Sepanjang Jalan Membaca Retorika
110
mendapatkan perhatian dari masyarakat publik, namun seiring dengan mobilitas migrant dari luar Papua kebiasaan ini menjadi eksotis, menjadi
satu daya tarik khas bagi para pendatang yang baru mengenalnya. Namun ketertarikan tersebut sekaligus juga menempelkan sebuah ciri-ciri negatif
stigmatisasi, sehingga terkesan kontra produktif dan tidak sesuai dengan konsep-konsep modernitas.
Penilaian demikian
tentunya menyinggung
perasaan warga
pengkonsumsi pinang yang sudah menjadikannya sebagai tradisi maupun kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu
Imelda Nimbafu: “Banyaknya larangan mengkonsumsi pinang di berbagai tempat memang sangat mengecewakan, mereka tidak senang karena bukan
kebiasaannya saja.” Dilihat dari sisi administrasi publik pun, data kuantitas tanaman ini baru
dapat diperoleh tahun 2014 pada Publikasi Sensus Pertanian 2013 ST2013
6
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari Tahun 2014. Sebelum publikasi ST2013 tidak mudah untuk mendapatkan data
kuantitatif dan prospeksi komoditas tanaman pinang di Kabupaten Manokwari. Dari ST2013 tersebut diperoleh informasi bahwa budidaya
tanaman tersebut menempati peringkat ke-3 setelah tanaman Coklat 4,68 juta pohon dan Kelapa Sawit 0,67 juta pohon, sedangkan Pinang: 0,13
6
Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari Tahun 2014.
111
juta126.378 pohon.
7
Ini merupakan indikasi bahwa tanaman pinang mempunyai andil dalam ansambel
8
besar pada tata kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial dalam masyarakat Manokwari.
1 Pasar Pinang sebagai Forum Publik
Aktivitas mengkonsumsi pinang menjadi ruang publik khusus yang menjadi medium forum bersama serta ruang demokrasi tempat orang
merefleksikan serta mengolah pengalaman hidup, melakukan kegiatan- kegiatan kultural, sosial, dan politik, dalam relasi sosialitasnya untuk
penyelenggaraan kehidupan selanjutnya. Karena bernilai ekonomis dan kemanfaatan sosialnya, pinang menjadi
komoditas niaga yang memiliki prospek menjanjikan bagi sebagian warga Manokwari. Kultur mengkonsumsi pinang yang berkorelasi dengan
keseharian masyarakat publik bukan lagi menjadi urusan komoditas ekonomi pasar dan pengkonsumsinya saja, melainkan telah menjadi: “…
forum,…orang melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan politik”
Sunardi.2003:5
9
dalam keseharian
hidup masyarakat.
Praktek mengkonsumsi pinang menjadi ruang berbicara pembicaraan ketiga;
seperti ngobrol, obrolan warung pinang, mop, dll. yang dilakukan pada hampir semua ruang geometris di wilayah Kota Manokwari dan sekitarnya.
7
Diolah berdasarkan Publikasi Sensus Pertanian 2013, oleh BPS Kabupaten Manokwari Tahun 2014.
8
Kelompok pemain bersama secara tetap.
9
St. Sunardi. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik, hal.5.
112
Hal ini berpotensial menjadi media pembangkit dinamika konstelasi kehidupan masyarakat pruralis multicultural, katalisator eskalasi politik-
keamanan dalam keseharian masyarakat, serta mampu mendekonstruksi dan mengkonstruksi tata kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat
setempat. Pruralitas multicultural masyarakat ‘pasar pinang’ yang terdiri dari
masyarakat Biak Numfor, Serui, Wondama, serta beberapa para pemdatang dari luar Papua di Kota Manokwari menyuburkan bertumbuh-kembangnya
wandering of the semantic yang akan menjadi materi bangunan-bangunan wacana serta peristiwa baru pada wilayah publik: “…pasar dijadikan
sebagai metafor bagi keadaan masyarakat kita sekarang dengan berbagai paradoksnya. “Pasar” ia jelaskan sedemikan rupa sehingga ia bukan hanya
merupakan tempat jual beli, namun sudah menjadi kategori baru untuk mengolah pengalaman hidup manusia…”Sunardi.2003:2-3
10
dari beragam budaya dan kepentingan yang mewujud dalam lunturruntuhnya tata
kehidupan sebelumnya, dan terbangunnya tata kehidupan selanjutnya, dengan kebijakan dan regulasi yang disertai dengan munculnya kelas-kelas
masyarakat strata yang baru dengan spesialisasinya masing-masing.
10
Ibid. hal. 2-3.