Dinamika budaya konsumsi pinang dalam pembentukan ruang public kota Manokwari.

(1)

ABSTRAK

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang

Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

Dinamika budaya konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari Propinsi Papua Barat dihayati seiring dalam arus globalisasi yang bermuatan ragam konsep pola pikir, ideologi, dan wacana.Modernitas menjadi simpulan pola pikir dan gaya hidup, sehingga kultur mengkonsumsi pinang yang bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu mendapat stigma kolot, jorok, serta tidak layak dalam perkembangan dunia dewasa ini.

Mengkonsumsi pinang yang mengandung nilai serta makna persaudaraan telah menjadi sebuah identitas dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Papua. Dalam kebersamaan, kultur ini memberi peluang besar untuk membangun ragam wacana sosial, ekonomi, mau pun politik, sehingga dapat mempengaruhi eskalasi aktivitas keseharian masyarakat setempat yang sarat dengan problematika kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara.

Dengan stigma negatif dan kontra produktif yang melekat pada kultur ini serta seiring dengan tuntutan nilai-nilai modernitas yang ada di sisi lain budaya konsumsi pinang ternyata mampu menjadi media komunikasi antar individu mau pun kelompok masyarakat yang bersifat heterogen. Posisinya sebagai media komunikasi tersebut dalam pemikiran Homi K. Bhabha menjadi sebuah ‘ruang pembicaraan ketiga’ bagi

subyek-subyek kontestan dengan berbagai latar belakang; seperti halnya suku bangsa dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat sosial. Dalam ruang tersebut tidak ada

lagi klaim tentang ‘ini ruang kami’ atau ‘itu ruang mereka’, melainkan menjadi ‘ini adalah ruang kita bersama’.

Dalam pemikiran Michel de Certeau, masing-masing kontestan dengan beragam latar belaknag tersebut akan menerapkan strategi dan taktik guna memperoleh otoritas hegemoni. Karena secara kontinuitas akan terjadi perubahan struktur dan kondisi sosial kemasyarakatan, maka dalam kenyataannya tidak semua kontestan dapat mengklaim sebuah keberhasilan mutlak sebagai pemegang otoritas sosial. Dalam dinamika masyarakat terjadi proses interaksi sosial, terbangun wacana, subyektivikasi, serta karakterisasi pada masing-masing subyek, Mereka semua berkesempatan sama dalam berpartisipasi dengan konsensusnya untuk membentuk ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Kata Kunci: konsumsi pinang, ruang pembicaraan ketiga, strategi dan taktik, pembentukan ruang publik, Kota Manokwari.


(2)

ABSTRACT

The Dynamics of Areca Nuts Consumption Custom in the Public Spaces Forming Process of Manokwari City

The areca nuts (Areca catechu) consumption custom among Papuans in Manokwari City, West Papua Province, has been internalized in their daily life likewise the unstoppable globalization wave with its various mindset, ideologies, and discourses.Modernitybecame end-node of “brand-new” mindsets and lifestyles, so the

areca nuts consumption custom that has grown for ages will be stigmatized as old fashioned style, disgusting, considered as eyesore, and inappropriate in this current age.

However, this custom which promotes brotherhood values has become an identity and being a part of local wisdom for Papuans as well. It has given great opportunities to various social, economical, and even political discourse constructions that able to affect the daily life condition of locals that have been burdened by certain cultural and political problems.

Despite the negative and contra-productive stigma that had been embedded to the areca nuts consumption custom alongside the demands required by modernity values, it turns out to be an effective media of communication among the Papuans and within their heterogenic communities as well. As media of communication, according to Homi K. Bhabha, this custom can be seen as“the third space of enunciation” for all of its contestants with many backgrounds; like various ethnical and cultural groups within the society. In that space, there are no such claims like“this is our space”or“that is their space”, but“this is a space for us all”.

As Michael de Certeau has stated, each contestant with all of their own backgrounds would then apply a set of strategies and tactics to obtain an authorized hegemony. In the long run, the structure and condition of the society will be changeable, hence not all the contestants is able to claim absolute success as social authority holder. Within a growing and fluctuating community, there are social interactions, discourse constructions, and also each subject characterization. They all have equal opportunity to participate–by consensus–in creating the public spaces of Manokwari City, West Papua Province.

Keywords: areca nuts consumption, the third space of enunciation, strategies and tactics, the forming of public spaces, Manokwari City.


(3)

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

Tesis

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

AGUSTINUS RIWI NUGROHO

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

Tesis

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

Z//d,Ar"

i.

Dr. Alb. tsudi Susanto. S.J.

Pembimbing I

akartan 27 Juli2frl6.

Dr. G. Budi Subanar. S.J.


(5)

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI

Oleh:

AGUSTINUS RIWI NUROHO

NIM: 136322003

:.

,:t:r:

Telah dipertah*nkan di dephn''Dewan Penguji Tesis

dan dinyatakan'tdlah mem*nuhi syarat.

,

Tirn "Penguji

: Dr. Y. Tr.i,$ub,agiya,r

Ketua

Sekretaris/Moderator: Dr. G. Budi SuMnar, S.J.

Penguji : 1. .Dr. FX.,Beslerfi.fi:Wardayn, S.J.

'

'':

'

2. Dr.Y.

Tri

Suba#d'

3. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.

Yogyakarta,

27 Juli20l6,

r Program Pascasarjana


(6)

buat

o bapak sudiyono (†)& ibutri lestari o adikawan sudamar (†)& rini sarasawati o madedeiby, kakwulan & dikagung


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Agustinus Riwi Nugroho (NIM: 136322003) menyatakan bahwa Tesis

berjudul DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM

PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI, merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.

Di dalam Tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam Tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 27 Juli 2016. Yang membuat pernyataan,


(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:

Nama : Agustinus Riwi Nugroho

Nomor Mahasiswa : 136322003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberi royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal: 27 Juli 2016. Yang menyatakan,


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga saya hunjukkan kepada Allah, karena dengan kehendak dan berkatNya yang berkelimpahan telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.

Kepada Romo Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. saya menghaturkan banyak terima kasih, karena dengan kesabarannya telah bermurah hati mencermati, membimbing, mendorong, mengarahkan, dan dengan sentilannya dapat menanggap kegelisahan, keprihatinan, serta harapan berkaitan dengan situasi budaya mengkonsumsi pinang, ruang publik, dan modernitas di Papua pada umumnya, sehingga memacu terselesaikannya karya akademik berjudul

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwariini.

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, dan kepada para dosen yang telah menuntun studi saya di bawah pohon “Beringin Soekarno” tercinta. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, Romo Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang selalu mengingatkan dan menanyakan kemajuan penulisan karya akademik, memberikan berbagai kemudahan serta fasilitas beasiswa studi dan penelitian, disampaikan salam hormat dan matur nuwun sanget.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada Bapak Dr. St. Sunardi dan Mbak Dr. Katrin Bandel yang telah bersedia membaca ulang penulisan karya ini. Terima kasihku untuk Mbak Desy yang baik hati, dengan ringan langkah telah setia menyampaikan info-info akademis mau pun mengingatkan pengumpulan tugas demi kelancaran proses studi kami. Bersama

aliansi bonobo 2013dan Kejar Jangkrik yang selalu memberi semangat, suwun


(10)

Kepada Bupati Manokwari, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Manokwari, serta Kepala SMA Negeri 1 Manokwari Bapak Drs. Lucas Wenno, atas kesempatan studi yang telah diberikan, saya menghaturkan terima kasih.

Atas dukungan dan pencerahannya, kepada Pater Paul Tan dan Prof. Charlie D. Heatubun disampaikan banyak terima kasih. Buat dik Rini, dik Ri, kangmas Aris dan mbakyu Tutikmatur nuwun untuk perhatian dan kasih sayangnya yang selalu membangkitkan semangat saya.

Terima kasih tak terhingga buat keluarga, kawan, sahabat dan semua pihak yang telah membantu untuk terselesaikannya karya akademik ini.

Berkah Dalem selalu.

Jogja, 27 Juli 2016. riwi nugroho


(11)

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN BERITA ACARA UJIAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN ... v

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

LAMPIRAN PETA KOTA MANOKWARI ... xiii

LAMPIRAN TABEL PENJUAL PINANG KOTA MANOKWARI ... xiv

ABSTRAKSI ... xv

ABSTRACTION ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Tema Penelitian ... 7

3. Rumusan Masalah ... 7

4. Tujuan Penelitian ... 8

5. Manfaat Penelitian ... 9

6. Kajian Pustaka ... 11

7. Kajian Teori ... 17

8. Metode Penelitian ... 23


(12)

BAB II WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG ... 34

1. Budaya Konsumsi Pinang ... 34

1) Buah Pinang ... 34

2) Manfaat Mengkonsumsi Pinang ... 38

3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia ... 39

4) Budaya Konsumsi Pinang di Papua ... 48

5) Wacana Mengkonsumsi Pinang dalam Masyarakat di Papua ... 50

2. Ruang Publik Kota Manokwari Propinsi Papua Barat ... 51

1) Sejarah Kota Manokwari ... 51

2) Ruang Publik Kota Manokwari ... 52

3) Perkembangan Kota Manokwari ... 55

3. Wacana Modernitas Sebuah Ruang Publik Kota... 58

BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM IDEALISME MODERNITAS RUANG PUBLIK ... 62

1. Blusukandi Kota Manokwari ... 63

2. Konstelasi Budaya Konsumsi Pinang dengan Ruang Publik ... 68

1) Kebijakan Aparat Pemerintah ... 68

2) Kapital Modal ... 71

a. Nilai Ekonomis Komoditi Pinang ... 72

b. Budidaya Tanaman Pinang ... 76

c. MenejerialMama-Mama Penjual Pinang ... 78

3) Masyarakat Sipil (Civil Society) ... 83

4) Media Massa ... 87


(13)

BAB IV DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG

SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK RUANG PUBLIK

KOTA MANOKWARI ... 106

1. Sepanjang Jalan Membaca Retorika ... 107

2. Budaya Konsumsi Pinang di Kota Manokwari ... 109

1) Pasar Pinang sebagai Forum Publik ... 111

2) Budaya Konsumsi Pinang dalam Ruang Publik Tandingan ... 113

3) Mobilitas Migran dan Okultisme Publik ... 115

4) Budaya Konsumsi Pinang sebagaiTempat Pengucapan Ketiga ... 123

3. Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik ... 128

1) Strategivis-à-visTaktik ... 129

2) Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik ... 132

3) Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik ... 139

4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik Berkelanjutan ... 144

BAB V PENUTUP ... 154

Kesimpulan ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 160

DAFTAR NARASUMBER ... 164


(14)

Gambar 1.Papan larangan merokok dan makan menginang pada Lingkungan

Sekolah ... 4

Gambar 2.Ember tempat membuang ludah pinang diPastingSanggeng ... 5

Gambar 3.Tanaman pohon pinang di kebun masyarakat ... 35

Gambar 4.Rangkaian buah Pinang siap panen ... 36

Gambar 5.Relief pada Candi Sukuh, tergambar pohon pinang . ... 40

Gambar 6.Sajian bahan konsumsi pinang dalam pertemuan / ritual adat ... 44

Gambar 7.Pinang kering (gebe) merambah pasar tradisional di Manokwari. ... 48

Gambar 8.Peta geografi Propinsi Papua Barat ... 53

Gambar 9.Lingkup penelitian, dalam 3 distrik; Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur ... 53

Gambar 10.Jualan pinang di Jalan Sujarwo Condronegoro SH ... 65

Gambar 11.Pengecer pinang di Jalan Siliwangi, Pelabuhan Manokwari ... 69

Gambar 12.Kepedulian ASPAP terhadapmama–mama penjual pinang ... 70

Gambar 13Lapak jual Pinang “atap biru”... 71

Gambar 14.Pinang kering (gebe) di pasar tradisional ... 73

Gambar 15.Tanaman pohon pinang di Kampung Maripi... 76

Gambar16.Mama Mama penjual Pinang buah di pelataran pasar Sanggeng Manokwari ... 81

Gambar17.VCDmopberedar di pasaran seantero Papua... 92

Gambar18.Ngobrol bersama diselingi denganmop-mop ... 93

Gambar19.ObrolanWarung Pinangmenjadi Acara Unggulan di RRI Manokwari .. 99

Gambar20.Bangunan-bangunan menjadi sasaran buangan ludah merah saat mengkonsumsi pinang ... 101


(15)

PETA KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN MANOKWARI TAHUN 2009


(16)

(17)

ABSTRAK

Dinamika Budaya Konsumsi Pinang

Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

Dinamika budaya konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari Propinsi Papua Barat dihayati seiring dalam arus globalisasi yang bermuatan ragam konsep pola pikir, ideologi, dan wacana.Modernitas menjadi simpulan pola pikir dan gaya hidup, sehingga kultur mengkonsumsi pinang yang bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu mendapat stigma kolot, jorok, serta tidak layak dalam perkembangan dunia dewasa ini.

Mengkonsumsi pinang yang mengandung nilai serta makna persaudaraan telah menjadi sebuah identitas dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Papua. Dalam kebersamaan, kultur ini memberi peluang besar untuk membangun ragam wacana sosial, ekonomi, mau pun politik, sehingga dapat mempengaruhi eskalasi aktivitas keseharian masyarakat setempat yang sarat dengan problematika kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara.

Dengan stigma negatif dan kontra produktif yang melekat pada kultur ini serta seiring dengan tuntutan nilai-nilai modernitas yang ada di sisi lain budaya konsumsi pinang ternyata mampu menjadi media komunikasi antar individu mau pun kelompok masyarakat yang bersifat heterogen. Posisinya sebagai media komunikasi tersebut dalam pemikiran Homi K. Bhabha menjadi sebuah ‘ruang pembicaraan ketiga’ bagi

subyek-subyek kontestan dengan berbagai latar belakang; seperti halnya suku bangsa dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat sosial. Dalam ruang tersebut tidak ada

lagi klaim tentang ‘ini ruang kami’ atau ‘itu ruang mereka’, melainkan menjadi ‘ini adalah ruang kita bersama’.

Dalam pemikiran Michel de Certeau, masing-masing kontestan dengan beragam latar belaknag tersebut akan menerapkan strategi dan taktik guna memperoleh otoritas hegemoni. Karena secara kontinuitas akan terjadi perubahan struktur dan kondisi sosial kemasyarakatan, maka dalam kenyataannya tidak semua kontestan dapat mengklaim sebuah keberhasilan mutlak sebagai pemegang otoritas sosial. Dalam dinamika masyarakat terjadi proses interaksi sosial, terbangun wacana, subyektivikasi, serta karakterisasi pada masing-masing subyek, Mereka semua berkesempatan sama dalam berpartisipasi dengan konsensusnya untuk membentuk ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Kata Kunci: konsumsi pinang, ruang pembicaraan ketiga, strategi dan taktik, pembentukan ruang publik, Kota Manokwari.


(18)

ABSTRACT

The Dynamics of Areca Nuts Consumption Custom in the Public Spaces Forming Process of Manokwari City

The areca nuts (Areca catechu) consumption custom among Papuans in Manokwari City, West Papua Province, has been internalized in their daily life likewise the unstoppable globalization wave with its various mindset, ideologies, and discourses.Modernitybecame end-node of “brand-new” mindsets and lifestyles, so the

areca nuts consumption custom that has grown for ages will be stigmatized as old fashioned style, disgusting, considered as eyesore, and inappropriate in this current age.

However, this custom which promotes brotherhood values has become an identity and being a part of local wisdom for Papuans as well. It has given great opportunities to various social, economical, and even political discourse constructions that able to affect the daily life condition of locals that have been burdened by certain cultural and political problems.

Despite the negative and contra-productive stigma that had been embedded to the areca nuts consumption custom alongside the demands required by modernity values, it turns out to be an effective media of communication among the Papuans and within their heterogenic communities as well. As media of communication, according to Homi K. Bhabha, this custom can be seen as“the third space of enunciation” for all of its contestants with many backgrounds; like various ethnical and cultural groups within the society. In that space, there are no such claims like“this is our space”or“that is their space”, but“this is a space for us all”.

As Michael de Certeau has stated, each contestant with all of their own backgrounds would then apply a set of strategies and tactics to obtain an authorized hegemony. In the long run, the structure and condition of the society will be changeable, hence not all the contestants is able to claim absolute success as social authority holder. Within a growing and fluctuating community, there are social interactions, discourse constructions, and also each subject characterization. They all have equal opportunity to participate–by consensus–in creating the public spaces of Manokwari City, West Papua Province.

Keywords: areca nuts consumption, the third space of enunciation, strategies and tactics, the forming of public spaces, Manokwari City.


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tradisi mengkonsumsi pinang bagi masyarakat Papua telah dilakukan secara turun temurun dan merupakan kebiasaan dalam keseharian hidup dari generasi ke generasi hingga dewasa ini. Aktivitas keseharian yang memiliki nilai-nilai budaya dalam masyarakat setempat ini mendapat perhatian sekaligus mengandung permasalahan yang mempengaruhi aktivitas keseharian masyarakat publik. Kebiasaan mengkonsumsi pinang oleh sebagian masyarakat publik modern dianggap sebagai kebiasaan yang jorok dan kontra produktif dengan arus global. Banyak plakat pada ruang publik seperti di pusat perbelanjaan, rumah sakit, hotel, supermarket, gedung perkantoran, pasar, dan tempat publik lainnya bertuliskan: “Dilarang Makan Pinang di Area Ini!” namun kebiasan ini tetap hadir tanpa terakomodir permasalahannya.

Salah satu ruang publik di Papua adalah Manokwari. Kota yang merupakan Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Propinsi Papua Barat ini dalam satu dasawarsa terakhir ini mengalami perubahan struktur dan pembangunan infrastruktur dengan pesat. Upaya peningkatan dan pengangkatan sumber daya manusia serta eksplorasi sumber daya alamnya menggerakkan dinamika


(20)

ipoleksosbud yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat yang sekaligus memicu permasalahan kehidupan publik. Komposisi penduduk Kota Manokwari1yang terdiri atas masyarakat Asli Manokwari dari suku Sough, Karon, Hatam, Meyah dan Wamesa, ditambah dari migrasi neto2 warga Papua pendatang (Serui, Biak Numfor, Waropen dan Wondama) serta dari luar pulau Papua; seperti Bali, Jawa, Maluku, Sulawesi, Sumatra, Ternate, Timor, serta pulau-pulau lainnya. Kondisi multikultur ini tersebut berpotensi mempengaruhi dinamika aktivitas masyarakat dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

Dalam sejarahnya pada tanggal 8 Nopember 1898 Manokwari menjadi Pusat Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengawasi wilayah Irian Jaya Bagian Utara, oleh karenanya sejak masa pemerintahan kolonial terjadi mobilisasi penduduk serta transformasi beragam budaya pada ruang-ruang publik yang secara berangsur mempengaruhi aktivitas masyarakat setempat.

Dinamika budaya3 konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari dewasa ini berjalan seiring dengan arus globalisasi yang membawa ragam; ideologi, konsep berpikir, gaya hidup, wacana, serta teknologi yang mengharuskan hadir dalam berbagai praktek dialektika negosiasi-negosiasi dalam forum ruang publik yang mencairkan (liquidity) atmosfer keseharian

1

Pada 3 wilayah distrik: Manokwari Barat, Manokwari Selatan, dan Manokwari Timur.


(21)

hidup warga masyarakat di Kota Manokwari. Ruang publik bukan lagi bersifat

homogeneous akan tetapi berkembang dalam heterogeneous yang kompleks dengan berbagai aspek kehidupan.

Pemanfaatan ruang-ruang geometris Kota Manokwari oleh warga masyarakat pada umumnya menandai adanya suatu proses pembentukan ruang publik dengan identitas dan karakternya yang terjadi seiring dengan dinamika pengoperasian strategi dan taktik dari seluruh elemen masyarakat. Praktek kreatifitas dalam dialektika negosiasi dilakukan untuk menguasai (dominasi

dan hegemoni) ruang publik sesuai imaji serta wacana masing-masing. Situasi ini dapat dipahami dengan menggunakan pemikiran Miller4:

We are in a crisis of belonging, a population crisis, of who, what, when, and where. More and more people feel as though they do not belong. More and more people are seeking to belong, and more and more people are not counted as belonging. Cultural Citizenship is concerned with the way this crisis is bothregistered and held …”

Melalui proses dialektika-dialektika dalam ruang publik tandingan (the counter public sphere) dalam arus globlaisasi yang bebas dan dinamis yang menawarkan ragam harapan dan keprihatinan publik akan terjadi proses pembentukan sebuah ruang publik baru, hingga mengubah serta membentuk sebuah identitas subyek kewargaan budaya yang baru pula.

4


(22)

Dalam kajian ini penulis lebih fokus pada fenomena budaya konsumsi pinang warga masyarakat di Kota Manokwari Papua Barat. Ketertarikan ini berawal dari peristiwa pengoprasian strategi pada tindakan manipulatif dalam bentuk represif dan penyeragaman dari relasi kekuasaan dengan kehendak dan kekuasaannya terhadap subjek-subyek masyarakat (seperti pedagang, komunitas budaya, lembaga masyarakat), sehingga membatasi aktivitas dan kreasi warga dalam keseharian hidup masyarakat di Papua.

Gambar.1.Larangan makan pinang pada lingkungan sekolah.5

Di dalam ruang publik Kota Manokwari, hampir setiap waktu terlihat pemandangan orang atau sekelompok orang sedang menikmati buah pinang. Di tepian jalan, di pojok ruangan perkantoran, rumah sakit, pasar, pos-pos ronda atau pun di dalam kendaraan-kendaraan umum, di jalan-jalan raya, terutama


(23)

pada tikungan-tikungan dengan mudah terlihat berhamburan tilas-tilas aktivitas mengkonsumsi pinang berupa ludahan pinang.

Gambar 2.Sebuah ember tempat membuang ludah pinang diPastingSanggeng Manokwari.6

Dari anak-anak sampai dengan orang tua, pelajar, mahasiswa, pemuka/tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sampai para pejabat di Papua, meyakini beragam manfaat dari mengkonsumsi pinang bagi kehidupan sosial, budaya maupun ketubuhan.

Mengkonsumsi pinang menjadi identitas bermakna dalam relasi kebersamaan. Proses komunikasi dalam relasi tersebut memungkinkan terbangun beragam wacana yang terlahir dari pengalaman, pemikiran, gagasan dan ide individu maupun kelompok, yang memberi ruang terjadinya dinamika


(24)

kontestasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam pusaran ruang publik kehidupan masyarakat Manokwari

Fenomena sosial budaya tersebut memasuki wilayah kontestasi politik dan ekonomi pasar yang memungkinkan terbangunnya ketegangan sosial maupun individual, membangkitkan resistensi dan sekaligus negosiasi dalam kehidupan publik. Aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup (life style) mempersepsi kota dengan berbagai bentuk dan praktek kekuatan struktural. Ruang Kota menjadi arena untuk memperjuangkan asosiasi bebas: “Ethics, pleasure and invention these are the values that underwrite a practice that

tries to open up a space for ‘free association’.”7yang menjadi terkekang oleh karena adanya kontestasi pasar dan kekuasaan, dimana dialektika dan negosiasi menjadi representasi masing-masing kontestan dalam upaya mencapai nilai-nilai etika, kesenangan/pemuasan dan penemuan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan kekuasaan politik.

Represi dan perlawanan menjadi indikator adanya pelanggaran etika sosial yang mengusik kemapanan identitas masyarakat yang berpotensi memunculkan perlawanan (resistensi) dari masyarakat budaya untuk mempertahankan identitas budayanya sebagai filosofi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) dalam masyarakat sosial dan budaya.


(25)

Kota Manokwari sebagai ruang publik menjadi arena kontestasi forum subyek-subyek dengan ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh pertarungan strategi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berhadapan dengan taktik dari masyarakat mau pun individu dengan kultur masing-masing. Makna-makna yang terkandung dalam tradisi kehidupan sehari-hari masyarakat di Papua terkikis oleh klaim modernitas yang diwakili oleh aparat pemerintah, kapitalis, media, gaya hidup masyarakat serta regulasi-regulasi yang diterapkan untuk kehidupan publik.

2. Tema Penelitian

Budaya konsumsi pinang menjadi sebuah ruang dialektika yang mampu menggerakkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

3. Rumusan Masalah

Mencermati permasalahan di atas, tertengarai adanya krisis dan ancaman terhadap warga budaya konsumen pinang. Mobilitas ekonomi, sosial, religi, budaya serta politik dengan beragam agenda memasuki ruang publik yang membaur dalam kehidupan masyarakat Kota Manokwari, selanjutnya secara perlahan (evolutif) berangsur mengalami perubahan menuju pembentukan


(26)

ruang publik tempat seluruh warga masyarakat Kota Manokwari beraktivitas dalam kehidupannya sehari-hari.

Memahami budaya konsumsi pinang yang berhadapan dengan arus modernitas, sehingga masuk dalam ranah kontestasi dengan ragam gaya hidup, mobilitas penduduk, komoditas ekonomi, regulasi dan kebijakan-kebijakan publik di Kota Manokwari, memunculkan beberapa pertanyaan akademik serta publik yang hendak dipahami dan dijawabi melalui kajian budaya ini:

1) Wacana dan kebijakan publik seperti apakah yang muncul dari budaya konsumsi Pinang di Manokwari?

2) Bagaimanakah pendapat masyarakat terhadap budaya konsumsi pinang di Kota Manokwari?

3) Bagaimanakah aktivitas mengkonsumsi pinang mampu berperan dalam pembentukan ruang publik kota Manokwari?

4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai melalui kajian budaya tentang Dinamika Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari

ini adalah;

1) Mendeskripsikan wujud dan berkembangnya budaya konsumsi Pinang dalam kehidupan masyarakat di kota Manokwari.


(27)

2) Menganalisa wacana serta imaji tentang budaya konsumsi Pinang yang terbangun dalam masyarakat publik Kota Manokwari.

3) Menggunakan konsep pemikiran Michel de Certeau tentang strategi dan taktik pada ruang publik tandingan untuk dapat mengartikulasikan dinamika budaya konsumsi pinang yang turut serta menjadi faktor dalam pembentukan realitas ruang publik kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

5. Manfaat Penelitian

Sebagai sebuah fenomena sosial dan budaya, mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua dihayati dalam dinamika heterogeneous budaya. Dinamika budaya ini membangkitkan keingitahuan mengenai hal-hal yang terjadi di dalamnya. Fenomena ini menarik untuk diamati dan dikaji yang diharapkan ada upaya-upaya analisis lanjutan, pencerahan terhadap intuisi, ide-ide baru, konsep-konsep tentang ruang publik yang baru, informasi dan perspektif yang baru, serta kebijakan publik yang lebih akomodatif terhadap obyek budaya masyarakat Papua dimaksud.

Melalui Kajian Budaya (cultural studies) ini diharapkan dapat mengartikulasikan dinamika budaya mengkonsumsi pinang yang berkonstelasi dengan aparatus pemerintah, kapital modal, masyarakat sipil, dan media massa pada ruang publik tandingan (the counter public sphere) yang dapat turut


(28)

menggerakkan eskalasi sosial, ekonomi, budaya dan politik, sehingga berperan dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

Oleh karenanya kajian budaya yang menitik beratkan perhatian pada usaha pemahaman sekaligus mencari peluang pemanfaatan ruang publik Kota Manokwari ini diharapkan dapat:

1) Mendorong pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, bagi warga masyarakat heterogeneous budaya, agar dapat mengedepankan kebijakan budaya (cultural policy) yang dapat mengakomodir kebutuhan

indigeneousbudaya masyarakat setempat.

2) Membuka wacana pengetahuan (gnostic) akan adanya wandering of the semantics sebagai serangkaian pesan bermakna yang berhamburan dalam kesengkarutan perjalanan (trajectory) keseharian hidup masyarakat, sehingga mampu menjadikan subyek-subyek visioner yang dapat berpartisipasi sebagai creatoris ruang tak terbatas untuk mengakomodir bagi asosiasi bebas warga masyarakat.

3) Memberi kontribusi dalam perdebatan akademik tentang konsep strategi dan taktik yang ada dalam kontestasi kehidupan (pragmatis), yang sekaligus menjadi dasar untuk mengapresiasi dan penyusunan strategi kebijakan selanjutnya atas kegagalan maupun keberhasilan pembentukan ruang publik Kota Manokwari.


(29)

6. Kajian Pustaka

Dewasa ini ruang publik semakin menjadi perhatian dari dunia internasional, pemerintahan negara-negara, pemerintah daerah, hingga unit-unit wilayah yang dekat dengan lapisan masyarakat yang sekaligus menjadi kebutuhan bagi masyarakat publik. Masyarakat membutuhkan ruang publik sebagai tempat beraktivitas, mengekspresikan diri, bekerja untuk mencari nafkah, rekreasi atau pun menjalin relasi sosial dengan sesamanya.

Dalam sebuah tulisan yang bertopik Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung Bandung,

RR. Dhian Damajani8 memberikan simpulan penelitiannya di tahun 2007, bahwa:

“Konfigurasi ruang secara alamiah akan berubah sesuai situasi dan kondisi yang ada. Ruang fisik tidak menjadi batasan untuk tetap dapat melakukan aktivitas. Dengan kata lain, ruang fisik dapat “berubah bentuk” sesuai dengan konteksnya. “Peristiwa” yang dikonstruksi oleh para aktor mempunyai posisi yang lebih utama dibandingkan dengan wujud spasialnya.”9

Studi kasus pada Lapangan Cikapundung Bandung di atas memberikan pemikiran adanya kemungkinan proses perubahan bentuk dari ruang publik

8

Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

9

RR. Dhian Damajani. 2007. Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB).Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung. J. Vis. Art. Vol. 1 D. No.


(30)

Kota Manokwari yang dikarenakan oleh kebiasaan, tradisi, adat istiadat atau pun sebagai budaya mengkonsumsi pinang, karena eksistensinya akan mampu turut serta dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari. Karena berdasarkan kenyataan lapangan di atas yang walau pun tidak sejalan dengan konsep modernitas dengan suatu imaji kota bersih, rapi dan teratur; masyarakat konsumen pinang di sekitar Kota Manokwari pun dapat menjadi aktor yang dapat mengkonstruksi konfigurasi ruang publik Kota Manokwari yang baru.

Cara berpikir tersebut membantu untuk menjelaskankan adanya suatu dinamika budaya konsumsi pinang yang selama ini dipandang menjadi biang berbagai permasalahan sosio-kultural di sekitar ruang publik Kota Manokwari, yang berkaitan dengan kompleksitas persoalan-persoalan latar belakang masyarakat, arus global, serta mobilisasi penduduk yang secara evolusi turut serta dalam proses pembentukan kota sebagai ruang publik berkelanjutan.

Imaji ruang publik Kota Manokwari dalam hal ini tidak bisa terlepas dengan potret keseharian perjuangan mama-mama Papua yang berjualan pinang atau pun yang dengan berjejer menggelar karung-karung plastik untuk meletakkan barang-barang dagangan yang berupa hasil kebun di sepanjang pinggiran jalan mau pun teras pasar. Sedangkan para pedagang ‘pendatang’

berjualan dengan menempati kios/los yang lebih mapan. Keadaan yang digambarkan dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, dalam topik


(31)

Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papuaoleh I Ngurah Suryawan:

“…mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan Wosi di Kota Manokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut. … ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil dari pemekaran daerah menjadi arena baru perebutan kekuasaan ekonomi politik yang dimainkan oleh para elit-elit lokal dengan mengatasnamakan “rakyatnya” masing-masing, pemerintah Indonesia, para pendatang yang mengadu nasibnya di Tanah Papua, dan jejaring investasi global dalam berbagai bentuk dan “wajah-wajahnya” yang saling menipu

untuk memanfaatkan peluang, keuntungan, dan

kekuasaannya.”10

Di tengah ekspansi kolonialisasi, pasar global, kapitalisasi dan birokrasi pemerintah yang berkuasa, budaya mengkonsumsi pinang tetap eksisten dalam proses interaksi dan komunikasi yang mampu membangun opini dan wacana publik. M. Sastrapratedja, Guru besar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta memotret kembali ‘public sphere’ Kota Paris dan London dalam

rentang waktu akhir abad 17 dan awal abad 18 yang sedang terjadi kembali pada lingkungan masyarakat kita pada saat sekarang: “… ruang publik itu

mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, berkumpul bersama sebagai orang yang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil, berbeda

10

I Ngurah Suryawan. 2013. KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1. Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua.


(32)

dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu membentuk opini publik melalui debat rasional.”11

Pemikiran di atas meyakinkan anggapan dasar penulis tentang dinamika budaya mengkonsumsi pinang, di mana komunitas warga masyarakat berkumpul dan berkomunikasi (share) sebagai orang yang sepengalaman dalam kehidupan, sehingga melahirkan harapan, pandangan, pendapat, ide-ide dan penilaian yang melalui aktivitas keseharian dalam semua bentuk relasi dengan yang lain (the other) untuk mewujudnyatakan idealism sebuah kota sebagai ruang publik bersama.

Menggunakan pemikiran Mudji Sutrisno dalam tulisannya bertajukKrisis Ruang Publik Kultural, potret ruang publik yang dinarasikan oleh Suryawan di atas dapat menghantar kepada pemikiran untuk mempertanyakan hadirnya fenomena modernitas, dalam arti rasionalitas ekonomi modern akan menggusur dan menggantikan konsep serta sistem ekonomi tradisional suatu masyarakat. Mudji Sutrisno menyorot:

“… soal penghayatan ruang bersama yang bergeser dari makna kultural menjadi ekonomis serta apa yang berebut dan siapa yang memperebutkan ruang bersama itu; kekuatan-kekuatan manakah sehingga para pemilik awal yang semula aktif kini menjadi penonton pasif ?…Atau lebih tandas lagi, kini penonton-penonton itu sudah dijadikan obyek konsumsi


(33)

atau sekedar konsumen karena ruang bersama di dominasi oleh pemodal?”12

Pada giliran selanjutnya, muncul regulasi-regulasi yang merupakan bahasa kebijakan, menuntut penyeragaman budaya pada ruang publik kota justru memperjelas hadirnya sikap diskriminatif dalam memberikan penilaian, stigma, dan justification terhadap indigenous budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Manokwari.

Sikap dan kebijakan publik yang mengintervensi praktek budaya lokal – mengkonsumsi pinang – telah mengekang dan mempersempit ruang gerak asosiasi bebas warga konsumen buah pinang, sehingga mengancam keberlangsungan kultur dalam relasinya dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Papua. Hal ini merupakan indikasi adanya persoalan kehidupan budaya yang diakibatkan dari kontestasi hegemoni dalam mobilitas sosial, ekonomi, budaya serta politik pada forum publik.

Kesenjangan ekonomi, sosial politik dan budaya warga Papua telah menjadi bahan perbincangan serius; kesenjangan antara warga asli dan pendatang menjadi sebuah potret Papua yang memprihatinkan. Tim Jurnalis


(34)

Kompas13 melalui ekspedisi lapangan pada tahun 2007 memberikan laporannya:

“… perekonomian rakyat Papua bisa dikatakan jalan di tempat. Di berbagai wilayah, mulai dari Teluk Bintuni hingga Merauke, memang terlihat ada kemajuan pembangunan fisik. Namun yang lebih berperan dalam pembangunan dan menikmati kemajuan itu adalah para pendatang, terutama mereka yang berasal dari Buton, Bugis, dan Makassar (Sulawesi), yang lebih dikenal dengan istilah BBM. Orang asli Papua, terutama mama-mama, pada umumnya hanya mampu berdagang seadanya, seperti menjual pinang-sirih, sayuran, dan ikan di sekitar pertokoan yang dimiliki pendatang.”

Otoritas kampung sebagai ruang sosial tak terbatas telah mengalami pergeseran yang diakibatkan oleh adanya dominasi (hegemonisasi) kekuatan baru (modernitas). Suatu proses pergerseran otoritas sosial: “… the old regime no longer had the authority it had once commanded: consequently it could no longer hold fast against further changes.” (Buchanan. 2000:2) yang muncul dengan suatu perubahan otoritas kota sebagai ruang sosial terbatas, sehingga melahirkan suatu kampung dalam kota yang mempersempit ruang gerak praktek kultur masyarakat setempat.

Kampung dalam kota merujuk pada suatu habitat kehidupan sosial yang khas, tempat membentuk pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan yang ada di dalamnya. Habitat ini terbangun karena adanya mobilitas kaum


(35)

migran, yakni para pendatang yang mempersepsi dirinya sebagai pelaku-pelaku ekonomi pasar atau pun pegawai (abdi) keprajaan pada suatu ruang publik yang telah berdomisili masyarakat setempat dengan kultur kesehariannya. Keadaan ini menyuburkan dinamika kontestasi dalam ruang publik dengan ketidakteraturan dan ketegangan.

Wacana-wacana kritis di atas menjadi alasan-alasan diperlukannya memperhatikan serta memberi tempat (akomodasi) bagi upaya-upaya pelestarian indigeneous budaya masyarakat yang merupakan bagian dari kearifan lokal dalam masyarakat Papua yang mengandung nilai dan makna dalam keseharian hidup mereka. Maka melalui kajian ini diharapkan akan dapat membantu mengartikulasikan sisi dinamika budaya mengkonsumsi pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari.

7. Kajian Teori

Untuk mengkaji topik di atas penulis mempergunakan konsep-konsep pemikiran (teori) kajian budaya dari Michel de Certeau (1984) yang berjudul

The Practice of Everyday Life, sebuah karya akademik yang mengkombinasikan dengan praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan dengan dinamika budaya mengkonsumsi pinang pada proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari, penulis mengkorelasikan distingsi yang


(36)

dibangun oleh Certeau mengenai strategi-strategi kekuasaan dan taktik-taktik perlawanan yang terjadi dalam ruang publik tandingan.

Pembentukan ruang publik kota selalu menghadirkan opini, wacana serta regulasi dari pemangku otoritas wilayah (rezim penentu) yang mempunyai otoritas dominan dalam keseharian hidup masyarakat setempat. Kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi serta komitmen bersama, keduanya terangkai dalam sistem administrasi publik:

Administration is combined with a process of elimination in this place organized by "speculative" and classificatory operations. On the one hand, there is a differentiation and redistribution of the parts and functions of the city, as a result of inversions, displacements, accumulations, etc.; on the other there is a rejection of everything that is not capable of being dealt with in this way and so constitutes the "waste products" of a functionalist administration (abnormality, deviance, illness, death, etc.). To be sure, progress allows an increasing number of these waste products to be reintroduced into administrative circuits and transforms even deficiencies (in health, security, etc.) into ways of making the networks of order denser.”14

Reimagine dalam pemikiran Michel de Certeau untuk proses pembentukan sebuah ruang publik kota sarat dengan dinamika: “They move even the rigid and contrived territories of the medico-pedagogical institute in which retarded children find a place to play and dance their "spatial stories. These "trees of gestures" are in movement everywhere. Their forests walk


(37)

through the streets. They transform the scene, but they cannot be fixed in a certain place by images.”(Certeau.1984:102). Subyek-subyek hadir mentransplantasi, membawa pergi retoris dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan urbanisme hadir wandering of the semantics yang terproduksi oleh massa. Hal tersebut membuat beberapa bagian dari ruang publik menjadi hilang, distorsi, terpecah-belah, serta mengalihkan keteraturan gerak menjadi kesengkarutan. Keadaan tersebut justru memberi keuntungan kepada pihak yang mampu memainkan strategi dan taktik untuk menguasai keadaan ruang publik dalam rangka pencapaian suatu tujuan.

Proses pergeseran (penyingkiran) pada ruang publik selalu dalam klasifikasi gerak sosial masyarakat yang bersifat spekulatif. Pembedaan dan pembagian-pembagian fungsi kota yang diakibatkan oleh pembalikan, perpindahan, dan akumulasi pergeseran-pergeseran akan mengusik eksistensi kultur suatu masyarakat yang telah mapan. Proses ini menjadi suatu resistensi yang disebabkan oleh pertemuan tindakan penekanan (represi) dan perlawanan terkait dengan eksistensi budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat. Suatu proses yang memicu ketidak-nyamanan situasi sosial yang disebabkan oleh pelanggaran etika sosial.

Dengan modus penyeragaman budaya untuk sebuah gaya hidup keseharian dengan konsep-konsep modernitas oleh subyek dominan terhadap subyek masyarakat yang masih dinilai (dianggap) kolot dan tidak modern, yang


(38)

ditandai dengan regulasi dan wacana, maka akan terbentuk imaji ruang publik sebagaimana diinginkannya. Proses perjalanan situasi sejarah ini menurut Benedict Anderson merupakan “alur pertumbuhan yang mungkin dapat dinamai ‘sejarah komparatif’ yang pada gilirannya menuntun orang ke arah konsepsi yang sampai saat itu belum pernah didengar orang, ‘kemodernan’ yang diperlawanakan dengan ‘zaman kuno’ (antiquity), niscaya tak menguntungkan bagi yang disebut belakangan tadi.”15

Sebagaimana situasi sengkarut sebuah ruang publik kota yang digambarkan oleh Michel de Certeau: "The city," like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number of stable, isolatable, and interconnected properties.” (Certeau.1984:94). Demikian pula dalam realitasnya di Kota Manokwari semua predikat dan fungsi yang beragam dapat berasosiasi atau pun justru memisahkan diri, sehingga kota sebagai ruang publik bersama menyajikan berbagai peristiwa dengan ketidakstabilan, diisolasi, properti yang masing-masing saling berhubungan serta memiliki beragam makna.

Maka kota menjadi sebuah ruangpengucapan ketiga: “The intervention of The Third Space of enunciation, which makes the structure of meaning and reference an ambivalent process, destroys this mirror of representation in which cultural knowledge is customarily revealed as an integrated, open,


(39)

expanding code.”(Bhabha. 1994:54), sehingga ruang publik Kota Manokwari realitasnya menjadi sebuah tempat pertandingan (the counter public sphere)di antara otoritas-otoritas subyek peserta kontestasi. Ruang publik kota menjadi arena dengan ketegangan yang disebabkan adanya dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat, berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas

Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan (the counter public sphere)tidak berhenti dengan penerapan strategi dan taktik, menurut Certeau dalam prosesnya sangat mungkin terjadi penjungkirbalikan posisi kontestan sebagai pemegang dominasi:

“By contrast with a strategy (whose successive shapes introduce a certain play into this formal schema and whose link with a particular historical configuration of rationality should also be clarified), a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus. No delimitation of an exteriority, then, provides it with the condition necessary for autonomy. The space of a tactic is the space of the other.”16

Oleh karenanya pemakai strategi sangat mungkin harus menerima kekalahan dan harus berganti menerapkan taktik.


(40)

Strategi bermain dalam struktur resmi yang dilatarbelakangi rasionalisasi sejarah yang dapat diklarifikasi, sebaliknya taktik terlahir ditentukan oleh locus

ruang lain yang berada di bawah otoritas pemakai strategi. Taktik bermain pada arena organisasi (management) kekuatan asing yang dominan.In short, a tactic is an art of the weak.17 Karena taktik terlahir sangat ditentukan oleh ketiadaan kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat18

kekuasaan.

Pembentukan sebuah ruang publik selalu terjadi dalam suatu proses interaksi sosial, dimana subyek-subyek saling membagi pengetahuan sehingga membentuk suatu karakter yang akan melahirkan idea dan pengetahuan tentang dunia sosial dengan ragam wujud, suasana, jenis serta ukuran ruang publik sebagairuangan tak terbatas. Dalam hal tersebut, Certeau menguraikan konsep pemikirannya:

It would be legitimate to define the power of knowledge by this ability to transform the uncertainties of history into readable spaces. But it would be more correct to recognize in these "strategies" a specific type of knowledge, one sustained and determined by the power to provide oneself with one's

own place. … It makes this knowledge possible and at the

same time determines its characteristics. It produces itself in and through this knowledge.”19

17

Ibid.hal. 37.


(41)

Tentang terbentuknya suatu ruang publik kota, pada bukuThe Practice of Everyday Life dalam sub judul Walking in The City, Certeau memberikan konsep pemikirannya dalam 3 (tiga) prasyarat operasional untuk terbentuknya sebuah kota yang ideal sebagai ruang publik; (1) Produksi ruang dengan cara mengorganisasi secara kompromis dalam pengelolaan fisik, mental dan situasi politik; (2) Sinkronisasi sistem dengan suatu keberanian untuk keluar dari kebiasaan dalam mengelola dan memanfaatakan peluang dari potensi resistensi; pembatasan taktik, penyimpangan dan reproduksi kekeruhan sejarah; 3) Menciptakan subjek universal yang anonim dalam sebuah kota, yang berupa atribut-atribut serta model politik.20

8. Metode Penelitian

Pengkajian budaya yang mengambil topik Dinamika Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari dilakukan pada lingkup kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Manokwari, secara lebih khusus membatasi pada kebiasaan (tradisi) mengkonsumsi pinang yang telah membudaya dalam keseharian masyarakat Papua.

Budaya mengkonsumsi pinang tetap bertumbuh kembang dalam arus modernitas yang telah memasuki keseharian hidup daam masyarakat

20


(42)

Manokwari. Menurut Saukho dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies, pertumbuhan suatu sebuah tradisi/budaya masyarakat yang berkembang dalam era globalisasi digambarkan pada posisi: “… between two currents in empirical research in cultural studies that were interested in either the microcosmos of individual experience or the macrocosmos of global, economic powerstructures (Saukko,1998).”21 Dalam perkembangan budaya tersebut akan menghadirkan berbagai pengalaman individu mau pun komunitas masyarakat setempat, masyarakat migran, atau masyarakat urban yang ada di Kota Manokwari Papua Barat.

Untuk memperoleh data dan informasi lapangan dalam rangka penelitian dan pengkajian budaya mengkonsumsi pinang, penulis menggunakan teknik pendekatan dengan metodologi yang didasarkan dari pemikiran-pemikiran Michel de Certeau dalam bukunya The Practice of Everyday Lifepada bagian VII (Walking in the City). Dengan metodologi ini bertujuan untuk mengartikulasikan wandering of the semantics22 (Certeau 1994:102); menemukan serta membaca strategies dan tactics yang dipergunakan oleh subyek-subyek pada lintasan yang tak teratur pada ruang publik masyarakat urban; untuk melakukan penyelidikan (eksplorasi) dan penggarapan (elaborasi) dari pengalaman-pengalaman hidup masyarakat dalam proses pembentukan


(43)

Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Dengan metode ini

pejalan kaki/walker(peneliti: saya) bermaksud menemukan makna serta pesan yang simpang siur dari ruang publik (territorial) Kota Manokwari tempat warga masyarakat budaya konsumsi pinang masih hadir dengan eksistensinya.

Metodologi tersebut mendapatkan sebuah apresiasi dari Highmore: “I want to show how the methodology of de Certeau is always also social. Explicating his work of cultural policy is a way of making vivid something that is already there in the historiography, in the contemporary ethnology.”23 Metodologi Walking in the City terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani; tentang sosok heroik Icorus yang dipandang sebagai tokoh simbol yang memiliki keberanian dalam mengeksplorasi hal-hal yang baru, manusia dewa (bersayap) tukang intip yang dalam posisi terbangnya mampu mengamati obyek sesuai dengan tujuannya. Melalui metodologi Walking in the City, walker menjadi pengamat sekaligus peneliti dengan menggunakan teknik/cara untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang publik secara lebih detail dan menyeluruh–bahkan tanpa harus memilih pada suatu obyek dengan klasifikasi tertentu – pada yang tak teratur, kotor, tidak normatif atau pun perihal yang tidak pernah dianggap umum dan wajar oleh penilaian publik sekalipun. Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung pangkal dari topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar,

23


(44)

mengiyakan, sambil memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan (trajectory) dalam kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar, tercium dan terasakan sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup warga masyarakat Manokwari, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dan pesan-pesan bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini.

Voyeurisme24 icorian menjadi sebuah karakter yang memiliki dorongan tidak terbatas, dengan secara diam-diam mengintip, mengamati dan memperhatikan secara seksama untuk memperoleh masukan berupa informasi dan data dari peristiwa-peristiwa pada ruang publik yang diamati, sehingga mendapatkan pemenuhan rasa puas atas kebutuhan dan keinginannya.

Demikian pula dengan berjalan kaki (blusukan), akan menjadi subyek yang berkemungkinan menyerap beragam pesan dari kejadian-kejadian di sepanjang dan selebar (ruang) kota. Menurut Certeau, Walker dapat mendekat atau pun menjauh dari apa yang ada dan terjadi, bahkan dapat terlibat langsung atau pun hanya mengamati dari kejauhan seperti dewa:

“An Icarus flying above these waters, he can ignore the devices of Daedalus in mobile and endless labyrinths far below. His elevation transfigures him into a voyeur. It puts him at a distance. It transforms the bewitching world by 24


(45)

which one was "possessed" into a text that lies before one's eyes. It allows one to read it, to be a solar Eye, looking down like a god. The exaltation of a scopic and gnostic drive: the fiction of knowledge is related to this lust to be a viewpoint and nothing more.”25

Pejalan kaki dapat menempatkan diri dalam berbagai posisi yang memungkinkan untuk mendapatkan pengelihatan (visi) dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan-pesan tersebut akan bertransformasi dalam diri sehingga menjadikannya sebagai seorang visioner.On the 110th floor, a poster, sphinx-like, addresses an enigmatic message to the pedestrian who is for an instant transformed into a visionary: It's hard to be down when you're up. (Certeau.1984:92)26.

Untuk mendapatkan informasi dan data yang sahih penulis hadir dan masuk dalam dinamika kehidupan warga masyarakat Numfor, Wondama serta warga asli Papua lainnya yang pada umumnya memiliki kebiasaan mengkonsumsi pinang buah mau pun pinang kering (gebe) di sekitar Kota Manokwari Papua Barat. Kebiasaan yang telah membudaya ini merupakan identitas simbolik yang memiliki makna dan kekuatan persaudaraan di antara mereka.

25


(46)

Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung pangkal dari topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar, mengiyakan, sambil memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan (trajectory) dalam kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar, tercium dan terasakan sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup warga masyarakat Manokwar, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dan pesan-pesan bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini.

Posisi peneliti menjadi pengamat (observator), pelaku yang terlibat dalam obrolan bersamamama-mama penjual pinang serentak mendapatkan informasi, pengetahuan, makna, serta pesan-pesan yang terkandung dalam ragam peristiwa, yang kemudian mewacanakannya27 melalui proses pencarian relasi kasualitas dari realita-realita yang ada. Dengan cara demikian, walkermenjadi penonton dan pemerhati yang berkesempatan menyesuaikan dengan posisi dekat atau pun jauh dengan subyek serta obyek yang diamatinya dalam jarak seperlunya. Proses ini menjadi teknik mendapatkan visi dan pesan untuk dijadikan bahan kajian dan penyusunan karya tulis ini.

Informasi dan data lapangan selanjutnya dipertajam dengan hasil dokumentasi visual dan wawancara lapangan terhadap berbagai pihak yang sependapat, berselisih, dan bahkan dengan pihak yang selalu berbeda dalam cara pandang maupun pun orientasi kemanfaatan dari kebiasaan mengkonsumsi


(47)

buah pinang. Perihal tersebut terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat yang berkonstelasi dalam ranah operasional komoditas ekonomi perdagangan pinang padalocusruang publik Kota Manokwari.

Dengan segala keterbatasan, pejalan kaki tidak akan mampu secara penuh (totality) terlibat aktif dengan yang ditemuinya, namun yang bersangkutan mempunyai kesempatan menjadi seorang vision atau puncreator untuk situasi yang diidealkan pada masa selanjutnya.

Karakter tersebut menjadi acuan dasar melakukan penelitian guna mendapatkan data-data lapangan untuk diklarifikasi dan analisa, sehingga menjadi sebuah pesan bermakna. Pesan bermakna tersebut menjadi dasar pembuatan sebuah teks cultural policy yang akan digunakan dalam membangun dan mengubah (menyihir) suatu ruang publik menjadi sebuah kota impian:“he ended by hoping for a ’nouveau monde' de l'Esprit".28

Upaya mendapatkan data dan informasi lapangan dalam penelitian kajian budaya ini dengan teknik wawancara, pemotretan visual, serta studi kepustakaan dengan pendekatan sebagai berikut;

1) Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan ini menurut Moleong dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif merupakan tradisi penelitian kualitatif yang “ berusaha

28


(48)

memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang

biasa dalam situasi tertentu. … Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari pelaku orang.”29 Tradisi mengkonsumsi pinang dalam masyarakat tradisional Papua merupakan fenomena sosial-budaya yang sarat dengan makna dalam keseharian hidup masyarakat setempat.

2) Pendekatan Etnografis

Pendekatan ini merupakan sebuah teknik peneliti dan pengamat dalam mempelajari kehidupan sosial dan budaya suatu masyarakat, yakni budaya mengkonsumsi pinang yang memiliki keterkaitan (konstelasi) dengan subyek-subyek yang ada pada ruang publik Kota Manokwari.

Berkaitan dengan topik penelitian tentang dinamika budaya konsumsi pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari, maka informasi dan data didapatkan pada:

1) Kelompok, lokasi dan responden/informan penelitian; a. Dewan Adat Masyarakat Manokwari

b. Masyarakat publik Kota Manokwari. c. Penjual pinang di Kota Manokwari

d. Masyarakat konsumen pinang di Kota Manokwari30. e. Pemerhati masyarakat Papua


(49)

2) Penelitian Kepustakaan;

a. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

b. Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Manokwari c. Artikel dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian 3) Sumber-sumber data yang bersifat sekunder didapatkan dari;

a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Manokwari

b. Dinas Perdagangan dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kabupaten Manokwari

c. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manokwari d. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari e. Stasiun Regional RRI Manokwari.

f. Distributor dan pelaku bisnis perdagangan rokok

g. Website yang berkaitan dengan topik penelitian dan pengkajian.

9. Sistimatika Penulisan

Hasil kajian melalui penelitian lapangan ini disusun dalam 5 (lima) bab. Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tema penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis serta metode penelitian.


(50)

Pada bab II akan mengurai tentang konteks wacana budaya konsumsi pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab pertama dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan Nusantara (Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik Kota Manokwari sebagai locuskajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub ketiga membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota Manokwari.

Dalam bab III akan dipaparkan perolehan data dan informasi dari lapangan penelitian; konstelasi budaya konsumsi pinang dengan ruang publik, imaji tentang konsumsi pinang dalam masyarakat asli dan pendatang di Papua, keberbedaan idealisme dan citra kota modern yang melahirkan kontestasi, konflik, kebijakan publik, serta dialektika negosiasi pada ruang publik Kota Manokwari.

Pada bab IV akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena budaya konsumsi pinang dalam masyarakat di Kota Manokwari dalam rentang tahun 2010 hingga tahun 2015 telah menjadi ruang pengucapan ketiga (the Third Space of


(51)

enunciation)31 sebagaimana digagas oleh Homi K. Bhabha yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.

Pada bab ini juga berisikan tentang pokok-pokok pemikiran Certeau dalamThe Practice of Everyday Life(1984) tentang dinamika negosiasi strategi dan taktik untuk mewujudkan kemapanan dan ranah operasional sebuah kota menjadi dasar analisa serta penjabarannya. Apresiasi dan pemikiran Ian Buchanan (2000):Michel de Certeau Cultural Theorist; Ben Highmore (2006):

Michel de Certeau Analysing Cultureserta tulisan pemikir akademik lainya. Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh hasil kajian budaya ini.


(52)

BAB II

WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG

Pada bab kedua ini akan mengurai tentang konteks wacana budaya konsumsi pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab pertama dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan Nusantara (Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik Kota Manokwari sebagai locus kajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub ketiga membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota Manokwari.

1. Budaya Konsumsi Pinang 1) Buah Pinang1

Tumbuhan pinang tersebar dan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat di kawasan Asia. Dalam Jurnal Phytotaxa, Prof. Charlie D. Heatubun2 mengurai persebaran beragam spesies tumbuhan pinang di Kepulauan New Guinea (Papua) dan Salomon yang berasal dari India dan China bagian Selatan melaui Malaysia: “The palm genus Areca Linnaeus (1753: 1189) is distributed from India and South China through Malesia to New Guinea and


(53)

the Solomon Islands (Dransfield 1984, Dransfield et al. 2008), and contains approximately 50 species (Henderson 2009).”3 Pinang merupakan sepecies palma yang tumbuh di wilayah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur. Di berbagai wilayah Nusantara tanaman ini mempunyai beragam nama; Aceh:

pineung, Batak Toba:pining, Sunda dan Jawa:jambe, Madura:penang, serta masih ada sebutan lain untuk daerah yang berbeda.

Masa produktif tumbuhan ini setelah berumur 4 – 6 tahun, dan puncak produksi dicapai pada umur 10 – 15 tahun hingga usia 20 tahun. Buahnya dikatakan masak saat berubah dari warna hijau menjadi jingga atau merah.

Gambar 3. Tanaman pohon Pinang Keluarga Lazarus Fanghoy di Kampung Bouw Distrik Manokwari Barat.4

Tanaman dari keluarga (family) arecaceae ini berpotensi sebagai tanaman obat dan beragam manfaat dalam keseharian hidup masyararakat

3


(54)

penggunanya. Tumbuh pada segala jenis tanah, namun lebih cocok pada tanah yang banyak mengandung unsur hara yang tidak berbatu dan berkapur, pada ketinggiannya tanah antara 0–1.400 meter di atas permukaan laut (dpl), namun sangat ideal pada kisaran 0 – 700 meter dpl. Pertumbuhannya memerlukan cukup sinar matahari, tanpa genangan air, dan dengan suhu antara 200C–300C. Maka tanaman ini lebih banyak terdapat di daerah pesisir pantai dari pada di pegunungan.


(55)

Zat yang terkandung dalam buah pinang meliputi arecolidine, arecaidine, guvacoline, guracine dan beberapa senyawa lain, sedangkan bijinya memiliki kandungan alkaloida;6 sepertiarekaina dan arekolina yang bersifat adiktif dan dapat merangsang (simultan) otak.7 Bijinya yang pahit, pedas dan hangat, mengandung alkaloid 0,3% – 0,6%. Kandungan arecolin

dapat dimanfaatkan untuk obat cacing serta bahan obat penenang, maka bersifat memabukkan penggunanya.8 Selain itu juga mengandung retanin 15%, lemak 14% (palmitic, oleice, stearic, caproic, caprilic, laoric, myristic acid), kanji dan resin. Terlebih untuk bijinya yang masih segar terkandung alkaloid 50% lebih banyak dibandingkan dengan biji yang telah mengalami perlakuan. Buah pinang juga dapat dijadikan bahan industri sabun, penyamakan kulit, pasta gigi, pewarna, kosmetik, cat air, pernis, dan seratnya dapat dibuat kuas gambar atau kuas alis,9 sedangkan batang pohon ini dapat dipakai sebagai jembatan atau talang air, dan melalui proses penyulingan, daun pinang yang dicampur daun sirih akan dapat dihasilkan minyak untuk menyembuhkan gangguan radang tenggorokan dan pembuluhbronchial.

6

Istilah "alkaloid" berarti "mirip alkali", karena dianggap bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner (1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina).

7

www.deherba.com. Copyright 2015 PT Deherba Indonesia – Pakuan Hill, Livistona Blok C No. 18, Bogor 16137. (14-10-2015).

8

tanamandanobat.blogspot.co.id/2008/12/pinang.html. 2 Desember 2008. (14-10-2015).

9

James J. J. Carel Siahainenia. 2000.Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas


(56)

2) Manfaat Mengkonsumsi Pinang

Konsumsi pinang merupakan proses meramu pinang segar (masih hijau) mau pun kering (yang telah diiris dan dijemur), sirih, dan kapur yang kemudian dikunyah. Bagi masyarakat di Asia Selatan, Tenggara serta Asia Pasifik tradisi ini telah lama dilakukan. Pada umumnya aktivitas konsumsi pinang dilakukan secara bersama-sama, oleh semua kelompok usia (kecuali balita), wanita dan anak-anak, namun dalam beberapa etnis, dengan alasan ritual adat maka hanya dilakukan oleh orang dewasa saja.

Karena bersifat stimulant, buah pinang dapat mempengaruhi proses metabolisme serta kejiwaan konsumernya. Materi herbal ini diidentifikasi mengandung stimulant narkotik ringan. Sirih pinang has been identified as

‘ein sehr mildes, narkotisch stimulierendes Genusmittel’ (a very mild, narcotic stimulant) (Lewin 1889:69).10 Efek stimulantnya antara lain si konsumer lebih mudah mengobral kata-kata, kurang mampu mengendalikan diri dalam pemilihan kata.

Saat seseorang mengunyah akan memperoleh sensasi menyenangkan, rasa pedas, panas, tajam, dan aromatik, sehingga terasa sedap di mulut. Jika mengkonsumsi dalam jumlah berlebihan akan merasakan ketidakseimbangan tubuh (Jawa:ngliyeng), bahkan bisa mabuk, tergantung pada ketahanan tubuh masing-masing. Reaksi lain adalah membuat percaya diri, membangkitkan


(57)

semangat dan lancar dalammelisankan /mengomongkanapa saja yang ada di dalam hati atau pikirannya, sehingga terkesan seperti orang mabuk yang sembarangan bicara.

3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia

Tradisi mengkonsumsi pinang-sirih di Kepulauan Nusantara terbaca dalam pada relief Candi Sukuh11 yang dibangun sekitar tahun 1359 Saka (1437 Masehi), dengan jelas ditampilkan banyak pohon pinang sebagai latar belakang bangunan rumah-rumah, dan latar peristiwa pertemuan-pertemuan penting dan memiliki makna dalam keseharian hidup di masa itu. Secara khusus pada relief tersebut digambarkan tegak berdirinya pohon pinang yang mengayomi pertemuan sepasang mempelai (Sadewa dan Ni Padapa) yang pada akhirnya menjadi pasangan suami istri. Pohon pinang dihubungkan dengan peristiwa perkawinan antara kedua anak Bagawan Tambapetra dengan Sadewa (Sudamala) yang telah berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan tersebut.

Dari Kidung Sudamala ZANG (bagian) IV pada ayatnya yang ke 19-21 diceriterakan;

(19) Bagawan alon ujarre, lah nini hanakingwang, haturakena kang sdah mengko, kalih siro pada hanembah

11


(58)

ring sang sudamala mangke.(20)Lah ngaturri sdah mangke, raden soka padap, semwerang nher hanapa mangko, hulih bagya punika sedah, katurring sira rahaden. (21) Raden sudamala linge, sawyanagapi sdah, lah hasuruda nini sunmangko, ring panembahanira tuwan, hisun hatarima manke. (22) Tambapetra lon ujarre, wus katanggapan sdah, lah ta lungguha ninyanakingngong, ring sandingngira rakanira, kalih halungguha raden.12

Gambar 5.Relief pada Candi Sukuh yang mengekspresikan pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra. Pohon yang dilukis pada adegan ini adalah pohon pinang.13

Yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut;

(19) Begawan Tambapetra manis kata-katanya: “Anak

-anakku, persembahkanlah sirih itu kepada kakandamu.”

12

Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


(59)

Maka mempersembahkan sirihlah kedua gadis itu kepada Raden Sudamala. (20) Pada waktu ni Soka dan ni Padapa mempersembahkan itu tampak agak malu mengeluarkan kata-katanya: “Selamat datang Pangeran, hamba

persembahkan sirih kepada Tuan.” (21) Raden Sudamala berkata, sambil menerima sirih: “Nah, sudah kuterimalah sirih persembahan, silahkan mundur!” (22) Tambapetra berkata manis: “Kini sirih telah diterima. Nah pergi duduk

di samping kakandamu, di situ berjajar dengan Rahaden

Sadewa!”14

Memang tidak disinggung berkaitan dengan kata buah pinang, namun muncul katasedah(sirih)–dalam relief tersebut terlihat jelas tegak berdiri 3 buah pohon pinang, dan bukannya pohon sirih – yang digunakan sebagai

piranti (alat) untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Sudamala atas disembuhkannya Begawan Tambapetra. Ketulusan menghormati, menerima kehadiran, dan terima kasih kepada Sudamala yang dilakukan dengan cara mempersembahkan sedah (sirih) menjadi simbol dan memiliki makna kekeluargaan, persahabatan dan bahkan terima kasih itu diwujudkan dengan satu ikatan perkawinan15antara kedua anak Tambapetra dengan Sudamala.

14

Ibid.hlm.90.

15

Cerita di atas segaris dengan penyajian kakes(dalam sebuah piring yang berisi pinang, sirih, dan kapur) dalam adat budaya meminang bagi masyarakat Suku Biak di Papua. Ketika pihak laki-laki berkenan menikmati sajian kakes yang dibawa oleh pihak perempuan, berarti “sebagai tanda


(60)

Peristiwa pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra di bawah pohon pinang, dapat dikaitkan dengan tahap persiapan menuju perkawinan,16 sebagaimana istilah meminang yang digunakan dalam masyarakat Nusantara.

Menurut Roy E. Jordaan dan Anke Niehof dalam artikel Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia,17 menjadi salah satu sumber dalam mendeskripsikan budaya konsumsi pinang dan pemaknaanya. Jurnal antropologis ini mengangkat beberapa kebiasaan penggunaan sirih dan pinang dalam keseharian masyarakat di Madura, Sulawesi, Sumba, Maluku dan beberapa wilayah Timur Nusantara lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Malaysia, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kebiasaan mengkonsumsi pinang dengan menjamu daun sirih dan bahan-bahan lain merupakan bagian utama sebagai tahap pembuka sebelum melakukan musyawarah, maka hingga kini mengkonsumsi pinang tetap menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Melayu: “… it is customary in Malay society that a serving of sirih leaves and other betel-chewing ingredients precedes any kind of deliberation, at it suggests the ideas of understanding and agreement (Panuti 1983:231)”18 dan

16

Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


(61)

tradisi tersebut hingga kini masih banyak ditemukan di wilayah Kepulauan Nusantara (Indonesia).

Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Belanda (abad 16) di kepulauan nusantara, mereka telah mengapresiasi dan menyadari peran dan manfaat tradisi mengkonsumsi pinang yang mampu membangkitkan dinamika keseharian hidup masyarakat koloninya:

Offering your guests the ingredients to make themselves a betel quid still belongs to the rules of hospitality in many rural areas in Indonesia. The Portuguese and the Dutch who came to the archipelago in the 16th century quickly perceived the great social importance of sirih chewing. As Rumphius observed in 1741, it was necessary for those who daily mixed with the native rulers to adopt the custom (Veenendaal 1985:88-82).”19

Rumphius melaporkan bahwa orang-orang yang kesehariannya berelasi dengan petinggi wilayah setempat dianjurkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan budayanya, termasuk tradisi konsumsi pinang tersebut.20 Penyesuaian terhadap tradisi setempat bertujuan untuk mempermudah pendekatan dengan masyarakat setempat, dengan harapan maksud dan pesan-pesan komunikasinya tersampaikan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Sirih pinang menjadi sangat berperan dalam upaya menjalin hubungan kekerabatan

19


(62)

“…sirih pinang also serves to mark specific kinship relationship …”21, yang sekaligus dapat menjadi medium untuk tujuan-tujuan tertentu.

Roy E Jordan dan Anke Niehof mengurai tentang materi sirih pinang dan pelengkapnya menjadi sarana budaya yang memiliki makna serta nilai– nilai dalam kultur masyarakat Indonesia: “… how sirih pinang and its accecories are used to underscore basic cultural notions and important social distinctions throughout Indonesia. Our perspective will be that of sirih pinang as a symbolic construct or a vehicle of meaning.”22 Sirih dan pinang dalam budaya Nusantara mendapat apresiasi dan posisi bermakna dan berharga, karena bukan hanya sebagai materi untuk dikonsumsi tetapi juga mengandung filosofi, makna dan nilai-nilai budaya yang menjadi norma dasar untuk menata kehidupan masyarakat dalam kesehariannya.

Gambar 6. Serangkaian bahan-bahan konsumsi pinang, yang selalu dipersiapkan dalam pertemuan-pertemuan ritual adat siklus kehidupan masyarakat di sebagian besar wilayah Nusantara.23


(63)

Imaji menyeramkan sekaligus menakutkan berkaitan dengan pinang juga diungkapkan oleh Roy E Jordan dan Anke Niehof;

In Couperus’s novel ‘De stille kracht’ (The silent force), for example, supposedly evil supernatural powers mysteriusly stain their victim with red phlegm while she taking a bath. In less dramatic sources, however, sirih spittle is cited for its healing powers, or it is used to smear upon ritual objects and offerings. The terrifying effect that sirih spittle has on the Dutch characters in Couperus’s novel could well be a

projection of the colonials’fear of Eastern magic.24

Rodolf Mrazek dalam buku Outward Appearances. Trend, Identitas, Kepentingan menuliskan bahwa ada banyak bagian dalam novel De stille kracht, “Kekuatan Yang Tersembunyi” (1900) karya Hindia Couperus yang memberi sugesti menakutkan. Tradisi konsumsi pinang memberi effect baca

dengan hadirnya kekuatan misterius dan supranatural jahat dari ludah merah

sirih pinang. Ludah merah pinang mampu memberi sugesti menakutkan, yang diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Dapat dipahami bahwa ada indikasi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi kepada kolonial Belanda dengan menggunakan kekuatan tersembunyi yang dipahami sebagai a projection of the colonials’ fear of Eastern magic yang membuat perasaan takut bagi kolonial Belanda.


(64)

Keterkaitan pemaknaan cerita yang ditulis Roy E Jordan dan Anke Niehof dalam Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia; to make a marriage proposal is popularly called meminang (a verb form derived from pinang) in Indonesian.25 Kata pinang sebagai kata benda dan meninang

sebagai kata kerja, memberi arah adanya kesepahaman makna dari obyek material yang dibawa ke dalam suatu aktifitas yang membangkitkan dinamika siklus kehidupan manusia (perkawinan).

Demikian pula dalam tradisi maupun keseharian masyarakat Numfor (Biak), masyarakat Windesi serta Wamesa (Teluk Wondama) yang ada di Manokwari Papua Barat, di dalam moment acara-acara yang berkaitan dengan adat budayanya akan selalu ada jamuan sirih pinang. Pinang menjadi satu simbol yang mempunyai makna dalam kehidupan sosial-kultur, sebab dengan menyajikan kakes (berupa sirih, pinang dan kapur)26 akan miliki dampak sosial serta makna persaudaraan pada diri setiap hadirin dalam kebersamaanya. Kakes diperuntukkan bagi setiap hadirin yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat untuk merencanakan suatu pekerjaan atau meyelesaikan masalah bersama yang berkaitan dengan sosialita kemasyarakatan; misalnya membangun rumah, penyelesaian suatu masalah

25

Ibid. hlm.169.


(65)

(perkara), mempersiapkan pesta perkawinan (meminang) atau pun siklus peristiwa kehidupan bersama lainnya.

Pinang sirih menjadi sarana pembangkit semangat (spirit) etos kehidupan yang telah membudaya dengan beragam fungsi; misalnya untuk pemeliharaan dan kesehatan gigi, kakes (makanan kecil), Wor K’bor27(inisiasi), Yakyaker (antar mas kawin), Kinsor (magic) dan juga bahan kontak komunikasi.28

Mencermati Kidung Sudama serta beberapa adat budaya dalam masyarakat Nusantara di atas, perlu dipahami dan menjadi asumsi dasar bahwa meskipun sirih dan pinang yang dikonsumsi namun tetap saja akan disebutsirih pinang. Dua kata tersebut membentuk konsep yang tidak hanya menunjukkan materi sirih dan pinangnya, akan tetapi menjadi makna simbolis untuk falsafah dan nilai-nilai kehidupan; seperti bersamaan, kekeluargaan, serta wujud penghargaan terhadap subyek-subyek lain yang berkaitan dalam keseharian masyarakat penggunanya.

27

Upacara inisiasi bagi para pemuda yang telah lulus (berhasil) dari rumah bujang (rumsram) yang dilakukan selama berminggu-minggu dengan tarian, nyanyian, dan juga minum saguer (swansrai).

28

Diolah dari karya akademik James J. J. Carel Siahainenia. 2000.Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari:


(66)

4) Budaya Konsumsi Pinang di Papua

Mengkonsumsi pinang dinimakti oleh hampir semua kalangan (umur, status, pekerjaan), menyatu padu dalam kehidupan sehari-hari. Kemana dan dimana pun berada mereka selalu ada (stock) sirih dan pinang. Ketersediaannya pun mudah diperoleh pada los-los atau lapak-lapak penjualan yang berada di pasar sentral, pasar tradisional, pinggiran jalan serta lorong-lorong pemukiman penduduk.

Gambar 7. Komoditi pinang kering (gebe) merambah pasar-pasar tradisional di Manokwari.29

Di Indonesia bagian Timur, terlebih pada masyarakat di wilayah pantai bagian utara pulau Papua; seperti Biak Numfor, Serui, serta masyarakat Teluk Wondama kebiasaan yang juga merupakan tradisi mengkonsumsi (mengunyah) pinang yang disebut panon beren (Windesi) atau sauw

(Wamesa) serta an ropum dalam masyarakat etnis Biak Numfor di Manokwari ini masih tetap eksis dan menjadi keharusan untuk disajikan


(67)

dalam pertemuan-pertemuan formal mau pun non formal. Mengkonsumsi pinang dan sirih secara bersama menjadi sarana utama untuk mengawali suatu pembicaraan yang dinilai penting dalam kehidupan bersama, sehingga tidak ikut mengkonsumsi pinang dapat dikatakan‘tidak tahu adat’. Tetua adat selalu membawa dan menyediakan sirih, pinang, dan kapur dalam kesempatan-kesempatan bernuansa kelokalan adat budaya. Mereka saling menawarkan seperangkat bahan konsumsi pinang, dan orang akan dinilai beretika (tahu adat) jika sering menawarkannya.

Ketika dua atau tiga orang berkumpul sangat mungkin akan terjadi aktivitas konsumsi pinang dan pemuntahan ludah merah yang disertai dengan sekedarngemop30sampai dengan pembicaraan yang serius.

Seiring dengan mobilitas masyarakat asli Papua dan pendatang di Manokwari, lambat laun kebiasaan mengkonsumsi pinang merambah ke pedalaman. Sebagian masyarakat Pegunungan Arfak dan para pendatang di Manokwari tampak sudah ikut serta dan biasa mengkonsumsi pinang, hal tersebut terjadi seiring dengan proses relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Mengkonsumsi pinang; sauw (Windesi), panon beren (Wamesa), an ropum (Biak Numfor) telah menjadi identitas kultur masyarakat Papua yang memiliki makna dan simbol kekeluargaan dan kesatuan masyarakat di

30


(1)

164 DAFTAR NARASUMBER

Narasumber

Narasumber 1: Seorang tokoh masyarakat Asli Sidey Pantai Manokwari, Kepala Bagian Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Manokwari. (55 tahun)

Narasumber 2: Seorang misionaris Augustinian asal Belanda, pemerhati masalah sosial dan budaya masyarakat Papua yang telah berpuluh-puluh tahun berkarya di Tanah Papua (69 tahun).

Narasumber 3: Kepala Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Dinas Perdagangan Kabupaten Manokwari.

Narasumber 4: Seorang penjual pinang kering (gebe) di Pasar Tingkat Sanggeng Manokwari. Distrik Manokwari Barat.

Narasumber 5: Seorang penjual pinang buah (basah) di Pasar Tingkat Sanggeng Manokwari. Distrik Manokwari Barat.

Narasumber 6: Pimpinanagentdan distributor rokok dari CV.Sinar Surya Mandiri (SSM) Manokwari. Distrik Manokwari Barat. (53 tahun).

Narasumber 8: Seorang gadis kecil Kelas 5 Sekolah Dasar dari Kampung Maripi Distrik Manokwari Selatan.

Narasumber 9: Seorang gadis kecil Kelas 4 Sekolah Dasar r dari Kampung Maripi Distrik Manokwari Selatan.

Narasumber 10:Kepala Sub Bagian Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Manokwari.

Narasumber 11:Seorang Mama Papua yang sudah sejak kecil mengkonsumsi pinang dari Distrik Manokwari Selatan (54 tahun).

Narasumber 12:Seorang Tokoh Masyarakat, Anak seorang Pahlawan Nasional dari Papua, Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (67 tahun).

Narasumber 13:Seorang Staf Ahli Gubernur Papua Barat Bidang Ekonomi dan Keuangan. Propinsi Papua Barat (54 tahun).

Narasumber 14:Seorang bapak yang kesehariannya sebagai seorang nelayan dari Bandung Bahari Manokwari (60 tahun).


(2)

165 sekolah di Taman Kanak-Kanak (25 tahun).

Narasumber 16:Seorang Staf Kantor Distrik Manokwari Timur, dalam jabatan sebagai Staf Bidang Pemerintahan. (40 tahun).

Narasumber 17:Seorang Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi pada Universitas Mercu Buana Yogyakarta, berasal dari Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat. (19 tahun).

Narasumber 18:Seorang warga Babarsari Yogyakarta, pensiunan pegawai Telkom di Jayapura (1982-1995). (62 tahun).

Narasumber 19: Seorang pegawai pada Lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Propinsi Papua Barat. (25 tahun).

Narasumber 20: Seorang wartawati senior pada Stasiun Regional RRI Manokwari Papua Barat.


(3)

166 LAMPIRAN PERSURATAN


(4)

(5)

(6)