lilin, asilgliserol, dan asam lemak), dan komposit. Secara umum, lipid digunakan untuk menurunkan transmisi air, hidrokoloid digunakan untuk mengkontrol transmisi oksigen/gas lainnya dan perlindungan terhadap lemak, sedangkan film protein


(19)

memberikan stabilitas mekanis. Materi tersebut dapat dimanfaatkan secara individual atau sebagai komposit untuk membentuk film dengan sifat yang diinginkan.

Edible film harus memenuhi beberapa persyaratan fungsional spesifik seperti barrier terhadap kelembaban, padatan, dan/atau gas, solubilitas dalam air atau lemak, warna dan penampakan, karakteristik mekanis dan rheologi, keamanan, dan sebagainya. Sifat fungsional tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu material yang digunakan, pembentukan film, dan pengaplikasian film. Berbagai tujuan fungsional penggunaan edible film tertera pada Tabel 1, sedangkan ilustrasi transfer yang dapat dikontrol dengan edible film ditunjukkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Tujuan Penggunaan Edible Film (Donhowe dan Fennema, 1994)

Penggunaan Materi yang sesuai

Menghambat migrasi kelembaban Lipid, komposit Menghambat migrasi gas Hidrokoloid, komposit Menghambat migrasi minyak/lemak Hidrokoloid

Menghambat migrasi padatan Hidrokoloid, lipid, atau komposit Meningkatkan integritas struktural atau

kemudahan penanganan

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Mempertahankan komponen flavor yang bersifat volatil

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Membawa bahan tambahan pangan Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Menurut Pavlath dan Orts (2009), edible film yang ideal harus memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Tidak mengandung senyawa berbahaya, komponen yang menimbulkan alergi dan yang tidak dapat dicerna

 Memberikan kestabilan struktural dan mencegah kerusakan mekanis selama transportasi, penanganan, dan penjualan

 Memiliki kemampuan adhesi yang baik dan seragam pada permukaan makanan yang dilindungi

 Mengkontrol migrasi air baik masuk maupun keluar dari makanan yang dilindungi untuk menjaga tingkat kelembaban yang diinginkan


(20)

 Memberikan sifat semi permeable untuk menjaga equilibrium internal gas yang terlibat dalam respirasi aerobik dan anaerobik, sehingga menghambat senescense

 Mencegah kehilangan komponen yang menstabilkan aroma, flavor, nutrisi, dan karakteristik organoleptik yang penting bagi penerimaan konsumen, dan tidak mempengaruhi rasa atau penampakan

 Memberikan kestabilan biokimia dan mikrobial permukaan sekaligus melindungi dari kontaminan, infestasi serangga, proliferasi mikroba, dan kerusakan lainnya

 Menjaga dan meningkatkan nilai estetik dan atribut sensori (penampakan, rasa, dan lainnya) dari produk

 Berfungsi sebagai pembawa bahan tambahan yang diinginkan seperti flavor, aroma, pewarna, nutrisi, dan vitamin. Penambahan antioksidan dan agen antimikroba dapat dibatasi pada permukaan dengan penggunaan edible film sehingga meminimalkan biaya dan perubahan rasa

 Mudah diproduksi dan terjangkau secara ekonomi

Gambar 1. Transfer yang berpotensi untuk dikontrol oleh kemasan edible (Debeaufort dan Voilley, 2009)

Menurut Han (2002), penggunaan edible film merupakan salah satu penerapan dari pengemasan aktif karena sifatnya yang edible dan biodegradable merupakan fungsi tambahan yang tidak terdapat pada sistem pengemasan konvensional.


(21)

B. PEKTIN

Pektin adalah gabungan kompleks polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dari substansi dinding sel tanaman tingkat tinggi. Proporsi pektin yang lebih rendah ditemukan dalam rerumputan. Pektin terkonsentrasi dalam lamela tengah dinding sel, dan jumlahnya semakin menurun pada dinding sel yang berbatasan dengan membran plasma. Pektin sering digunakan sebagai bahan baku kemasan edible karena banyak terdapat pada bahan limbah pertanian yang tidak termanfaatkan lagi dan dapat dimodifikasi melalui demetilasi guna memperoleh kemampuan membentuk film yang baik.

Seperti kebanyakan polisakarida lainnya, pektin bersifat polidispersi dan polimolekular, komposisinya bervariasi tergantung sumber dan kondisi yang diterapkan pada saat isolasi. Pektin secara utama tersusun oleh unit asam D-galakturonat (GalA) dengan ikatan a-(1-4) glikosidik. Asam uronat ini memiliki grup karboksil, beberapa di antaranya secara natural berada dalam bentuk metil ester dan sisanya yang telah mengalami modifikasi dengan amonia menjadi grup karboksamide. Susunan rantai molekul pektin dapat dilihat pada Gambar 2

(Sriamornsak, 2003).

Gambar 2. Segmen berulang dari molekul pektin dan grup fungsional (a): karboksil (b), ester (c), amida dalam rantai pektin (d) (Sriamornsak, 2003)

Selain segmen galakturonan yang ditunjukan pada Gambar 2, pektin tersusun pula oleh gula netral. Rhamnosa (Rha) merupakan komponen minor dari rantai utama pektin yang menyebabkan percabangan pada rantai lurus, dan gula netral lainnya yang terdapat pada rantai cabang pektin (Gambar 3).


(22)

Gambar 3. Diagram skematik percabangan rantai pektin, S = gula netral

(Sriamornsak, 2003)

Pektin diklasifikasi berdasarkan derajat esterifikasinya (DE). Jika derajat esterifikasi (DE) pektin lebih besar dari 50% maka pektin dikategorikan ke dalam derajat esterifikasi tinggi (high methoxyl pectin), sedangkan bila derajat esterifikasinya kurang dari 50% diklasifikasikan ke dalam derajat esterifikasi rendah (low methoxyl pectin). Kisaran nilai DE untuk pektin HM komersial adalah 60 -75% dan untuk pektin LM berkisar antara 20 - 40%. Karena kemampuan pektin untuk membentuk gel bergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi, pektin yang berasal dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan membentuk gel yang berbeda pula.

Pektin digunakan dalam makanan terutama karena kemampuan membentuk gel yang dipengaruhi oleh DE. Karakteristik pembentukan gel juga dikaitkan dengan ikatan rantai interpolimer dan pembentukan film yang lebih baik. Pektin akan membentuk film yang lebih baik ketika kondisi pembentukan gel dipenuhi. Berdasarkan DE, pektin HM yang memiliki DE lebih besar dari 69% disebut rapid-set (RS) pectin, pektin dengan DE 60-61% disebut slow-set (SS) pectin, dan pektin dengan DE 50-60% disebut extra slow-set pectin. Ketika kondisi untuk pembentukan gel dipenuhi, pektin RS akan membentuk gel pada suhu yang lebih tinggi, dan bergantung pada laju pendinginan pembentukan gel akan terjadi lebih cepat dibanding pektin SS. Dengan kata lain, pembentukan gel tidak hanya dipengaruhi oleh DE pektin, tetapi juga suhu dan waktu (Nieto, 2009).


(23)

Untuk pembentukan gel, pektin HM membutuhkan pH di bawah 3,5 dengan kisaran optimum 2,8-3,0 dan keberadaan padatan gula 60-65%, pemanasan juga diperlukan untuk sepenuhnya menghidrasi dan mengaktivasi molekul pektin. Pengaturan pH diperlukan untuk protonasi unit asam galakturonat yang tidak teresterifikasi untuk mengurangi muatan negatif dan penolakan antar sesama molekul pektin. Kombinasi konsentrasi gula yang tinggi dan protonasi atau penetralan muatan negatif pada grup asam galakturonat menyebabkan asosiasi intermolekular dari rantai polimer melalui ikatan hidrogen, menghasilkan pembentukan gel. Pektin LM konvensional membutuhkan penambahan kalsium, gula berkisar 20-55% dan pH antara 3,0-5,0 untuk membentuk gel. Pembentukan gel pektin LM dengan jembatan kalsium di antara dua rantai heliks, membentuk struktur yang disebut dengan ‘egg-boxjunction zone. Dibutuhkan minimal 14-20 residu asam galakturonat untuk membentuk junction zone. Kekuatan gel meningkat seiring peningkatan Ca2+, tetapi menurun dengan meningkatnya suhu dan keasaman atau penurunan pH di bawah 3,0. Pektin yang diamidasi, sebaliknya, hanya membutuhkan sumber kalsium dan pengaturan pH. Pektin amida ini dapat membentuk gel, baik dalam formula bebas gula maupun dalam formula gula tinggi yang mengandung gula hingga sebesar 80%. Gel yang dihasilkan oleh pektin LM bersifat thermoreversible, artinya gel tersebut dapat dicairkan dan dibentuk kembali saat pendinginan.

Film dari pektin bersifat tidak terlalu kuat dibanding film dari polisakarida lainnya. Substitusi gugus metil (gugus yang lebih besar dibanding –COOH) dan keberadaan cabang pada rantai molekul pektin memberikan formasi yang kurang kompak (Nieto, 2009).

C. KITOSAN

Kitosan merupakan produk derivatisasi kitin (material yang menyusun eksoskeleton dari crustacea dan moluska), diproduksi dengan deasetilasi alkali dari kitin. Kitosan adalah poli-β-(1-4)-2-amino-deoksi-D-glukopiranosa, strukturnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kitosan komersial telah mengalami 85% deasetilasi. Dalam larutan, segmen polisakarida kitosan yang sepenuhnya terasetilasi membentuk agregat menyerupai misel, saling dihubungkan oleh


(24)

polisakarida yang hampir sepenuhnya terasetilasi, dan diregangkan oleh penolakan elektrostasis. Kitosan dalam bentuk amina bebas tidak larut dalam air pada pH netral. Kitosan larut dalam asam asetat glasial dan HCl, tetapi tidak larut dalam larutan asam sulfat pada suhu ruang. Lebih rendahnya pH pelarut tidak menjamin kelarutan kitosan yang lebih besar, mengindikasikan bahwa mekanisme pelarutan kitosan tidak hanya dengan protonasi dari gugus amina, tetapi juga interaksi antara kitosan dan asam (Po et al., 2007). Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa kitosan memiliki 3 grup reaktif yaitu gugus -OH pada atom C3 dan C6 serta

gugus –NH2 pada atom C2.

Gambar 4. Perbandingan struktur kimia kitin (a) dan kitosan (b) Pelarut kitosan yang paling banyak digunakan hingga saat ini adalah asam asetat dan asam formiat. Kedua asam tersebut adalah monoasam (hanya memiliki satu gugus karboksil), dan hanya berfungsi sebagai donor proton dalam larutan. Selain asam asetat, banyak jenis asam karboksilat alami lainnya seperti asam glikolat, asam tartarat, asam malat, dan asam sitrat. Di antara asam organik tersebut, asam glikolat adalah yang paling mirip struktur molekulnya dengan asam asetat, perbedaannya hanyalah pada gugus hidroksilnya, sedangkan asam lainnya adalah asam biner atau tersier. Beberapa asam biner dan tersier dapat bereaksi dengan dua atau lebih gugus amina pada rantai kitosan yang berbeda, menyebabkan ikatan silang dari kitosan menjadi struktur yang lebih besar (Po et al., 2007).


(25)

Kitosan memiliki banyak gugus amina di sepanjang rantainya (bersifat kationik) sehingga mampu membentuk kompleks atau berinteraksi dengan komponen lain dan memperoleh karakter spesifik dari interaksi tersebut. Pada pH asam, terjadi protonasi gugus –NH2 menjadi -NH3+, yang dapat berasosiasi

dengan polianion untuk membentuk kompleks dan mengikat sisi anionik pada permukaan sel bakteri dan fungi. Pada pH yang lebih tinggi (>4), kitosan dapat membentuk kompleks dengan pewarna dan logam berat (Nieto, 2009). Kemampuan kitosan ini dapat bermanfaat dalam hal memperpanjang umur simpan dan keamanan produk makanan, serta mencegah proses oksidasi yang dikatalis oleh logam bebas pada makanan.

Edible film kitosan yang telah banyak digunakan pada buah dan sayur menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Bacillus cereus, Brochothrix thermosphacta, Lactobacillus curvatus, Lactobacillus sakey, Listeria monocytogenes, Pediococcus acidilactici, Photobacterium phosphoreum, Pseudomona fluorescens, Candida lambica, Cryptococcus humiculus, dan Botrytis cinerea (Olivas dan Barbosa-Cánovas, 2009). Karena kemampuannya membentuk film semipermeabel yang baik, kitosan diharapkan dapat memodifikasi atmosfer internal juga menurunkan kehilangan karena transpirasi dan memperlambat pematangan dari buah dan sayuran. Film kitosan memiliki sifat mekanik yang baik, fleksibel, dan sulit dirusak, juga merupakan barrier yang baik terhadap oksigen. Selain itu, film kitosan juga mampu mengkontrol pencoklatan enzimatis pada buah (Lacroix dan Tien, 2005). Meskipun sifat hidrofilik dari film kitosan dapat mempengaruhi karakteristiknya sebagai kemasan, film tersebut tetap menunjukkan hasil yang baik saat diaplikasikan terhadap buah dan sayuran segar (Olivas dan Barbosa-Cánovas, 2009).

D. PEMBENTUKAN EDIBLE FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN Proses blending dua polimer atau lebih mempunyai tujuan untuk menemukan material baru dengan sifat-sifat fungsional yang lebih baik. Terlebih lagi, upaya menemukan material baru dengan cara blending polimer adalah jauh lebih murah, lebih mudah dibandingkan mensintesis suatu polimer yang baru dari suatu monomer dimana sifat-sifatnya belum diketahui. Dari sudut pandang lingkungan,


(26)

campuran dari dua atau lebih polimer memungkinkan untuk meningkatkan laju biodegradasi film kompositnya dibandingkan polimer asal (Ikejima et Inoue, 2000). Dalam proses blending ini, perlu dipelajari kriteria miscibilitas antar polimer penyusunnya untuk mencegah adanya pemisahan fase selama proses dan penggunaannya.

Edible film komposit pektin/kitosan dapat diproduksi sebagai film multilayer, bi-layer, atau dispersi yang stabil. Pada film multilayer dan bi-layer, kitosan membentuk lapisan lain di atas lapisan pektin, sedangkan pada komposit film dispersi, kitosan dilarutkan bersamaan dengan larutan pektin. Sistem film multilayer dan bi-layer dibuat dengan teknik dua langkah yang melibatkan casting lapisan kitosan di atas film pektin yang telah dibuat sebelumnya. Sistem film dispersi melibatkan dispersi larutan kitosan ke dalam larutan pektin membentuk campuran yang stabil dan tahap pengeringan untuk pembentukan film. Stabilisasi dispersi dihasilkan dari keseimbangan gaya dari materi yang berbeda, terutama gaya elektrostatis dan hidrofobik. Gambar 5 menunjukkan struktur edible film yang dibuat dengan sistem multilayer, bi-layer, dan sistem dispersi.

Gambar 5. Pembentukan edible film komposit (Perez-Gago dan Krochta, 2005) Pembentukan film pektin/kitosan dengan metode multilayer telah dilakukan oleh Hoagland dan Parris (1996). Pada penggunaan metode multilayer tersebut ditemui adanya pertumbuhan fungi di antara kedua lapisan film dan permukaan film yang terbentuk tidak rata. Film bi-layer memiliki kecenderungan untuk

Dispersion film: Bi-layer film:


(27)

terlepas antara lapisannya dan memberikan sifat mekanik yang lebih buruk dibanding film emulsi. Kesulitan lainnya adalah teknik ini membutuhkan beberapa langkah sehingga waktu pembuatannya lebih lama, penggunaan pelarut lebih banyak, dan penanganan lebih sulit (Perez-Gago dan Krochta, 2005).

E. PLASTICIZER

Plasticizer seringkali dibutuhkan pada edible film, terutama yang terbuat dari polisakarida dan protein. Struktur film ini sering bersifat rapuh dan mudah patah karena interaksi antara molekul polimer yang kuat (Krochta, 2002). Han dan Gennadios (2005) mendefinisikan plasticizer sebagai bahan berbobot molekul rendah yang ditambahkan dalam materi pembentuk film polimerik, yang dapat menurunkan suhu transisi gelas polimer. Menurut Lee dan Wan (2006), plasticizer

adalah substansi bersifat non volatil, memiliki titik didih yang tinggi, tidak memisah, yang ketika ditambahkan ke dalam materi lain mengubah sifat fisik dan mekanik dari material tersebut.

Plasticizer mampu menempatkan dirinya di antara molekul polimer sehingga mengganggu interaksi polimer-polimer dan meningkatkan fleksibilitas. Plasticizer

meningkatkan volume bebas struktur polimer atau mobilitas molekular molekul polimer. Sifat ini menunjukkan bahwa plasticizer menurunkan perbandingan bagian kristalin terhadap bagian amorf yang menyebabkan menurunnya suhu transisi gelas. Penggunaan plasticizer tidak hanya mempengaruhi modulus elastik dan sifat mekanik lainnya, tetapi juga permeabilitas edible film terhadap gas dan uap air. Kebanyakan plasticizer bersifat sangat hidrofilik dan higroskopis sehingga mengikat molekul air dan membentuk kompleks dinamik plasticizer - air. Pada edible film yang terbuat dari polisakarida dan air, plasticizer

mengganggu ikatan hidrogen inter- dan intra-molekular, dan memperbesar jarak antara molekul polimer (Krochta, 2002).

Molekul air dalam film juga berfungsi sebagai plasticizer. Air merupakan

plasticizer yang sangat baik, tetapi dapat dengan mudah hilang karena dehidrasi pada RH relatif rendah. Oleh karena itu, penambahan plasticizer kimia yang bersifat hidrofilik dapat menurunkan kehilangan air (Han dan Gennadios, 2005) sehingga fungsi air sebagai plasticizer dapat dipertahankan.


(28)

Menurut Sothernvit dan Krochta (2001) ada dua tipe plasticizer, yaitu:

1. Bahan yang mampu membentuk banyak ikatan hidrogen dan berinteraksi dengan polimer dengan cara mengganggu ikatan polimer-polimer serta menciptakan jarak antara rantai polimer

2. Bahan yang mampu berinteraksi dengan air dalam jumlah besar untuk mencegah kehilangan lebih banyak molekul air, sehingga menghasilkan kadar air yang lebih tinggi dan radius hidrodinamik yang lebih besar.

Akan tetapi, karena air, biopolimer, dan plasticizer secara alami memiliki sifat hidrofilik, dan karena banyaknya ikatan hidrogen di dalam strukturnya, sangatlah sulit untuk memisahkan dua mekanisme tersebut. Sothernvit dan Krochta (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor dari plasticizer yang digunakan yang mempengaruhi efisiensi plastifikasi, termasuk ukuran/bentuk dari molekul

plasticizer, jumlah atom oksigen, jarak spasial dalam struktur plasticizer, dan kapasitas mengikat air. Disamping efek dari ikatan hidrogen, gaya tolak menolak di antara molekul yang bermuatan sama atau antara polimer polar-non polar dapat memperbesar jarak antara polimer dan memberikan fungsi yang sama dari plastifikasi pada kasus struktur film polimerik yang bermuatan. Dibandingkan dengan film polimer yang netral, fleksibilitas film dari polimer bermuatan dapat dipengaruhi lebih signifikan oleh pengaturan pH dan penambahan garam pada tingkat aktivitas air yang sama (Han dan Gennadios, 2005).

Verrier (2005) mengemukakan beberapa teori untuk menjelaskan mekanisme cara kerja plasticizer:

 Teori lubrifikasi: menyatakan bahwa plasticizer dengan menginsersikan dirinya diantara dua ikatan polimer, akan menurunkan interaksi intermolekuler (Gambar 6)

 Teori gel: menyatakan bahwa rigiditas suatu polimer disebabkan karena struktur tridimensional. Plasticizer bekerja dengan melemahkan sejumlah besar interaksi intermolekuler yang ada

 Teori volume bebas: menjelaskan bahwa plasticizer dapat meningkatkan volume bebas yang memungkin pergerakan yang lebih leluasa elemen-elemen dari struktur bahan


(29)

Gambar 6. Mekanisme plastifikasi tingkat molekuler (Trotignon et al, 1996) Plasticizer yang umum digunakan dalam sistem film adalah monosakarida, disakarida, atau oligosakarida (glukosa, fruktosa-glukosa sirup, sukrosa, madu), poliols (gliserol, sorbitol, turunan gliseril, polietilen glikol), dan lipid serta turunannya (fosfolipid, asam lemak, dan surfaktan). Pemilihan plasticizer dilakukan berdasarkan kompatibilitas antara plasticizer dan substansi yang akan diplastifikasi. Untuk film polisakarida (umumnya berbasis air), plasticizer paling efektif adalah yang paling mendekati struktur polisakarida, sehingga plasticizer

hidrofilik yang memiliki gugus hidroksil adalah yang paling sesuai. Jumlah dan posisi gugus hidroksil serta jumlah ikatan hidrogen yang dapat berikatan dengan makromolekul mempengaruhi efisiensi plastifikasi. Plasticizer yang umum digunakan dalam film polisakarida antara lain gliserol, sorbitol, xylitol, mannitol, polietilen glikol (dengan bobot molekul 400-8000), etilen glikol, dan propilen glikol. Secara umum plasticizer dibutuhkan sekitar 10-60% dari berat kering, tergantung dari kekakuan polimer (Sothernvit dan Krochta, 2005). Penggunaan beberapa plasticizer dapat menghambat pertumbuhan fungi (Lacroix dan Tien, 2005).


(30)

III. BAHAN DAN METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pektin citrus komersial HM SS (high methoxyl slow set) yang diperoleh dari Cargill Deutschland GmbH, dan kitosan DD 90,2% yang diperoleh dari Biotech Surindo, Indonesia. Bahan kimia yang digunakan antara lain aquades, asam sitrat, polietilen glikol (PEG) 400, dan HCl 0,1 N. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji aktivitas antimikroba, yaitu Nutrient Agar, Nutrient Broth, alkohol 70% dan kultur uji yaitu Bacillus cereus dan Eschericia coli.

Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer, magnetic stirrer, sudip, pipet tetes, pipet mohr, labu takar, penyaring vakum, cawan petri, pH meter, oven pengering, aluminium foil, kertas saring, kaleng, mikropipet, ose, bunsen, tabung reaksi, heater, dan autoklaf. Sedangkan peralatan analisis yang akan digunakan adalah chromameter, aw meter, tensile

strength elongation tester, micrometer, permeabilitas uap air dengan metode gravimetri, Differential Scanning Calorimetry (DSC), X-Ray Diffraction (XRD), dan FTIR Spectroscopy.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: (1) pembuatan edible film komposit pektin/kitosan yang homogen, dan (2) karakterisasi edible film komposit pektin/kitosan yang dihasilkan.

1. Pembuatan Edible Film

Larutan edible film komposit pektin kitosan dibuat dengan memodifikasi metode pembentukan gel yang homogen oleh Hiorth et al. (2005). Sebanyak 1% (b/v) pektin dilarutkan dalam aquades menggunakan magnetic stirrer selama 20-30 menit hingga larut sempurna. Dalam wadah yang terpisah, kitosan dilarutkan dengan cara yang sama ke dalam asam sitrat 1%.

Larutan pektin dan kitosan yang telah disiapkan dicampur dalam 75 ml HCl 0,1 N pada perbandingan berat pektin dan kitosan tertentu. Berat total padatan


(31)

adalah 1,5 gram dengan volume total pelarut 150 ml (1% dari total pelarut), tidak termasuk volume HCl 0,1 N yang digunakan. Khusus untuk film yang akan diplastifikasi, ke dalam larutan kemudian ditambahkan 10% PEG 400 yang berfungsi sebagai plasticizer. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan magnetic stirrer saat pencampuran dilakukan dan diteruskan selama 15 menit setelah penambahan PEG hingga terbentuk campuran yang homogen. Formulasi pembuatan edible film dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan bobot pektin/kitosan dalam formulasi

Formula Perbandingan Bobot PEG

Pektin Kitosan

F1 100 0 -

F2 75 25 -

F3 50 50 -

F4 25 75 -

F5 0 100 -

F1P 100 0 10%

F2P 75 25 10%

F3P 50 50 10%

F4P 25 75 10%

F5P 0 100 10%

1.1 Pengukuran Nilai pH Larutan

Larutan komposit pektin/kitosan yang dihasilkan kemudian diukur derajat keasamannya menggunakan pH-meter. Sebelum pengukuran, pH-meter harus distandarisasi dengan menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7. Pengukuran dilakukan dengan cara elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas tisue. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml kemudian elektroda dicelupkan hingga tenggelam pada larutan sampel dan dibiarkan kurang lebih selama satu menit hingga diperoleh angka yang stabil lalu nilai dicatat.

Larutan komposit pektin/kitosan kemudian disaring dengan pompa vakum dan dicasting dalam cawan petri berdiameter 20 cm, lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 50oC selama kurang lebih 2x24 jam hingga terbentuk edible film. Edible film yang terbentuk dikondisikan dalam desikator berisi larutan NaCl jenuh sebelum dikarakterisasi. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 7.


(32)

2. Karakterisasi Film Komposit Pektin/Kitosan

Edible film yang telah dikondisikan selanjutnya dikarakterisasi sifat fisikokimia, sifat mekanis, dan sifat termal, pengamatan mikrostruktur, serta dilakukan pengukuran kapasitas antimikroba.

*hanya untuk film yang akan diplastifikasi

Gambar 7. Diagram pembuatan edible film dari komposit pektin dan kitosan + PEG 10% dari total

padatan*

C

A

B

Casting dalam cawan Petri

Pengeringan

Output film: A = Film kitosan murni B = Film pektin murni C = pectin/chit blends (w/w): 25/75; 50/50; 75/25

Kitosan Pektin

Dilarutkan dalam asam sitrat 1%

Dilarutkan dalam aquades

Blending + Homogenisasi


(33)

2.1Pengukuran Warna dengan Chromameter

Pengukuran warna dilakukan menggunakan Chromameter CR 300 Minolta. Sampel edible film ditempatkan pada alas putih. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah - hijau dengan nilai +a (positif a) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai -a (negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru - kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai -b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru).

2.2Pengukuran Aktivitas Air (aw)

Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw-meter

Shibaura WA-360. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu alat dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam jenuh NaCl. Pencatatan dilakukan terhadap nilai aw.

Gambar 8. Pengukuran nilai aw Edible film

2.3Pengukuran Ketebalan

Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan pengukur ketebalan mikrometer dengan nilai ketelitian 0,001 mm pada tiga titik berbeda. Nilai ketebalan ditentukan dari rata-rata tiga nilai pengukuran ketebalan film.


(34)

2.4Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan

Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan Tensile Strength and Elongation Tester Industries model SSB 0500. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film saat film pecah.

Kuat tarik (MPa) = F/A

Keterangan: F = gaya kuat tarik (N) ; A = luas bidang gaya (mm2)

% Elongasi =b−a

a × 100%

Keterangan: a: panjang awal

b: panjang setelah putus

Gambar 9. Pengukuran kuat tarik dan persentase pemanjangan edible film 2.5Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri

Laju transmisi uap air terhadap film diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (CaCl2) diletakkan dalam

kaleng. Kemudian sampel berukuran 3x3 cm diletakkan di atas kaleng tersebut dengan metode jendela menggunakan aluminium foil sedemikian rupa sehingga menutupi kaleng tersebut. Tutup dengan parafin untuk menutupi bagian antara wadah dengan aluminium foil sehingga tidak ada udara masuk.

Cawan ditimbang dengan ketelitian 0.0001 g kemudian diletakkan dalam lemari kaca yang RH ruangannya terukur menggunakan RH-meter. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan


(35)

pertambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus:

WVTR = slope / luas sampel (m2) = g/m2/24 jam (90% RH, 30oC) k/x = WVTR / [(P2-P1) x RH ruangan] P2 : tekanan uap air jenuh di luar kaleng (mm Hg)

P1 : tekanan uap air jenuh di dalam kaleng (mm Hg)

Gambar 10. Pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri: (a) kontrol dan (b) edible film

2.6Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter (DSC)

Sifat-sifat termal film komposit pektin/kitosan dianalisis dengan DSC (M-DSC 2920, TA Instruments, USA) untuk menentukan suhu transisi gelas (Tg) dan titik leleh bahan (Tm). Sebanyak 7-10 mg bahan diletakkan pada cawan aluminium DSC dengan menggunakan cawan DSC kosong sebagai pembanding. Scanning dilakukan dengan kecepatan peningkatan panas diatur 10°C/menit.

2.7Analisis dengan X-Ray Diffraction (XRD)

Pola difraksi sinar-X film komposit pektin/kitosan dianalisis dengan Rigaku X-ray diffractometer (Rigaku D/maks 2500v/pc) pada kondisi operasi 40kV dan 200 mA. Sebelum dianalisis, film terlebih dahulu dikeringkan secara alami pada suhu ruang.


(36)

2.8Analisis dengan FTIR Spectroscopy

Analisis dengan FTIR spectroscopy digunakan untuk melihat ada tidaknya interaksi spesifik pektin dan kitosan dalam campuran. Analisis dengan spectroskop FTIR dilakukan dengan pellet KBr dengan menambahkan 1 mg film dalam bentuk tepung halus ke dalam 200 mg KBr. Spektra FTIR untuk setiap sampel direkam pada suhu kamar dalam selang 400-4000 cm-1, dengan menggunakan 100 scan dan resolusi 4 cm-1.

2.9 Pengujian Aktivitas Antimikroba (Pranoto et al., 2005)

Pengujian aktivitas antimikroba edible film dilakukan dengan metode cakram (Pranoto et al., 2005).

a) Persiapan kultur uji

Kultur uji disiapkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam 10 ml medium cair Nutrient Broth (NB) secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi 37oC selama 24 jam. Kultur uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus dan Eschericia coli. Diagram alir persiapan kultur uji dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram alir persiapan kultur uji b) Pengujian aktivitas antimikroba dengan metode cakram

Pengujian aktivitas antimikroba film komposit pektin/kitosan dapat diukur dengan menggunakan metode cakram. Kultur uji diinokulasikan sebanyak 0,2 ml ke dalam media NA 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 0,2% yang telah siap dituang ke cawan petri steril. Selanjutnya 20 ml media NA yang telah berisi kultur uji dituangkan ke cawan petri.

Kultur murni

Diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 Diinokulasikan ke dalam 10 ml Nutrient


(37)

Media agar dibiarkan membeku, kemudian film yang berdiameter 1 cm diletakkan di atas media yang berisi kultur uji tersebut. Media yang telah diletakkan film kemudian disimpan pada inkubator 37oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, akan terlihat zona penghambatan yang diperlihatkan dengan daerah bening di sekitar film yang telah ditempelkan di atas media. Diagram alir metode cakram dalam pengujian aktivitas antimikroba film komposit pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram alir metode cakram 3. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor. Perlakuan yang diterapkan berturut-turut adalah penggunaan plasticizer PEG (dengan dan tanpa PEG) dan formulasi perbandingan pektin/kitosan (100:0, 75:25, 50:50, 25:75, dan 0:100). Rancangan

Dibuat potongan film biokomposit

pektin/kitosan dengan diameter 1 cm

Ditempelkan potongan film (D = 1 cm) ke dalam cawan Kultur

uji

Diinokulasikan 0,2% ke dalam 20 ml NB

Dituang ke dalam petri dan dibiarkan membeku

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam


(38)

ini digunakan untuk uji statistika terhadap analisis nilai pH, warna, aw, ketebalan,

kuat tarik, persentase pemanjangan, nilai WVTR, dan diameter penghambatan terhadap Escherichia coli dan Bacillus cereus. Model rancangan percobaan yang digunakan yaitu:

Yijk=μ+αi+βj+(αβ)ij+εijk

Dimana:

Yijk = Respon yang ditimbulkan pengaruh bersama oleh faktor ke-i (i =1, 2)

faktor penggunaan plasticizer PEG, dan faktor ke-j (j=1, 2, 3, 4, 5) faktor formulasi perbandingan pektin/kitosan

μ = Nilai tengah (rata-rata) dari seluruh nilai pengamatan

α1 = Pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor penggunaan plasticizer PEG

βj = Pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor formulasi perbandingan

pektin/kitosan

(αβ)ij = Pengaruh yang ditimbulkan oleh interaksi interaksi antara α1 dan βj

εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Apabila perlakuan berbeda nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5% untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis ini dilakukan menggunakan software SPSS 15.0.


(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN EDIBLE FILM

Larutan edible film komposit pektin kitosan dibuat dengan memodifikasi metode pembentukan gel yang homogen oleh Hiorth et al. (2005). Film dibuat dengan solution casting method dari campuran larutan kedua polimer yang telah disiapkan terlebih dahulu. Pektin dilarutkan dalam aquades hingga larut sempurna, artinya tidak ada pektin yang masih menggumpal, sedangkan kitosan dilarutkan dalam asam sitrat 1%. Kitosan tidak larut dalam air, larut pada hampir semua larutan asam organik pada pH sekitar 4,0 tapi tidak larut pada pH lebih besar. Salah satu pelarut yang dapat digunakan adalah asam organik lemah seperti asam asetat 10% dan asam sitrat 10% (Sugita et al., 2009). Dalam penelitian ini, asam sitrat dipilih sebagai pelarut kitosan karena asam sitrat lebih cocok digunakan untuk aplikasi film terhadap buah.

Proses pembuatan film komposit pektin kitosan sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Kombinasi pektin dan kitosan membentuk polielektrolit kompleks (PEC) pada kisaran nilai pH 3-6. Selain melalui pembentukan PEC, pada pH rendah (pH<2) pektin dan kitosan juga berinteraksi melalui ikatan hidrogen. Pada pH ini, pektin hampir tidak bermuatan dan interaksi elektrosatik ditekan, sehingga interaksi antara pektin dan kitosan akan mungkin terjadi melalui ikatan hidrogen (Nordby et al., 2003). Ghaffari et al. (2007) merepresentasikan reaksi pembentukan PEC antara pektin (P - COOH) dan kitosan (C - NH2) secara

skematik sebagai berikut:

P - COOH + C - NH3+⇄ P - COO-+NH3 - C + H+

Pada penelitian ini, pencampuran pektin dan kitosan tanpa penambahan HCl membentuk PEC berupa agregat (gumpalan) dan menyebabkan film menjadi tidak homogen. Hal ini dikarenakan pembentukan PEC yang sangat kuat antara pektin dan kitosan sehingga menyebabkan air keluar dari struktur gel membentuk gumpalan. Oleh karena itu, dalam proses pencampuran digunakan HCl 0,1 N untuk menurunkan nilai pH sehingga mengurangi interaksi antara molekul pektin dan kitosan agar edible film yang dihasilkan homogen. HCl sebagai bahan tambahan pangan pengasam diizinkan dan diatur dalam CODEX General


(40)

Standards for Food Additives. Hasil pengukuran nilai pH larutan komposit pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik nilai pH larutan komposit pektin/kitosan

Larutan komposit pektin/kitosan memiliki nilai pH yang berada pada kisaran 2,02 - 3,36. Penambahan plasticizer PEG ke dalam larutan tidak menyebabkan perubahan nilai pH yang signifikan. Berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf α = 5% terhadap nilai pH (Lampiran 1), terdapat perbedaan yang signifikan dalam setiap formulasi larutan. Larutan pektin atau kitosan murni memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan larutan kompositnya karena dalam pembuatan larutan komposit pektin/kitosan digunakan HCl 0,1 N untuk menurunkan pH agar dapat melarutkan PEC. Jumlah HCL 0,1 N yang digunakan untuk setiap larutan komposit adalah sama.

Pada grafik terlihat adanya peningkatan nilai pH seiring dengan peningkatan jumlah kitosan dalam larutan komposit. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Chen et al. (2007) bahwa kitosan dalam larutan berperan sebagai reagen dasar dan menetralisasi proton yang dilepaskan oleh asam. Proses netralisasi ini juga menyebabkan kitosan larut dalam fase aquaeous karena gugus amina kitosan terionisasi oleh proton menjadi bermuatan positif.

PEG ditambahkan ke dalam larutan edible film sebagai plasticizer. Penambahan plasticizer bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas atau plastisitas dari polimer. Beberapa studi terhadap plastifikasi film kitosan menunjukkan

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 3.36 2.03 2.14 2.24 3.00

Tanpa PEG 3.32 2.02 2.13 2.23 2.96

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

pH


(41)

bahwa PEG dapat memperbaiki elastisitas film. Suyatma et al. (2005) menyebutkan bahwa PEG memiliki efisiensi dan stabilitas plastifikasi yang lebih baik terhadap kitosan dibanding beberapa plasticizer lainnya. Selain berfungsi sebagai plasticizer, PEG juga dapat berfungsi sebagai antifoaming yang diperlukan untuk mencegah pembentukan busa akibat pengadukan saat proses pembuatan edible film.

Pengadukan terus dipertahankan agar interaksi antara pektin/kitosan dengan pelarutnya dan PEG dapat berjalan dengan baik. Penyaringan dengan kertas saring dilakukan karena pektin yang digunakan adalah pektin teknis, sehingga masih ada pengotor yang tidak ikut terlarut dalam aquades. Pengotor tersebut dapat merupakan bagian tanaman tidak berpektin (pectin-less plant raw material) yang ikut terbawa saat proses ektraksi pektin.

Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama kurang lebih 2x24 jam, pada suhu dan waktu tersebut tidak terjadi reaksi pencoklatan yang berlebihan dari edible film yang dikeringkan. Suhu yang digunakan untuk pengeringan akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan film dan penguapan bahan pelarut. Jika suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan film menjadi sangat tipis, kering, dan mudah retak, karena proses pengeringan berjalan lebih cepat dibandingkan proses pembentukan film. Jika suhu terlalu rendah akan mengakibatkan lamanya proses pengeringan larutan sehingga mudah terjadi kontaminasi dan proses tidak efisien (Sumarto, 2008).

Gambar 14. Proses pelepasan film yang telah terbentuk dari cawan

Karena edible film yang dihasilkan memiliki karakter hidrofilik, maka film dikondisikan pada RH 75% (di dalam desikator berisi larutan NaCl jenuh) sebelum dianalisis untuk mengevaluasi karakteristik film pada lingkungan dengan


(42)

kelembaban tinggi. Meskipun RH mendekati 50% lebih sering digunakan, namun RH 75% juga banyak digunakan (Veiga-Santos et al., 2005). RH lingkungan terbuka terlalu tinggi untuk penyimpanan dalam jangka waktu yang dibutuhkan selama analisis.

B. KARAKTERISASI FILM KOMPOSIT PEKTIN/KITOSAN 1. Pengukuran Warna dengan Chromameter

Pengukuran intensitas warna edible film dilakukan dengan Chromameter Minolta CR-310. Alat ini menggunakan sistem Hunter Lab.

Gambar 15. Grafik pengukuran nilai L edible film komposit pektin/kitosan L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam dan 100: putih). Semakin tinggi nilai L yang terukur, maka semakin cerah warna aktual yang terlihat. Nilai L dari edible film yang tidak diplastifikasi (tanpa PEG) berkisar antara 84,3 - 85,4, sedangkan nilai L yang diplastifikasi (PEG) berkisar antara 83,6 - 88,2. Analisis sidik ragam menggunakan SPSS 15.0 terhadap nilai L pada taraf α = 5% (Lampiran 2), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara film yang diplastifikasi dengan film yang tidak diplastifikasi, yaitu film dengan penambahan PEG cenderung memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dibanding film tanpa PEG. Namun secara subjektif, tidak terlihat perbedaan tingkat kecerahan yang signifikan dari kedua kelompok film.

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 86.7 88.2 86.3 83.6 84.8

Tanpa PEG 85.4 84.4 84.3 84.3 84.6

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0

L

v

al

u

e


(43)

Pada kedua kelompok film, teramati bahwa jumlah kitosan berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan film, semakin besar kitosan yang digunakan dalam formulasi maka tingkat kecerahan film akan semakin menurun. Film yang terbuat dari pektin murni lebih cerah dibandingkan dengan film yang dibuat dengan kitosan murni. Oleh karena itu, film komposit pektin/kitosan dengan jumlah pektin lebih banyak memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi.

Kecerahan merupakan salah satu parameter kualitas kemasan edible yang penting. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa edible film komposit pektin/kitosan yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan yang cukup tinggi.

Nilai a dan b merupakan koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah - hijau dengan nilai +a (positif a) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai -a (negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru - kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai -b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru). Hasil pengukuran nilai a dan b edible film komposit pektin/kitosan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.

Gambar 16. Grafik pengukuran nilai a edible film komposit pektin/kitosan Penambahan PEG dalam pembentukan film memperbesar nilai a, artinya penambahan PEG menyebabkan peningkatan intensitas warna merah edible film yang dihasilkan. Analisis sidik ragam pada taraf α = 5% terhadap nilai a (Lampiran 3), mengindikasikan adanya perbedaan yang signifikan untuk setiap

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 1.0 0.1 0.2 0.4 -0.3

Tanpa PEG 0.5 -0.3 -0.2 -0.1 -0.6

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4

a

v

al

u

e


(44)

formulasi. Film pektin murni memiliki nilai a positif yang menunjukkan warna cenderung merah, sedangkan film kitosan murni memiliki nilai a negatif yang menunjukkan warna cenderung hijau. Namun pada film komposit, jumlah kitosan dalam film berbanding lurus dengan nilai a.

Gambar 17. Grafik pengukuran nilai b edible film komposit pektin/kitosan Hasil analisis sidik ragam menggunakan SPSS 15.0 terhadap nilai b pada taraf α = 5% (Lampiran 4), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap warna edible film komposit pektin/kitosan. Semakin besar jumlah kitosan yang digunakan, maka semakin besar nilai b, artinya warna film cenderung semakin kuning. Hal ini disebabkan karena sifat alami kitosan yang berwarna kekuningan. Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa penggunaan PEG tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai b edible film.

Faktor utama yang mempengaruhi pembentukan warna (L, a, dan b) edible film komposit pektin/kitosan adalah formulasi film dan penggunaan plasticizer, sedangkan pada film pektin atau kitosan murni, warna film dipengaruhi oleh sifat alami bahan dan penggunaan plasticizer. Perbedaan warna yang terjadi antara film komposit dengan film pektin atau kitosan murni terutama disebabkan karena adanya interaksi antara pektin dan kitosan yang melibatkan asam pada film komposit.

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG -1.8 2.3 2.9 7.0 3.5

Tanpa PEG -1.2 2.2 3.2 3.7 3.8

-4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0

b

v

al

u

e


(45)

2. Pengukuran Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Air bebas merupakan air yang secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, dan serat. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimiawi (Winarno, 1997).

Nilai aw sangat menentukan kualitas edible film yang akan digunakan sebagai

bahan pengemas primer. Jika edible film yang dihasilkan mempunyai nilai aw

yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak makanan, maka film tersebut mempunyai potensi yang besar untuk melindungi makanan (Sumarto, 2008). Tabel 3 menunjukkan masalah penurunan kualitas yang berkaitan dengan perubahan nilai aw.

Tabel 3. Penurunan kualitas yang berkaitan dengan aw (Pavlath dan Orts, 2009)

aw Masalah Penurunan Kualitas

0,2 Pencoklatan non enzimatis

0,4 Kehilangan kerenyahan

0,6 Pertumbuhan kapang

0,7 Pertumbuhan khamir

0,8 Pertumbuhan bakteri

Hasil pengukuran nilai aw edible film yang dihasilkan dapat dilihat pada

Gambar 18. Nilai aktivitas air film yang diplastifikasi berkisar antara 0,63 - 0,68, sedangkan untuk film yang tidak diplastifikasi berkisar antara 0,65 - 0,70. Menurut Winarno (1997) aw minimum yang dibutuhkan oleh pertumbuhan kapang

adalah 0,60 - 0,70, khamir 0,80 - 0,90, dan bakteri 0,90. Berdasarkan nilai aw yang

diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa edible film tersebut aman dari pertumbuhan mikroba, terutama bakteri dan khamir.

Dari grafik dapat dilihat bahwa penambahan PEG menyebabkan menurunnya aktivitas air dalam film. Analisis sidik ragam terhadap nilai aw pada taraf α = 0,5%

(Lampiran 5), menunjukkan adanya perbedaan nyata antara film yang diplastifikasi dengan film yang tidak diplastifikasi. PEG dapat menurunkan aw


(46)

menurun. Farhat et al. (2002) juga menyebutkan bahwa PEG memiliki tekanan uap rendah yang mengakibatkan penurunan aw.

Gambar 18. Grafik pengukuran aw edible film

3. Pengukuran Ketebalan Film

Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan, luas cetakan, dan tinggi (volume) larutan saat pencetakan (Park et al., 1992). Dengan cetakan yang sama, film yang terbentuk dapat berbeda ketebalannya apabila volume yang dituangkan berbeda. Semakin besar volume, semakin tebal film yang dihasilkan. Demikian juga dengan total padatan, semakin banyak total padatan maka film akan semakin tebal. Total padatan dalam semua larutan edible film yang dibuat dalam penelitian ini sama, yaitu 1% dari volume pelarut, dan volume larutan yang dicetak adalah keseluruhan dari satu formulasi. Ketebalan juga mempengaruhi sifat barrier dan sifat mekanik film.

Ketebalan edible film yang diplastifikasi berkisar antara 58,9 - 118,3 µm, sedangkan ketebalan film yang tidak diplastifikasi berkisar antara 41,7 - 95,6 µm. Grafik hasil pengukuran ketebalan film dapat dilihat pada Gambar 19. Analisis sidik ragam terhadap ketebalan film pada taraf α = 5% (Lampiran 6), menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara film PEG dengan film tanpa PEG. Penggunaan PEG menambah jumlah padatan dan meningkatkan

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 0.68 0.63 0.66 0.67 0.65

Tanpa PEG 0.70 0.65 0.68 0.69 0.67

0.58 0.60 0.62 0.64 0.66 0.68 0.70 0.72

aw


(47)

volume dalam film sehingga film yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan film tanpa PEG.

Formulasi film juga memberikan perbedaan yang signifikan terhadap ketebalan film. Semakin banyak kitosan yang digunakan, semakin tebal film yang dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan berat molekul dari pektin dan kitosan yang digunakan. Berat molekul rata-rata pektin berkisar antara 50 - 150 kDa (Sriamornsak, 2003), lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata berat molekul kitosan yang berkisar antara 100 – 500 kDa (Kumar, 1999). Oleh karena itu, film dengan konsentrasi kitosan yang lebih tinggi memiliki ketebalan yang lebih tinggi pula.

Gambar 19. Grafik pengukuran ketebalan edible film 4. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan

Kuat tarik (tensile strength) merupakan gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh sebuah film hingga terputus. Kuat tarik merupakan parameter penting bagi sebuah edible film. Kuat tarik yang kecil mengindikasikan bahwa film yang bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan karena karakter fisiknya kurang kuat dan tidak dapat dicetak untuk kemasan rigid (Astuti, 2008).

Nilai kuat tarik film PEG berkisar antara 10,6 - 34,8 MPa, dan nilai kuat tarik film tanpa PEG berkisar antara 5,3 - 35,4 MPa. Gambar 20 menunjukkan grafik pengukuran nilai kuat tarik film. Dari grafik terlihat bahwa pada film pektin atau

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 58.9 66.1 84.4 92.8 118.3

Tanpa PEG 41.7 56.1 62.2 79.4 95.6

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 140.0 160.0

K

e

te

b

al

an

m

)


(48)

kitosan murni, penambahan PEG menyebabkan penurunan nilai kuat tarik, sesuai dengan sifat umum penggunaan plasticizer. Pada film komposit, efek penggunaan plasticizer terhadap nilai kuat tarik film tidak terlihat, sebaliknya terjadi peningkatan nilai kuat tarik. Efek yang berkebalikan dari penggunaan plasticizer ini dikenal dengan fenomena antiplastifikasi. Interaksi yang kuat antara polimer dan plasticizer dalam jumlah kecil menghasilkan efek ikatan silang (Suyatma et al., 2005), yang memungkinkan terjadinya peningkatan distribusi kuat tarik dalam film. Perbedaan efek plastifikasi terhadap nilai kuat tarik antara film murni dengan film komposit juga ditemui oleh García et al. (2009) yang melakukan plastifikasi pada film komposit kitosan/metil selulosa dengan gliserol.

Gambar 20. Grafik pengukuran nilai kuat tarik edible film

Analisis sidik ragam terhadap nilai kuat tarik pada taraf α = 5% menggunakan SPSS 15.0 (Lampiran 7) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara formulasi. Film pektin atau kitosan murni memiliki nilai kuat tarik yang lebih besar dibandingkan film komposit pektin/kitosan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kim et al. (2006) bahwa keberadaan counter ion (pektin negatif sedangkan kitosan positif) dapat mengurangi kekuatan film yang dihasilkan. Semakin besar kitosan dalam film komposit, semakin menurun nilai kuat tarik. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan memiliki adhesi interfasial yang rendah terhadap matriks komposit sehingga menurunkan distribusi kuat tarik dalam film

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 26.7 24.1 12.0 10.6 34.8

Tanpa PEG 32.0 21.2 10.9 5.3 35.4

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0

Ten

si

le

Str

e

n

g

h

t

(M

Pa)


(49)

komposit pektin/kitosan, atau dapat pula berkaitan dengan efektivitas PEG sebagai plasticizer.

Krochta dan Johnston (1997) melaporkan bahwa kisaran nilai kuat tarik yang dapat diaplikasikan untuk edible film yang standar antara 10 – 100 MPa. Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan nilai kuat tarik dalam film komposit pektin/kitosan, film yang dihasilkan tersebut masih sesuai untuk diaplikasikan sebagai edible film karena nilai kuat tariknya masih berada pada kisaran tersebut.

Pengukuran kuat tarik film biasanya diikuti dengan pengukuran persen pemanjangan (elongasi). Persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum sebelum edible film terputus (Sumarto, 2008). Persen pemanjangan mempresentasikan kemampuan film untuk meregang secara maksimum. Persen pemanjangan edible film yang diplastifikasi berkisar antara 29,1 - 97,9%, dan pada film yang tidak diplastifikasi persen pemanjangan berkisar antara 28,3 - 60,3%. Grafik hasil pengukuran persen pemanjangan film dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik pengukuran persentase pemanjangan film

Analisis sidik ragam terhadap persentase pemanjangan pada taraf α = 5% (Lampiran 8) menunjukkan perbedaan yang signifikan akibat penggunaan plasticizer dan formulasi film. Film yang diplastifikasi dengan PEG memiliki persen pemanjangan yang lebih besar dari film yang tidak diplastifikasi. Plasticizer meningkatkan fleksibilitas film dengan mengurangi derajat ikatan

100 : 0 75 : 25 50 : 50 25 : 75 0 : 100

PEG 51.7 29.1 54.9 60.8 97.9

Tanpa PEG 30.9 28.3 53.1 52.3 60.3

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0

%

E

lo

n

g

asi


(50)

hidrogen dan meningkatkan jarak intermolekular dari polimer (Lee dan Wan, 2006).

Persen pemanjangan film berbanding lurus dengan jumlah kitosan. Semakin besar jumlah kitosan dalam film, semakin besar pula persen pemanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa plasticizer yang digunakan, yaitu PEG 400, lebih sesuai atau efektif terhadap kitosan dibandingkan terhadap pektin. Efektivitas plasticizer ini juga terlihat dari nilai kuat tarik film komposit yang semakin rendah seiring dengan peningkatan jumlah kitosan. Krochta dan Johnston (1997) melaporkan karakteristik edible film standar mempunyai persen pemanjangan 10 - 50%. Edible film komposit pektin/kitosan yang dihasilkan memiliki persentase pemanjangan yang mendekati kisaran tersebut.

Penggunaan plasticizer cenderung menurunkan nilai kuat tarik dan meningkatkan persen pemanjangan karena plasticizer dapat mengurangi gaya antar molekul, dan meningkatkan mobilitas rantai biopolymer (McHugh dan Krochta, 1994). Plasticizer mengganggu ikatan rantai dan menurunkan rigiditas sehingga menghasilkan struktur film yang tidak teratur.

Kondisi lingkungan saat produksi, penyimpanan, dan penggunaan bahan mempengaruhi sifat mekanis film. Fenomena ageing juga menyebabkan penurunan sifat mekanis, terutama persentase pemanjangan film (García et al., 2009). Edible film memiliki nilai kuat tarik yang lebih rendah daripada plastik (PET, PVC, polistiren, dan poliamide), sedangkan persen pemanjangannya sangat bervariasi. Beberapa edible film memiliki persen pemanjangan yang dapat dibandingkan dengan plastik pada umumnya. Pada kondisi RH yang tinggi, kekuatan fisik film lebih rendah dibanding pada kondisi RH rendah karena uap air yang diserap berfungsi sebagai plasticizer. Suhu juga merupakan variabel penting yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanis edible film. Kekuatan fisik bahan menurun secara dramatis ketika suhu meningkat di atas suhu transisi gelas (Han dan Gennadios, 2005).

5. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri

Permeabilitas merupakan sifat dari materi yang mengkuantifikasi kemudahan relatif sebuah substansi untuk melewati materi tersebut. Dalam industri pangan,


(1)

67

E

Duncana,b

3 28.2667 3 29.0667 3 30.9333

3 51.7333

3 52.2667

3 53.0667

3 54.9333 54.9333

3 60.2667

3 60.8000

3 97.8667

.452 .382 .105 1.000

Sampel Non PEG-F2 PEG-F2 Non PEG-F1 PEG-F1 Non PEG-F4 Non PEG-F3 PEG-F3 Non PEG-F5 PEG-F4 PEG-F5 Sig.

N 1 2 3 4

Subset

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 16.128. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. a.

Alpha = .05. b.


(2)

68

Lampiran 9.

Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Laju Transmisi Uap Air

(WVTR)

Edible

Film

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: WVTR

431629,691a 9 47958,855 29,613 ,000

2225145,256 1 2225145,256 1373,933 ,000

59704,775 1 59704,775 36,865 ,000

334177,983 4 83544,496 51,585 ,000

37746,933 4 9436,733 5,827 ,003

32390,896 20 1619,545

2689165,843 30

464020,587 29

Source

Corrected Model Intercept Plasticizer Formulasi

Plasticizer * Formulasi Error

Total

Corrected Total

Ty pe II I Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = , 930 (Adjusted R Squared = ,899) a.

WVTR

Duncana,b

6 67,3340

6 299,1117

6 300,1117

6 326,8700 326,8700

6 368,2950

1,000 ,272 ,090

Formulasi F5 F3 F2 F4 F1 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1619,545. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. a.

Alpha = , 05. b.

Group Statisti cs

15 316,9557 139,94946 36,13479

15 227,7333 96,40462 24,89156

Plasticizer PEG Non PEG WVTR

N Mean St d. Dev iation

St d. Error Mean


(3)

69

WVTR

Duncana,b

3 56,2230 3 78,4450

3 251,1833

3 257,4433

3 279,1867 279,1867

3 294,6300 294,6300 294,6300

3 319,0367 319,0367 319,0367

3 349,0400 349,0400

3 359,1100

3 479,1467

,507 ,077 ,064 ,085 1,000

Sampel Non PEG-F5 PEG-F5 Non PEG-F2 Non PEG-F1 Non PEG-F3 Non PEG-F4 PEG-F3 PEG-F2 PEG-F4 PEG-F1 Sig.

N 1 2 3 4 5

Subset

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1619,545. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a.

Alpha = ,05. b.


(4)

70

Lampiran 10.

Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter Penghambatan

Edible

Film

terhadap

Escherichia coli

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: E.coli

,067a 5 ,013 3,965 ,013

47,180 1 47,180 14008,113 ,000

,008 1 ,008 2,505 ,131

,045 2 ,023 6,711 ,007

,013 2 ,007 1,948 ,171

,061 18 ,003

47,308 24

,127 23

Source

Corrected Model Intercept Plasticizer Formulasi

Plasticizer * Formulasi Error

Total

Corrected Total

Ty pe II I Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = , 524 (Adjusted R Squared = ,392) a.

E. coli

Duncana,b

8 1,3625 8 1,3812

8 1,4625

,526 1,000 Formulasi

F2 F4 F3 Sig.

N 1 2

Subset

Means f or groups in homogeneous subset s are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,003. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. a.

Alpha = ,05. b.


(5)

71

Lampiran 11.

Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Diameter Penghambatan

Edible

Film

terhadap

Bacillus cereus

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: B.cereus

2,051a 5 ,410 43,751 ,000

111,370 1 111,370 11879,511 ,000

1,307 1 1,307 139,378 ,000

,604 2 ,302 32,211 ,000

,140 2 ,070 7,478 ,004

,169 18 ,009

113,590 24

2,220 23

Source

Corrected Model Intercept Plasticizer Formulasi

Plasticizer * Formulasi Error

Total

Corrected Total

Ty pe II I Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = , 924 (Adjusted R Squared = ,903) a.

B.cereus

Duncana,b

8 1,9688

8 2,1375

8 2,3563

1,000 1,000 1,000

Formulasi F3 F4 F2 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,009. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. a.

Alpha = , 05. b.

Group Statistics

12 1,9208 ,22101 ,06380

12 2,3875 ,18479 ,05334

Plasticizer PEG Non PEG B. cereus

N Mean St d. Dev iation

St d. Error Mean


(6)

72

B.cereus

Duncana,b

4 1,7625 4 1,8000

4 2,1750

4 2,2000

4 2,4750

4 2,5125

,591 ,719 ,591

Sampel PEG-F3 PEG-F4 Non PEG-F3 PEG-F2 Non PEG-F4 Non PEG-F2 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means f or groups in homogeneous subsets are display ed. Based on Ty pe III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = ,009. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. a.

Alpha = ,05. b.


Dokumen yang terkait

Pembuatan Dan Karakterisasi Komposit Karet Alam/Monmorillonite Menggunakan Polietilen Glikol Sebagai Pemodifikasi Organik

2 126 72

Pengaruh Konsentrasi Polietilen Glikol (PEG) 6000 Terhadap Disolusi Piroksikam Dalam Dispersi Padat

6 91 87

Pemanfaatan Gliserol Dan Turunannya Sebagai Plasticizer Pada Edible Film Gelatin Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Kulit Kayu Manis (Cinnamomum Burmanii) Sebagai Antimikroba

10 107 120

Pengaruh Polietilen Glikol (PEG) Terhadap Ukuran Partikel Magnetit (Fe3 O4 ) yang Disintesis dengan Menggunakan Metode Kopresipitasi

0 0 5

Aplikasi Karagenan Eucheuma cottonii dengan Penambahan Minyak Sawit dalam Pembuatan Edible Film

0 0 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karet Alam - Pembuatan Dan Karakterisasi Komposit Karet Alam/Monmorillonite Menggunakan Polietilen Glikol Sebagai Pemodifikasi Organik

0 2 18

Pembuatan Dan Karakterisasi Komposit Karet Alam/Monmorillonite Menggunakan Polietilen Glikol Sebagai Pemodifikasi Organik

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polietilen Glikol (PEG) - Pengaruh Penambahan Polietilen Glikol 6000 Terhadap Sifat-sifat Fisik dan Pelepasan Natrium Diklofenak dari Cangkang Kapsul Alginat

0 0 19

Pengaruh Penambahan Polietilen Glikol 6000 Terhadap Sifat-sifat Fisik dan Pelepasan Natrium Diklofenak dari Cangkang Kapsul Alginat

1 0 16

Pemanfaatan Gliserol Dan Turunannya Sebagai Plasticizer Pada Edible Film Gelatin Yang Diinkorporasi Dengan Minyak Atsiri Kulit Kayu Manis (Cinnamomum Burmanii) Sebagai Antimikroba

0 0 13