Menejerial Mama-Mama Penjual Pinang
81
kembangnya ekonomi kerakyatan bagi mama-mama Papua untuk menjadi pengecer pinang; seperti di pasar, di perkampungan, di lorong-
lorong hunian, pinggir-pinggir jalan sepanjang kota, atau pun di sekitar tempat-tempat hunian yang diharapkan dapat menyokong ekonomi
keluarga.
Gambar 16. Mama-mama penjual Pinang buah
di pelataran depan deretan Warung Makan Pasar Sanggeng Manokwari.
35
Keadaan tersebut ditandaskan juga oleh Aprila R.A. Wayar dalam tulisannya berjudul Menunggu Peran Perempuan dalam Mengentas
Kemiskinan: “Dalam
konteks Papua,
sebagian besar
roda perekonomian saat ini justru dipegang oleh para
pendantang atau non-Papua. Sedangkan masyarakat Adat Papua banyak dijumpai di meja pinang. Para
35
Dokumen pribadi penulis.
82
penjualnya pun mayoritas perempuan, yang lazim disebut Mama-Mama Papua.”
36
Dalam situasi tersebut masyarakat asli Papua mendapatkan keuntungan imbas trickle down effect ‘sedikit’ dari mobilitas sistem
ekonomi pasar yang beroperasi pada ruang publik kampung mereka. Menurut Pater Anton Tromp, penjualnya hampir semua adalah ibu-
ibu.
37
Mereka memperoleh bahan dari kebun sendiri, atau membeli di Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi, kemudian mengecerkannya di
pondok-pondok jualan yang mereka buat. Tromp berpendapat bahwa; “menjadi kaya karena menjual pinang saya kira tidak”, karena mereka
menjual Sirih Pinang tanpa memperhitungkan ongkos produksi dan jasanya, sehingga nilai ekonomisnya belum tentu bisa mencukupi
kebutuhan keluarga. Materi buah pinang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat di
Papua, oleh karenanya diperlukan ketersediaan ready stock agar tetap dalam keadaan stabil, tidak terjadi kekurangan atau kekosongan stock.
Namun dalam kenyataan pasar beberapa kali terjadi terbatasan bahan, sehingga harus mengatasinya dengan mendatangkan pinang buah segar
dari Sentani Jayapura. Keadaan ini akan menaikkan harga beli
36
I Ngurah Suryawan ed.. 2011. NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing. hlm. 207.
37
Bagi masyarakat Papua, lebih familier dengan sebutan “mama mama”.
83
masyarakat konsumer. Tingginya permintaan menjadi sebuah indikator adanya kebutuhan pada hampir seluruh lini sektor ekonomi pasar
jalinan produksi, distribusi, dan konsumer dari kota hingga ke pelosok-pelosok perkampungan.
3 Masyarakat Sipil Civil Society
Potret keseharian Kota Manokwari hampir sama dengan kota-kota lain di Papua, pada ruang publik dengan mudah ditemukan pemandangan
seseorang atau sekelompok orang sedang bercerita sambil mengkonsumsi pinang
dan meludah di sembarang tempat. Situasi demikian disertai
teriakan, atau tertawa, bergantung dari yang sedang diomongkan. Mereka menjalin
komunikasi untuk
membagi pengalaman
hidup dalam
kebersamaanya dengan keluarga, saudara, atau teman pada sebuah bingkai merayakan hidup melalui lokalitas kultur, yakni mengkonsumsi pinang.
Buah pinang menjadi material utama untuk mengeratkan komunikasi, bahkan dalam keadaan marah dengan intensitas tinggi, dengan menawarkan
pinang
38
akan dapat mengubah suasana menjadi bersahabat kembali, sehingga penyelesaian suatu persengketaan akan ada dalam suasana
persaudaraan fraternity.
38
Siapa saja yang lebih dahulu berlaku bukan masalah, namun biasanya yang mendahului akan dianggap orang yang tahu adat.
84
Djimmy Papare 67, menjelaskan bahwa mengkonsumsi pinang merupakan budaya yang telah mengakar rumput dalam keseharian
masyarakat Papua; “Konsumsi pinang itu memang budaya orang Papua, sebagai
suatu budaya untuk kita saling mengenal satu saudara dengan saudara yang lain. Macam saya tinggal di pantai,
saya harus mengenal saudara yang ada di gunung, menjalin relasi persudaraan dengan mereka, dengan cara makan
pinang bersama. Jadi pinang itu merupakan sarana menjalin tali persaudaraan yang mengeratkan kami antara orang
Papua dengan orang Papua lainnya. Karena tradisi kami lain dengan tradisi dengan orang yang di gunung. Kami
orang yang di pantai biasanya suka bergaul dengan siapa saja.
Pinang merupakan sarana persaudaraan dan persahabatan. Dengan bersama-sama
makan pinang terjadilah pembicaraan, bersama berkelakar, walau tempat
asalnya berjauhan, namun akan terjadi keakraban yang luar biasa. Begitu pula akan terjalin hubungan keluarga yg luar
biasa.”
39
Penjelasan Bapak Djimmy Papare tersebut, menjadi satu alasan bahwa posisi buah pinang begitu penting dan harus ada dalam keseharian hidup
masyarakat asli Papua, bahkan saat ini kebiasaan tersebut telah merambah pada keseharian masyarakat pendatang yang berada di Papua.
39
Sumber: Wawancara 10 Agustus 2015.
85
Pinang merupakan sarana interaksi sosial paling berpengaruh dan merambah dalam kehidupan dari kalangan anak-anak sampai dengan orang
tua, dari yang berstatus pelajar, mahasiswa hingga para pemuka tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sampai para pejabatnya. “Orang dari
luar Papua akan lebih akrab dengan masyarakat asli Papua, ketika para pendatang itu bisa makan mengkonsumsi pinang bersama warga
masyarakat asli Papua”, demikian ditandaskan oleh Bapak Edo Padwa.
40
Wacana serupa juga disampaikan oleh Bapak Hendrik Dedaida 60
41
yang ditemui ketika sedang mengkonsumsi pinang sendirian di bawah tangga menuju lantai 2 Pasar Tingkat Pasting Sanggeng Manokwari.
Seperti biasanya sebelum mencari ikan melaut ia akan mengkonsumsi pinang terlebih dahulu supaya ada semangat kerja. Manfaat serupa dirasakan
oleh Ibu Rosella Awom 25 yang sejak TK sudah terbiasa mengkonsumsi pinang sebelum melakukan pekerjaannya. Menurutnya: “Pinang adalah
makanan khas dari Papua yang turum temurun dari orang tua sampai anak- anaknya. Kayak cemilan dan dapat menguatkan gigi, menghilangkan rasa
haus, bisa bikin mabuk dan dapat membangkitkan rasa percaya diri yang tinggi.”
Menurut Bapak Hendrik pinang merupakan sarana menjalin pergaulan, menghangatkan
badan, namun bisa juga memabukkan. Pada saat
40
Seorang pejabat pemerintahan Provinsi Papua Barat.
41
Ia mengisahkan bahwa sudah 10 tahunan mengkonsumsi pinang karena mengikuti kebiasaan istri yang berasal dari Wasior Kabupten Teluk Wondama.
86
mengkonsumsi pinang, ia dapat bercerita pengalaman masa kecil hingga menjadi orang tua. Pada asat berkumpul bersama ia dapat memberi
petuahnasihat kepada anak-anaknya; “bagaimana kelakukan itu harus diubah, supaya semakin dewasa dan tidak perlu banyak ribut.”
42
Dari uraian pengalaman di atas Bapak Hedrik memberi makna dari materi buah pinang yang berperan sebagai sarana untuk membangkitkan
suasana intimitas keluarga, sehingga terbangun keakraban antar generasi dalam sebuah keluarga.
Berkaitan dengan eksistensi kultur mengkonsumsi pinang, seorang Staf Distrik Manokwari Timur, Musa Rumbarar 40 dalam suasana keakrabanya
sedang ngobrol dengan teman-teman
43
sambil mengkonsumsi pinang ia mengungkapkan
rasa optimis
dan keyakinannya
bahwa budaya
mengkonsumsi pinang di dalam proses perjalanan pada era modernitas ini, akan tetap eksis dan tidak akan hilang, bahkan masyarakat dari luar Papua
saat ini telah mengenal dan ikut terbiasa mengkonsumsi pinang. Ia menegaskan bahwa; “Memang dalam kenyataannya pada saat ini nampak
semakin banyak orang mengkonsumsi pinang jika dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsinya. Entah yang berambut keriting atau pun
berambut lurus, banyak dari mereka sudah membiasakan diri mengkonsumsi
42
Sumber: Wawancara 11 September 2015.
43
Ketika akan mewawancari responden ini, yang bersangkutan bersama 5 orang lainnya sedang berada di taman distrik, membicarakan tentang politik dan persiapan pilkada dan diselingi cerita -
cerita lucu dengan tertawa lepas.
87
pinang.” Para pendatang yang telah tinggal berdomisili dan dekat dengan masyarakat Papua, lambat laun menyesuaikan diri dengan keadaan setempat,
termasuk kebiasaan mengkonsumsi pinang. Dari paparan di atas menjadi semakin jelas, bahwa buah pinang pada
posisi sentral untuk menjalin komunikasi dan mengeratkan relasi antar personal mau pun komunal, dan oleh karenanya mengkonsumsi pinang
merupakan kebiasaan yang telah menyatu dalam dinamika keseharian warga masyarakat civil society Manokwari.
4 Media Massa
Dalam masyarakat Papua, kultur ini hadir dalam perannya sebagai yang memediasi
44
dengan lebih efektif komunikasi relasional antara individu dengan individu, individu dengan komunitas, atau pun komunitas dengan
komunitas pada ruang publik terbatas mau pun tak terbatas. Mengkonsumsi pinang bersama dapat memperkuat relasi inklusif atau pun eksklusif,
bergantung pada topik, tujuan, dan maksud dilakukan suatu komunikasi. Menurut Ibu Klaudia Kumanireng 50 dari Desa Maripi Manokwari
Selatan: “…
dulu mengkonsumsi pinang hanya dilakukan oleh orang- orang tua ketika membicarakan hal-hal yang serius; seperti
tentang pembayaran mas kawin, penyelesaian masalah
44
Untuk menyatakan bahwa kata memediasi menjadi utama karena keperanannya dalam proses komunikasi antar individu, individu dan kelompok, atau pun kelompok dengan kelompok masyarakat.
88
keluarga, membangun kampung, keyakinan, kebersihan, dan semangat untuk merdeka.”
45
Isi pembicaraan hanya untuk kalangan sendiri, sehingga tidak memperbolehkan sembarang orang mengikutinya.
Ibu Klaudia juga menambahkan informasi tentang manfaat mengkonsumsi pinang bagi
kebertubuhan dan dalam relasi dengan sesamanya; “… membicarakan soal makan pinang adalah merupakan tradisi semua orang, tradisi leluhur kami.
Manfaatnya dari sisi kesehatan antara lain adalah untuk menghilangkan bau mulut dan menguatkan gigi. Saat makan pinang suasana kebersamaan
akan menjadi seru dan ramai, karena disertai dengan banyak humor.” Mengkonsumsi pinang menjadi identik dengan mengobrol, karena
mengkonsumsi pinang dilakukan secara bersama dan dibarengi suasana seru dan ramai obrolan. Dalam hal ini Anton Tromp berkomentar bahwa:
“Mama-mama penjual sirih pinang yang begitu banyak itu lebih mendukung pada sisi budaya masyarakat. Kita punya
budaya ngobrol. Hal ini dapat dilihat di berbagai tempat- tempat publik, seperti ruang tunggu, lobi hotel dan banyak
tempat lainnya selalu ada saja orang berkerumun dan mengobrol sambil menikmati pinang.”
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa; “Kultur masyarakat kita memang
berbeda dengan orang-orang barat ketika sedang bertemu satu dengan yang lain. Mereka akan membicarakan tentang
45
Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015.
89
sesuatu atau satu soal tertentu. Lain dengan kita
46
sering ngobrol tanpa ada ujung pangkalnya, tanpa ada artinya …
hanya mengisi waktu dan menikmati kebersamaan ... bicara apa saja.”
Berkaitan dengan posisi buah pinang dalam kultur masyarakat Papua, Tromp menyinggung: “…dulu di Bintuni menggunakan rokok,...berputar
dan setiap orang yang hadir mengisapnya, begitu pula dengan sajian pinang yang harus diambil dan dikonsumsi oleh semua orang yang hadir dalam
pertemuan sebagai tali ikat kekeluargaan.” Memahami hal tersebut Tromp memposisikan peranan pinang yang memiliki daya dinamisator yang
mampu menggerakan mobilitas sosial dalam masyarakat.
47
Budaya ngobrol menjadi patut diperhatikan untuk dicermati dalam konstelasinya dengan aktivitas mengkonsumsi pinang dalam keseharian
masyarakat di Papua. Salah satu bentuk khas budaya ngobrol di Papua terwujud dalam sebuah budaya populer yang disebut mop. Budaya ini
melekat dan menjadi sebuah kekuatan seimbang power behind dengan budaya mengkonsumsi pinang.
Ungkapan “Epen Kah – Cupen Toh”
48
menjadi sangat familier dalam keseharian masyarakat di Papua, bahkan istilah tersebut menjadi identik
46
Seorang Belanda yang telah menjadi Warga Negara Indonesia.
47
Sumber: Wawancara 24 Agustus 2015.
48
Kependekkan dari kalimat pertanyaan: “Emangnya penting kah?” selanjutnya direspon dengan sebuah kalimat jawaban yang meyakinkan dari lawan bicaranya dengan “Cukup penting toh”. “Epen
90
dengan Papua. Bagi orang yang pernah tinggal atau pun berkunjung di Bumi Papua dengan mudah terbuka memori pikirannya seraya berimaji tentang
mop,
49
yakni obrolan lucu
50
khas Papua. Kental unsur hoax, namun
biasanya berkaitan atau dapat dihubung-rangkaikan dengan keadaan atau peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Diolah menjadi humor yang
disajikan lewat ungkapan lisan dan laku gerak, dialek yang kental dan khas sebagaimana dialog keseharian suku-suku yang ada di Papua. Mop lekat
dengan sebutan-sebutan person ala Papua: pace, mace, paitua, maitua, ade, kaka, napi, insos, kabor, awim, mansar, nayak, noge, serta masih banyak
sebutan lainnya berdasarkan suku yang diceritakan. Budaya populer ini sangat dinikmati dan digemari oleh warga masyarakat di Papua pada saat
ada moment-moment kebersamaan, sehingga menghangatkan suasana komunikasi.
Pengekpresikannya selalu mengalir, satu orang bercerita dan yang lain memperhatikan dengan seksama, ikut mencermati atau merespons dengan
gelak tawa atau pun hujatan bercanda. Performance mop dilakukan secara
Kah - Cupen Toh” sebenarnya merupakan sebuah acara dari Stasiun MeraukeTV yang berkonten MOP, yakni cerita lucu dengan dialek bahasa khas keseharian masyarakat Papua. MOP sangat
memasyarakat dalam kalangan bawah hingga menengah, bahkan dewasa ini menjadi folklore populer yang merupakan cerminan identitas masyarakat Papua.
49
Dalam sebuah Blog farsijanaindonesiauntuksemua Selasa, 31 Desember 2013 dalam judul “Papua sebagai primadona politik Indonesia 2013” dituliskan; MOP Papua sangat laku karena kekhasannya
Papua. MOP Papua adalah cara melucu orang Papua. Dalam tekanan ketidakadilan yang sedang terjadi di tanah Papua, orang Papua masih tetap bisa melucu. Cara lelucon orang Papua disebut MOP
Papua. Ini adalah karakteristik orang Papua.”
50
Lelucon, dagelan. Secara berkelakarbergurau dan tidak sungguh-sungguh, sehingga menjadi “joke dari hoax”.
91
bergantian istilahnya: baku bayar, setelah seorang mengekspresikan mop, muncul sebuah tantangan “ayooooo siapa lagi mau bayar”, yang artinya
siapa mau menandingi kelucuan mop sebelumnya. Menurut Lando Nega 19,
51
mahasiswa asal Bintuni Papua Barat menuturkan; “Mop adalah lucu, obat stress dan selalu bikin tertawa.”
52
Walau ia berada di Yogyakarta,
53
saat kumpul bersama teman-temannya tetap suka ngemop. Sambil menikmati pinang di mulut akan semakin
menambah lincah ngomong, mulut tambah baair.
54
Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini, telah banyak mop
diupdate dalam account Facebook. Setiap hari dapat ditemukan paling tidak sebuah mop baru, bahkan banyak visualisasi mop yang ada dalam media
elektronik internet, atau diproduksi dalam kepingan VCD yang kemudian didistribusikan ke dalam pasar-pasar di seantero Papua.
Sekarang publik dengan mudah mendapatkan akses untuk menikmati mop dengan melihat, mendengar, membaca dan turut mencoba menampilkan
tanpa harus berada di Papua. Mop telah mampu melahirkan ‘imagined Papuan communities’ bagi para diaspora.
51
Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi pada Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Wawancara 20022016.
52
Ada kesamaan dengan pendapat dari Tesya Fakdawer 18 seorang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. MOP adalah cerita yang dikarang untuk membuat orang
tertawa dan bikin lucu.
53
Asrama Mahasiswa Bintuni Tambak Bayan 3 Babarsari.
54
“baair” dari kata berair, yang dimaknai sebagai mulut basah dengan ludah pinang sehingga dapat berbicara ngomong dengan lancar, seperti air mengalir. Preposisi “ber”, dalam dialek di sebagian
wilayah Bagian Timur Indonesia sering diucapkan menjadi “ba”.
92
Gambar 17. Budaya Populer yang terekspresikan dalam sebuah Obrolan mop saat ini telah diproduksi
dan beredar dalam bentuk VCD-VCD yang beredar di pasar-pasar seantero Papua.
55
Budaya populer ini selain menjadi hiburan juga sarat nilai-nilai pembelajaran edukatif bagi masyarakat yang mendengar dan mampu
memahaminya. Penceritapenampil dan pendengarpenikmat
biasanya berada dalam satu tempat entah duduk atau berdiri sambil mengkonsumsi
pinang dan memuntahkan ludah merah, akan semakin memperjelas imaji dan obsesi dari isi, makna, serta pesan yang terkandung dalam sebuah mop.
Disajikan oleh seorang pencerita melalui ungkapan lisan atau pun gerak laku yang menghadirkan kelucuan dan kadang juga kekonyolan. Bagi
yang cepat memahaminya akan segera menemukan pesan makna di dalamnya, sehingga dengan cepat merespons dengan tawa atau pun teriakan
histeris. Dengan kepekaan daya tangkapnya, seorang pendengar dapat
55
Dokumen pribadi penulis.
93
menikmati dengan daya rasa, menikmati seraya membangun imajinasi, fantasi atau bayangan ‘peristiwanya’ sekaligus mendapatkan pesan yang
dimaksud oleh pencerita.
Gambar 18. Orang-orang muda ngobrol bareng diselingi dengan mop-mop,
di seberang jalan Bank Papua Sanggeng Manokwari.
56
Hanuri 62 warga Kota Yogyakarta, seorang pensiunan pegawai Telkom di Jayapura 1982-1995 menuturkan: “Mop itu adalah lelucon,
stand up comedy yang kadang merupakan cerita bual-bual
57
. Orang-orang Papua paling pinter menyajikan MOP.”
Sejauh penulis amati, dalam mop-mop terkandung daya satire yang kuat, bahkan kadang mempunyai kecenderungan rasialisme. Hal ini menjadi
sebuah indikasi adanya motif-motif yang menginspirasi sebuah performance
56
Dokumen pribadi penulis.
57
Hoax
94
mop dengan pesan massage bermakna yang – kadang disengaja – untuk disampaikan kepada pihak-pihak lain.
Berikut sebuah contoh dari sejumlah mop yang kadang terdengar dalam obrolan bersama;
Cara Makan Pinang
Pace Serui bilang: Kita di Serui cara makan Pinang tu, 3.2.1. Makan 3 pinang duluan, trus 2 sirih, baru 1 senduk kapur
trakhir. Napi Biak bilang : Di Biak tu tabale: 1-2-3, Satu daun siri
duluan, baru makan 2 kapur tulis, 3 buah pinang terakhir. Pace Wamena tra mau kalah: Di Wamena tu campuran, 2-1-3,
makan 2 senduk kapur duluan, 1 jam kemudian makan sirih, 3 hari lagi baru makan pinang
2 Pace tadi tanya, Kenapa lama sekali baru makan pinang? Pace Wamena bilang; tunggu mulut sembuh too...
58
Contoh di atas merupakan salah satu mop yang memunculkan 3 tokoh dari suku berbeda Serui, Biak dan Wamena di Bumi Papua. Humoran ini
biasanya lebih mungkin sering dicerita-tampilkan oleh orang yang bukan berasal dari ke 3 suku tersebut. Pesannya secara logika sangat konyol dan
tidak logis, sehingga kadang akan ditanggapi dengan celotehan “yang bener saja paceeeee” atau pun respon sejenisnya. Kekonyolan yang terkandung di
dalamnya akan mampu membangun imaji yang kadang diskriminatif tentang
58
Sumber : https:www.ketawa.com2009056098-cara-makan-pinang.html 21022016
95
subyek dan suatu obyek tertentu, namun karena disampaikan dengan humor maka kesan tersebut menjadi abu-abu discleaner, namun justru menghibur
penikmatnya. Seorang George Prawar 25
59
, memberikan imaji dan penjelasannya
bahwa MOP adalah menipu orang banyak
60
. Kepintaran merangkai beberapa fakta sosial yang sungguh-sungguh terjadi dari suatu keadaan
dengan keadaan lain dalam masyarakat sebagai materi performance sebuah mop, menjadikan seseorang diberi predikat tukang mop. Terlebih kepiawian
tersebut ditunjang dengan gerak laku yang pas dan ujaran yang menyertakan kentalnya dialek khas dari bahasa suatu etnis tertentu. Si pencerita harus
menguasai dialek suku yang sedang diceritakannya, karena kemampuan dalam – meniru dialek bahasalogat, gerak laku – akan menjadi suatu
variable yang sangat mendukung dalam membangkitkan rasa humor, sehingga orang akan berpikir
– membangun dan mengikuti fantasi – sejenak, kemudian akan merespons secara tidak terduga; meyakininya,
menolak pernyataan, atau tertawa terpingkal karena rasa humornya. Menurut Geogre, mengkonsumsi pinang dan mop bagi orang Papua
merupakan kesatuan
sarana menjalin keeratan
persahabatan dan persaudaraaan, karena dengan makan pinang bersama orang akan semakin
mudah ngomong; melisankan isi hati, fantasi, dan membuka pikiran.
59
Pegawai pada Lembaga Badan Pengawas Pemilu Bawaslu Propinsi Papua Barat
60
Karena isinya bukan hal yang sebenarnya, hanya perlu kepinteran dalam merangkai fakta yang satu dengan yang lain yang tidak mempunyai keterkaitan sebuah sebab akibat kasualitas.
96
Selain mop sebagai salah satu performance budaya populer Papua, di Kota Manokwari penulis juga menemukan acara Obrolan Warung Pinang
dalam program siaran radio. Acara ini merupakan salah satu bentuk perhatian dan kepedulian apresiatif terhadap budaya mengkonsumsi pinang
yang telah mampu menggerakkan dinamika ruang publik sosial masyarakat Manokwari. Program interaksi aktif tersebut dalam relasinya tanpa harus
bertemu face to face seperti performance mop, akan tetapi melalui sebuah media lokal, yakni Stasiun Regional Radio Republik Indonesia RRI.
Seorang Ice Manusaway, wartawati senior yang telah mampu membangun sebuah ruang khusus bagi budaya
konsumsi pinang
mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua. Baginya budaya tersebut merupakan salah satu variable yang telah turut serta dalam membentuk
identitas serta karakter ruang publik Kota Manokwari. Reaksi tanggap dari kejeliannya menjadikan acara Obrolan Warung Pinang
61
ini pada tahun 2016 genap berusia 14 tahun di bawah kendalinya. Sebagai orang lapangan, Ibu
Ice
62
sangat peka dan mampu menangkap gelagat dan geliat budaya masyarakat, kejadian lapangan, keluhan masyarakat, serta keinginan
pemerintah state untuk membangun Kota Manokwari agar lebih baik dari pada sebelumnya.
61
Sebagai wartawan lapangan ia dianggap mampu menampung aspirasi, kejadian dan persoalan dalam masyarakat sekitar Manokwari. Kemudian dia mengolah dan menyajikannya dalam siaran
dengan bahasa sehari-hari, bahasa pasaran, bahasa kampung, sentilan jenaka mop, dengan bahasa khas Papua sehingga dapat dimengerti oleh semua element masyarakat pendengar.
62
Sebutan keseharian di kantor mau pun di lingkup warga masyarakat
97
Dengan pengolahan materi atas wandering of the semantic dari kehidupan masyarakat sekitar Manokwari, melalui analisa sosial dan
refleksi, kemudian mengakomodir potret dan peristiwa keseharian ke dalam dunia dan dinamika budaya mengkonsumsi pinang dengan segala kebiasaan
yang menyertainya, disajikanlah acara Obrolan Warung Pinang.
63
Sebuah program tempat mendudukkan berbagai kejadian, persoalan, dan aspirasi
masyarakat yang kemudian dipancar luaskan
64
melalui program siaran RRI Manokwari secara terjadwal hingga saat ini.
Obrolan Warung Pinang disajikan dalam sebuah obrolan ringan, populer, santai, dengan bahasa pasaran dialek khas Papua, sehingga mudah
ditangkap dimengerti oleh khalayak umum. Oleh karena itu walau kontennya padat dan penuh daya makna konstruktif, acara ini gampang
dimengerti, diingat, dan selalu menjadi bahan refleksi dan introspeksi dalam perbincangan masyarakat.
Walau pun disampaikan secara humor dan santai, namun sangat menghibur dan bernilai edukatif
65
bagi seluruh lapisan masyarakat, dari pejabat negara, penyelenggara pemerintahan, politisi, businessman, atau pun
masyarakat publik pada umumnya.
63
Melibatkan 2 s.d. 3 orang selama 30 menit. Yemima Ice Manusaway:pengasuh, Philemon Patty Elwarin “Elco”, yang kadang juga menghadirkan penyiar lain dengan nama pilihan masing-masing
seperti “Mas Broer” dll.
64
Melalui kontak telpon dapat melakukan interaktif antara masyarakat pendengar dengan penyaji acara.
65
Istilah dalam Bahasa Jawa: “sembrana pari kena”.
98
Obrolan Warung Pinang
66
merupakan acara unggulan Stasiun RRI Manokwari, sekaligus merupakan “chanal inspirasi”
67
yang telah menjadi ruang tersendiri bagi segenap elemen masyarakat. Obrolan Warung Pinang
menjadi medium dan corong penyampai kebijakan birokrat, perasaan masyarakat, dan pikiran masyarakat publik.
Terjembataninya antara kebijakan publik pemerintah dengan aspirasi masyarakat melalui acara tersebut, memungkinkan terjadinya interaksi
timbal balik untuk saling menyampaikan pesan message, guna membangun suatu peri kehidupan publik agar semakin membaik dari pada waktu-waktu
sebelumnya. Acara Obrolan Warung Pinang berkonten sangat populis, menyentuh
realitas sosial, interaktif, konstruktif, dan mampu menyentil bdk. Acara Sentilan Sentilun dalam program siaran Stasiun Televisi Swasta MetrotTV
semua pihak yang peduli maupun tidak peduli dengan kebutuan dan keadaan masyarakat. Konten acara ini mengobrolkan tentang keadaan struktur dan
infrastruktur publik, seperti jalan raya, pasar, lampu lalu lintas jalan raya, selokan, sampah, kesemrawutan tata kota, perilaku pejabat publik,
gangguan keamanan ketertiban masyarakat kamtibmas, demontrasiunjuk rasa, ketidakadilan, serta hal-hal lain yang bersinggungan dengan
kepentingan bersama warga masyarakat Kota Manokwari dan sekitarnya.
66
Sumber : Kabupaten Manokwari dalam Angka 2014. BPS Kab. Manokwari. hlm. 88-89.
67
canal channel
99
Gambar 19. Obrolan Warung Pinang menjadi Acara Unggulan, sebagai Chanal Inspirasi di RRI Manokwari
68
Mengkonsumsi pinang secara bersama-sama, dibarengi dengan obrolan, mop-mop, serta adanya acara Obrolan Warung Pinang pada Stasiun
RRI Manokwari berdaya konstruktif yang dapat memunculkan wacana serta membangkitkan imaji yang akan menggerakkan dinamika sosial pada ruang
publik Kota Manokwari di Papua Barat.
68
Dokumen pribadi penulis.
100 3. Keberbedaan Idealisme dan Citra Kota Modern
Image dunia
publik tentang suatu
kota modern sebagaimana direpresentasikan dalam Wide Shot Top Five versi METROTV 05112015
yang menghadirkan potret 5 lima kota mancanegara; Calgary Kanada, Minneapolis Minnesota USA, Kobe Osaka Kyoto di Jepang, Wellington
New Zelland, dan Singapura yang memiliki suasana nyaman, indah, rapi, serta terkelolanya sampah dengan baik; akan menjadi begitu jauh berbeda
dengan realita Kota Manokwari dengan tertumpuknya sampah di berbagai sudut ruang, kesengkarutan arus lalu lintas,
serta belum tertatanya infrastruktur yang disertai akibat-akibat yang ditimbulkannya. Keadaan ini
membuat warga masyarakat menjadi tidak dalam situasi yang nyaman. Realitas ini menjadi sebuah persimpangan di antara cara pandang dan
orientasi subyek-subyek yang terlibat dalam ruang publiknya. Hamburan limbah konsumsi pinang menjadi indikasi keadaan yang
kotor, jorok, tidak sehat; terhubungkan pada sisi kontra produktif dengan upaya menciptakan kondisi dan situasi kota yang bersih dan rapi. Limbah
sisa aktivitas mengkonsumsi pinang
membangunkan imaji negatif,
menjadikan ruang publik kotor, memperkeruh suasana
hati serta
memperburuk pemandangan lingkungan ruang publik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Gambar 20. Dinding sebuah bangunan unit bank pelayanan di Pasar Sanggeng. Pemandangan biasa di Kota Manokwari, dari buangan ludah merah saat mengkonsumsi pinang
69
Kultur dan gaya hidup masyarakat tersebut menyisakan akibat yang merisaukan, karena keadaan tersebut membangunkan wacana dari
keberbedaan imaji tentang kota yang ideal versus realitas publik yang ada. Dituturkan oleh Ong King Sioe 53, pemilik CV. SSM di Manokwari:
“… kalau itu saya kira sudah tradisi turun temurun ... maksudnya itu sudah turun temurun dari orang tua
sampai sekarang, dimana anak-anak muda pun sudah mengkonsumsi pinang sirih. Sebenarnya itu kotor
sekali, apalagi mereka makan sudah kunyah … buang sembarang, bahkan mereka sengaja, kita punya
dinding, pintu aja … pagi sudah penuh dengan semburan pinang. Buat-buatnya tengah malam.
Maunya ruang publik kota Manokwari bisa bersih namun keadaan begitu masih susah. …dibanding
69
Dokumen pribadi penulis.
102
dengan Singapura
seperti bumi
dan langit
perbedaanya. Di sana nyamuk saja tidak ada”.
70
Begitu pula seorang pelancong yang berasal dari Jawa, Handoko Widagdo
71
yang sempat mengunjungi Manokwari. Dalam bloggernya ia
menuliskan pengalamannya; “Upaya untuk meningkatkan kebersihan tertuang
dalam plakat-plakat kecil bertuliskan “Dilarang Meludah Pinang Di Tempat ini”. Plakat
-plakat kecil tersebut bisa kita temukan di dinding depan restoran,
hotel, bank, pertokoan dan bangunan-bangunan pemerintah. Masyarakat Manokwari memang masih
memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Warna bibir yang merah dan beberapa noktah hitam di
giginya membuat senyum laki-laki Manokwari menjadi seksi. Namun ludah pinang menjadi
persoalan kebersihan yang harus ditangani.” Latar belakang pemikiran dan konsep modernitas pada diri seorang
Handoko membuat suatu komparasi dalam kaitan dengan keadaan ruang publik di Manokwari. Ia mengidealiskan ruang publik seperti yang ia
pikirkan; ‘berharap tidak adanya keadaan kotor’; Masyarakat Manokwari memang masih memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Tanpa ada
70
Sumber: Wawancara 18 September 2015.
71
Sumber: BALTYRA.com. Kota Manokwari dan Ransiki. 20 Februari 2015. Pelancong ke berbagai penjuru dunia, berasal dari Purwodadi dan tinggal di Solo Jawa Tengah. Bekerja pada lembaga
pemerhati pendidikan. 6 Nopember 2015.
103
dalam pikirannya bahwa keadaan tersebut merupakan bagian imbas dari kultur masyarakat setempat. Ia berpandangan bahwa kebiasaan tersebut
seharusnya tidak ada lagi di masa sekarang. Kultur masyarakat ini juga menimbulkan kerisauan banyak pihak,
sebab kebiasaan ini dalam sisi modernitas mendapatkan penilaian sebagai kebiasaan jorok, serta kontra produktif dengan lifestyle di era modern ini.
Maka budaya keseharian masyarakat Papua yang telah berlangsung secara turun-temurun ini justru dianggap menjadi biang masalah kambing hitam
dalam progresivitas modern. Konsep tentang ruang publik modern, menjadi begitu berbeda
berseberangan dengan keadaan dan cara pandang dari sisi konsumer
pinang yang tak ingin ‘dicabut’ dari kultur keseharian hidup mereka. Seorang Imelda Nimbafu 41 menuturkan bahwa; “makan pinang
merupakan suatu tradisi masyarakat untuk pergaulan, sehingga biasa dinikmati dalam suasana beramai-ramai. Kotor tidaknya pemandangan
sangat bergantung dari kesadaran yang makan saja. Makan pinang harus tahu tempatnya dan jangan asal semprot sembarang di dinding.” Secara
lebih khusus ia berpendapat beda dan berlawanan dengan imaji publik; “Banyaknya larangan mengkonsumsi pinang di berbagai tempat memang
sangat mengecewakan, mereka tidak senang karena bukan kebiasaannya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
saja. Soalnya pohon pinang di sini kecuali banyak di hutan juga banyak ditanam di pekarangan rumah-rumah.”
72
Gambar 21. Hadi Departement Store dan Swiss-Belhotel Jalan Yos Sudarso Manokwari di siang hari.
73
Memperhatikan beragam pendapat di atas menjadi petunjuk bahwa dalam ruang publik muncul serangkaian wacana sebagai representative
Offentlichkeit perepresentasianperwakilan
publik dan
literarische Offentlichkeit ruang publik dunia sastraliterer yang terkonstruksi dari
sekitar budaya mengkonsumsi pinang. Wacana tersebut berpotensi menjadi dinamisator aktivitas sosial, perekonomian, komunikasi, kebudayaan dan
terkait pula dengan dunia medis dalam kehidupan warga masyarakat di Kota Manokwari dan sekitarnya. Kebiasaan turun-temurun yang tetap eksis dalam
72
Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015.
73
Dokumen pribadi penulis.
105
kehidupan sehari-hari tersebut menjadi ciri, identitas, dan sebuah karakter sosial yang khas dalam masyarakat setempat hingga saat ini.
Sajian kakes berupa pinang yang disertai sirih dan kapur menjadi cemilan lokalitas kultur dan perangkat piranti utama dalam pertemuan-
pertemuan formal adat budaya atau pun informal dalam keseharian masyarakat Papua. Sajian ini selalu setia mengiringi pembicaraanobrolan
bersama. Karena efek stimulantnya dapat memacu gairah psikologis si konsumer, sehingga seseorang akan semakin bertambah rasa percaya diri,
sehingga membangkitkan gairah berkomunikasi dengan teman-temannya. Pikiran, permasalahan, cita-cita serta idealitas yang mengendap di alam
bawah alam sadar unconscious akan membual liquefy, terungkap dan terbahasa-lisankan dalam obrolan bersama.
106