Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik
131
ruang-ruang negosiasi dalam upaya untuk mendapatkan memperoleh nilai- nilai etika, kesenanganpemuasan atau pun penemuan baru inovasi pada
aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik pada ruang publik Kota Manokwari.
Subyek-subyek rezim penentu memainkan strategi dalam konfigurasi struktur legal. Dengan strategi yang tepat otoritas-otoritas apparatus
pemerintahan, birokrat, agen-agen kapital modal penanam modal dan pengusaha, pedagang-pedagang kelas menengah ke atas, serta otoritas lain
dimungkinkan akan mampu menghegemoni publik secara lebih luas dan dengan sesegera mungkin memperoleh pemenuhan tujuannya.
Operasional taktik dilakukan oleh subyek di luar rezim penentu atau berada di dalam wilayah otoritas asing. Taktik dipahami sebagai siasat yang
harus memperhitungkan posisinya dengan tepat, karena akan selalu berhadapan vis-à-vis dengan strategi yang otoritasnya terstruktur, legaln
dan dapat diklarifikasi kesejarahannya. Dengan kata lain taktik adalah siasat untuk menghadapi strategi yang dipakai oleh otoritas asing untuk
mendapatkan kemenangan keberhasilan. Keduanya beroperasi dalam satu ruang, namun berbeda operasionalnya. Posisi ini dapat melekat seterusnya
atau pun sebaliknya, namun keduanya tetap akan berpotensi dan berperan sebagai subyek aktor-aktor, faktor pembentuk serta pengendali keadaan
ruang publik kota Manokwari yang berkelanjutan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Antara warga masyarakat asli Papua dengan warga pendatang dari luar Papua mempunyai relasi yang bersifat eksterioritas, keduanya saling
berhadapan atau bercampur dalam satu ruang publik Kota Manokwari, namun masing-masing tetap berasumsi bahwa yang dihadapi adalah obyek
target sekaligus ancaman. Selain dari subyek diri, the other akan selalu merupakan pesaing, pelanggan, atau bahkan musuh yang sedang bersama-
sama dalam satu arena tanding the counter public sphere. Akumulasi masalah dan konflik-konflik tersebut sering bermuara dalam
gerakan-gerakan masyarakat
Papua; seperti demonstrasi menuntut
kemerdekaan bangsa Papua, yang dalam perspeksi hukum dikategorikan sebagai tindak makar terhadap pemerintahan yang sah, sehingga mereka
harus berhadapan dengan alat-alat negara yang merupakan ideological state apparatus; inteljen, satuan polisi pamong praja, polisi anti huru hara, atau
pun angkatan bersenjata lainnya.
2 Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik
Meminjam istilah ruang publik yang dipakai Jurgen Habermas, kegiatan
kultur mengkonsumsi pinang
merupakan perepresentasian
perwakilan publik representative offentlichkeit yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat di Papua. Melalui kebiasaan tersebut akan
membuka cara orang berpikir, lebih gampang membahasakan isi pikiran seseorang sehingga dapat berpanjang lebar nerocos berbicara dari hal-hal
133
yang serius sampai dengan cerita ringan dan lucu. Mengkonsumsi pinang menjadi sebuah perepresentasian kelompok masyarakat kategori kultur yang
berada dalam suatu wilayah ruang publik. Maka sentiment ketidaksenangan serta kebijakan publik yang melarang
mengkonsumsi pinang pada sembarang tempat menjadi sebuah pembatasan terhadap sebuah kultur warga budaya, berakibat pada tidak leluasanya para
penginang untuk kumpul-kumpul bareng ngobrol seraya berefleksi dan membagi pengalaman kehidupan individu mau pun sosialnya. Penginang
terbatasi dan terdesak oleh dominasi publik yang mengatasnamakan upaya- upaya untuk mewujudnyatakan kota modern yang bersih, rapi dan elegant.
Walaupun upaya
tersebut selalu
mendapatkan perlawanan
dan ketidakpedulian dari masyarakat pengkonsumsi pinang yang tetap saja tidak
menghiraukan kebijakan publik yang berupa larangan membuang limbah dan ludah pinang di beberapa ‘tempat modern’ yang ada plat-plat peringatan
dimaksud. Stigmatisasi jorok, tidak bernilai, terbelakang, tidak modern, dan
berbagai penilaian negatif, merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap realitas publik dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Berhamburnya
ludah pinang di berbagai tempat; pada tembok-tembok rumah, toko, perkantoran, bandara, sekolah, jalan raya serta tempat-tempat publik lainnya
semakin meyakinkan meyakinkan stigmatisasi yang diberikan sebagai suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
kebiasaan yang dinilai tidak sesuai dengan idealism modernitas dan tuntutan sebuah ruang publik yang berkelanjutan.
Sikap kontra opini terhadap fenomena mengkonsumsi pinang terungkap dari sebagian masyarakat pendatang serta orang-orang yang telah
mempunyai konsep modern tentang sebuah kota, mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut merupakan kebiasaan yang berdampak buruk,
budaya terbelakang, jorok dan tidak elegant untuk sebuah kota di jaman modern dewasa ini.
Penilaian ini semakin diyakinkan dengan banyaknya tanda larangan mengkonsumsi pinang yang dibuat oleh pihak pemerintah melalui kebijakan
Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD atau pun unit-unit kerja, sebagai perpanjangan ideological state apparatus ISA, pemerintah.
Tuntutan-tuntutan masyarakat publik yang dipengaruhi oleh konsep- konsep modernitas memunculkan penilaian negatif tentang masyarakat
Papua yang masih terbelakang, terasing, dan tertinggal jika dibanding dengan wilayah Indonesia lainnya. Penilaian-penilaian dan stigmatisasi
tentang keadaan masyarakat Papua yang “seperti itu”, akan laku dijadikan alasan untuk mengeksploitasi proyek-proyek struktur dan infrastruktur.
Tuntutan-tuntutan keadaan tersebut diproyeksikan dalam berbagai rencana program
pembangunan yang
bersinergis dengan
otoritas-otoritas konglomerasi dari luar Papua yang kurang tidak paham dengan realitas
kultur masyarakat Papua secara komprehensif. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Pertemuan ragam cara pandang, kepentingan, serta penilaian terhadap kultur lokal budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari
atau pun masyarakat Papua pada umumnya, menumbuhkan “embrio pertarungan” pada ruang publik.
Perbedaan konsep dan persepsi tentang sebuah ruang publik di antara ideological state apparatus ISA yang sarat ide-ide modernitas dengan
warga masyarakat budaya mengkonsumsi pinang, menimbulkan sebuah permasalahan pragmatis ideologis dalam keseharian hidup masyarakat.
Produk regulasi sebagai kebijakan otoritas
publik yang hanya
menitikberatkan penyeragaman
uniformitas dan
tanpa mampu
mengakomodir kepentingan kultur masyarakat, membuktikan adanya ketidak berpihakan dalam obyektivitas kebijakan publik. Oleh karenanya, keadaan
yang diakibatkan oleh kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi dari rezim penentu dan pemegang otoritas kekuasaan publik tersebut, direspons
oleh masyarakat kultur dengan beragam bentuk perlawanan. Bentuk-bentuk ekspresi perlawanan pada ruang publik terwujud dalam
perilaku-perilaku yang
biasa-biasa saja hingga luar biasa; seperti
meludahkan pinang di sembarang tempat, mencoret-coret tembok atau jalan raya vandalistic, tindak pidana criminal umum, tindakan anarkis, sampai
dengan demonstrasi-demonstrasi di lapangan yang selalu ada yang membawa serta menikmati pinang dengan kapur sirihnya.
136
Perlawanan-perlawanan dalam ruang publik tersebut juga merupakan taktik untuk memperoleh kembali ruang assosiasi bebasnya, sehingga
‘masyarakat pengkonsumsi
pinang’ bisa merasakan
ruang publik ‘kampung’nya sebagai forum bersama, ruang demokrasi tempat orang
merefleksikan dan mengolah pengalaman hidup mereka kembali. Dari catatan Giard dalam kaitannya dengan ruang publik, Certeau
mengisyaratkan adanya sebuah kondisi ruang yang tepat untuk dapat digunakan oleh masyarakat publik untuk melakukan aktivitas-aktivitas
publiknya: “…
that places in cities be set aside for speech making, that festivalsof orality and writing be created, that questions be
opened to competitionfor the production of texts or cassette recordings, that the circulation of recordings as a means of
social exchange be developed, and so on. Similarly, the collection and archiving of oral patrimony should be
stimulated, by associating with it what pertains to gestures and techniques of the body. CS: 139 with Giard.”
30
Dalam konteks Indonesia, idealisme de Certeau tersebut terbahasakan pula oleh seorang Remy Riverno. Kepeduliannya terhadap dibutuhkannya
suatu ruang publik bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, mengajak para punggawa pemerintah-pemerintah di wilayah Nusantara untuk mencontoh
yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil untuk Kota Bandung dan Tri
30
Ibid. hal.161.
137
Rismaharini untuk Kota Surabaya, Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. Ia menandaskan perlunya
ruang publik untuk kepentingan bersama sebagai upaya untuk membangkitkan potensi-potensi yang
ada dalam masyarakat secara
berkelanjutan: “Berbagai sumber daya hanya dapat terwujud apabila
antar manusia ada hubungan emosional dan merasa punya kepentingan bersama. Semua itu hanya dapat
terjalin ketika kita sering bercengkrama di ruang publik. Penyediaan ruang publik yang memadai secara kuantitas
dan kualitas akan mampu menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu tempat orang bekerjasama untuk
membuat sesuatu demi kepentingan bersama yang lebih berkelanjutan”.
31
Hal ini tentunya menjadi begitu berbeda dengan proyek-proyek infrastruktur publik yang dihadirkan dari sebuah kebijakan aparatus
pemerintah yang berkorporasi dengan konglomerasi seperti pasar, taman- taman kota, tempat parkir, perkantoran, ruang tunggu terminal Bandar Udara
atau pun Pelabuhan Laut yang lebih bermuatan politik ekonomi mementingkan profit, namun tak mampu belum mengakomodir tuntutan
kebutuhan ruang publik bagi masyarakat kultural setempat. Dari keberbedaan cara pandang
di antara pihak-pihak yang
mengidealkan modernitas dengan realitas warga masyarakat
kultur
31
www.kompasiana.com 30 Sept 2015.Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. 29 Nop 2015.
138
pengkonsumsi pinang, terindikasi adanya resistensi yang diakibatkan oleh asumsi-asumsi kontra produksi. Menjadi produktif ketika subyek-subyek
yang terlibat mampu memanfaatkan kesempatan sehingga terjadi relasi simbiosis mutualisme,
dimana satu sama lain saling
mendapatkan keuntungan dan kemanfaatan. Begitu pula akan menjadi kontra produksi
ketika aktivitas-aktivitas masyarakat tersebut dibaca sebagai relasi simbiosis parasitisme, dimana satu dengan lain tidak saling mendukung dan justru
saling mengganggu. Masyarakat yang mempunyai konsep idealis tentang sebuah kota sebagai
ruang publik modern akan merasa terganggu melihat kota dengan hamburan sampah limbah pinang. Ketidakberpihakan subyek-subyek pada situasi ini
akan menstigmatisasi sebagai kebiasaan yang mengganggu ketertiban umum, mempengaruhi tingkat keberuntungan dan kemanfaatan bagi mereka.
Kultur setempat dianggap tidak menguntungkan untuk upaya menciptakan atmosfer kota yang bisa mendatangkan keuntungan finansial atau pun
meraih ambisi penghargaan yang bergengsi, semisal adipura. Dari uraian di atas memberi alasan bahwa di balik adanya pengingkaran
terhadap keadaan sekitar kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat di sekitaran Kota Manokwari, terdapat kekuatan power di luar rezim penentu
otoritas dominan yang justru berpotensi dan mampu berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuatan membentuk ruang publik Kota
Manokwari. Subyek-subyek hadir mentransplantasi, membawa pergi retoris PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan arus urbanisme hadir wandering of the semantics yang terproduksi oleh massa.
Pengenyampingan yang terungkap melalui opini, wacana, serta
stigmatisasi terhadap kultur konsumsi pinang masyarakat setempat masuk dalam ranah operasional kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta budaya
yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan publik dan hasil-hasil proyek infrastruktur pada ruang publik, menjadi tidak terlalu memiliki nilai guna
bagi kepentingan dan kehidupan publik.
3 Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik
Undang Undang No. 45 Tahun 1999, yang disusul dengan PP No 24 Tahun 2007 memantapkan status Propinsi Irian Jaya Barat Papua Parat
dengan Ibu Kota di Manokwari. Proses pembangunan sumber daya manusia serta eksploitasi sumber daya alamnya merubah pemahaman, pengertian,
pemanfaatan, dan pemaknaan ruang publik.
32
Laju perubahan struktur dan infrastruktur semakin pesat.
Dapat dipastikan bahwa infrastruktur tersebut sangat berguna bagi masyarakat pada umumnya, namun belum tentu menjadi bermakna, tepat
32
Sebagai landasan dan referensi penulis mempergunakan 3 jenis pemahaman tentang ruang publik: Offentlichkeit bhs Jerman menurut Jurgen Habermas yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh
Thomas Burger; 1 politische Offentlichkeit ruang publik politikpolitis, 2 literarische Offentlichkeit ruang publik dunia sastraliterer, dan 3 representative Offentlichkeit perepresentasianperwakilan
publik.Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Yudi Santoso. 2007. Ruang Publik. Sebuah kajian Tentang Masyarakat Borjuis.Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal. xi.
140
guna, tepat situasi dan terlebih karena tidak mampu memberi tempat mengakomodir kebutuhan bagi kehidupan kultur masyarakat setempat;
maka ruang publik di dalam realitasnya terdapat warga yang berasosiasi korporasi dan kooperasi atau justru memisah-misahkan diri terpecah
belah, sehingga kota sebagai ruang publik akan menyajikan berbagai peristiwa atas dasar ketidakstabilan, diisolasi, atau keterkaitan properti yang
memiliki harga dan makna menurut cara berpikirnya masing-masing. Artinya bahwa masyarakat pengkonsumsi pinang sebagai bagian dari
kehidupan publik yang tak terpisahkan ternyata masih perlu diakomodir eksistensi kulturnya, diperhatikan dan diberi tempat untuk asosiasi bebasnya.
“The city,like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number of stable, isolatable, and
interconnected properties.”Certeau.1984:94.
33
Maka kota sebagai ruang publik tanding menjadi dalam situasi tegang yang disebabkan oleh adanya
beragam dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Mereka berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas
dengan beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan
pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat. Namun hal ini justru memberi batas-batas yang
33
Ibid. hal. 94.
141
mempersepit ruang gerak asosiasi bebas yang dimiliki masing-masing subyek terdampak.
Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan the counter public sphere, tidak berhenti dengan strategi dan
taktik masing-masing pihak dengan keberhasilan kemenangan yang telah dicapai. Mencapai keberhasilan lebih mudah dari pada mempertahankan
hasil yang telah dicapai, karena dalam proses selanjutnya sangat mungkin terjadi alih posisi penjungkirbalikan kontestan pemegang dominasi rezim
penentu. Pemakai strategi sebagai penguasa otoritas sangat mungkin harus “terbalik posisi”nya dan mendapatkan kekalahan sehingga mungkin harus
berganti menerapkan taktik. Mobilitas sosial dan aktivitas keseharian masyarakat menjadi salah satu
saluran dan arena kontestasi strategi dan taktik dalam memperjuangkan keinginan ego dan idealisme modernitas. Beragam bentuk relasi, motivasi
dan tujuan yang ada dalam diri warga masyarakat yang terlibat dalam proses perkembangan dan pembentukan ruang publik, akan mengakibatkan
munculnya ragam permasalahan sosial dalam kehidupan pribadi dan sosial warga masyarakat. Pemerintah bersama badan usaha, konglomerasi pribadi,
kelompok, atau pun jaringan global lainnya dengan bermacam-macam desain by design menjalin relasi konspiratif untuk memanfaatkan investasi
142
modalnya beriringan dengan program-program pembangunan dalam rangka kepentingan publik, sekaligus tujuan ekonomis profit.
Aktivitas mengkonsumsi pinang adalah bagian dari aktivitas warga kultur masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya, namun karena
berkonstelasi dengan aktivitas keseharian masyarakat pendatang imigran pada ruang publik Kota Manokwari, maka tidak dapat lepas dengan beragam
penilaian-penilaian stigmatisasi dari liyan the other yang hadir di sekitar kebiasaan tersebut.
Perilaku keseharian mengkonsumsi pinang sebagai suatu aktivitas dalam kategori kultur, yang sekaligus telah lekat – tak terpisahkan – dalam
keseharian hidup warga masyarakat di Papua pada umumnya, mampu menggerakkan dinamika konstelasi dalam ruang publik dan mewujud dalam
gerakan yang bersifat frontal serta merepresif sisi psikososial masyarakat. Tindakan-tindakan kelompok masyarakat yang bersifat frontal; seperti
unjuk rasa, pemalangan, pemalakan, mengabaikan ketertiban umum, demonstrasi, dan ketidakpedulian terhadap regulasi-regulasi serta nilai-nilai
etika sosial dalam kehidupan bersama; aktivitas masyarakat yang destruktif dan vandalistis menjadi sebuah kekuatan seimbang balance antara strategi
dan taktik dalam masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Kebiasaan mengkonsumsi pinang yang sekaligus menjadi ruang berbicara ketiga kedai-kedai kopi ala Papua dalam masyarakat di Kota
Manokwari adalah merupakan praktek kultur masyarakat yang dipandang asing atau pun eksotis bagi para migran pendatang yang belum memahami
fungsi dan maknanya dengan benar. Oleh karena itu sudah seharusnya dapat diakomodir dalam ruang publik kota. Aktivitas kultur warga tersebut
merupakan bentuk operasi khusus yang mampu memberi pengalaman mistis ruang dari another spatiality”, dan justru bukan dinilai sebagai sebuah
karakteristik yang buram dan gelap dalam mobilitas suatu kota. Semakin banyak orang mengkonsumsi pinang dengan tebaran limbah
pinang sebagai pemandangan kota adalah merupakan bukti bahwa strategi dari otoritas dominan sebagai rezim penentu tidak selalu ‘menentukan’
34
keadaan ruang publikte. Certeau menegaskan: “By contrast with a strategy whose successive shapes introduce a certain play into this formal …
a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus..
The space of a tactic is the space of the other.”
35
Akan tetapi sebaliknya
34
Bdk. Sebuah penelitian tentang permasalahan ruang publik Lapangan Cikapundung Bandung Jawa Barat yang dilakukan oleh RR. Dhian Damajani berkesimpulan bahwa; di balik tampilan fisik yang tak
beraturan dan tak terkontrol, keseharian para pedagang di ruang publik ternyata berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuasaan dalam mengatur berbagai aspek guna menjamin
kesinambungankeberlanjutannya. Namun pada sisi lain kondisi tersebut menunjukkan lemahnya peran State Negara dalam mengelola sistem-sistem perkotaan, terutama yang menyangkut
kepentingan publik. Akibatnya, peran tersebut “diisi” oleh “lembaga-lembaga” non formal. Sumber: Jurnal Institut Teknologi Bandung ITB. Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik,
Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3, 2007. Hal. 345.
35
Ibid. hal.36-37.
144
taktik yang terlahir ditentukan oleh lokus ruang lain asing dan berada di bawah otoritas pemakai strategi, tetap mempunyai kekuatan yang
mempengaruhi pembentukan wujud, karakter, serta identitas ruang publik. Memang taktik bermain pada arena organisasi management kekuatan asing
yang dominan, taktik terlahir ditentukan dalam ketiadaan tanpa kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat
36
kekuasaan; “In short, a tactic is an art of the weak.”Certeau:1984:36-37. Namun demikian
taktik tetap memiliki kekuatan tersimpan serta berkesempatan menang dan isa berganti menerapkan strategi, sehingga bisa menjungkirbalikkan posisi
otoritas dominan yang berkuasa.