Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik

131 ruang-ruang negosiasi dalam upaya untuk mendapatkan memperoleh nilai- nilai etika, kesenanganpemuasan atau pun penemuan baru inovasi pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik pada ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek rezim penentu memainkan strategi dalam konfigurasi struktur legal. Dengan strategi yang tepat otoritas-otoritas apparatus pemerintahan, birokrat, agen-agen kapital modal penanam modal dan pengusaha, pedagang-pedagang kelas menengah ke atas, serta otoritas lain dimungkinkan akan mampu menghegemoni publik secara lebih luas dan dengan sesegera mungkin memperoleh pemenuhan tujuannya. Operasional taktik dilakukan oleh subyek di luar rezim penentu atau berada di dalam wilayah otoritas asing. Taktik dipahami sebagai siasat yang harus memperhitungkan posisinya dengan tepat, karena akan selalu berhadapan vis-à-vis dengan strategi yang otoritasnya terstruktur, legaln dan dapat diklarifikasi kesejarahannya. Dengan kata lain taktik adalah siasat untuk menghadapi strategi yang dipakai oleh otoritas asing untuk mendapatkan kemenangan keberhasilan. Keduanya beroperasi dalam satu ruang, namun berbeda operasionalnya. Posisi ini dapat melekat seterusnya atau pun sebaliknya, namun keduanya tetap akan berpotensi dan berperan sebagai subyek aktor-aktor, faktor pembentuk serta pengendali keadaan ruang publik kota Manokwari yang berkelanjutan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 132 Antara warga masyarakat asli Papua dengan warga pendatang dari luar Papua mempunyai relasi yang bersifat eksterioritas, keduanya saling berhadapan atau bercampur dalam satu ruang publik Kota Manokwari, namun masing-masing tetap berasumsi bahwa yang dihadapi adalah obyek target sekaligus ancaman. Selain dari subyek diri, the other akan selalu merupakan pesaing, pelanggan, atau bahkan musuh yang sedang bersama- sama dalam satu arena tanding the counter public sphere. Akumulasi masalah dan konflik-konflik tersebut sering bermuara dalam gerakan-gerakan masyarakat Papua; seperti demonstrasi menuntut kemerdekaan bangsa Papua, yang dalam perspeksi hukum dikategorikan sebagai tindak makar terhadap pemerintahan yang sah, sehingga mereka harus berhadapan dengan alat-alat negara yang merupakan ideological state apparatus; inteljen, satuan polisi pamong praja, polisi anti huru hara, atau pun angkatan bersenjata lainnya. 2 Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik Meminjam istilah ruang publik yang dipakai Jurgen Habermas, kegiatan kultur mengkonsumsi pinang merupakan perepresentasian perwakilan publik representative offentlichkeit yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat di Papua. Melalui kebiasaan tersebut akan membuka cara orang berpikir, lebih gampang membahasakan isi pikiran seseorang sehingga dapat berpanjang lebar nerocos berbicara dari hal-hal 133 yang serius sampai dengan cerita ringan dan lucu. Mengkonsumsi pinang menjadi sebuah perepresentasian kelompok masyarakat kategori kultur yang berada dalam suatu wilayah ruang publik. Maka sentiment ketidaksenangan serta kebijakan publik yang melarang mengkonsumsi pinang pada sembarang tempat menjadi sebuah pembatasan terhadap sebuah kultur warga budaya, berakibat pada tidak leluasanya para penginang untuk kumpul-kumpul bareng ngobrol seraya berefleksi dan membagi pengalaman kehidupan individu mau pun sosialnya. Penginang terbatasi dan terdesak oleh dominasi publik yang mengatasnamakan upaya- upaya untuk mewujudnyatakan kota modern yang bersih, rapi dan elegant. Walaupun upaya tersebut selalu mendapatkan perlawanan dan ketidakpedulian dari masyarakat pengkonsumsi pinang yang tetap saja tidak menghiraukan kebijakan publik yang berupa larangan membuang limbah dan ludah pinang di beberapa ‘tempat modern’ yang ada plat-plat peringatan dimaksud. Stigmatisasi jorok, tidak bernilai, terbelakang, tidak modern, dan berbagai penilaian negatif, merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap realitas publik dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Berhamburnya ludah pinang di berbagai tempat; pada tembok-tembok rumah, toko, perkantoran, bandara, sekolah, jalan raya serta tempat-tempat publik lainnya semakin meyakinkan meyakinkan stigmatisasi yang diberikan sebagai suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 134 kebiasaan yang dinilai tidak sesuai dengan idealism modernitas dan tuntutan sebuah ruang publik yang berkelanjutan. Sikap kontra opini terhadap fenomena mengkonsumsi pinang terungkap dari sebagian masyarakat pendatang serta orang-orang yang telah mempunyai konsep modern tentang sebuah kota, mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut merupakan kebiasaan yang berdampak buruk, budaya terbelakang, jorok dan tidak elegant untuk sebuah kota di jaman modern dewasa ini. Penilaian ini semakin diyakinkan dengan banyaknya tanda larangan mengkonsumsi pinang yang dibuat oleh pihak pemerintah melalui kebijakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD atau pun unit-unit kerja, sebagai perpanjangan ideological state apparatus ISA, pemerintah. Tuntutan-tuntutan masyarakat publik yang dipengaruhi oleh konsep- konsep modernitas memunculkan penilaian negatif tentang masyarakat Papua yang masih terbelakang, terasing, dan tertinggal jika dibanding dengan wilayah Indonesia lainnya. Penilaian-penilaian dan stigmatisasi tentang keadaan masyarakat Papua yang “seperti itu”, akan laku dijadikan alasan untuk mengeksploitasi proyek-proyek struktur dan infrastruktur. Tuntutan-tuntutan keadaan tersebut diproyeksikan dalam berbagai rencana program pembangunan yang bersinergis dengan otoritas-otoritas konglomerasi dari luar Papua yang kurang tidak paham dengan realitas kultur masyarakat Papua secara komprehensif. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135 Pertemuan ragam cara pandang, kepentingan, serta penilaian terhadap kultur lokal budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari atau pun masyarakat Papua pada umumnya, menumbuhkan “embrio pertarungan” pada ruang publik. Perbedaan konsep dan persepsi tentang sebuah ruang publik di antara ideological state apparatus ISA yang sarat ide-ide modernitas dengan warga masyarakat budaya mengkonsumsi pinang, menimbulkan sebuah permasalahan pragmatis ideologis dalam keseharian hidup masyarakat. Produk regulasi sebagai kebijakan otoritas publik yang hanya menitikberatkan penyeragaman uniformitas dan tanpa mampu mengakomodir kepentingan kultur masyarakat, membuktikan adanya ketidak berpihakan dalam obyektivitas kebijakan publik. Oleh karenanya, keadaan yang diakibatkan oleh kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi dari rezim penentu dan pemegang otoritas kekuasaan publik tersebut, direspons oleh masyarakat kultur dengan beragam bentuk perlawanan. Bentuk-bentuk ekspresi perlawanan pada ruang publik terwujud dalam perilaku-perilaku yang biasa-biasa saja hingga luar biasa; seperti meludahkan pinang di sembarang tempat, mencoret-coret tembok atau jalan raya vandalistic, tindak pidana criminal umum, tindakan anarkis, sampai dengan demonstrasi-demonstrasi di lapangan yang selalu ada yang membawa serta menikmati pinang dengan kapur sirihnya. 136 Perlawanan-perlawanan dalam ruang publik tersebut juga merupakan taktik untuk memperoleh kembali ruang assosiasi bebasnya, sehingga ‘masyarakat pengkonsumsi pinang’ bisa merasakan ruang publik ‘kampung’nya sebagai forum bersama, ruang demokrasi tempat orang merefleksikan dan mengolah pengalaman hidup mereka kembali. Dari catatan Giard dalam kaitannya dengan ruang publik, Certeau mengisyaratkan adanya sebuah kondisi ruang yang tepat untuk dapat digunakan oleh masyarakat publik untuk melakukan aktivitas-aktivitas publiknya: “… that places in cities be set aside for speech making, that festivalsof orality and writing be created, that questions be opened to competitionfor the production of texts or cassette recordings, that the circulation of recordings as a means of social exchange be developed, and so on. Similarly, the collection and archiving of oral patrimony should be stimulated, by associating with it what pertains to gestures and techniques of the body. CS: 139 with Giard.” 30 Dalam konteks Indonesia, idealisme de Certeau tersebut terbahasakan pula oleh seorang Remy Riverno. Kepeduliannya terhadap dibutuhkannya suatu ruang publik bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, mengajak para punggawa pemerintah-pemerintah di wilayah Nusantara untuk mencontoh yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil untuk Kota Bandung dan Tri 30 Ibid. hal.161. 137 Rismaharini untuk Kota Surabaya, Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. Ia menandaskan perlunya ruang publik untuk kepentingan bersama sebagai upaya untuk membangkitkan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat secara berkelanjutan: “Berbagai sumber daya hanya dapat terwujud apabila antar manusia ada hubungan emosional dan merasa punya kepentingan bersama. Semua itu hanya dapat terjalin ketika kita sering bercengkrama di ruang publik. Penyediaan ruang publik yang memadai secara kuantitas dan kualitas akan mampu menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu tempat orang bekerjasama untuk membuat sesuatu demi kepentingan bersama yang lebih berkelanjutan”. 31 Hal ini tentunya menjadi begitu berbeda dengan proyek-proyek infrastruktur publik yang dihadirkan dari sebuah kebijakan aparatus pemerintah yang berkorporasi dengan konglomerasi seperti pasar, taman- taman kota, tempat parkir, perkantoran, ruang tunggu terminal Bandar Udara atau pun Pelabuhan Laut yang lebih bermuatan politik ekonomi mementingkan profit, namun tak mampu belum mengakomodir tuntutan kebutuhan ruang publik bagi masyarakat kultural setempat. Dari keberbedaan cara pandang di antara pihak-pihak yang mengidealkan modernitas dengan realitas warga masyarakat kultur 31 www.kompasiana.com 30 Sept 2015.Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. 29 Nop 2015. 138 pengkonsumsi pinang, terindikasi adanya resistensi yang diakibatkan oleh asumsi-asumsi kontra produksi. Menjadi produktif ketika subyek-subyek yang terlibat mampu memanfaatkan kesempatan sehingga terjadi relasi simbiosis mutualisme, dimana satu sama lain saling mendapatkan keuntungan dan kemanfaatan. Begitu pula akan menjadi kontra produksi ketika aktivitas-aktivitas masyarakat tersebut dibaca sebagai relasi simbiosis parasitisme, dimana satu dengan lain tidak saling mendukung dan justru saling mengganggu. Masyarakat yang mempunyai konsep idealis tentang sebuah kota sebagai ruang publik modern akan merasa terganggu melihat kota dengan hamburan sampah limbah pinang. Ketidakberpihakan subyek-subyek pada situasi ini akan menstigmatisasi sebagai kebiasaan yang mengganggu ketertiban umum, mempengaruhi tingkat keberuntungan dan kemanfaatan bagi mereka. Kultur setempat dianggap tidak menguntungkan untuk upaya menciptakan atmosfer kota yang bisa mendatangkan keuntungan finansial atau pun meraih ambisi penghargaan yang bergengsi, semisal adipura. Dari uraian di atas memberi alasan bahwa di balik adanya pengingkaran terhadap keadaan sekitar kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat di sekitaran Kota Manokwari, terdapat kekuatan power di luar rezim penentu otoritas dominan yang justru berpotensi dan mampu berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuatan membentuk ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek hadir mentransplantasi, membawa pergi retoris PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139 dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan arus urbanisme hadir wandering of the semantics yang terproduksi oleh massa. Pengenyampingan yang terungkap melalui opini, wacana, serta stigmatisasi terhadap kultur konsumsi pinang masyarakat setempat masuk dalam ranah operasional kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan publik dan hasil-hasil proyek infrastruktur pada ruang publik, menjadi tidak terlalu memiliki nilai guna bagi kepentingan dan kehidupan publik. 3 Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik Undang Undang No. 45 Tahun 1999, yang disusul dengan PP No 24 Tahun 2007 memantapkan status Propinsi Irian Jaya Barat Papua Parat dengan Ibu Kota di Manokwari. Proses pembangunan sumber daya manusia serta eksploitasi sumber daya alamnya merubah pemahaman, pengertian, pemanfaatan, dan pemaknaan ruang publik. 32 Laju perubahan struktur dan infrastruktur semakin pesat. Dapat dipastikan bahwa infrastruktur tersebut sangat berguna bagi masyarakat pada umumnya, namun belum tentu menjadi bermakna, tepat 32 Sebagai landasan dan referensi penulis mempergunakan 3 jenis pemahaman tentang ruang publik: Offentlichkeit bhs Jerman menurut Jurgen Habermas yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Thomas Burger; 1 politische Offentlichkeit ruang publik politikpolitis, 2 literarische Offentlichkeit ruang publik dunia sastraliterer, dan 3 representative Offentlichkeit perepresentasianperwakilan publik.Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Yudi Santoso. 2007. Ruang Publik. Sebuah kajian Tentang Masyarakat Borjuis.Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal. xi. 140 guna, tepat situasi dan terlebih karena tidak mampu memberi tempat mengakomodir kebutuhan bagi kehidupan kultur masyarakat setempat; maka ruang publik di dalam realitasnya terdapat warga yang berasosiasi korporasi dan kooperasi atau justru memisah-misahkan diri terpecah belah, sehingga kota sebagai ruang publik akan menyajikan berbagai peristiwa atas dasar ketidakstabilan, diisolasi, atau keterkaitan properti yang memiliki harga dan makna menurut cara berpikirnya masing-masing. Artinya bahwa masyarakat pengkonsumsi pinang sebagai bagian dari kehidupan publik yang tak terpisahkan ternyata masih perlu diakomodir eksistensi kulturnya, diperhatikan dan diberi tempat untuk asosiasi bebasnya. “The city,like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number of stable, isolatable, and interconnected properties.”Certeau.1984:94. 33 Maka kota sebagai ruang publik tanding menjadi dalam situasi tegang yang disebabkan oleh adanya beragam dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Mereka berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas dengan beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat. Namun hal ini justru memberi batas-batas yang 33 Ibid. hal. 94. 141 mempersepit ruang gerak asosiasi bebas yang dimiliki masing-masing subyek terdampak. Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan the counter public sphere, tidak berhenti dengan strategi dan taktik masing-masing pihak dengan keberhasilan kemenangan yang telah dicapai. Mencapai keberhasilan lebih mudah dari pada mempertahankan hasil yang telah dicapai, karena dalam proses selanjutnya sangat mungkin terjadi alih posisi penjungkirbalikan kontestan pemegang dominasi rezim penentu. Pemakai strategi sebagai penguasa otoritas sangat mungkin harus “terbalik posisi”nya dan mendapatkan kekalahan sehingga mungkin harus berganti menerapkan taktik. Mobilitas sosial dan aktivitas keseharian masyarakat menjadi salah satu saluran dan arena kontestasi strategi dan taktik dalam memperjuangkan keinginan ego dan idealisme modernitas. Beragam bentuk relasi, motivasi dan tujuan yang ada dalam diri warga masyarakat yang terlibat dalam proses perkembangan dan pembentukan ruang publik, akan mengakibatkan munculnya ragam permasalahan sosial dalam kehidupan pribadi dan sosial warga masyarakat. Pemerintah bersama badan usaha, konglomerasi pribadi, kelompok, atau pun jaringan global lainnya dengan bermacam-macam desain by design menjalin relasi konspiratif untuk memanfaatkan investasi 142 modalnya beriringan dengan program-program pembangunan dalam rangka kepentingan publik, sekaligus tujuan ekonomis profit. Aktivitas mengkonsumsi pinang adalah bagian dari aktivitas warga kultur masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya, namun karena berkonstelasi dengan aktivitas keseharian masyarakat pendatang imigran pada ruang publik Kota Manokwari, maka tidak dapat lepas dengan beragam penilaian-penilaian stigmatisasi dari liyan the other yang hadir di sekitar kebiasaan tersebut. Perilaku keseharian mengkonsumsi pinang sebagai suatu aktivitas dalam kategori kultur, yang sekaligus telah lekat – tak terpisahkan – dalam keseharian hidup warga masyarakat di Papua pada umumnya, mampu menggerakkan dinamika konstelasi dalam ruang publik dan mewujud dalam gerakan yang bersifat frontal serta merepresif sisi psikososial masyarakat. Tindakan-tindakan kelompok masyarakat yang bersifat frontal; seperti unjuk rasa, pemalangan, pemalakan, mengabaikan ketertiban umum, demonstrasi, dan ketidakpedulian terhadap regulasi-regulasi serta nilai-nilai etika sosial dalam kehidupan bersama; aktivitas masyarakat yang destruktif dan vandalistis menjadi sebuah kekuatan seimbang balance antara strategi dan taktik dalam masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143 Kebiasaan mengkonsumsi pinang yang sekaligus menjadi ruang berbicara ketiga kedai-kedai kopi ala Papua dalam masyarakat di Kota Manokwari adalah merupakan praktek kultur masyarakat yang dipandang asing atau pun eksotis bagi para migran pendatang yang belum memahami fungsi dan maknanya dengan benar. Oleh karena itu sudah seharusnya dapat diakomodir dalam ruang publik kota. Aktivitas kultur warga tersebut merupakan bentuk operasi khusus yang mampu memberi pengalaman mistis ruang dari another spatiality”, dan justru bukan dinilai sebagai sebuah karakteristik yang buram dan gelap dalam mobilitas suatu kota. Semakin banyak orang mengkonsumsi pinang dengan tebaran limbah pinang sebagai pemandangan kota adalah merupakan bukti bahwa strategi dari otoritas dominan sebagai rezim penentu tidak selalu ‘menentukan’ 34 keadaan ruang publikte. Certeau menegaskan: “By contrast with a strategy whose successive shapes introduce a certain play into this formal … a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus.. The space of a tactic is the space of the other.” 35 Akan tetapi sebaliknya 34 Bdk. Sebuah penelitian tentang permasalahan ruang publik Lapangan Cikapundung Bandung Jawa Barat yang dilakukan oleh RR. Dhian Damajani berkesimpulan bahwa; di balik tampilan fisik yang tak beraturan dan tak terkontrol, keseharian para pedagang di ruang publik ternyata berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuasaan dalam mengatur berbagai aspek guna menjamin kesinambungankeberlanjutannya. Namun pada sisi lain kondisi tersebut menunjukkan lemahnya peran State Negara dalam mengelola sistem-sistem perkotaan, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Akibatnya, peran tersebut “diisi” oleh “lembaga-lembaga” non formal. Sumber: Jurnal Institut Teknologi Bandung ITB. Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3, 2007. Hal. 345. 35 Ibid. hal.36-37. 144 taktik yang terlahir ditentukan oleh lokus ruang lain asing dan berada di bawah otoritas pemakai strategi, tetap mempunyai kekuatan yang mempengaruhi pembentukan wujud, karakter, serta identitas ruang publik. Memang taktik bermain pada arena organisasi management kekuatan asing yang dominan, taktik terlahir ditentukan dalam ketiadaan tanpa kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat 36 kekuasaan; “In short, a tactic is an art of the weak.”Certeau:1984:36-37. Namun demikian taktik tetap memiliki kekuatan tersimpan serta berkesempatan menang dan isa berganti menerapkan strategi, sehingga bisa menjungkirbalikkan posisi otoritas dominan yang berkuasa.

4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik Berkelanjutan

Menurut Certeau, sebuah kota adalah merupakan relief monumental dari paroxysmal places yang terbentuk melalui pertarungan-pertarungan yang keras hebat: “A city composed of paroxysmal places in monumental reliefs”Certeau.1984:91. Membangun sebuah kota selalu melalui proses membentuk, dengan dinamika tekanan dan tantangan karena beragam keberbedaan konsep serta operasionalitas yang terjadi pada geometris suatu ruang publik. 36 Postulat: asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma. 145 Dari catatan kasus-kasus yang sampai ke pengadilan pada 5 tahun terakhir ini; korupsi, penganiayaan, dan pencurian yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan sosial masyarakat menjadi tantangan dan bagian terkait dalam proses membangun ruang publik kota yang baru dan lebih mapan, sebuah kota harapan dengan semangat roh yang baru; “he ended by hoping for a ’nouveau monde de lEsprit, 37 sebagaimana idealisme de Certeau untuk sebuah kota di masa yang akan datang. Giard sebagai seorang yang dekat 38 dengan Michel de Certeau menjelaskan tentang perhatian Certeau terhadap kemungkinan adanya ruang- ruang lain yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh publik, namun kemudian diperhitungkan sebagai ruang yang terbatas. Certeau mempunyai idealisme untuk hadir dan dibangunnya kota sebagai ruang publik yang komunikatif, dimana liyan other dan heterogenitas publik dapat diakomodir, sehingga dapat bertumbuh-kembangnya festival mendongeng dan karya tulis, kompetisi perdebatan yang diarsipkan, pendistribusian dokumen-dokumen sebagai sarana pengembangan komunikasi masyarakat, pengumpulan dan pengarsipan tradisi lisan, serta berkaitan dengan tari-tarian dan pengembangan seni gerak tubuh, sebagaimana Certeau pikirkan. 37 Peter Burke. 2002. The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Journal of Social and Political Theory, No. 100, History, Justice and Modernization. Hal.30. 38 Semacam sekretaris pribadi Michel de Certeau. 146 Dalam sudut pandangnya sebagai seorang sosialog, Michel de Certeau sangat memperhatikan dan peduli terhadap posisi migran yang selalu akan menjadi bagian dari dinamika warga setempat. Ia mengajak untuk selalu mau berpikiran positif positif thinking dan bersikap terbuka terhadap kehadirannya. Menurut Highmore dalam kaitan dengan masyarakat imigran, Certeau berpendapat bahwa mereka merupakan agen istimewa dalam kehidupan budaya: “menerima kehadiran imigran sebenarnya merupakan sikap terbuka dalam membentuk ruang bebas, sehingga mereka dapat mengungkapkan serta menghayati budaya mereka untuk dapat ditampilkan atau pun sebagai pengetahuan yang bisa ditawarkan kepada orang lain.” bdk. Highmore. 2006:168 39 Namun demikian, kehadiran liyan dalam relasinya dengan masayarakat setempat merupakan proses kehidupan sosial yang tentunya akan mempunyai beragam konsekuensi. Proses tersebut tidak bisa dihindari secara mutlak, sehingga mau atau tidak mau akan tetap bersama dalam ragam perbedaan. Dalam posisi masing-masing akan menjadi unsur penting dalam membentuk ruang publik Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Karena keduanya memiliki potensi yang perlu diperhatikan dan diakomodir pada setiap proses pengambilan kebijakan dan keputusan dari sebuah regulasi pada tataran struktur dan otoritas pengambil kebijakan atau pun rezim penentu. 39 Ibid. hal.158. 147 Ruang publik menjadi perhatian penting bagi pihak otoritas pengambil kebijakan dalam kaitannya dengan perencanaan struktur dan bentuk kota; karena dalam setiap wilayah, negara, atau kota akan selalu dibutuhkan ruang publik dengan bentuk dan karakter berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan kultur warga masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan bentuk dan karakter suatu ruang publik agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan warga masyarakatnya, atas nama etika Michel de Certeau yang begitu peduli consent terhadap keadaan ruang publik, merasa bertanggung jawab kepada orang lain untuk mengartikulasikan beragam tuntutan etis masyarakat ke dalam suatu teks opini atau pun wacana agar dapat lebih jelas untuk dibaca dimengerti dan dipahami guna membantu perencanaan pembentukan sebuah kota sebagai ruang publik berkelanjutan. Dalam konteks pembentukan ruang publik Kota Manokwari, dengan pengartikulasikan berdasarkan konsep pemikiran dan perspeksi de Certeau sebagaimana diuraikan dalam buku The Practice of Everyday Life sub judul Walking in The City, 40 maka dapat diinterpretasikan melalui 3 tiga tingkatan operasional; Pada tingkatan pertama adalah memproduksi ruang dengan mengorganisasi kondisi fisik, mental serta politik secara kompromis: 40 Michel de Certeau.1984.The Practice of Everyday Life.University of California Press: Berkeley,hal.94.