42 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dari
kitosan. Kitosan berbobot molekul rendah lebih kecil dari 10 kDa memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibanding kitosan alami. Derajat
polimerisasi minimal 7 dibutuhkan, fraksi bobot molekul yang lebih rendah memiliki aktivitas yang rendah atau tidak ada sama sekali. Kitosan yang tinggi
derajat deasetilasinya lebih bersifat antimikroba dibanding kitosan dengan proporsi gugus amina terasetilasi tinggi karena peningkatan kelarutan dan densitas
muatan yang lebih tinggi. Untuk alasan yang sama, pH yang lebih rendah juga meningkatkan aktivitas antimikroba kitosan, sebagai tambahan hurdle effect dari
stress yang ditimbulkan asam pada mikroorganisme target Dutta et al., 2009. Asam kuat seperti HCl terdisosiasi secara sempurna pada pH normal dan
memberikan efek terhadap mikroba hanya dalam hal penurunan pH atau peningkatan konsentrasi proton. Mikroorganisme memiliki kisaran pH eksternal
untuk pertumbuhan dan bertahan hidup, asidifikasi umumnya efektif untuk mengontrol pertumbuhan mikroba Booth dan Stratford, 2003.
7. Analisis dengan Differential Scanning Calorimeter DSC
DSC merupakan teknik untuk mengukur energi yang dibutuhkan untuk menjaga perbedaan suhu mendekati nol antara substansi dan kontrol reference
inert saat kedua spesimen dikondisikan pada sistem suhu yang identik dalam lingkungan yang dipanaskan atau didinginkan dengan laju terkontrol Gambar
27. Suhu transisi gelas dan evolusi dari struktur kristalin film selama penyimpanan dapat dievaluasi dengan menggunakan DSC García et al., 2009.
Gambar 27.
Representasi skematik sistem DSC Hatakeyama dan Quinn, 1999
43 Suhu transisi gelas didefinisikan sebagai suhu dimana materi polimer
mengalami perubahan dari kondisi glassy menjadi rubbery. Fenomena transisi gelas memisahkan materi ke dalam dua bagian, berdasarkan perbedaan sifat dan
struktural, yang mempengaruhi kondisi proses dan aplikasinya suhu dan ketahanan terhadap air. Secara umum, penggunaan bio-plastik amorf dibatasi
oleh fakta bahwa Tg polimer sangat dipengaruhi oleh kelembaban relatif terutama untuk polimer hidrofilik. Di bawah Tg, materi bersifat kaku, dan di
atas Tg, polimer bersifat visko-elastik. Di bawah batasan kritis ini, hanya vibrasi dan rotasi lokal non-kooperatif yang lemah yang mungkin terjadi. Di atas Tg,
pergerakan kooperatif yang kuat dari keseluruhan molekul dan polimer teramati
Guilbert dan Gontard, 2005.
Kurva hasil analisis termal edible film dengan DSC ditunjukkan pada Gambar 28. Secara teoritis, penggunaan plasticizer cenderung menyebabkan pergeseran
suhu transisi gelas dan titik leleh film ke suhu yang lebih rendah. Plasticizer meningkatkan volume bebas struktur polimer atau mobilitas molekular molekul
polimer dan menurunkan perbandingan bagian kristalin terhadap bagian amorf sehingga menyebabkan menurunnya suhu transisi gelas Krochta, 1992.
Penggunaan plasticizer dalam film membatasi pertumbuhan kristal sehingga terjadi penurunan entalpi ∆H dan titik leleh film García et al., 2009.
T
g
dari edible film pektin murni tidak terdeteksi baik pada sampel yang diplastifikasi maupun yang tidak diplastifikasi. Menurut Iijimaa et al. 2000,
pektin memiliki suhu transisi gelas pada suhu sekitar 35ºC, yang mana pada kurva DSC ini tertutup karena adanya start-up hook endotermik pada awal pemanasan.
Start-up hook ini terjadi terutama bergantung pada perbedaan kapasitas panas sampel dengan reference. Karena kapasitas panas berkaitan secara langsung
dengan berat, adanya pergeseran endotermik menunjukkan bahwa reference pan yang digunakan terlalu ringan untuk menyeimbangkan berat sampel Thomas,
undated.
44
Gambar 28. Termogram edible film dengan DSC: a pektin dan pektin + PEG,
b 50 : 50 dan 50 : 50 + PEG, c kitosan dan kitosan + PEG
0.00 100.00
200.00 300.00
400.00
E x
o th
e rm
ic
Temperatur ºC
Pektin : Kitosan = 100 : 0
Pektin : Kitosan = 100 : 0 + PEG
0.00 100.00
200.00 300.00
400.00
E xo
th e
rm ic
Temperatur ºC
Pektin : Kitosan = 50 : 50
Pektin : Kitosan = 50 : 50 + PEG
0.00 100.00
200.00 300.00
400.00
E x
o th
e rm
ic
Temperatur ºC
Pektin : Kitosan = 0 : 100
Pektin : Kitosan = 0 : 100 + PEG
45 Suhu transisi gelas sampel edible film kitosan murni dan komposit
pektinkitosan juga tidak dapat ditentukan secara tepat dari kurva hasil analisis termal dengan DSC ini. Pada kurva DSC sampel tersebut tidak dapat dipastikan
apakah pergeseran yang terjadi diakibatkan karena transisi gelas, relaksasi bahan, atau penguapan air dalam sampel. Tg kitosan untuk sampel kitosan murni dan
komposit pektinkitosan diperkirakan berada pada suhu sekitar 130ºC - 150ºC, dan sampel yang diplastifikasi PEG memiliki Tg yang lebih rendah. Menurut Abiad
2010, pengukuran sampel yang berkadar air rendah sulit dilakukan dengan DSC karena transisi yang sulit dibedakan dan akurasi yang terbatas.
Suhu transisi gelas kitosan masih kontroversi hingga saat ini. Penyebab utamanya adalah kitosan sebagai polimer alami memiliki sifat seperti kristalinitas,
bobot molekul, dan derajat deasetilasi yang bervariasi bergantung sumber danatau metode ekstraksi sehingga mempengaruhi suhu transisi gelas Neto et al.,
2005. Ratto et al. 1995 mendeteksi T
g
kitosan pada suhu 30ºC untuk kadar air berkisar antara 8 - 30. Lazaridou and Biliaderis 2005 menemukan T
g
kitosan berkisar antara -23 - 67ºC, tergantung pada kadar air, yang mengindikasikan efek
plastifikasi air. Sebaliknya, Sakurai et al. 2000 mendeteksi T
g
pada 203ºC, sedangkan Kittur et al. 2002 tidak mendeteksi T
g
dan menyebutkan bahwa T
g
kitosan terletak pada suhu yang lebih tinggi, dimana degradasi menutupi penentuannya.
8. Analisis dengan X-ray Diffraction XRD