Analsis Status Hara Fosfor Pada Berbagai Lahan Pertanian Pangan di Pulau Jawa
ANALISIS STATUS HARA FOSFOR PADA BERBAGAI LAHAN PERTANIAN PANGAN DI PULAU JAWA
TUNGGUL EDWARD SITORUS A14080004
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
RINGKASAN
TUNGGUL EDWARD SITORUS. Analisis Status Hara Fosfor Pada Berbagai Lahan Pertanian Pangan di Pulau Jawa. Dibawah bimbingan SYAIFUL ANWAR dan ARIEF HARTONO.
Indonesia adalah negara agraris yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49%. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia adalah dengan melakukan program intensifikasi. Selain menggunakan varietas unggul, pemupukan menjadi kegiatan yang paling menentukan dalam keberhasilan program ini. Di Indonesia pupuk P menjadi yang paling banyak dibutuhkan setelah pupuk N terutama pada lahan kering.
Fosfor dalam tanah menjadi sangat penting ketersediaannya bagi tanaman karena peranannya yang cukup banyak, tetapi di dalam tanah selain jumlahnya yang sedikit juga terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al, Mn dan Fe pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis, sehingga menjadi bentuk yang tidak tersedia. Melihat sifatnya yang mudah terfiksasi dan keberadaan P di dalam tanah yang sedikit tetapi dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka peranan pupuk P sangatlah penting dalam menjaga ketersediaan unsur P bagi pertumbuhan tanaman. Fenomena leveling off, yaitu: laju peningkatan produktivitas tanah tidak selaras dengan laju penggunaan pupuk yang diberikan mendorong untuk perlu dilakukannya evaluasi status hara P terkini pada tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara P (P-tersedia dan P-potensial) tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa, serta juga keterkaitannya dengan beberapa sifat kimia tanah lainnya. Total ada 43 contoh (lokasi) yang diambil di Pulau Jawa, yang terdiri dari 23 lokasi yang digunakan untuk sawah dan 20 lokasi untuk tanah pertanian lahan kering, sementara metode yang dipakai untuk mengukur P-potensial adalah pengekstrak HCl 25% dan untuk P-tersedia adalah Bray 1.
Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria yang tersedia, dari 23 contoh tanah sawah yang diambil di Pulau Jawa, 19 contoh berstatus P-potensial sangat tinggi, dua contoh berstatus tinggi dan dua contoh lainnya
berstatus rendah, sedangkan P-tersedia tanah sawah terdapat 21 contoh yang berstatus sangat tinggi dan dua contoh lainnya berstatus tinggi dan rendah, sementara pada pertanian lahan kering dari 20 contoh yang diambil, 15 contoh berstatus P-potensial sangat tinggi, empat contoh berstatus tinggi dan satu contoh berstatus sedang. Untuk P-tersedia pertanian lahan kering seluruhnya berstatus sangat tinggi. Dalam uji korelasi pada tanah sawah terdapat korelasi positif antara
P-tersedia dengan Cadd, dan pH, sementara pada pertanian lahan kering P-potensial berkorelasi positif terhadap C-total, N-total, dan EC. Berdasarkan
penilitian ini disimpulkan bahwa status hara P pada tanah-tanah pertanian di Jawa umumnya sangat tinggi, sehingga perlu dipikirkan upaya untuk memanen, khususnya P-potensial yang telah ada dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman. Kata Kunci: Pulau Jawa, tanah sawah, pertanian lahan kering, fosfor.
(3)
SUMMARY
TUNGGUL EDWARD SITORUS. Analysis of Phosphorus on Food Agricultural Lands in Java Island. Supervised by SYAIFUL ANWAR and ARIEF HARTONO.
Indonesia is an agricultural country that has the fourth largest population in the world with 237,6 million people and growth rate of 1,49%. One program that made by the government to fulfill the demands of food is agricultural intensification program. While using the improved varieties, fertilizing is one of the most important input to succed this program. In Indonesia, P fertilizer is the second most important after N fertilizer, especially on up land.
Availability of phosphorus in the soil becomes very important because it has many roles in plants. However, in the soil, their availability relatively low because of binding by Al, Mn and Fe in acid soils, or by Ca, Mg in alkaline soil. Since it is easily fixed and the presence of P in the soil is limited but needed in large quantities, the role of P fertilizer is critical in maintaining the availability of P nutrient for plant growth. The phenomenon levelling off, which is the rate of increase in soil productivity is not in line with the rate of fertilizer is the main reason to evaluate the status of the current P nutrient in agricultural soils in Java. This study aimed to evaluate the status of the current P nutrient (available-P and potential-P) in agricultural lands in Java, and their association with some other soil chemical properties. There are 43 samples (locations) were taken from the island of Java, which consists of 23 samples of paddy field and 20 samples of up land agriculture. The methods that used to measure the potential-P is HCl 25% extraction and the available-P is Bray 1.
The results based on the available criteria show that from 23 samples of paddy field, 19 samples have very high status of potential-P, two samples have high status and two other samples have low status of potential-P. In the paddy field available-P there are 21 samples that have very high status and two other samples that have high and low status of available-P. On up land agriculture, from 20 samples, 15 samples have very high status of potential-P, four samples have high status and one other sample have medium status. Available-P in up land agriculture entirely have very high status. For paddy field there are positive correlations between available-P with exch-Ca, and pH, meanwhile on up land agriculture, potential-P has positive correlations with total-C, total-N, and EC. From this study, it is concluded that the status of P in agricultural soil in Java is in general very high. In the future, it is worthed to consider how to harvest especially the potential-P for plant growth.
(4)
ANALISIS STATUS HARA FOSFOR PADA BERBAGAI LAHAN PERTANIAN PANGAN DI PULAU JAWA
TUNGGUL EDWARD SITORUS A14080004
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(5)
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Analsis Status Hara Fosfor Pada Berbagai Lahan Pertanian Pangan di Pulau Jawa
Nama : Tunggul Edward Sitorus
NIM : A14080004
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Lahan
Disetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr. NIP: 19621113 198703 1 003 NIP: 19680628 199303 1 012
Diketahui
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP: 19621113 198703 1 003
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 September 1990 dari pasangan Bapak Parningotan Sitorus dengan Ibu Siti Naisah br. Manurung dan merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Methodist 2 Rantauprapat pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SLTPN 3 Rantauprapat. Tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 2 Rantau Utara, kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian di tahun yang sama.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam Komisi Pembinaan Pemuridan Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (KPP UKM PMK IPB). Penulis pernah diberi tanggung jawab menjadi wakil koordinator bidang pelayanan tahun 2010-2011, Tim Kelompok Kecil IPB, Koordinator Asisten Mata Kuliah Agama Kristen tahun 2011-2012. Asisten Praktikum Pengantar Ilmu Tanah tahun 2012, dan Asisten Mata Kuliah Agama Kristen tahun 2009-2013. Penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan, antara lain: Retreat KPP 2010, Retreat Angkatan Mahasiswa Baru Kristen IPB 2009-2012, Paskah Perkantas 2012, Malam Sukacita Paskah PMK IPB 2010, Seminar Nasional Ilmu Tanah 2010, dan PILMITANAS 2011.
(7)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerah dan kasih-Nya yang tak pernah berkesudahan sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Status Hara Fosfor Pada Berbagai Lahan Pertanian Pangan di Pulau Jawa” ini akhirnya dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi I dan Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr, sebagai dosen pembimbing skripsi II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dengan penuh kesabaran dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc. selaku dosen penguji atas kesediaan,
dorongan, dan saran-sarannya untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi. 3. Keluarga Terkasih, Bapak Parningotan Sitorus dan mama Siti Naisah
br. Manurung dan ke-2 kakak tersayang Dorisma br.Sitorus dan Rizkina br. Sitorus juga untuk Namboru Holmes serta Bapa Uda Sopar Sitorus atas segala doa, motivasi, kasih sayang dan jerih payah yang tak kenal lelah selama ini kepada penulis.
4. Sahabat-sahabat di MSL 45 terutama untuk Puyun, Heny dan Adelia yang telah banyak membantu selama perkuliahan maupun untuk skripsi ini. 5. Teman-teman persekutuan di PMK: B’Jose, B’Robert, B’Japet, K’Susan,
K’Rara, B’Togi, K’Reni, B’Beny, K’Novansi, Steward, Daniel, Idho, Welem, Dora, Leny dan yang lainnya atas teladan, kasih dan hidupnya. 6. Kelompok Asistensi Ishak 45, Yoel 46, Elohay Mikarov 47, Imanuel 48,
dan El’Rohi 49 atas sukacita, sharing hidup, kebersamaan dan kasihnya. 7. Kelompok Kecil 47 dan 48, KTB Nehemia, KPP, PMKB dan Tim Asisten
Agama Kristen atas PA, doa, teladan, perjuangan dan pergumulannya. 8. Teman-teman kontrakkan Bapa House: Handrio, Hisar, Ranto, Agung,
Samuel, Alex, Rodex, dan Joen untuk sukacita serta kebersamaan kita. Bogor, Januari 2013
(8)
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
I. PENDAHULUAN ... 3
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Fosfor Dalam Tanah ... 3
2.2. Fosfor pada Tanaman ... 4
2.3. Tanah Sawah ... 5
2.4. Lahan Kering ... 6
III. BAHAN DAN METODE ... 9
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 9
3.2. Bahan dan Alat ... 9
3.3. Metode Penelitian ... 9
3.3.1. Tahap Persiapan ... 9
3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah ... 10
3.3.3. Analisis Contoh Tanah ... 13
3.3.4. Analisis Data dan Penetapan Kelas Status Hara Fosfor Tanah ... 15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa ... 16
4.2. Karakteristik Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa ... 21
4.3. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Sawah di Pulau Jawa ... 22
4.3.1. P-potensial pada Tanah Sawah ... 22
4.3.2. P-tersedia pada Tanah Sawah ... 24
4.3.3. Korelasi Hara P di Tanah Sawah Terhadap Sifat Kimia Tanah Lainnya ... 25
4.3.4. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia Tanah Sawah Berdasarkan Perbedaan Lokasi ... 26
4.3.5. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia Tanah Sawah Berdasarkan Perbedaan Jenis Tanah ... 27
4.4. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa ... 28
4.4.1. P-potensial pada Tanah Pertanian Lahan Kering ... 28
4.4.2. P-tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering ... 29
4.4.3. Korelasi Hara P pada Tanah Pertanian Lahan Kering Terhadap Sifat Kimia Tanah Lainnya ... 31
(9)
x 4.4.4. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia pada Tanah Pertanian
Lahan Kering Berdasarkan Perbedaan Lokasi ... 31
4.4.5. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering Berdasarkan Perbedaan Jenis Tanah ... 32
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34
5.1. Kesimpulan ... 34
5.2. Saran ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 36
(10)
xi
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Beserta
Jenis Tanahnya ... 12 2. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau
Jawa Beserta Jenis Tanahnya ... 13 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) .. 15 4. Hasil Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah Sawah di Pulau Jawa ... 17 5. Hasil Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah Pertanian Lahan Kering di
Pulau Jawa ... 19 6. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Sawah di Pulau Jawa .... 24 7. Korelasi P-Tersedia dan P-Potensial pada Tanah Sawah Terhadap
Sifat-sifat Tanah Lainnya ... 26 8. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Sawah
Berdasarkan Lokasi ... 27 9. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Sawah
Berdasarkan Jenis Tanah ... 28 10. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Pertanian Lahan
Kering di Pulau Jawa ... 29 11. Korelasi P-Tersedia dan P-Potensial pada Tanah Pertanian
Lahan Kering Terhadap Sifat Tanah Lainnya ... 32 12. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Pertanian
Lahan Kering Berdasarkan Lokasi ... 34 13. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Pertanian
Lahan Kering Berdasarkan Jenis Tanah ... 34
Lampiran
1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Balai Penelitian Tanah, 2009) .. 42 2. Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di
Pulau Jawa ... 43 3. Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian
(11)
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan
Distribusinya ... 10 2. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau
Jawa dan Distribusinya ... 11
Lampiran
1. Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 (Sumber: BBSDLP,
Departemen Pertanian, Indonesia) ... 45 2. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
(PPT 1983) ... 46 3. Sebaran Status Hara P-potensial pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
(PPT 1983) ... 47 4. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering
di Pulau Jawa (PPT 1983) ... 48 5. Sebaran Status Hara P-potensial pada Tanah Pertanian Lahan Kering
(12)
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia sebesar 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49% (BPS 2010). Tetapi jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di Indonesia tidak diikuti oleh pertumbuhan luas lahan petanian. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,8 juta ha, menyusut 13% dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,9 juta ha (BPS 2010). Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangannya serta mengharuskan melakukan impor untuk beberapa bahan pangan.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia adalah dengan melakukan program intensifikasi. Selain menggunakan varietas unggul, pemupukan menjadi kegiatan yang paling menentukan dalam keberhasilan program ini. Hal ini terbukti dengan penggunaan pupuk yang meningkat pesat setelah perencanaan program intensifikasi yang dimulai tahun 1969 (Adiningsih et al. 1989; Moersidi et al. 1991), sedangkan menurut Leiwakabessy et al. (2003), diduga bahwa di Indonesia pupuk P menjadi yang paling banyak dibutuhkan setelah pupuk N terutama pada lahan kering.
Fosfor dalam tanah menjadi sangat penting ketersediaannya bagi tanaman karena peranannya yang cukup penting, diantaranya seperti penyusun metabolit dan senyawa kompleks, mengatur banyak proses enzimatik, fosforilisasi adenosindifosfat (ADP) menjadi adenosintrifosfat (ATP), pembentukan sel, albumin dan lemak (Soepardi 1983). Namun di dalam tanah selain jumlahnya yang lebih rendah dibanding N, K, dan Ca (Leiwakabessy et al. 2003), fosfor juga mengalami pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis (Hardjowigeno 2007), sehingga menyebabkan tingginya akumulasi P ke dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et al. (1975); Lindsay (1971); Black (1976), bahwa ketersediaan P di dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: pH, jumlah ion, senyawa Al, Fe, Mn, Ca, kadar bahan organik, Cu, Zn, suhu dan kelembaban.
(13)
2 Melihat sifatnya yang mudah terfiksasi dan keberadaan fosfor di dalam tanah yang sedikit namun dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka peranan dari pemupukan P sangatlah penting dalam menjaga ketersediaan fosfor bagi pertumbuhan tanaman. Namun demikian, pemupukan P secara terus-menerus selain dapat menimbulkan ketidakseimbangan hara seperti menekan hara mikro Cu dan Zn, juga dapat menimbulkan gejala leveling off atau pelandaian produktivitas yang menyebabkan laju peningkatan produktivitas tanah tidak selaras dengan laju penggunaan pupuk yang diberikan. Hal ini mendorong untuk perlu dilakukannya evaluasi status hara P terkini khususnya pada tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa baik P dalam bentuk tersedia maupun potensial, sehingga nantinya pengelolaan hara P pada tanah dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara P tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa dan keterkaitannya dengan sifat kimia tanah lainnya.
(14)
3 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fosfor dalam Tanah
Secara umum fosfor di dalam tanah digolongkan dalam dua bentuk, yaitu: bentuk organik dan anorganik (Black 1976). Sebagian besar senyawa fosfor inorganik adalah senyawa kalsium, senyawa besi, dan alumunium, sementara kelompok senyawa organik ialah fitin dan derivatnya, asam nukleat dan fosfolipida (Soepardi 1983). Bentuk fosfor organik ini dapat meliputi 3% hingga 75% dari total fofor tanah (Olsen dan Fried, 1957). Jumlah kedua bentuk ini disebut dengan P-total. Bentuk yang tersedia bagi tanaman dalam jumlah yang dapat diambil oleh tanaman hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah yang ada dalam tanah (Leiwakabessy et al. 2003).
Fosfor dalam tanah tidak mobil karena tingkat ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh: reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe hidrous oksida, kadar Ca, kadar bahan organik, tekstur dan pengelolaan lahan (Hartono et al. 2005; Havlin et al. 2005). Fosfat tanah dapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO -atau HPO42- tergantung dari kemasaman larutan (pH). Kadar P di dalam tanah umumnya rendah dan berbeda-beda. Tanah-tanah muda dan perawan biasanya lebih tinggi daripada tanah yang tua, begitu juga penyebarannya di dalam profil tanah berbeda. Jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil (Leiwakabessy et al. 2003), pada tanah kering dan masam ketersediaan P juga rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya Al terlarut pada pH tanah < 5 (Sanchez 1992). Menurut Havlin et al. (2005), kandungan P pada tanah bervariasi dari 0,005% sampai 0,15%, sedangkan konsentrasi P relatif dalam tanaman sekitar 0,2%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketersediaan P dalam tanah sangat rendah yaitu akibat mobilitas ion-ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004), jumlah total dalam tanah kecil, tidak tersedianya fosfor asli dan terjadi fiksasi
(15)
4 fosfor dalam tanah dari sumber pupuk yang diberikan (Buckman dan Brady, 1964). Sebagian besar fosfor dalam tanah umumnya tidak tersedia bagi tanaman meskipun keadaan lapangan paling ideal, sehingga masalah utama pada tanah-tanah masam adalah kekahatan fosfor (P), fiksasi P yang tinggi dan keracunan Al, Mn dan kadang-kadang Fe. Kekahatan P pada umumnya parah disebabkan terikatnya unsur-unsur tersebut secara kuat pada tanah seperti mineral liat tipe 1 : 1 dan oksida-oksida Al dan Fe, maupun reaksi antara P dengan Al, sehingga unsur P tidak tersedia untuk tanaman (Radjagukguk 1983).
2.2. Fosfor pada Tanaman
Fosfor merupakan satu dari enam belas hara esensial bagi tanaman (Tisdale dan Nelson, 1975; Buckman dan Brady, 1964), sehingga keberadaannya bagi tanaman dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak dan tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Hal ini terjadi karena peranan fosfor bagi tanaman sangatlah penting, seperti: merangsang pertumbuhan anakan, perkembangan akar, meningkatkan jumlah gabah tiap malai, mempercepat pertumbuhan bibit, dan pembungaan serta mendorong serapan N pada awal pertumbuhan (De Datta 1981), sedangkan menurut Dobermann dan Fairhust (2000), pada tanaman padi P berperan pada perkembangan akar, perbanyakan rumpun, percepatan pembungaan, dan pemasakan buah.
Tanaman biasanya mengabsorpsi P dalam bentuk ion orthofosfat primer (H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk sekunder (HPO42-). Absorpsi kedua ion itu oleh tanaman dipengaruhi oleh pH tanah sekitar akar, pada pH tanah yang
rendah, absorpsi bentuk H2PO4- akan meningkat (Leiwakabessy et al. 2003). Hal ini didukung oleh Havlin et al. (2005), yang menyatakan bahwa ketersediaan
P tertinggi diketahui berada pada pH sekitar 6,5 dan pada pH 7,2 jumlah ion H2PO4- ≈ HPO42-, jika pH turun maka jumlah H2PO4- > HPO42- demikian pula sebaliknya, sedangkan berdasarkan laju penyerapan maka H2PO4- lebih cepat diserap daripada HPO42-. Walaupun fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi kadarnya di dalam tanaman lebih rendah dari N dan Ca (Leiwakabessy et al. 2003).
(16)
5 Unsur ini termasuk hara yang mobil di dalam tanaman, hal ini disebabkan ketika terjadi kekurangan tanaman akan menunjukkan gejala di dalam jaringan yang tua terlebih dahulu baru diangkut ke bagian-bagian meristem atau jaringan yang lebih muda (Tisdale et al. 1999). Gejala defesiensi P pada tanaman dapat dilihat seperti pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel yang terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, serta dapat terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno 2007).
2.3. Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia (Hardjowigeno et al. 2004). Beberapa ahli lain membatasi tanah sawah untuk tanah-tanah dengan horizon akumulasi besi-mangan (Tan 1968). Ada juga yang menyatakan sebagai tanah yang telah mengalami perubahan akibat penggenangan oleh air irigasi (Dudal 1965), atau tanah yang mengalami proses hidromorfik, baik secara buatan maupun alami (Kanno 1978). Tanah sawah (soil rice, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquorizem, sub-group hydraquic) dalam klasifikasi FAO (World Reference Base for Soil Resources) termasuk ke dalam Anthrosols (FAO 1998).
Pengaruh penggenangan dan pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang dapat menyebabkan perubahan sifat tanah (morfologi, fisik, kimia, dan biologis), sehingga berbeda dengan sifat asalnya terutama pada tanah kering yang disawahkan. Akibatnya dari berbagai jenis tanah yang disawahkan akan dapat menyebabkan produksi padi yang dihasilkan bervariasi (Situmorang dan Sudadi, 2001). Menurut Soepardi (1983), sawah yang termasuk dalam golongan sebagai lahan basah yang berarti lahan yang untuk sebagian besar dari musim tanam digenangi atau dijenuhi air memiliki tiga jenis yaitu:
(17)
6 1. Sawah beririgasi atau sawah tadah hujan merupakan pengusahaan
tanah yang menerapkan kaidah konservasi lahan. Erosi yang terjadi sangat minimum. Tanaman yang di tumbuhkan terbatas pada yang tahan genangan seperti padi dan di musim tidak tergenang ditanami palawija.
2. Sawah lebak adalah suatu bentuk pengusahaan tanah yang mengandalkan airnya dari banjir. Air sungai yang meluap menggenangi hamparan lahan yang ada di kiri kanan sungai.
3. Sawah pasang surut hampir serupa dengan sawah lebak, hanya berbeda dalam irama naik turunnya permukaan air, pada sawah pasang surut permukaan air berubah tiap hari, sedangkan pada sawah lebak adalah musiman.
Proses-proses yang terjadi pada tanah sawah adalah gleisasi, eluviasi, iluviasi besi dan mangan, grayasi, pembentukan tapak bajak, pembentukan kutan (pemupukan suatu bahan pada permukaan tertentu yang membentuk selaput), akumulasi (atau dekomposisi), alterasi bahan organik, dan proses-proses lain yang menyebabkan difrensiasi profil tanah sawah (Situmorang dan Sudadi, 2001).
2.4. Lahan Kering (Up Land)
Istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro 1989). Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usaha tani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air (Manuwoto, 1991; Satari et al. 1977). Menurut Rukmana (1995), lahan kering adalah sebidang tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan atau memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung dari air hujan, sedangkan definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari duapertiga dari evaporasi potensial, dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan air. Kategori
(18)
7 lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak belukar, padang rumput, dan padang pasir.
Menurut penggunaannya BPS (2006), mengelompokkan lahan kering ke dalam sembilan jenis penggunaan, meliputi usaha tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan), dan usaha tani lainnya (pekarangan/bangunan, tanah rawa, tambak, dan kolam/empang). Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol, dan Oksisol. Golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28%, dan sisanya Alfisol 4% (NAP, 1982; cit Syekhfani, 1991).
Utomo (2002), melaporkan bahwa lahan kering di Indonesia cukup luas dengan taksiran sekitar 60,7 juta ha atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta ha atau 11,4% dari luas lahan. Sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian > 700 m dpl (39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia (Hidayat dan Mulyani,
2002). Data terbaru menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari
188,20 juta ha total luas daratan (Abdulrachman dan Sutono, 2005).
Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah 5,5) yang berkaitan dengan kadar alumunium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat ditukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik, dan kendala teknis pada ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan sawah yang tersedia fasilitas air irigasinya. Namun demikan, kendala teknis di lahan kering tersebut relatif mudah diatasi yaitu dengan pemberian pupuk (fosfor), pengapuran, dan pengelolaan bahan organik, sehingga produktivitas tanah-tanah masam di lahan kering dapat meningkat (Hartono et al. 2006; Mulyani 2006).
Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Las et al. (1991), membagi lahan kering menjadi lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah adalah lahan dengan curah hujan > 2.000 mm tahun-1
(19)
8 dengan masa tanam sistem tadah hujan > 6 bulan, sedangkan lahan kering beriklim kering adalah lahan dengan curah hujan < 2.000 mm tahun-1 dan masa tanam < 6 bulan. Curah hujan sebesar 1.000 mm tahun-1 bila dimanfaatkan secara efesien akan dapat menunjang proses produksi untuk dua musim tanam dengan asumsi bahwa kebutuhan air secara umum untuk tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm bulan-1 (Oldeman et al. 1980).
(20)
9 III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret 2012 sampai Agustus 2012. Total pengambilan contoh tanah sebanyak 43 contoh dari tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu: 14 contoh dari Jawa Barat, 17 contoh Jawa Tengah, dan 12 contoh Jawa Timur. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 23 contoh tanah sawah dan 20 tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa, HCl pekat, NH4F, NH4 Molibdat, Asam Borat, Larutan PC, KH2PO4, Aquadest.
Alat yang digunakan antara lain: GPS, mortar, botol plastik, saringan 2mm botol kontainer, labu takar (50 ml dan 100 ml), plastic wrap, corong, pipet volumetrik, spidol, jerigen, tabung reaksi, tabung sentrifuse, pipet, Erlenmeyer (125 ml), labu ukur, mesin pengocok, label, gelas piala, timbangan digital, shaker, spectrophotometer.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu tahap persiapan, pengambilan contoh tanah, analisa tanah, dan pengolahan data untuk penetapan kelas status hara P tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa.
3.3.1. Tahap Persiapan
Tahap ini meliputi perencanaan sebelum dilakukan pengambilan contoh-contoh tanah, yakni menetapkan lokasi lahan-lahan pertanian yang akan diambil contoh tanahnya. Pemilihan lokasi pengambilan tanah didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain: lokasi yang diambil merupakan daerah-daerah sentra pertanian, contoh tanah disesuaikan dengan kondisi di lapangan, dimana awalnya direncanakan pengambilan tanah dilakukan secara proporsional, akan tetapi pada
(21)
10 saat di lapangan tidak dapat tercapai dan terakhir ialah mempertimbangkan persebaran jenis tanahnya sesuai peta tanah Pulau Jawa skala 1:1.000.000 (Sumber: BBSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia), yang disajikan dalam Gambar Lampiran 1.
3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah sebanyak 43 contoh yang terdiri 23 contoh tanah sawah dan 20 contoh tanah pertanian lahan kering yang diambil di Pulau Jawa. Contoh tanah tersebut diambil secara komposit pada lapisan olah dengan kedalaman 0 cm sampai 20 cm, lalu contoh tanah komposit dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label. Setiap contoh tanah sawah dan contoh tanah pertanian lahan kering yang diambil di setiap lokasi dicatat koordinatnya seperti yang disajikan pada Tabel Lampiran 1 dan 2. Sebaran pengambilan contoh tanah sawah dan contoh tanah pertanian lahan kering dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan Distribusinya
(22)
11 Gambar 2. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau
Jawa dan Distribusinya
Jumlah contoh tanah sawah yang diambil di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berturut-turut sebanyak 7, 11, dan 5 contoh, sedangkan untuk contoh tanah pertanian lahan kering yang diambil di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berturut-turut sebanyak 7, 6, dan 7 contoh. Lokasi pengambilan contoh tanah sawah dan contoh tanah pertanian lahan kering serta jenis tanah selengkapnya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
(23)
12 Tabel 1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan Jenis
Tanahnya
Provinsi Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Jawa Barat Karawang Inceptisols
Jatisari Inceptisols Pamanukan Inceptisols Indramayu Inceptisols Palimanan Inceptisols Cicalengka Inceptisols Cikarawang Ultisols
Jawa Tengah Brebes Inceptisols
Suradadi Inceptisols
Batang Ultisols
Kendal Inceptisols
Demak Vertisols
Jekulo Vertisols
Jogjakarta Vertisols Borobudur Inceptisols
Kutoarjo Inceptisols Karanganyar Inceptisols
Buntu Inceptisols
Jawa Timur Bojonegoro Vertisols Tambak Rejo Inceptisols
Nganjuk Vertisols
Jombang Inceptisols
(24)
13 Tabel 2. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau
Jawa dan Jenis Tanahnya
Provinsi Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Jawa Barat Ciamis Inceptisols
Malangbong Andisols
Lembang Andisols
Lembang Andisols
Segalaherang Andisols
Darangdan Andisols
Bantar Kambing Ultisols
Jawa Tengah Batang Inceptisols
Kudus Inceptisols
Wonogiri Andisols
Wonosari Vertisols
Borobudur Inceptisols
Lumbir Ultisols
Jawa Timur Bancar Inceptisols
Tuban Inceptisols
Paciran Vertisols
Tambak Rejo Vertisols Brawijaya Farm - Batu Andisols
Ngantang Andisols
Tulungagung Inceptisols 3.3.3. Analisis Contoh Tanah
Tanah yang telah diambil dari berbagai lokasi yang dipilih tersebut lalu di kering-udarakan di laboratorium. Setelah itu dilakukan proses penumbukan tanah dan disaring. Analisis P-Potensial dilakukan dengan larutan pengekstrak HCl 25% dan analisis P-tersedia dilakukan dengan metode P-Bray 1.
(25)
14 Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah
Analisis ini dilakukan agar mengetahui sifat-sifat kimia contoh tanah yang telah diambil, meliputi N-Total yang diperoleh dengan menggunakan metode Kjehdahl, KTK dan basa-basa dapat ditukar diperoleh dari hasil ekstraksi dengan 1 M NH4OAc pH 7, EC diukur dengan alat EC meter, C-organik diperoleh dengan metode Walkey and Black, dan pH H2O 1:1 yang diukur dengan alat pH meter.
Analisis P-tersedia dengan metode Bray-1
Tanah yang telah dalam kondisi kering dan lolos saringan mesh berkuran 0,5 mm ditimbang sebanyak 1,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Tambahkan larutan P-A sebanyak 15 ml, lalu dikocok pada mesin pengocok selama 15 menit dan disaring kedalam botol plastik. Hasil saringan dipipet sebanyak lima ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan 5 ml larutan P-B kemudian dikocok, lalu tambahkan lagi lima tetes larutan P-C dikocok dan didiamkan selama 15 menit. Kerapatan optik dari contoh dan larutan baku yang telah dibuat (0 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm) dapat diukur dengan alat ukur spectrophotometer pada panjang gelombang 660 µm.
Analisis P-potensial dengan Pengekstrak HCl 25%
Tanah yang telah dalam kondisi kering dan lolos saringan mesh berkuran 0,5 mm ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer (125 ml), lalu ditambahkan HCl 25% sebanyak 12,5 ml dan dibiarkan satu malam dengan kondisi erlenmeyer tertutup, kemudian dikocok selama satu jam dan disaring ke dalam labu takar (100 ml) dan ditera sampai tepat 100 ml dengan aquades lalu dikocok agar larutan tercampur secara merata. Pipet sebanyak lima ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan lima ml larutan P-B kemudian dikocok, tambahkan lima tetes larutan P-C lalu dikocok kembali dan diamkan selama 15 menit. Kerapatan optik dari contoh dan larutan baku yang telah dibuat (0 ppm, 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm dan 5 ppm) diukur dengan alat ukur spektrophotometer pada panjang gelombang 660 µm.
(26)
15 3.3.4. Analisis Data dan Penetapan Kelas Status Hara Fosfor Tanah
Hasil yang diperoleh baik P-tersedia dan P-potensial dikelompokkan ke dalam lima kelas status hara P yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan kriteria (Pusat Penelitian Tanah, 1983).
Tabel 3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983).
Kelas Status Hara P
Kadar P dalam tanah P2O5 HCl 25%
(potensial)
P2O5 Bray 1 (tersedia)
(ppm) (ppm)
Sangat Rendah <100 <10
Rendah 100-200 10-15
Sedang 210-400 16-25
Tinggi 410-600 26-35
Sangat Tinggi >600 >35
Uji korelasi dilakukan antara nilai P-tersedia dan P-potensial dengan beberapa nilai dari analisis sifat-sifat kimia tanah seperti: C-total, N-total, C/N, Cadd, Mgdd, KTK, EC, dan pH. Juga dilakukan uji beda lokasi serta beda jenis tanah terhadap nilai P-tersedia dan P-potensial pada tanah sawah maupun pada tanah pertanian lahan kering.
(27)
16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa
Hasil analisis sifat-sifat kimia dari tanah sawah di Pulau Jawa seperti: C-total. N-total, C/N, Nadd, Cadd, Mgdd, KTK, KB, EC, dan pH disajikan pada Tabel 4. Status sifat kimia tanah pada analisis kimia tanah diklasifikasikan berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009) yang disajikan pada Tabel Lampiran 1.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa, rata-rata pH (H2O) tanah sawah di Jawa Barat adalah sebesar 6,2 dengan status agak masam. Rata-rata kadar C-total berstatus sedang yaitu sebesar 2,1%. Kadar N-total berstatus rendah yaitu sebesar 0,2%. Kadar C/N berstatus rendah yaitu sebesar 9,9. Kadar Nadd berstatus sedang yaitu sebesar 0,6 cmol+ kg-1, sementara untuk kadar Cadd, Mgdd, KTK, dan KB seluruhnya berstatus tinggi dengan nilai berturut-turut ialah 15,9 cmol+ kg-1, 7,7 cmol+ kg-1, 32,3 cmol+ kg-1, 76,4%. Untuk rata-rata nilai EC yaitu sebesar 93,1 dS cm-1.
Rata-rata pH (H2O) tanah sawah di Jawa Tengah ialah sebesar 6,8 dengan status netral. Untuk rata-rata kadar C-total, N-total, dan C/N berstatus rendah dengan nilai berturut-turut 1,8%, 0,2%, dan 10,2%. Kadar Nadd berstatus sedang yaitu 0,7 cmol+ kg-1. Kadar Cadd berstatus sangat tinggi dengan nilai sebesar 21,2 cmol+ kg-1. Kadar Mgdd dan KTK berstatus tinggi dengan nilai sebesar 7,9 cmol+ kg-1 dan 29,1+ cmol kg-1, sedangkan KB berstatus sangat tinggi dengan nilai sebesar 116,6% dan rata-rata nilai EC sebesar 129,4 dS cm-1.
Rata-rata pH (H2O) tanah sawah di Jawa Timur ialah sebesar 8,0 dengan status agak alkalin. Rata-rata kadar C-total dan N-total berstatus rendah dengan masing-masing nilai sebesar 1,6% dan 0,1%, sedangkan untuk kadar C/N dan Nadd berstatus sedang yaitu dengan nilai masing-masing sebesar 11,2 dan 0,5 cmol kg-1. Untuk kadar Cadd, KTK, dan KB termasuk dalam status sangat tinggi dengan masing-masing nilai sebesar 37,5 cmol+ kg-1, 42,0 cmol+ kg-1,dan 108,8%. Kadar Mgdd berstatus tinggi yaitu sebesar 7,1 cmol kg-1, dan nilai rata-rata EC yaitu sebesar 116,2 dS cm-1.
(28)
17 Tabel 4. Hasil Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi C-total N-total Nisbah
C/N
Nadd Cadd Mgdd KTK KB EC pH
---(%)--- ---(cmol kg-1)-8,0--- (cmol kg-1) (%) (dS cm-1) (H2O)
Jawa Barat
Karawang 2,3 0,2 10,1 0,6 16,3 5,1 33,3 67,0 63,0 5,4
Jatisari 2,2 0,2 9,8 0,9 18,0 8,6 37,3 74,7 212,0 5,5
Pamanukan 2,7 0,3 10,7 0,9 20,1 13,1 39,9 105,9 144,3 6,9
Indramayu 1,7 0,2 8,7 0,8 19,6 12,6 38,3 87,5 97,8 7,0
Palimanan 0,8 0,1 10,3 0,3 18,0 8,2 32,7 87,4 45,8 7,3
Cicalengka 2,9 0,3 10,0 0,2 7,7 3,6 22,8 50,9 49,2 5,4
Cikarawang 2,4 0,2 10,1 0,5 9,6 2,7 20,8 61,8 40,1 6,0
Rata-rata 2,1 0,2 9,9 0,6 15,9 7,7 32,2 76,4 93,2 6,2
Status Hara Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi - Agak masam
Jawa Tengah
Brebes 1,3 0,1 9,6 3,4 32,9 19,7 13,5 429,6 566,0 7,7
Suradadi 1,6 0,2 9,2 0,4 21,1 17,6 38,9 102,1 94,0 7,4
Batang 3,0 0,3 10,1 0,1 6,61 1,1 22,1 35,7 30,1 5,4
Kendal 2,4 0,2 10,3 0,4 28,5 8,4 41,2 91,8 95,8 6,5
Demak 1,6 0,2 10,0 1,1 41,0 7,6 38,4 130,8 291,0 8,3
Jekulo 1,5 0,1 10,3 0,2 13,6 5,5 30,4 64,6 56,9 7,0
Jogjakarta 0,9 0,1 9,0 0,2 8,32 3,0 14,3 82,0 31,8 7,0
(29)
18
Nama Lokasi C-total N-total Nisbah
C/N
Nadd Cadd Mgdd KTK KB EC pH
---(%)--- ---(cmol kg-1)--- (cmol kg-1) (%) (dS cm-1) (H2O)
Kutoarjo 1,9 0,2 10,2 0,6 27,5 9,0 37,6 99,4 63,3 6,8
Karanganyar 2,0 0,2 10,4 0,3 31,3 8,3 39,0 102,8 60,8 6,5
Buntu 2,7 0,3 10,2 0,5 16,2 5,4 33,3 67,5 76,9 5,8
Rata-rata 1,8 0,2 10,2 0,7 21,2 7,9 29,1 116,6 129,4 6,8
Status Hara Rendah Rendah Rendah Sedang Sangat tinggi Tinggi Tinggi Sangat tinggi - Netral
Jawa Timur
Bojonegoro 1,8 0,2 11,5 0,4 48,9 8,4 60,1 96,6 69,2 7,6
Tambak Rejo 1,1 0,1 12,6 0,2 63,6 2,5 55,4 120,0 138,5 8,5
Nganjuk 1,5 0,1 11,0 0,4 30,5 10,2 39,5 104,7 138,3 8,1
Jombang 1.0 0,1 10,1 0,4 13,7 4,8 17,2 110,2 84.4 8,1
Ponorogo 2,4 0,2 11,0 0,8 31,1 9,8 37,6 112,3 150,7 7,7
Rata-rata 1,6 0,1 11,2 0,5 37,5 7,1 42,0 108,8 116,2 8,0
Status Hara Rendah Rendah Sedang Sedang Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi - Agak alkalin Keterangan : Status hara berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009)
(30)
19 4.2. Karakteristik Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa
Tabel 5. Hasil Analisis Sifat-sifat Kimia Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa
Nama Lokasi C-total N-total Nisbah Nadd Cadd Mgdd KTK KB EC pH
---(%)--- C/N ---(cmol kg-1)--- (cmol kg-1) (%) (dS cm-1) H2O
Jawa Barat
Ciamis 1,0 0,1 9,4 0,1 7,5 1,2 10,4 90,0 29,3 6,8
Malangbong 1,9 0,2 10,0 0,1 6,2 2,8 15,7 60,7 33,1 6,3
Lembang 7,0 0,7 10,3 0,1 5,2 1,7 22,8 32,8 118,2 5,3
Lembang 7,9 0,5 16,2 0,0 3,1 0,5 28,1 14,4 130,7 5,2
Segalaherang 5,6 0,5 11,6 0,1 0,7 0,2 19,5 5,8 26,5 5,3
Darangdan 2,2 0,2 9,7 0,0 2,8 1,1 12,8 31,8 42,1 5,1
Bantar Kambing 2,1 0,2 9,9 0,0 4,9 1,3 16,8 38,2 28,9 5,4
Rata-rata 4,0 0,3 11,0 0,1 4,4 1,3 18,0 39,1 58,4 5,6
Status Hara Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah - Agak masam
Jawa Tengah
Batang 1,7 0,2 9,7 0,0 7,9 2,0 17,3 59,5 35,1 6,0
Kudus 1,3 0,1 10,6 0,1 2,7 2,0 13,0 39,4 21,0 7,0
Wonogiri 1,3 0,1 10,3 0,1 10,3 3,0 17,6 82,7 43,8 7,5
Wonosari 1,4 0,1 11,3 0,1 30,8 3,5 36,1 95,9 88,1 7,4
Borobudur 0,8 0,1 10,0 0,1 8,3 0,7 6,9 135,7 91,2 6,6
Lumbir 2,2 0,2 10,1 0,1 15,8 9,3 37,9 68,8 101,2 5,5
Rata-rata 1,4 0,1 10,3 0,1 12,6 3,4 21,5 80,3 63,4 6,7
(31)
20 Tabel 5 (Lanjutan)
Nama Lokasi C-total N-total Nisbah Nadd Cadd Mgdd KTK KB EC pH
---(%)--- C/N ---(cmol kg-1)--- (cmol kg-1) (%) (dS cm-1) H2O
Jawa Timur
Bancar 0,9 0,1 11,1 0,1 27,5 2,8 24,0 128,0 75,7 8,2
Tuban 1,3 0,2 8,8 0,0 10,6 5,3 18,0 91,0 45,4 7,3
Paciran 1,5 0,2 8,0 0,1 22,7 6,6 27,1 110,1 67,9 7,6
Tambak Rejo 1,2 0,1 12,4 0,1 64,0 2,0 67,3 98,6 135,3 8,3
Brawijaya Farm - Batu 5,0 0,5 10,6 0,1 14,6 1,1 20,5 79,3 100,3 7,1
Ngantang 1,6 0,2 9,3 0.3 14,8 2,6 16,0 116,3 84,1 6,6
Tulungagung 1,4 0,1 11,5 0,1 8,2 1,1 9,7 102,0 76,1 6,2
Rata-rata 1,8 0,2 10,3 0,1 23,2 3,1 26,1 103,6 83,5 7,3
Status Hara Rendah Rendah Rendah Rendah Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Netral
(32)
21 Hasil analisis sifat-sifat kimia dari tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa seperti: C-total. N-total, C/N, Nadd, Cadd, Mgdd, KTK, KB, EC, dan pH disajikan pada Tabel 5. Status sifat kimia tanah yang dianalisis dikategorikan berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009) yang disajikan pada Tabel Lampiran 1.
Menurut hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata pH (H2O) tanah pertanian lahan kering di Jawa Barat ialah sebesar 5,6 dengan status agak masam. Rata-rata kadar C-total berstatus tinggi yaitu dengan nilai sebesar 4,0%, sementara untuk rata-rata kadar N-total, C/N, Mgdd, dan KTK seluruhnya berstatus sedang dengan nilai berturut-turut sebesar 0,3%, 11,0, 1,3 cmol+ kg-1, dan 18,0 cmol+ kg-1. Rata-rata Nadd, Cadd, dan KB seluruhnya berstatus rendah dengan masing-masing nilai sebesar 0,1 cmol+ kg-1, 4,4 cmol+ kg-1, dan 39,1%. Untuk rata-rata nilai EC adalah sebesar 58,4 dS cm-1.
Rata-rata pH (H2O) tanah pertanian lahan kering di Jawa Tengah ialah sebesar 6,7 dengan status netral. Untuk rata-rata kadar C-total, N-total, C/N, dan Nadd berstatus rendah dengan nilai berturut-turut 1,4%, 0,1%, 10,3, dan 0,1 cmol+ kg-1, sedangkan untuk kadar Cadd dan Mgdd berstatus tinggi dengan nilai masing-masing sebesar 12,6 cmol+ kg-1 dan 3,4 cmol+ kg-1. KTK pada tanah pertanian lahan kering di Jawa Tengah berstatus sedang dengan nilai sebesar 21,5 cmol+ kg-1, sementara KB berstatus sangat tinggi dengan nilai sebesar 80,3% dan nilai EC sebesar 63,4 dS cm-1.
Rata-rata pH (H2O) tanah pertanian lahan kering di Jawa Timur ialah berstatus netral dengan nilai sebesar 7,3. Untuk rata-rata kadar C-total, N-total, C/N, dan Nadd berstatus rendah dengan nilai berturut-turut 1,8%, 0,2%, 10,3, dan 0,1 cmol+ kg-1. Kadar Cadd dan KB memiliki status sangat tinggi dengan nilai masing-masing 23,2 cmol+ kg-1 dan 103,6%. Kadar Mgdd dan KTK pada tanah pertanian lahan kering di Jawa Timur berstatus tinggi dengan nilai berturut-turut 3,1 cmol+ kg-1 dan 26,1 cmol+ kg-1, sementara untuk nilai EC diperoleh sebesar 83,5 dS cm-1.
Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat kimia tanah sawah maupun tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada Provinsi Jawa Barat memiliki pH tanah yang lebih rendah (masam) dibandingkan pada Provinsi
(33)
22 Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diduga salah satu faktor yang menyebabkan hal ini ialah curah hujan yang lebih tinggi di Jawa Barat dibandingkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nurwadjedi (2011), mengungkapkan bahwa distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian timur atau semakin ke timur lebih kering, sedangkan Leiwakabessy et al. (2003) menyatakan bahwa di Indonesia dijumpai juga daerah yang relatif kering dengan 3 – 4 bulan kering. Bulan-bulan kering ini biasanya terdapat antara bulan Juni, Juli, Agustus, dan September sebagai akibat pengaruh udara kering dari Australia seperti yang dijumpai di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah Indonesia Timur. Intensitas pelapukan dan pencucian di daerah-daerah beriklim basah lebih besar daripada di daerah-daerah beriklim kering yang panjang, ini sebabnya mengapa di daerah tropik basah umumnya terbentuk tanah-tanah masam sedangkan di daerah kering umumnya pH tanah-tanah tinggi (Hardjowigeno 2007; Leiwakabessy et al. 2003).
4.3. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Sawah di Pulau Jawa 4.3.1. P-potensial pada Tanah Sawah
Berdasarkan hasil analisis jumlah P-potensial tanah sawah di Tabel 6 menunjukkan bahwa ratar-rata kadar P-potensial yang tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebesar 1.320 ppm, lalu Jawa Timur sebesar 784 ppm, dan Jawa Barat menjadi yang terendah yaitu sebesar 721 ppm. Rata-rata keseluruhan kadar P-potensial di Pulau Jawa adalah sebesar 1.021 ppm, sementara untuk daerah dengan kadar P-potensial tertinggi adalah Jekulo di Jawa Tengah sebesar 3.273 ppm dan yang terkecil adalah daerah Karawang di Jawa Barat sebesar 153 ppm . Untuk status hara P-potensial pada tanah sawah, dari 23 lokasi yang diambil di Pulau Jawa, 19 lokasi berstatus sangat tinggi, dua lokasi berstatus tinggi yaitu Pamanukan di Jawa Barat dan Kutuarjo di Jawa Tengah, serta dua lokasi berstatus rendah yaitu Karawang dan Palimanan di Jawa Barat. Status yang diperoleh dari rata-rata ke-3 provinsi dan Pulau Jawa ialah sangat tinggi. Secara umum sangat tingginya nilai-nilai P-potensial pada tanah sawah di Pulau Jawa, baik di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (PPT 1983) diduga
(34)
23 adalah akibat adanya fiksasi P yang berasal dari akumulasi pemupukan P yang berlangsung secara terus-menerus akibat dari pertanian yang sangat intensif.
Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitian pada lahan sawah intensifikasi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pemupukan P yang terus-menerus dan berlebih selama ini telah mengakibatkan terjadinya akumulasi residu P yang tinggi serta tidak diikuti dengan peningkatan hasil dan efisiensinya sangat rendah. Hal ini terjadi karena hara P mempunyai mobilitas yang kecil dan efisiensinya hanya sekitar 10 - 15% pada lahan kering dan 15 - 20% pada lahan sawah, sementara sisanya tinggal di dalam tanah sebagai residu dalam bentuk senyawa P (Adiningsih 2004; Rochayati et al. 1990). Menurut Moersidi et al. (1989), menyatakan bahwa hasil penelitian pada lahan sawah di Jawa-Madura, data analisis tahun 1974 dibandingkan dengan tahun 1988, menunjukkan bahwa pemupukan terus-menerus menyebabkan terjadinya akumulasi fosfor.
Selain pemupukan yang intensif, pH juga sangat berpengaruh terhadap daya fiksasi fosfor, pada tanah sawah bereaksi masam, ketersediaan hara P sangat rendah karena tingginya kandungan Al dalam kondisi kering (tidak tergenang) dan tingginya kandungan Fe dalam kondisi basah (tergenang), sehingga terjadinya fiksasi P oleh Al dan Fe dalam bentuk Al-P dan Fe-P (Ardjasa et al. 2000), sedangkan Leiwakabessy et al. (2003), mengungkapkan bahwa ketersediaan fosfat yang tertinggi terjadi pada selang pH 6,0 – 6,5 di atas pH ini akan diretensi oleh ion-ion Ca dan Mg maupun CaCO3.
Faktor yang paling menentukan lainnya adalah tipe dan kadar liat dalam tanah. Tanah-tanah dengan mineral liat tipe 1:1 meretensi P lebih banyak daripada tanah-tanah dengan tipe 2:1 (Leiwakabessy et al. 2003). Faktor-faktor tersebut selaras dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh ke-3 jenis tanah pada tanah-tanah sawah tersebut. Ultisols adalah tanah yang memiliki pH tergolong masam, terjadi penimbunan liat di horizon bawah (Rachim dan Suwardi 1999), serta liat tanah ini tergolong tipe 1:1 (Soepardi 1983). Vertisols adalah tanah dengan kandungan liat yang tinggi >30% (Hardjowigeno 2007), pH tanah yang cukup tinggi yaitu (7 - 8.5), mengandung unsur-unsur Ca dan Mg yang tinggi serta memiliki kandungan liat tipe 1:2 yaitu montmorilonit, sementara Inceptisols adalah tanah yang mulai
(35)
24 berkembang tetapi belum matang yang ditandai oleh perkembangan profil yang lebih lemah (Rachim dan Suwardi, 1999).
Tabel 6. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
P2O5
potensial Harkat*)
P2O5
tersedia Harkat*)
(USDA 2010) (ppm) (ppm)
Jawa Barat
Karawang Inceptisols 153 R 31,4 T
Jatisari Inceptisols 1.092 ST 50,1 ST
Pamanukan Inceptisols 523 T 52,7 ST
Indramayu Inceptisols 817 ST 62,3 ST
Palimanan Inceptisols 185 R 10,6 R
Cicalengka Inceptisols 1.126 ST 83,8 ST
Cikarawang Ultisols 1.146 ST 121 ST
Rata-rata Jawa Barat 721 ST 58,8 ST
Jawa Tengah
Brebes Inceptisols 1.155 ST 84,8 ST
Suradadi Inceptisols 633 ST 69,0 ST
Batang Ultisols 1.349 ST 54,8 ST
Kendal Inceptisols 1.765 ST 82,9 ST
Demak Vertisols 1.127 ST 115 ST
Jekulo Vertisols 3.273 ST 154 ST
Jogjakarta Vertisols 1.595 ST 121 ST
Borobudur Inceptisols 1.366 ST 107 ST
Kutoarjo Inceptisols 500 T 89,6 ST
Karanganyar Inceptisols 639 ST 92,6 ST
Buntu Inceptisols 1.118 ST 110 ST
Rata-rata Jawa Tengah 1.320 ST 98,3 ST
Jawa Timur
Bojonegoro Vertisols 707 ST 186 ST
Tambak Rejo Vertisols 612 ST 149 ST
Nganjuk Vertisols 615 ST 169 ST
Jombang Inceptisols 702 ST 89,6 ST
Ponorogo Vertisols 1.283 ST 100 ST
Rata-rata Jawa Timur 784 ST 139 ST
Rata-rata Keseluruhan 1.021 ST 95,1 ST
Keterangan: *) Harkat berdasarkan PPT (1983). SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi
(36)
25 4.3.2. P-tersedia pada Tanah Sawah
Provinsi yang memiliki kadar rata-rata P-tersedia tertinggi seperti yang disajikan pada Tabel 6 adalah Jawa Timur yaitu sebesar 139 ppm, selanjutnya adalah Jawa Tengah sebesar 98,3 ppm dan kadar P-tersedia yang terendah adalah Jawa Barat yaitu sebesar 58,8 ppm. Secara keseluruhan rata-rata kadar P-tersedia
di Pulau Jawa adalah sebesar 95,1 ppm, sementara daerah yang memiliki P-tersedia tertinggi adalah daerah Bojonegoro di Jawa Timur dengan nilai sebesar
186 ppm dan daerah dengan P-tersedia terendah adalah Palimanan sebesar 10,6 ppm di Jawa Barat. Berdasarkan kriteria PPT (1983), untuk hasil status hara P pada tanah sawah dari total 23 daerah yang diambil di Pulau Jawa, 21 daerah memiliki status P-tersedia sangat tinggi dan dua daerah lainnya yaitu Karawang dan Palimanan yang berada di Jawa Barat berstatus tinggi dan rendah. Berdasarkan rata-ratanya, status hara P-tersedia di Pulau Jawa maupun di ke-3 provinsi berstatus sangat tinggi.
Sangat tingginya kadar P-tersedia yang dihasilkan dari 21 lokasi di Pulau Jawa ini diduga adalah berasal dari pemupukan P yang berlangsung secara terus-menerus akibat dari pertanian yang sangat intensif. Hal ini mengingat bahwa P pada tanah-tanah masam akan terfiksasi oleh Al, Fe, dan Mn atau oleh Ca serta Mg pada tanah alkalis (Hardjowigeno 2007).
Rochayati dan Adiningsih (2002), mengemukakan bahwa jumlah yang digunakan untuk tanaman pangan hingga tahun 1995 mencapai 75% dari total pupuk untuk sektor pertanian. Sekitar 72% pupuk untuk tanaman pangan digunakan dalam program intensifikasi padi sawah. Penggunaan pupuk meningkat pesat setelah perencanaan program intensifikasi yang dimulai tahun 1969 (Adiningsih et al., 1989; Moersidi et al., 1991). Rochayati dan Adiningsih (2002) juga mengungkapkan bahwa ditinjau dari segi pendistribusian, sekitar 70% pupuk untuk padi sawah dengan luas panen 5,40 juta ha dialokasikan di Jawa, sedangkan di Luar Jawa dengan luas panen 5,10 juta ha hanya menggunakan pupuk sekitar 30% dari alokasi total.
(37)
26 4.3.3. Korelasi Hara P di Tanah Sawah Terhadap Sifat-sifat Tanah Lainnya
Tabel 7. Korelasi P-tersedia dan P-potensial pada Tanah Sawah Terhadap Sifat-sifat Tanah Lainnya
P-tersedia P-potensial C-total N-total C/N Cadd Mgdd KTK EC pH (H2O)
P-potensial 0,359
C-Total -0,218 0,044
N-Total -0,297 0,061 0,984
C/N 0,457* -0,160 0,027 -0,142
Cadd 0,425* -0,270 -0,269 -0,372 0,688
Mgdd -0,194 -0,223 -0,118 -0,086 -0,219 0,268
KTK 0,250 -0,291 0,079 -0,015 0,615 0,754 0,212
EC -0,012 -0,008 -0,176 -0,167 -0,047 0,380 0,617 -0,081
pH (H2O) 0,432* -0,120 -0,687 -0,747 0,361 0,677 0,355 0,330 0,366
Ketinggian 0,014 0,114 0,342 0,360 -0,063 -0,372 -0,409 -0,369 -0,230 -0,411
(38)
27 Hasil uji korelasi P-potensial dan P-tersedia di tanah sawah terhadap sifat-sifat kimia tanah seperti C-total, N-total, C/N, Cadd, Mgdd, KTK, EC, dan pH disajikan pada Tabel 7. Dari analisis menunjukkan bahwa untuk P-tersedia memiliki korelasi positif dengan Cadd dan pH, sehingga semakin tinggi Cadd dan pH maka makin tinggi pula kadar P-tersedia. Fosfor paling mudah diserap (tersedia) oleh tanaman pada pH netral kisaran 6,0 – 7,0. Meningkatnya pH menyebabkan juga meningkatnya kadar Ca dalam tanah, sedangkan bentuk P yang terfiksasi oleh Ca seperti monokalsium fosfat lebih mudah larut daripada yang terfiksasi oleh Fe maupun Al (Hardjowigeno 2007).
4.3.4. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia Tanah Sawah Berdasarkan Perbedaan Lokasi
Perbedaan kadar P-potensial dan P-tersedia tanah sawah berdasarkan lokasi disajikan pada Tabel 8. Untuk P-potensial (ppm) menghasilkan nilai sebagai berikut: pada Jawa Barat 721 ± 436 (n=7), Jawa Tengah 1.320 ± 762 (n=11), dan Jawa Timur 784 ± 283 (n=5). Dilihat dari nilai standar deviasinya, diduga hal ini disebabkan oleh keragaman antar lokasi maupun antar provinsi yang tinggi satu dengan yang lain. Selain itu dapat pula disebabkan oleh pemupukan P yang sangat bervariasi pada setiap lokasi.
Untuk nilai P-tersedia (ppm) menunjukkan bahwa Jawa Barat adalah 58,8 ± 35,8 (n=7), Jawa Tengah 98,3 ± 27,2 (n=11), dan Jawa Timur adalah 139 ± 42,4 (n=5). Dilihat dari nilai standar deviasinya diduga hal ini disebabkan oleh pemupukan P yang sama-sama intensif di setiap lokasi serta juga iklim yang tidak terlalu berbeda antar lokasi dalam satu provinsi.
Tabel 8. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Sawah Berdasarkan Lokasi
Lokasi P-tersedia P-potensial
Rata-rata StDev Rata-rata StDev
Jawa Barat 58,8 35,8 721 436
Jawa Tengah 98,3 27,2 1.320 762
(39)
28 4.3.5. Kadar Hara P-potensial dan P-tersedia Tanah Sawah Berdasarkan
Perbedaan Jenis Tanah
Perbedaan kadar P-potensial dan P-tersedia tanah sawah berdasarkan jenis tanah disajikan pada Tabel 9. Untuk P-potensial (ppm) menghasilkan nilai sebagai berikut: Inceptisols 841 ± 454 (n=14), Ultisols 1.248 ± 144 (n=2), dan Vertisols 1.316 ± 940 (n=7). Dilihat dari nilai standar deviasinya, diduga hal ini disebabkan oleh keragaman antar jenis tanah yang tinggi. Selain itu dapat pula disebabkan oleh pemupukan P yang sangat bervariasi pada setiap jenis tanah.
Untuk nilai P-tersedia (ppm) tanah sawah menunjukkan bahwa Inceptisols adalah 72,6 ± 28,5 (n=14), Ultisols adalah 87,9 ± 46,9 (n=2), dan Vertisols adalah 142 ± 31,1 (n=7). Dilihat dari nilai standar deviasinya diduga hal ini disebabkan dari pemupukan P yang sama-sama intensif serta daya fiksasi P yang sama-sama tinggi pada setiap jenis tanah.
Tabel 9. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Sawah Berdasarkan Jenis tanah
Lokasi P-tersedia P-potensial
Rata-rata StDev Rata-rata StDev
Inceptisols 72,6 28,5 841 454
Ultisols 87,9 46,9 1.248 144
Vertisols 142 31,1 1.316 940
4.4. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa
4.4.1. P-potensial pada Tanah Pertanian Lahan Kering
Menurut hasil analisis yang disajikan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa P-potensial tertinggi pada tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa terdapat di Provinsi Jawa Timur sebesar 2.940 ppm, lalu Jawa Barat sebesar 2.387 ppm, dan terkecil adalah Jawa Tengah sebesar 1.033 ppm. Pada daerah P-potensial yang tertinggi adalah Batu (Brawijaya Farm) di Jawa Timur sebesar 8.415 ppm dan daerah terkecil adalah Wonosari di Jawa Tengah sebesar 378 ppm. Menurut kriteria PPT (1983), status P-potensial dari 20 lokasi tanah pertanian lahan kering yang diambil di Pulau Jawa 15 lokasi berstatus sangat tinggi, empat lokasi berstatus tinggi yaitu: Ciamis dan Malangbong di Jawa Barat, Lumbir di Jawa Tengah, dan Tambak Rejo di Jawa Timur, serta satu lokasi berstatus sedang
(40)
29 yaitu: Wonosari di Jawa Tengah. Rata-rata ke-3 provinsi dan Pulau Jawa berstatus sangat tinggi. Secara umum sangat tingginya kadar P-potensial pada tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa ini tidak terlalu berbeda dengan sawah yang diduga akibat dari akumulasi hara P dalam tanah karena pemupukan P yang sangat intensif.
Tabel 10. Hasil Analisis Status Hara Fosfor pada Tanah Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
P2O5
potensial Harkat *)
P2O5
tersedia Harkat *)
(USDA 2010) (ppm) (ppm)
Jawa Barat
Ciamis Inceptisols 502 T 110 ST
Malangbong Andisols 552 T 124 ST
Lembang Andisols 6.004 ST 126 ST
Lembang Andisols 7.392 ST 134 ST
Segalaherang Andisols 785 ST 115 ST
Darangdan Andisols 684 ST 89,5 ST
Bantar Kambing Ultisols 789 ST 108 ST
Rata-rata Jawa Barat 2.387 ST 115 ST
Jawa Tengah
Batang Inceptisols 1.163 ST 78,5 ST
Kudus Inceptisols 1.119 ST 192 ST
Wonogiri Andisols 1.096 ST 93,9 ST
Wonosari Vertisols 378 S 81,6 ST
Borobudur Inceptisols 1.936 ST 281 ST
Lumbir Ultisols 508 T 97,4 ST
Rata-rata Jawa Tengah 1.033 ST 137 ST
Jawa Timur
Bancar Inceptisols 1.598 ST 241 ST
Tuban Inceptisols 2.067 ST 260 ST
Paciran Vertisols 2.248 ST 191 ST
Tambak Rejo Vertisols 496 T 146 ST
Brawijaya Farm - Batu Andisols 8.415 ST 202 ST
Ngantang Andisols 3.829 ST 302 ST
Tulungagung Inceptisols 1.928 ST 578 ST
Rata-rata Jawa Timur 2.940 ST 274 ST
Rata-rata Keseluruhan 2.174 ST 177 ST
Keterangan: *) Harkat berdasarkan PPT (1983). SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang T = Tinggi, ST = Sangat Tinggi
(41)
30 Tingginya akumulasi hara P khususnya yang diberikan melalui pemupukan berubah menjadi bentuk yang tidak tersedia (diretensi ataupun difiksasi) di dalam tanah, diduga bahwa faktor tanah yang paling mempengaruhi fiksasi P adalah pH dan liat di dalam tanah. Ardjasa et al. (2000), menyatakan P yang diberikan melalui pupuk umumnya terfiksasi dan tertimbun dalam tanah, hanya sebagian kecil yang hilang melalui proses pencucian dan terangkut panen. Menurut Satari (1987), bahwa tanaman hanya mengambil sebagian kecil dari jumlah P yang diberikan. Sisa P yang diberikan tidak hilang sebagaimana nitrogen melainkan terakumulasi dalam tanah. Selain pemupukan yang intensif, faktor yang paling menentukan lainnya adalah pH, tipe, dan kadar liat dalam tanah, pada pH tanah yang lebih rendah dari 6,0 – 6,5 maka aktifitas fosfat akan berkurang akibat retensi R2O3 dan di atas pH ini diretensi oleh ion-ion Ca dan Mg maupun CaCO3, sementara tanah-tanah dengan mineral liat tipe 1:1 meretensi P lebih banyak daripada tanah-tanah dengan tipe 2:1, sebab adanya muatan variabel pada tipe 1:1 dan juga karena pengaruh dari oksida atau hidrus oksida Fe dan Al. Untuk kadar liat, jika komposisi liatanya sama semakin tinggi kadar liat semakin besar daya retensi fosfatnya, sedangkan Alofan juga dikenal sebagai yang terbesar daya fiksasinya terhadap P (Leiwakabessy et al. 2003).
4.4.2. P-tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering
Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 10, menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki kandungan hara P-tersedia tertinggi pada tanah pertanian lahan kering adalah Jawa Timur sebesar 274 ppm, lalu Jawa Tengah sebesar 137 ppm, dan terendah adalah Jawa Barat sebesar 115 ppm, sedangkan daerah yang memiliki kandungan P tersedia tertinggi adalah daerah Tulungagung di Jawa Timur sebesar 578 ppm dan yang terkecil adalah daerah Batang dengan nilai sebesar 78,5 ppm di Jawa Tengah. Menurut kriteria PPT (1983), status P-tersedia dari 20 lokasi tanah pertanian lahan kering yang diambil di Pulau Jawa seluruhnya berstatus sangat tinggi, begitupun untuk rata-rata ke-3 provinsi dan Pulau Jawa. Diduga sangat tingginya kadar P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering adalah dari pemupukan P yang sangat tinggi akibat dari pertanian yang
(42)
31 sangat intensif di Pulau Jawa. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya ketersediaan fosfor dalam tanah sangat sedikit (Soepardi 1983).
Nurjaya et al. (1995), menyatakan bahwa selain dari bahan induk yang menyebabkan kadar P dalam tanah sangat tinggi juga ditentukan oleh pemberian pupuk P baik alami, buatan, organik, ataupun anorganik. Menurut Nursyamsi dan Heryadi (1994), bahwa pemberian pupuk P ke dalam tanah dapat meningkatkan kadar P dalam tanah baik terekstrak Bray 1 maupun HCl 25% sehingga ketersediaannya meningkat. Melihat status hara P yang rata-rata berstatus sangat tinggi pada tanah sawah dan tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa, maka efesiensi dalam pemupukan P sangatlah penting untuk segera dilakukan, antara lain pengurangan jumlah maupun intensitas pemupukan P ataupun tidak memberikan pupuk P pada tanah untuk beberapa waktu. Seperti yang dikemukakan oleh Rochayati dan Adiningsih (2002), serta Purnomo et al. (1994), yang menyatakan apabila tanah di suatu lokasi mempunyai kadar P yang tinggi sebaiknya pupuk P yang diberikan hanya bertujuan untuk perawatan dimana takaran yang diberikan setara dengan jumlah yang terangkut panen, sehingga produktivitas tanah dan tanaman dapat tetap terjaga. Selain itu P yang diberikan ke tanah tidak harus pada setiap musim tanam, tetapi cukup hanya sekali untuk beberapa musim tanam, sehingga dapat mengurangi biaya pemberian. Menurut Adiningsih (1992), mengungkapkan bahwa upaya mengacu produktivitas dengan menambah takaran pupuk merupakan suatu pemborosan dan bahkan dapat mengakibatkan menurunnya ketersediaan hara lain serta menurunnya kualitas lingkungan.
4.4.3. Korelasi Hara P pada Tanah Pertanian Lahan Kering Terhadap Sifat-sifat Tanah Lainnya
Hasil uji korelasi P-potensial dan P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering terhadap sifat-sifat kimia tanah seperti C-total, N-total, C/N, Cadd, Mgdd, KTK, EC, dan pH disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa untuk P-potensial mempunyai korelasi yang positif terhadap C-total, N-total, dan EC, sehingga semakin tinggi nilai P- potensial maka semakin tinggi juga nilai dari C-total, N-total, dan EC.
(43)
32 Tabel 11. Korelasi P-tersedia dan P-potensial pada Tanah Pertanian Lahan Kering Terhadap Sifat Tanah Lainnya
P-tersedia P-potensial C-total N-total C/N Cadd Mgdd KTK EC pH (H2O)
P-potensial 0,153
C-total -0,221 0,726**
N-total -0,239 0,700** 0,959
C/N -0,010 0,359 0,565 0,336
Cadd -0,013 -0,173 -0,327 0,348 0,112
Mgdd -0,111 -0,242 -0,310 -0,245 -0,408 0,244
KTK -0,288 -0,054 0,061 0,011 0,352 0,853 0,324
EC 0,145 0,552* 0,380 0,308 0,502 0,519 0,082 0,610
pH (H2O) 0,173 -0,157 -0,563 -0,561 -0,180 0,698 0,216 0,343 0,107
Ketinggian -0,110 0,848** 0,793 0,799 0,348 -0,300 -0,419 -0,120 0,362 -0,340
(44)
33 Keterkaitan P-potensial dengan nilai C-total dan N-total diduga akibat dari kadar bahan organik dalam tanah, sebab pemberian bahan organik dapat menghasilkan P-organik dalam tanah serta meningkatkan kadar C-total dan N-total dalam tanah, sehingga semakin tinggi bahan organik dalam tanah, maka akan meningkatkan juga kadar P-potensial, C-total, dan N-total dalam tanah. Keterkaitannya terhadap EC dapat diartikan bahwa kelarutan P dari HCl 25% dapat meningkatkan nilai EC dalam tanah, sedangkan keterkaitannya dengan tanah-tanah Andisol yang memiliki P-potensial yang sangat tinggi, karena pada umumnya tanah Andisols banyak mengandung bahan organik dan liat amorf terutama alofan yang dikenal memiliki daya retensi maupun fiksasi P yang sangat tinggi (Hartono 2007; Hartono 2008b; Leiwakabessy et al. 2003).
4.4.4. Kadar Hara P-Potensial dan P-Tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering Berdasarkan Perbedaan Lokasi
Perbedaan kadar P-potensial dan P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering berdasarkan lokasi disajikan pada Tabel 12. Untuk P-potensial menghasilkan nilai sebagai berikut: untuk Jawa Barat 2.387 ± 2.974 (n=7), Jawa Tengah 1.033 ± 556 (n=6), dan Jawa Timur 2.940 ± 2.608 (n=7). Dilihat dari nilai standar deviasinya, hal ini diduga disebabkan karena keragaman antar lokasi maupun antar provinsi yang tinggi satu dengan yang lain. Selain itu dapat pula disebabkan oleh pemupukan P yang sangat bervariasi pada setiap lokasi.
Perbedaan lokasi terhadap nilai P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa menunjukkan bahwa untuk Jawa Barat adalah 115 ± 14,6 (n=7), Jawa Tengah 137 ± 82,1 (n=6), dan Jawa Timur adalah 274 ± 143 (n=7). Dilihat dari nilai standar deviasinya, hal ini diduga disebabkan akibat dari pemupukan P yang sama-sama intensif di setiap lokasi serta juga iklim yang tidak terlalu berbeda antar lokasi dalam satu provinsi.
(45)
34 Tabel 12. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Pertanian Lahan
Kering Berdasarkan Lokasi
Lokasi P-tersedia P-potensial
Rata-rata StDev Rata-rata StDev
Jawa Barat 115 14,6 2.387 2.974
Jawa Tengah 137 82,1 1.033 556
Jawa Timur 274 143 2.940 2.608
4.4.5. Kadar Hara P-Potensial dan P-Tersedia pada Tanah Pertanian Lahan Kering Berdasarkan Perbedaan Jenis Tanah
Perbedaan kadar P-potensial dan P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering berdasarkan jenis tanah disajikan pada Tabel 13. Untuk P-potensial adalah sebagai berikut: Andisols adalah 3.595 ± 3.281 (n=8), Inceptisols adalah 1.473 ± 571 (n=7), Ultisols adalah 649 ± 199 (n=2), dan Vertisols adalah 1.041 ± 1.047 (n=3). Dilihat dari nilai standar deviasinya, diduga hal ini disebabkan karena keragaman antar lokasi maupun antar provinsi yang tinggi satu dengan yang lain. Selain itu dapat pula disebabkan oleh pemupukan P yang sangat bervariasi pada setiap lokasi.
Perbedaan jenis tanah terhadap nilai P-tersedia pada pertanian lahan kering di Pulau Jawa menunjukkan bahwa: untuk Andisols adalah 148 ± 70,9 (n=8), Inceptisols adalah 249 ± 164 (n=7), Ultisols adalah 103 ± 7,2 (n=2), dan Vertisols adalah 140 ± 55,0 (n=3). Dilihat dari nilai standar deviasinya, hal ini diduga disebabkan oleh keragaman antar lokasi maupun antar provinsi yang tinggi satu dengan yang lain. Selain itu dapat pula disebabkan oleh pemupukan P yang sangat bervariasi pada setiap lokasi.
Tabel 13. Rata-rata dan Standar Deviasi Kadar Hara P di Tanah Pertanian Lahan Kering Berdasarkan Jenis Tanah
Lokasi P-tersedia P-potensial
Rata-rata StDev Rata-rata StDev
Andisols 148 70,9 3.595 3.281
Inceptisols 249 164 1.473 571
Ultisols 103 7,2 649 199
(46)
35 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kriteria PPT (1983), status hara P-potensial pada tanah sawah dari 23 lokasi yang diambil di Pulau Jawa, 19 lokasi diantaranya berstatus sangat tinggi, dua lokasi berstatus tinggi, dan dua lokasi lainnya berstatus rendah. Sementara untuk status hara P-tersedia, 21 lokasi diantaranya berstatus sangat tinggi, satu lokasi berstatus tinggi dan satu lokasi lainnya berstatus rendah. Status hara P-potensial tanah pertanian lahan kering dari 20 lokasi yang diambil di Pulau Jawa, 15 lokasi berstatus sangat tinggi, empat lokasi berstatus tinggi, serta satu lokasi berstatus sedang, sementara untuk P-tersedia pada tanah pertanian lahan kering seluruhnya berstatus sangat tinggi.
Lokasi yang memiliki kadar P-potensial tertinggi di tanah sawah adalah Jekulo sebesar 3.273 ppm dan yang terendah adalah karawang sebesar 153 ppm. Untuk lokasi dengan P-tersedia tertinggi adalah Bojonegoro sebesar 186 ppm dan yang terendah adalah Palimanan sebesar 10,6 ppm. Lokasi yang memiliki kadar P-potensial tertinggi di pertanian lahan kering adalah Brawijaya Farm sebesar 8.415 ppm dan yang terendah adalah Wononsari sebesar 378 ppm, sementara kadar P-tersedia yang tertinggi berada pada daerah Tulungagung sebesar 578 ppm dan yang terendah adalah Wonosari sebesar 81,6 ppm. Rata-rata kadar P-potensial dan P-tersedia pada tanah sawah dan tanah pertanian lahan kering di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta Pulau Jawa seluruhnya berstatus sangat tinggi. Uji korelasi pada tanah sawah menunjukkan bahwa semakin tinggi P-tersedia, maka semakin tinggi juga nilai Cadd dan pH, sedangkan pada tanah pertanian lahan kering menunjukkan bahwa semakin tinggi P-potensial maka semakin tinggi juga C-total, N-total, dan EC. Melihat status hara P-potensial dan P-tersedia yang pada umumnya berstatus sangat tinggi pada tanah sawah serta tanah pertanian lahan kering di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur maka efesiensi dalam pemupukan P sangatlah penting untuk segera dilakukan.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melepaskan P yang terakumulasi dalam bentuk sukar ataupun tidak tersedia menjadi bentuk yang
(47)
36 tersedia bagi tanaman, baik pada tanah sawah maupun tanah pertanian lahan kering di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
(48)
37 DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman A, dan S Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanahdan Agroklimat, Bogor.
Adiningsih S. 2004. Dinamika hara dalam tanah dan mekanisme serapan hara dalam kaitannya dengan sifat-sifat tanah dan aplikasi pupuk. LPI dan APPI, Jakarta.
Adiningsih JS. 1992. Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swasembada pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (Tidak dipublikasikan).
Adiningsih JS, Moersidi, M Sudjadi, dan AM Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Hal. 63-89 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efesiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 21 November 1988.
Ardjasa WS, et al. 2000. Peranan mikroba penambat N dan pelarut P dari pupuk hayati E-2001 dalam meningkatkan efektivitas pupuk dan produktivitas padi sawah sistem Tabela dan TOT pada sawah irigasi. Makalah Seminar Nasional Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Ekoregional Sumatera-Jawa. Bandar Lampung, 22-23 Maret 2000.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Black CA. 1976. Soil Plant Relationships. John Wiley and Sons., Inc., New York. Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Buckman HO, and NC Brady. 1964. The Nature and Properties of Soils. The Macmillan Company. New York.
De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production. A Wiley-Interscience Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 618 hlm.
Dobermann A, and T Fairhust. 2000. Rice; Nutrient Disorders and Nutrient Management. IRRI. Makati City, The Fhilipines. P 191.
Dudal R. 1965. The Problem on The Genesis and Classification of Rice (Paddy) Soils.
(49)
38 [FAO]. 1998. Word reference base for soil resourch. World Soil Resources
Report 84. Rome: FAO.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo, Jakarta.
Hardjowigeno S, H Subagyo, ML Rayes. 2004. Morfologi dan klasiikasi tanah sawah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Hartono A. 2008b. The Effect of Calcium Silicate on The Phosphorus Sorption Characteristics of Andisols Lembang: Jurnal Tanah dan Lingkungan, 10: 14-19.
Hartono A. 2007. The Effect of Calcium Silicate on The Selected Chemical Properties and Transformation of Inorganic and Organic Phosphorus in Andisols Lembang. Gakuryo., 13: 87-94.
Hartono A, S Funakawa, dan T Kosaki. 2006. Transformation of Added Phosphorus to Acid Upland Soil with Different Soil Properties in Indonesia. Soil Sci. Plant Nutr., 52: 734-744.
Hartono A, S Funakawa, dan T Kosaki. 2005. Phosphorus Sorption-desorption Characteristics of Selected Acid Soils in Indonesia. Soil Sci. plant Nutr., 51: 787-799.
Havlin JL, JD Beaton, SL Tisdale, and WL Nelson. 2005. Soil and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Seventh Edition. Pearson Education Inc. Upper Saddle River, New Jersey. P 499.
Hidayat dan Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering.Pusat PenelitianTanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. DepartemenPertanian. Jakarta.
Kanno I. 1978. Genesis of Rice Soils with Special Reference to Profil Development. in: Soils and Rice. The International Rice Resarch Institute. Los Banos, Laguna, Philippines. P.237-254.
Las I, AK Makarim, A Hidayat, AK Karam, dan I Marwan. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Leiwakabessy FM, UM Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Leiwakabessy FM, dan Atang S. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Diktat Kuliah
Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Lindsay WL. 1971. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley and Sons, New York.
(1)
46 Gambar Lampiran 2. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983)
(2)
47 Gambar Lampiran 3. Sebaran Status Hara P-potensial pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983)
rendah
tinggi
rendah
(3)
48 Gambar Lampiran 4. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983)
(4)
49 Gambar Lampiran 5. Sebaran Status Hara P-potensial pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983)
tinggi tinggi
(5)
RINGKASAN
TUNGGUL EDWARD SITORUS. Analisis Status Hara Fosfor Pada Berbagai Lahan Pertanian Pangan di Pulau Jawa. Dibawah bimbingan SYAIFUL ANWAR dan ARIEF HARTONO.
Indonesia adalah negara agraris yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49%. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia adalah dengan melakukan program intensifikasi. Selain menggunakan varietas unggul, pemupukan menjadi kegiatan yang paling menentukan dalam keberhasilan program ini. Di Indonesia pupuk P menjadi yang paling banyak dibutuhkan setelah pupuk N terutama pada lahan kering.
Fosfor dalam tanah menjadi sangat penting ketersediaannya bagi tanaman karena peranannya yang cukup banyak, tetapi di dalam tanah selain jumlahnya yang sedikit juga terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al, Mn dan Fe pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis, sehingga menjadi bentuk yang tidak tersedia. Melihat sifatnya yang mudah terfiksasi dan keberadaan P di dalam tanah yang sedikit tetapi dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka peranan pupuk P sangatlah penting dalam menjaga ketersediaan unsur P bagi pertumbuhan tanaman. Fenomena leveling off, yaitu: laju peningkatan produktivitas tanah tidak selaras dengan laju penggunaan pupuk yang diberikan mendorong untuk perlu dilakukannya evaluasi status hara P terkini pada tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara P (P-tersedia dan P-potensial) tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa, serta juga keterkaitannya dengan beberapa sifat kimia tanah lainnya. Total ada 43 contoh (lokasi) yang diambil di Pulau Jawa, yang terdiri dari 23 lokasi yang digunakan untuk sawah dan 20 lokasi untuk tanah pertanian lahan kering, sementara metode yang dipakai untuk mengukur P-potensial adalah pengekstrak HCl 25% dan untuk P-tersedia adalah Bray 1.
Hasil menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria yang tersedia, dari 23 contoh tanah sawah yang diambil di Pulau Jawa, 19 contoh berstatus P-potensial sangat tinggi, dua contoh berstatus tinggi dan dua contoh lainnya
berstatus rendah, sedangkan P-tersedia tanah sawah terdapat 21 contoh yang berstatus sangat tinggi dan dua contoh lainnya berstatus tinggi dan rendah, sementara pada pertanian lahan kering dari 20 contoh yang diambil, 15 contoh berstatus P-potensial sangat tinggi, empat contoh berstatus tinggi dan satu contoh berstatus sedang. Untuk P-tersedia pertanian lahan kering seluruhnya berstatus sangat tinggi. Dalam uji korelasi pada tanah sawah terdapat korelasi positif antara
P-tersedia dengan Cadd, dan pH, sementara pada pertanian lahan kering
P-potensial berkorelasi positif terhadap C-total, N-total, dan EC. Berdasarkan penilitian ini disimpulkan bahwa status hara P pada tanah-tanah pertanian di Jawa umumnya sangat tinggi, sehingga perlu dipikirkan upaya untuk memanen, khususnya P-potensial yang telah ada dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.
(6)
SUMMARY
TUNGGUL EDWARD SITORUS. Analysis of Phosphorus on Food Agricultural Lands in Java Island. Supervised by SYAIFUL ANWAR and ARIEF HARTONO.
Indonesia is an agricultural country that has the fourth largest population in the world with 237,6 million people and growth rate of 1,49%. One program that made by the government to fulfill the demands of food is agricultural intensification program. While using the improved varieties, fertilizing is one of the most important input to succed this program. In Indonesia, P fertilizer is the second most important after N fertilizer, especially on up land.
Availability of phosphorus in the soil becomes very important because it has many roles in plants. However, in the soil, their availability relatively low because of binding by Al, Mn and Fe in acid soils, or by Ca, Mg in alkaline soil. Since it is easily fixed and the presence of P in the soil is limited but needed in large quantities, the role of P fertilizer is critical in maintaining the availability of P nutrient for plant growth. The phenomenon levelling off, which is the rate of increase in soil productivity is not in line with the rate of fertilizer is the main reason to evaluate the status of the current P nutrient in agricultural soils in Java. This study aimed to evaluate the status of the current P nutrient (available-P and potential-P) in agricultural lands in Java, and their association with some other soil chemical properties. There are 43 samples (locations) were taken from the island of Java, which consists of 23 samples of paddy field and 20 samples of up land agriculture. The methods that used to measure the potential-P is HCl 25% extraction and the available-P is Bray 1.
The results based on the available criteria show that from 23 samples of paddy field, 19 samples have very high status of potential-P, two samples have high status and two other samples have low status of potential-P. In the paddy field available-P there are 21 samples that have very high status and two other samples that have high and low status of available-P. On up land agriculture, from 20 samples, 15 samples have very high status of potential-P, four samples have high status and one other sample have medium status. Available-P in up land agriculture entirely have very high status. For paddy field there are positive correlations between available-P with exch-Ca, and pH, meanwhile on up land agriculture, potential-P has positive correlations with total-C, total-N, and EC. From this study, it is concluded that the status of P in agricultural soil in Java is in general very high. In the future, it is worthed to consider how to harvest especially the potential-P for plant growth.