Budaya Konsumsi Pinang 1 WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG

37 Zat yang terkandung dalam buah pinang meliputi arecolidine, arecaidine, guvacoline, guracine dan beberapa senyawa lain, sedangkan bijinya memiliki kandungan alkaloida; 6 seperti arekaina dan arekolina yang bersifat adiktif dan dapat merangsang simultan otak. 7 Bijinya yang pahit, pedas dan hangat, mengandung alkaloid 0,3 – 0,6. Kandungan arecolin dapat dimanfaatkan untuk obat cacing serta bahan obat penenang, maka bersifat memabukkan penggunanya. 8 Selain itu juga mengandung retanin 15, lemak 14 palmitic, oleice, stearic, caproic, caprilic, laoric, myristic acid, kanji dan resin. Terlebih untuk bijinya yang masih segar terkandung alkaloid 50 lebih banyak dibandingkan dengan biji yang telah mengalami perlakuan. Buah pinang juga dapat dijadikan bahan industri sabun, penyamakan kulit, pasta gigi, pewarna, kosmetik, cat air, pernis, dan seratnya dapat dibuat kuas gambar atau kuas alis, 9 sedangkan batang pohon ini dapat dipakai sebagai jembatan atau talang air, dan melalui proses penyulingan, daun pinang yang dicampur daun sirih akan dapat dihasilkan minyak untuk menyembuhkan gangguan radang tenggorokan dan pembuluh bronchial. 6 Istilah alkaloid berarti mirip alkali, karena dianggap bersifat basa pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner 1819, seorang apoteker dari Halle Jerman untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa pada waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina. 7 www.deherba.com. Copyright 2015 PT Deherba Indonesia – Pakuan Hill, Livistona Blok C No. 18, Bogor 16137. 14-10-2015. 8 tanamandanobat.blogspot.co.id200812pinang.html. 2 Desember 2008. 14-10-2015. 9 James J. J. Carel Siahainenia. 2000. Potensi dan Prospek Pinang Sirih Areca catechu di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. hlm.4. 38 2 Manfaat Mengkonsumsi Pinang Konsumsi pinang merupakan proses meramu pinang segar masih hijau mau pun kering yang telah diiris dan dijemur, sirih, dan kapur yang kemudian dikunyah. Bagi masyarakat di Asia Selatan, Tenggara serta Asia Pasifik tradisi ini telah lama dilakukan. Pada umumnya aktivitas konsumsi pinang dilakukan secara bersama-sama, oleh semua kelompok usia kecuali balita, wanita dan anak-anak, namun dalam beberapa etnis, dengan alasan ritual adat maka hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Karena bersifat stimulant, buah pinang dapat mempengaruhi proses metabolisme serta kejiwaan konsumernya. Materi herbal ini diidentifikasi mengandung stimulant narkotik ringan. Sirih pinang has been identified as ‘ein sehr mild es, narkotisch stimulierendes Genusmittel’ a very mild, narcotic stimulant Lewin 1889:69. 10 Efek stimulantnya antara lain si konsumer lebih mudah mengobral kata-kata, kurang mampu mengendalikan diri dalam pemilihan kata. Saat seseorang mengunyah akan memperoleh sensasi menyenangkan, rasa pedas, panas, tajam, dan aromatik, sehingga terasa sedap di mulut. Jika mengkonsumsi dalam jumlah berlebihan akan merasakan ketidakseimbangan tubuh Jawa: ngliyeng, bahkan bisa mabuk, tergantung pada ketahanan tubuh masing-masing. Reaksi lain adalah membuat percaya diri, membangkitkan 10 Henri J.M. Claessen and David S. Moyer ed.. 1988. Verhandelingen van Het Koninklijk Istituut Voor Taal, Land – en Volkenkunde. 131. Time Past, Time Present, Time Future Perspectives on Indonesian Culture. Dordreht-Holland Providence –USA:Foris Publications. p.168. 39 semangat dan lancar dalam melisankan mengomongkan apa saja yang ada di dalam hati atau pikirannya, sehingga terkesan seperti orang mabuk yang sembarangan bicara. 3 Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia Tradisi mengkonsumsi pinang-sirih di Kepulauan Nusantara terbaca dalam pada relief Candi Sukuh 11 yang dibangun sekitar tahun 1359 Saka 1437 Masehi, dengan jelas ditampilkan banyak pohon pinang sebagai latar belakang bangunan rumah-rumah, dan latar peristiwa pertemuan-pertemuan penting dan memiliki makna dalam keseharian hidup di masa itu. Secara khusus pada relief tersebut digambarkan tegak berdirinya pohon pinang yang mengayomi pertemuan sepasang mempelai Sadewa dan Ni Padapa yang pada akhirnya menjadi pasangan suami istri. Pohon pinang dihubungkan dengan peristiwa perkawinan antara kedua anak Bagawan Tambapetra dengan Sadewa Sudamala yang telah berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan tersebut. Dari Kidung Sudamala ZANG bagian IV pada ayatnya yang ke 19-21 diceriterakan; 19 Bagawan alon ujarre, lah nini hanakingwang, haturakena kang sdah mengko, kalih siro pada hanembah 11 Berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. 40 ring sang sudamala mangke. 20 Lah ngaturri sdah mangke, raden soka padap, semwerang nher hanapa mangko, hulih bagya punika sedah, katurring sira rahaden. 21 Raden sudamala linge, sawyanagapi sdah, lah hasuruda nini sunmangko, ring panembahanira tuwan, hisun hatarima manke. 22 Tambapetra lon ujarre, wus katanggapan sdah, lah ta lungguha ninyanakingngong, ring sandingngira rakanira, kalih halungguha raden. 12 Gambar 5. Relief pada Candi Sukuh yang mengekspresikan pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra. Pohon yang dilukis pada adegan ini adalah pohon pinang. 13 Yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut; 19 Begawan Tambapetra manis kata-katanya: “Anak- anakku, persembahkanlah sirih itu kepada kakandamu.” 12 Bobin AB dan Husna penyalin. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 45. 13 Sumber: www.kompasiana.com www.teguhhariawan leitmotiv-panduan-membaca-relief- 552b20f5f17e610f74d623bf 41 Maka mempersembahkan sirihlah kedua gadis itu kepada Raden Sudamala. 20 Pada waktu ni Soka dan ni Padapa mempersembahkan itu tampak agak malu mengeluarkan kata-katanya: “Selamat datang Pangeran, hamba persembahkan sirih kepada Tuan.” 21 Raden Sudamala berkata, sambil menerima sirih: “Nah, sudah kuterimalah sirih persembahan, silahkan mundur” 22 Tambapetra berkata manis: “Kini sirih telah diterima. Nah pergi duduk di samping kakandamu, di situ berjajar dengan Rahaden Sadewa” 14 Memang tidak disinggung berkaitan dengan kata buah pinang, namun muncul kata sedah sirih – dalam relief tersebut terlihat jelas tegak berdiri 3 buah pohon pinang, dan bukannya pohon sirih – yang digunakan sebagai piranti alat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Sudamala atas disembuhkannya Begawan Tambapetra. Ketulusan menghormati, menerima kehadiran, dan terima kasih kepada Sudamala yang dilakukan dengan cara mempersembahkan sedah sirih menjadi simbol dan memiliki makna kekeluargaan, persahabatan dan bahkan terima kasih itu diwujudkan dengan satu ikatan perkawinan 15 antara kedua anak Tambapetra dengan Sudamala. 14 Ibid. hlm.90. 15 Cerita di atas segaris dengan penyajian kakes dalam sebuah piring yang berisi pinang, sirih, dan kapur dalam adat budaya meminang bagi masyarakat Suku Biak di Papua. Ketika pihak laki-laki berkenan menikmati sajian kakes yang dibawa oleh pihak perempuan, berarti “sebagai tanda diterima dan tanda jadi” untuk melangsungkan pada jenjang perkawinan. 42 Peristiwa pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra di bawah pohon pinang, dapat dikaitkan dengan tahap persiapan menuju perkawinan, 16 sebagaimana istilah meminang yang digunakan dalam masyarakat Nusantara. Menurut Roy E. Jordaan dan Anke Niehof dalam artikel Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia, 17 menjadi salah satu sumber dalam mendeskripsikan budaya konsumsi pinang dan pemaknaanya. Jurnal antropologis ini mengangkat beberapa kebiasaan penggunaan sirih dan pinang dalam keseharian masyarakat di Madura, Sulawesi, Sumba, Maluku dan beberapa wilayah Timur Nusantara lainnya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional Malaysia, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kebiasaan mengkonsumsi pinang dengan menjamu daun sirih dan bahan-bahan lain merupakan bagian utama sebagai tahap pembuka sebelum melakukan musyawarah, maka hingga kini mengkonsumsi pinang tetap menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Melayu: “… it is customary in Malay society that a serving of sirih leaves and other betel-chewing ingredients precedes any kind of deliberation, at it suggests the ideas of understanding and agreement Panuti 1983:231” 18 dan 16 Bobin AB dan Husna penyalin. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 158. 17 Ibid. hlm.168. 18 Ibid. hlm.168. 43 tradisi tersebut hingga kini masih banyak ditemukan di wilayah Kepulauan Nusantara Indonesia. Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Belanda abad 16 di kepulauan nusantara, mereka telah mengapresiasi dan menyadari peran dan manfaat tradisi mengkonsumsi pinang yang mampu membangkitkan dinamika keseharian hidup masyarakat koloninya: “Offering your guests the ingredients to make themselves a betel quid still belongs to the rules of hospitality in many rural areas in Indonesia. The Portuguese and the Dutch who came to the archipelago in the 16 th century quickly perceived the great social importance of sirih chewing. As Rumphius observed in 1741, it was necessary for those who daily mixed with the native rulers to adopt the custom Veenendaal 1985:88-82.” 19 Rumphius melaporkan bahwa orang-orang yang kesehariannya berelasi dengan petinggi wilayah setempat dianjurkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan budayanya, termasuk tradisi konsumsi pinang tersebut. 20 Penyesuaian terhadap tradisi setempat bertujuan untuk mempermudah pendekatan dengan masyarakat setempat, dengan harapan maksud dan pesan-pesan komunikasinya tersampaikan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Sirih pinang menjadi sangat berperan dalam upaya menjalin hubungan kekerabatan 19 Ibid hlm.168. 20 Ibid. hlm.168. 44 “… sirih pinang also serves to mark specific kinship relationship …” 21 , yang sekaligus dapat menjadi medium untuk tujuan-tujuan tertentu. Roy E Jordan dan Anke Niehof mengurai tentang materi sirih pinang dan pelengkapnya menjadi sarana budaya yang memiliki makna serta nilai– nilai dalam kultur masyarakat Indonesia: “… how sirih pinang and its accecories are used to underscore basic cultural notions and important social distinctions throughout Indonesia. Our perspective will be that of sirih pinang as a symbolic construct or a vehicle of meaning.” 22 Sirih dan pinang dalam budaya Nusantara mendapat apresiasi dan posisi bermakna dan berharga, karena bukan hanya sebagai materi untuk dikonsumsi tetapi juga mengandung filosofi, makna dan nilai-nilai budaya yang menjadi norma dasar untuk menata kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Gambar 6. Serangkaian bahan-bahan konsumsi pinang, yang selalu dipersiapkan dalam pertemuan-pertemuan ritual adat siklus kehidupan masyarakat di sebagian besar wilayah Nusantara. 23 21 Ibid. hlm.173. 22 Ibid. hlm.169 23 Sumber:https:www.google.comsearch?q=gambir+sirih+pinang. 6 Nopember 2015. 45 Imaji menyeramkan sekaligus menakutkan berkaitan dengan pinang juga diungkapkan oleh Roy E Jordan dan Anke Niehof; In Couperus’s novel ‘De stille kracht’ T he silent force, for example, supposedly evil supernatural powers mysteriusly stain their victim with red phlegm while she taking a bath. In less dramatic sources, however, sirih spittle is cited for its healing powers, or it is used to smear upon ritual objects and offerings. The terrifying effect that sirih spittle has on the Dutch characters in Couperus’s novel could well be a projection of the colonials’ fear of Eastern magic. 24 Rodolf Mrazek dalam buku Outward Appearances. Trend, Identitas, Kepentingan menuliskan bahwa ada banyak bagian dalam novel De stille kracht, “Kekuatan Yang Tersembunyi” 1900 karya Hindia Couperus yang memberi sugesti menakutkan. Tradisi konsumsi pinang memberi effect baca dengan hadirnya kekuatan misterius dan supranatural jahat dari ludah merah sirih pinang. Ludah merah pinang mampu memberi sugesti menakutkan, yang diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Dapat dipahami bahwa ada indikasi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi kepada kolonial Belanda dengan menggunakan kekuatan tersembunyi yang dipahami sebagai a projection of the colonials’ fear of Eastern magic yang membuat perasaan takut bagi kolonial Belanda. 24 Ibid. hlm.168. 46 Keterkaitan pemaknaan cerita yang ditulis Roy E Jordan dan Anke Niehof dalam Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia; to make a marriage proposal is popularly called meminang a verb form derived from pinang in Indonesian. 25 Kata pinang sebagai kata benda dan meninang sebagai kata kerja, memberi arah adanya kesepahaman makna dari obyek material yang dibawa ke dalam suatu aktifitas yang membangkitkan dinamika siklus kehidupan manusia perkawinan. Demikian pula dalam tradisi maupun keseharian masyarakat Numfor Biak, masyarakat Windesi serta Wamesa Teluk Wondama yang ada di Manokwari Papua Barat, di dalam moment acara-acara yang berkaitan dengan adat budayanya akan selalu ada jamuan sirih pinang. Pinang menjadi satu simbol yang mempunyai makna dalam kehidupan sosial-kultur, sebab dengan menyajikan kakes berupa sirih, pinang dan kapur 26 akan miliki dampak sosial serta makna persaudaraan pada diri setiap hadirin dalam kebersamaanya. Kakes diperuntukkan bagi setiap hadirin yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat untuk merencanakan suatu pekerjaan atau meyelesaikan masalah bersama yang berkaitan dengan sosialita kemasyarakatan; misalnya membangun rumah, penyelesaian suatu masalah 25 Ibid. hlm.169. 26 Bahasa Biak Papua, sebagai sarana, yang berupa penyajian sirih, pinang, kapur bagi para hadirin yang ada dalam acara musyawarah adat, merencanakan suatu pekerjaan, atau pun perhelatan yang menyangkut sisi sosial kemasyarakatan. 47 perkara, mempersiapkan pesta perkawinan meminang atau pun siklus peristiwa kehidupan bersama lainnya. Pinang sirih menjadi sarana pembangkit semangat spirit etos kehidupan yang telah membudaya dengan beragam fungsi; misalnya untuk pemeliharaan dan kesehatan gigi, kakes makanan kecil, Wor K’bor 27 inisiasi, Yakyaker antar mas kawin, Kinsor magic dan juga bahan kontak komunikasi. 28 Mencermati Kidung Sudama serta beberapa adat budaya dalam masyarakat Nusantara di atas, perlu dipahami dan menjadi asumsi dasar bahwa meskipun sirih dan pinang yang dikonsumsi namun tetap saja akan disebut sirih pinang. Dua kata tersebut membentuk konsep yang tidak hanya menunjukkan materi sirih dan pinangnya, akan tetapi menjadi makna simbolis untuk falsafah dan nilai-nilai kehidupan; seperti bersamaan, kekeluargaan, serta wujud penghargaan terhadap subyek-subyek lain yang berkaitan dalam keseharian masyarakat penggunanya. 27 Upacara inisiasi bagi para pemuda yang telah lulus berhasil dari rumah bujang rumsram yang dilakukan selama berminggu-minggu dengan tarian, nyanyian, dan juga minum saguer swansrai. 28 Diolah dari karya akademik James J. J. Carel Siahainenia. 2000. Potensi dan Prospek Pinang Sirih Areca catechu di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. hlm.2. 48 4 Budaya Konsumsi Pinang di Papua Mengkonsumsi pinang dinimakti oleh hampir semua kalangan umur, status, pekerjaan, menyatu padu dalam kehidupan sehari-hari. Kemana dan dimana pun berada mereka selalu ada stock sirih dan pinang. Ketersediaannya pun mudah diperoleh pada los-los atau lapak-lapak penjualan yang berada di pasar sentral, pasar tradisional, pinggiran jalan serta lorong-lorong pemukiman penduduk. Gambar 7. Komoditi pinang kering gebe merambah pasar-pasar tradisional di Manokwari. 29 Di Indonesia bagian Timur, terlebih pada masyarakat di wilayah pantai bagian utara pulau Papua; seperti Biak Numfor, Serui, serta masyarakat Teluk Wondama kebiasaan yang juga merupakan tradisi mengkonsumsi mengunyah pinang yang disebut panon beren Windesi atau sauw Wamesa serta an ropum dalam masyarakat etnis Biak Numfor di Manokwari ini masih tetap eksis dan menjadi keharusan untuk disajikan 29 Sumber: Dokumen pribadi penulis 49 dalam pertemuan-pertemuan formal mau pun non formal. Mengkonsumsi pinang dan sirih secara bersama menjadi sarana utama untuk mengawali suatu pembicaraan yang dinilai penting dalam kehidupan bersama, sehingga tidak ikut mengkonsumsi pinang dapat dikatakan ‘tidak tahu adat’. Tetua adat selalu membawa dan menyediakan sirih, pinang, dan kapur dalam kesempatan-kesempatan bernuansa kelokalan adat budaya. Mereka saling menawarkan seperangkat bahan konsumsi pinang, dan orang akan dinilai beretika tahu adat jika sering menawarkannya. Ketika dua atau tiga orang berkumpul sangat mungkin akan terjadi aktivitas konsumsi pinang dan pemuntahan ludah merah yang disertai dengan sekedar ngemop 30 sampai dengan pembicaraan yang serius. Seiring dengan mobilitas masyarakat asli Papua dan pendatang di Manokwari, lambat laun kebiasaan mengkonsumsi pinang merambah ke pedalaman. Sebagian masyarakat Pegunungan Arfak dan para pendatang di Manokwari tampak sudah ikut serta dan biasa mengkonsumsi pinang, hal tersebut terjadi seiring dengan proses relasi sosial dalam kehidupan sehari- hari. Mengkonsumsi pinang; sauw Windesi, panon beren Wamesa, an ropum Biak Numfor telah menjadi identitas kultur masyarakat Papua yang memiliki makna dan simbol kekeluargaan dan kesatuan masyarakat di 30 MOP adalah istilah dari Bahasa Belanda yang artinya lelucon. Dalam kehidupan masyarakat Papua merupakan cerita-cerita lucu dan candaan dalam pergaulan sehari-hari. bdk. Stand Up Comedy. 50 Manokwar. Saat berkomunikasi ngobrol dengan teman atau kerabat sembari mengkonsumsi pinang, memungkinkan munculnya berbagai wacana sosial- ekonomi-politik berkaitan dengan pengalaman hidup individu maupun komunal. Obrolan-obrolan tersebut memberi ruang dan kemungkinan pergerakan eskalasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 5 Wacana Mengkonsumsi Pinang dalam Masyarakat di Papua Tradisi mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Windesi, Wamesa serta Biak Numfor di Papua telah berjalan turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi, karena bermanfaat bagi ketubuhan dan memiliki fungsi sosial dalam masyarakat maka eksistensinya bertahan hingga kini. Dalam pemikiran dan keyakinan penduduk asli Papua, semua bagian dari pohon pinang mempunyai manfaat, misalnya untuk meningkatkan gairah seksual, mengobati luka kulit, menguatkan gigi dan gusi, obat cacing, melancarkan datang bulan menstruasi, obat mimisan, sakit pinggang, mengecilkan rahim pasca melahirkan, obat rabun mata, dan telinga bernanah. Maka pohon pinang dengan semua bagiannya menjadi penting dalam keseharian hidup. Karena fungsi, manfaat beserta maknanya maka obyek material ini menjadi bernilai dalam sektor ekonomi, sisi sosial-budaya, mau pun sisi medis bagi kelangsungan hidup manusia. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51 2. Ruang Publik Kota Manokwari Propinsi Papua Barat 1 Sejarah Kota Manokwari Pada hari Selasa tanggal 8 November 1898 terjadi peristiwa pembentukan pos pemerintahan pertama di Manokwari oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Residen Ternate Dr. D. W. Horst atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda melantik Tn. L.A. van Oosterzee menjadi Controleer Afdeling Noord New Guinea Pengawas Wilayah Irian Jaya Bagian Utara. Tanggal tersebut akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kota Manokwari melalui Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Manokwari Nomor 16 Tahun 1995. Pada masa Pelita IV pemerintahan Orde Baru, untuk mempersiapkan pemekaran Wilayah Irian Jaya menjadi beberapa Propinsi, dengan alasan faktor kesejarahan serta tempat pertama masuknya Pekabaran Injil di Tanah Papua, Manokwari ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Irian Jaya Wilayah II yang meliputi Kabupaten Dati II Manokwari-Sorong, Teluk Cendrawasih dan Yapen Waropen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 ditetapkan status Propinsi Irian Jaya Barat yang selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tertanggal 18 April 52 2007 disebut Propinsi Papua Barat, yang memperoleh status Otonomi Khusus dengan Manokwari sebagai ibu kotanya. 31 Bagi masyarakat Nasrani di Papua, Manokwari selalu adalah tonngak sejarah berkembangnya Agama Kristen di Tanah Papua, karena pada 5 Februari 1855 dua penginjil dari Jerman; Carl Wilhelm Ottow dan Johan Gottlob Geissler menjadi orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Mansinam 32 serta memulai karya penginjilannya di wilayah Papua. Oleh karenanya hingga saat ini sebagian masyarakat Nasrani 33 tetap berjuang menuntut pengakuan publik dan yuridiksi untuk menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil. 2 Ruang Publik Kota Manokwari Kota Manokwari sebagai Ibu Kota Provinsi Papua Barat sekaligus Ibu Kota Kabupaten Manokwari berada dalam sebaran 3 distrik Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur, dengan luas wilayah 934,15 km² 20,09 dari luas wilayah Kabupaten Manokwari. 31 Website Pemerintah Propinsi Papua Barat : www.papuabaratprov.go.id 32 Pada jarak kurang lebih 3 kilo meter dari bibir Pantai Pasir Putih kota Manokwari. 33 Sumber Data: Manokwari Dalam Angka Tahun 2014; Kristen Protestan 64,46, Katolik 5,12 , Islam 29,91, Hindu 0,34 dan Budha 0,12. 53 Gambar 8. Peta geografis wilayah Propinsi Papua Barat Gambar 9. Ruang pulik Kota Manokwari berada dalam sebaran 3 distrik; Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur. 34 34 Sumber: Dokumen pribadi penulis. Batas penelitian 54 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari tahun 2014, pada Tahun 2013 35 Kota Manokwari berpenduduk 72.926 jiwa 14.986 KK. 36 Pusat kota yang berada di wilayah Distrik Manokwari Barat berpenduduk 57.333 jiwa mempunyai kepadatan dan kesibukan paling tinggi dibanding 2 distrik lain yang berpenduduk 15.593 jiwa. Pusat perkantoran kabupaten dan propinsi semula terdapat di Distrik Manokwari Barat, namun seiring pengembangan infrastruktur pemerintahan Propinsi Papua Barat konsentrasinya melebar di wilayah Kelurahan Sowi dan Arfai. Akibatnya Distrik Manokwari Selatan semakin padat dan sibuk, walau pusat bisnis tetap berada di wilayah Distrik Manokwari Barat. Sejalan dengan berkembangnya Kota Manokwari sebagai Ibu Kota Kabupaten dan Propinsi Papua Barat, terjadi mobilitas Ipoleksosbud yang merubah kondisi Kota Manokwari. Oleh karenanya diperlukan perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang fasilitas publik. Bandara, pelabuhan, hotel, penginapan, kafe, dan restoran menjadi kebutuhan mendesak urgent untuk mengakomodir tuntutan situasi tersebut. Tuntutan kebutuhan serta pengembangan struktur dan infrastruktur mengundang naluri pengembang dan pebisnis dari luar Papua, mereka hadir dan ikut serta menanamkan modalnya. Kehadiran para spekulan dalam 35 Data dari papua.go.id pada tahun 1995 berpenduduk 59.260 jiwa, dan di tahun 2012 berdasarkan data dari BPS Kabupaten Manokwari berpenduduk 109.747 jiwa. 36 Sumber: Kabuapaten Manokwari dalam Angka 2014. BPS Kab.Manokwari. hlm. 06-27. 55 berbagai sektor dalam ruang publik tersebut menimbulkan kompleksitas masalah kehidupan sosio-kultural warga masyarakat Kota Manokwari dan sekitarnya. Kota Manokwari menjadi sentra pasar forum pertemuan berbagai kepentingan: “…kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana pasar mulai; mulai pulalah riuh rendah para aktor besar dan desau kerumunan lalat beracun” 37 tempat belangsungnya kontestasi para pemangku kepentingan negara, pemodal, dan masyarakat sipil. Di balik tampilan infrastruktur fisik ruang publik kota Manokwari yang berkembang pesat, terlihat ketidakmapanan tumpukkan sampah, kesemrawutan arus lalu lintas, dan bongkar pasang proyek infrastruktur yang mengganggu kenyamanan mobilitas masyarakat, atau bahkan belum mampu mengakomodir kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 3 Perkembangan Kota Manokwari Manokwari sebagai kota bersejarah, dalam 117 tahun telah banyak memiliki peristiwa yang mengubah tampilan fisik dengan ragam aspek kehidupan sosial, politik, budaya dan juga perekonomiannya. Sekitar tahun 1960an hingga 1970an adalah masa transisi dari pendudukan 37 St. Sunardi. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik. hlm.3. 56 Belanda ke operasi Tri Komando Rakyat TRIKORA 38 dibawah Komando Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia. Menyikapi operasi keamanan pasca pendudukan Belanda di Irian Barat, beberapa tokoh Papua 39 mengadakan pertemuan yang melahirkan Organisasi Pemberontak Papua Merdeka OPM. Pertemuan pada rumah keluarga Watofa 26-28 Juli 1965 di Sanggeng Manokwari yang dipimpin oleh Ferry Awom tersebut, bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua, dengan cara melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Antara tahun 1970an sampai 1990an digencarkan program transmigrasi dari Jawa, Sulawesi, Timor serta pulau-pulau lain, sehingga mempercepat mobilitas dan kepadatan populasi penduduk Manokwari, Bintuni, Oransbari, Warmare dan sekitarnya. Situasi masyarakat homogenitas berubah menjadi beragam heterogen dan latar belakang etnis, budaya dan permasalahan kehidupan multicultural warganya. Pada akhir Pelita II tahun 1979, Kabupaten Daerah Tingkat II Manokwari mendapat penghargaan tertinggi dari Pemerintah Pusat 38 Dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. 39 Di rumah keluarga Watofa Sanggeng Manokwari, yang dihadiri segenap komponen masyarakat Manokwari; Kepala Suku Arfak Lodwijk Mandacan, Barent Mandacan, John Jambuani Kepala Kepolisian Papua, Benyamin Anari, Terianus Aronggear, Marani, Fred Ajoi dan Jimmy Wambru. Sumber: www.komnas.tpnpb.net. Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. 57 berupa Pataka Parasamnya Purna Karya Nugraha 40 , sehingga pada Palita IV Kota Manokwari ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Manokwari Sorong 41 , Teluk Cenderawasih dan Yapen Waropen. Dewasa ini Kota Manokwari berpenduduk dengan ragam etnis, agama, serta gaya hidup. Selain penduduk yang telah lama menetap, juga terjadi peningkatan penduduk baru migrant. Kesemuanya mempersepsi ruang publik kota Manokwari sebagai ruang sosial tak terbatas dengan berbagai bentuk dan praktek kekuatan struktural aparatur birokrasi ideological state apparatus, elit politik, kapital modal, kebijakan pemerintah, kebijakan publik, paradigma pembangunan, serta dominasi gaya hidup masyarakat sipil civil society. Untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, keluarga serta mendapatkan keuntungan ekonomis, bagi masyarakat urban pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai penjual jasa, penjual makanan, pedagang, konsultan, ojek, sopir, karyawankaryawati, therapis pijat refleksi, buruh bangunan dan sebagainya. 40 Anugerah atas pekerjaan yang baik atau sempurna untuk kepentingan semua orang. Ini merupakan tanda penghargaan kepada suatu pemerintah daerah yang telah menunjukkan hasil karya tertinggi pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. 41 bdk. Manokwari sebagai Pusat Gereja Katolik Keuskupan Manokwari sejak 15 November 1966, yang kemudian pada 14 Mei 1974 menjadi Keuskupan Manokwari Sorong yang berkantor di Kota Sorong. 58 Keadaan tersebut semakin memenuhi kesibukan ruang publik yang memberikan harapan sekaligus meningkatkan beragam masalah publik. Sebagai konsekuensi, ruang publik Kota Manokwari semakin mewujud dalam ragam perbedaan ideologi politik, wacana dan opini, sebagai sebuah representasi sosial keseharian hidup warga masyarakat. Berkaitan dengan dunia bisnis pada sektor komoditi pinang, di sepanjang jalan dari Wosi hingga Maripi tampak ratusan lapak jual buah pinang, 42 sedangkan untuk sektor komoditas pabrikan dikembangkan oleh kalangan kelas menengah ke atas – yang mewujud super market, mall, perhotelan, ruko, sentra-sentra pasar, dan jasa 43 – hingga kini masih berada di sekitar Distrik Manokwari Barat; pelabuhan laut, Jalan Merdeka, Jalan Yos Sudarso, Jalan Trikora dan sepanjang jalan menuju Bandara Rendani.

3. Wacana Modernitas Sebuah Ruang Publik Kota

Dalam serangkaian Peringatan Nasional Hari Habitat Dunia 2015, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia menekankan perlu terciptanya ruang publik yang dapat dimiliki, diakses serta dimanfaatkan oleh masyarakat secara bebas. Ruang publik bertautan dengan 42 Data penelitian lapangan dari sekitar Jalan Drs. Essau Sesa Wosi sampai dengan Kampung Maripi ada 270 lapak penjual pinang. 43 Pasar Borobudur, Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi. 59 manusia, ruang, serta dunia luas, maka harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan dapat diakses oleh masyarakat dengan berbagai kondisi fisik. 44 Globalisasi yang sarat dengan konsep modernitas mempengaruhi imajinasi dan idealisme subyek-subyek masyarakat yang dalam sikap dan wacana muncul dalam beragam tuntutan kebutuhan individu dan kumunal dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta tanggapan-tanggapan dari pemerintah, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, warga budaya, serta warga masyarakat lainnya dalam suatu ruang publik kota. Imaji dan konsep-konsep modernitas menekan merepresi eksistensi budaya mengkonsumsi pinang oleh warga masyarakat, sehingga memunculkan biunivocality yang mewujud praktek keseharian masyarakat, kebijakan publik dan dalam pergerakan ekonomi pasar. Banyak plakat-plakat larangan mengkonsumsi pinang, namun perdagangan komoditas pinang justru semakin melaju dalam ruang publik kota Manokwari. Peringatan ‘dilarang makan Pinang’ dan ‘jagalah kebersihan’ yang tertempel pada ruang publik dirancang-bangun berdasarkan konsep-konsep dan tuntutan modernitas. Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor dalam kata pengantar buku CLEANLINESS AND CULTURE Indonesian histories, 44 Diolah dari MEDIAPAPUA.com. Kementrian PU Turut Berperan Dalam Upaya Pengembangan Ruang Publik. 17102015. 60 bertutur mengenai konsep berpikir tentang bersih dan kotor: “Perceptions of cleanliness and dirtiness have been used to describe, praise and denounce individuals and groups subscribing to different social, economic, religious or ethnic backgrounds.” 45 Pemahaman tersebut berasumsi bahwa motto bersih itu indah atau pun putih itu suci yang sering kita dengar dan ucapkan belum tentu menjadi bermakna bagi warga masyarakat publik kota Manokwari mau pun masyarakat Papua pada umumnya. Kebijakan-kebijakan publik yang diwujudkan dalam ide, sikapm perilaku mau pun regulasi-regulasi atas dasar wacana misi suci untuk sebuah maksud pemberadaban serta mengangkat derajat kemanusiaan pada suatu masyarakat, menjadi kontra produktif ketika berhadapan dengan kultur masyarakat yang tetap mempertahankan tradisi mengkonsumsi pinang. Kebijakan publik, persepsi dan penilaian masyarakat modern yang terkait dengan konsep bersih menjadi berbeda sudut pandangnya dengan konsep yang dimiliki oleh warga budaya konsumer pinang: “… alienation of land, forced labour recruitment and migration, and the destruction of the local social structure and culture.” 46 Hal ini menjadi berbeda dengan harapan yang terkandung dalam Tema Hari Habitat tahun 2015 yang merujuk pada isu-isu terkait dengan pembangunan pemukiman dan perkotaan, Public Spaces for All, Ruang Publik Untuk Semua, UN-Habitat dan warga masyarakat tentunya 45 Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor ed. 2011. Cleanliness and Culture Indonesian histories. Leiden: KITLV Press. p.vii. 46 Ibid. hlm.1-3. 61 berharap bahwa ruang terbuka, jalan, jalur pedestrian trotoar, pasar, taman bermain, serta fasilitas publik lainnya dapat menjadi suatu ruang dengan karakternya yang responsif, demokratis dan bermakna. Dengan pemahaman demikian, maka apa yang terjadi pada ruang publik Kota Manokwari menjadi berbeda – bahkan bertolak belakang – dengan harapan warga masyarakat dan UN-Habitat. Hal tersebut membangkitkan pertentangan persepsi pada forum publik kehidupan masyarakat di Kota Manokwari, keinginan untuk hidup secara intens harus berhadapan dengan situasi publik yang sarat dengan kontestasi dan resistensi ideologi, politik, sosial, dan ekonomi dan budaya; menjadikan semangat hidup dan kemerdekaan sebagian warga masyarakat menjadi pudar dan sulit menemukan kembali identitas diri dengan makna tradisinya. Bagi warga masyarakat budaya yang tidak memiliki kebiasaan serta tradisi mengkonsumsi pinang dan mempunyai konsep idealism untuk sebuah ruang publik kota modern, akan semakin menyudutkan dan mempersempit representasi sosial warga masyarakat yang mengkonsumsi pinang pada posisi yang kontra produktif dalam upaya mewujudkan imajinya tentang kota modern yang tertata rapi, bersih dan elegant.