Budaya Konsumsi Pinang di Kota Manokwari

112 Hal ini berpotensial menjadi media pembangkit dinamika konstelasi kehidupan masyarakat pruralis multicultural, katalisator eskalasi politik- keamanan dalam keseharian masyarakat, serta mampu mendekonstruksi dan mengkonstruksi tata kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat setempat. Pruralitas multicultural masyarakat ‘pasar pinang’ yang terdiri dari masyarakat Biak Numfor, Serui, Wondama, serta beberapa para pemdatang dari luar Papua di Kota Manokwari menyuburkan bertumbuh-kembangnya wandering of the semantic yang akan menjadi materi bangunan-bangunan wacana serta peristiwa baru pada wilayah publik: “…pasar dijadikan sebagai metafor bagi keadaan masyarakat kita sekarang dengan berbagai paradoksnya. “Pasar” ia jelaskan sedemikan rupa sehingga ia bukan hanya merupakan tempat jual beli, namun sudah menjadi kategori baru untuk mengolah pengalaman hidup manusia…”Sunardi.2003:2-3 10 dari beragam budaya dan kepentingan yang mewujud dalam lunturruntuhnya tata kehidupan sebelumnya, dan terbangunnya tata kehidupan selanjutnya, dengan kebijakan dan regulasi yang disertai dengan munculnya kelas-kelas masyarakat strata yang baru dengan spesialisasinya masing-masing. 10 Ibid. hal. 2-3. 113 2 Budaya Konsumsi Pinang dalam Ruang Publik Tandingan Subyek-subyek dengan ragam kultur dalam aktivitas keseharian pada ruang publik Kota Manokwari berkaitan langsung atau pun tidak langsung akan menginterpretasikan budaya konsumsi pinang dengan beragam hasil makna dan pesan. Beragam makna yang beterbangan 11 wandering of the semantic bertransformasi pada diri setiap subyek, menjadi pengetahuan yang mendasari dinamika negosiasi oleh subyek-subyek dari berbagai ragam kultur dan sistem sosialnya, yang demi kepentingan aktor-aktor kontestannya akan terjadi dialektika-dialektika yang berpotensi membangun mengkonstruksi, membangun kembali merekonstruksi, meluluh- lantakkan merusak dan meruntuhkan mendekonstruksi 12 bangunan imaji, yang akan melahirkan wacana baru tentang sebuah ruang publik dalam yang berkaitan dengan kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat setempat. Masyarakat publik dengan imaji dan wacananya berpotensi menggerakkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat sipil civil society, sehingga terbentuk relief monumental yang dihasilkan melalui pertarungan-pertarungan yang mewujud dalam identitas dan karakter ruang publik Kota Manokwari yang berkelanjutan. 11 Jawa: sliweran dan pating sliwer. 12 Istilah yang dipakai oleh Derrida dalam ide menggugat; pandangan bahwa ada makna yang transparan dan hadir dengan sendirinya di luar “representasi”, serta oposisi konseptual yang hierarkis dalam filsafat, seperti tuturantulisan, realitaspenampakan, dan berargumen tentang “ketidak-dapat-ditentukannya” undecidability pasangan oposisi biner. Sumber: Chris Barker 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm.72. 114 Ben Highmore dalam buku Michel de Certau Analysing Culture menyebut ruang-ruang operasional dialektika subyek-subyek tersebut sebagai ruang publik tandingan counter public sphere. Ia terinspirasi konsep tersebut dari Oskar Negt dan Alexander Kluge 13 yang menguraikan tentang wujud-wujud ruang publik tandingan: “ The classical public sphere of newspapers, chancellories, parliaments, clubs, parties, associations rest on a quasi- artisanal mode of production. By comparison, the industrialized public sphere of computers, the mass media, the media cartel, the combined public relations and legal departements of conglomerates and interest groups, and, finally, reality itself as a public sphere transformed by productions, represent a superior and more highly organized level of productions.Kluge dan Negt.1972:2” 14 Membaca konteks Kota Manokwari dengan memakai konsep Kluge dan Negt tersebut dapat memposisikan media massa; seperti Obrolan Warung Pinang di Stasiun RRI Manokwari dan budaya populer mop, surat kabar, komunitas-komunitas warga, masyarakat-masyarakat adat, korporasi dan perniagaan adalah merupakan ruang publik tandingan tempat terjadinya dialektika negosiasi subyek-subyek yang berperan serta dalam membentuk locus Kota Manokwari menjadi sebuah ruang publik berkelanjutan. 13 Oskar Negt and Alexander Kluge, Public Sphere and Experience: Toward an Analysis of the Bourgeois and Proletarian Public Sphere, translated by Peter Labanyi, Jamie Owen Daniel and Assenka Oksiloff Minneapolis: University of Minnesota Press, 1993, p. 12 – first published in Germany in 1972. 14 Ben Highmore. 2006. Michel de Certau Analysing Culture. “An Art of Diversion: Cultural Policy and the Counter Public Sphere”. Continuum International Publishing Group, New York, hal.163. 115 3 Mobilitas Migran dan Okultisme Publik Seiring dengan Kota Manokwari dijadikan pusat struktur pemerintahan Propinsi Papua Barat, maka berakibat pada lajunya tingkat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur. Manokwari menjadi daya tarik bagi publik, dengan demikian juga berakibat pada semakin meluasnya ruang publik tandingan. Prof. Dr. La Pona dari Pusat Studi Kependudukan PSK Universitas Cenderawasih Uncen Jayapura menguraikan bahwa: “ Pertambahan penduduk di Tanah Papua …lebih banyak dipengaruhi oleh proses migrasi masuk in migration yaitu migran spontan dan transmigran. Sedangkan pertambahan penduduk Papua secara alami natural increase yang disebabkan selisih penduduk yang lahir fertility rate dibanding yang meninggal mortality rate sangat kurang berperan. Apabila program transmigran tidak lagi dikembangkan seperti jaman era Orde Baru Orba maka penambahan penduduk di Tanah Papua Provinsi Papua dan Papua Barat lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lainnya di Indonesia” 15 Pertambahan penduduk di Papua yang lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lain menciptakan tingkat kemajemukan heterogenitas berpotensi mempengaruhi perluasan ruang publik tandingan dan kondisi kehidupan masyarakat. Konsep-konsep modernitas yang dibawa bersama warga migran pada ruang publik tandingan menciptakan ketidaktentuan dan kekuatiran 15 Sumber: tabloidjubi “Transmigrasi dan Migrasi di Tanah Papua.” Dominggus Mampioper. 28 November 2012. 116 masyarakat setempat, sehingga merepresi dan menghantui psikososial warga masyarakat. Mobilitas dengan dinamikanya membangun rasa was-was, kuatir, bingung, curiga, frustrasi, sehingga tercipta okultisme publik yang mewujud dalam pertanyaan bersama dalam masyarakat; ‘nanti Kota Manokwari ini mau jadi seperti apa?’ Keadaan ini diakibatkan oleh kekuatan dominasi baru hegemonisasi modernitas, sehingga suatu proses pembentukan ruang publik dengan identitas dan karakternya akan berjalan terus, sehingga “… the old regime no longer had the authority it had once commanded.” Buchanan.2000:2 16 Perubahan ini menuntut masyarakat publik untuk lebih waspada dan jeli terhadap wandering of the semantic sehingga dapat menemukan atau tidak menemukan sama sekali pesan dari makna yang diperoleh, yang akan digunakan sebagai materi perencanaan dan aktvitas untuk mencapai idealisme kehidupan masing-masing. I Ngurah Suryawan, pengajar pada Universitas Negeri Papua UNIPA Manokwari dalam buku NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA. BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI menguraikan: “ Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari. … Diantaranya yang terbesar adalah ivestasi Group Hady dengan Hadi Mall dan Hotel Swis-Bell Group Choice yang memegang Hotel Mariot. Fulica Manokwari membangun Hotel Meridien di Kawasan Sowi Gunung hotel bintang 4 pertama di Manokwari. Itu tentu 16 Ian Buchanan. 2000. Michel de Certeau Cultural Theorist. Nottingham Trent University, hal.2. 117 saja belum termasuk ratusan pedagang-pedagang dari Sulawesi, Jawa dan daerah lain di Indonesia yang mengadu peruntungan di Manokwari, Papua Barat. Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusat- pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa.” 17 Pasca diterbitkannya Undang Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemebentukan Propinsi Irian Jaya Barat dll. pada era Presiden B.J. Habibie, seiring dengan terjadinya arus mobilitas migran maka komposisi masyarakat pememegang peranan pada sektor pasar tradisonal berindikasi terjadi ketidakseimbangan peran, masyarakat pendatang lebih dominan menguasai perniagaan pasar dibandingkan dengan masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat setempat menjual sayuran, buah-buahan lokal, ikan atau pun hasil bumi lain yang jumlahnya relatif sedikit, dengan menggelar dagangannya di emperan-emperan pasar atau pinggir-pinggir jalan yang beralaskan karung atau papan-papan seadanya. Potret pasar tradisional; Pasar Borobudur, Pasar Tingkat Sanggeng serta Pasar Wosi telah dapat menjadi indikator yang membahasakan adanya kompleksitas permasalahan dan pertumbuhan Kota Manokwari tentang adanya masyarakat yang telah mencapai kesejahteraan hidup, kecemburuan 17 I Ngurah Suryawan ed. 2011. Narasi Sejarah Sosial Papua. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing, hal. 223. 118 sosial dan pula sentiment etnis yang berpotensi terjadinya persinggungan di antara subyek-subyek di Kota Manokwari sebagai ruang publik tandingan. Certeau melukiskan kecemasan publik yang diakibatkan oleh penetrasi dari mobilitas sosial dengan munculnya ketidakteraturan dan ketidakjelasan yang dianalogikan sebagai hantu: “The practices of consumption are the ghosts of the society that carries their name …” Certeau. 1984:35 18 yang hadir bersamaan dengan arus globalisasi. Okultisme yang terpahami sebagai pengetahuan yang rahasia dan tersembunyi telah menjadi hantu ‘jangan-jangan’ sehingga meresahkan kejiwaan publik psikososial, sebagaimana imaji terror yang selalu mencemaskan dan tidak memberi perasaan nyaman bagi masyarakat setempat. Dalam kondisi ini dengan sangat mudah akan membangun wacana- wacana racial politics pada ruang publik, sebagaimana diungkapkan oleh seorang Putra Papua, Socrates Sofyan Yoman: “ Pernyataan yang berulang kali mendesingkan di telinga saya penulis ini adalah komitmen sebagai anak Papua untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankannya. Ironisnya, orang–orang Papua tidak menyadari bahwa tanah sebagai hak kesulungan yang diberikan Tuhan sedang dijarah dengan alasan pembangunan nasional dan integrasi wilayah Indonesia.Tanah orang Papua dijarah dengan pembangunan pemukiman Transmigrasi tanpa membayar satu sen pun.Tanah ini dijarah dan diserahkan kepada 18 Ibid., hal.35. 119 orang–orang pendatang bukan pemilik Tanah Papua. Lihat saja di Manokwari, di Sorong, di Merauke, di Nabire, di Timika, di Jayapura Arso: Keerom. Setelah dijarah tanahnya, orang Papua disingkirkan dari tanah mereka.” 19 Ruang publik Kota Manokwari dan sekitarnya telah terhegemoni oleh otorita-otorita kekuasaan rezim penentu, menjadi arena ‘lomba’ antara kesepahaman dan ketidaksepahaman konsep ideologi di antara apparatus publik state, masyarakat sipil civil society, masyarakat asli dan masyarakat pendatang, individu, kelompok etnis, yang semakin memperjelas dinamika pertarungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam keseharian hidup masyarakat. Pengoprasian strategi dengan berbagai tindakan manipulatif dalam bentuk represif serta upaya-upaya penyeragaman uniformitas atas realitas kultur masyarakat di Manokwari, yang dilakukan oleh otorita dominan dan termandatkan pada diri subjek apparatus pemerintah, pebisnis, komunitas, warga budaya, lembaga ilmiah yang memunculkan kebijakan publik cultural policy; seperti dilarang makan pinang di area ini akan semakin mempersempit atau justru menjajah 20 sistem kultur kampung penginang 19 Socrates Sofyan Yoman. 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press, hal.175. 20 Bdk. Kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia melepas kuasa- kekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan dalam sebuah pikiran Nady 1993. hlm.xi. Sumber: Leela Gandi. 2007. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Cet-3, hal. 21. 120 sebagai ruang tak terbatas yang sarat dengan filosofi dan makna kehidupan bagi masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya. Kemapanan kultur kampung penginang berhadapan dengan idealisme kota modern yang perlahan menggeser dan mengambil alih fungsi-fungsi kultur setempat seraya memunculkan ‘kedai-kedai baru’ tempat orang-orang berkumpul dengan gaya hidup modern. Gaya hidup modern memaksa masyarakat setempat menjadi bergantung pada sistem ekonomi baru dalam jaringan yang lebih luas, sehingga masyarakat setempat perlu ambil nafas panjang guna menghimpun tenaga dan mencari kesempatan untuk beradaptasi dengan konsep dan pragmatisme kehidupan modernitas sebagai hal baru. Kebijakan publik public policy yang lahir dari struktur kekuasaan pemerintah dan kebijakan budaya cultural policy dari otoritas dominan masyarakat pendatang yang telah tertransplantasi konsep modernitas – dengan percaya diri mengklaim sebagai subyek yang sudah beradab dan modern – mempunyai potensi untuk mewujudnyatakan imaji kota modern. Padahal otoritas asing tersebut merongrong eksistensi kultur masyarakat setempat, sehingga tersisihkannya warga pengkonsumsi pinang pada ruang terbatas sempit, dan bukan lagi sebagai ruang publik ‘kampungku’ yang hanya kita eksklusif privat yang tak terbatas. Kenyamanan ruang privat terusik, sehingga membangkitkan hasrat untuk melawan atau pun mengupayakan negosiasi supaya dapat terakomodir asosiasi bebasnya. 121 Gambar 22. Potret jualan pinang di Jalan Yakonde Padang Bulan Atas, pasca Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus Abepura Jayapura. 21 Keberbedaan sikap dan perilaku dalam realitas kehidupan sosial di lapangan cenderung dibaca sebagai ‘perlawanan’ terhadap keadaan. Sikap cuek terhadap peringatan untuk tidak mengkonsumsi pinang, mempertegas untuk berlaku membuang limbah pinang di sembarang tempat, atau bahkan dengan sengaja mencoret-coretkan ludah pinang pada tembok-tembok rumah atau pun bangunan publik lainnya. Posisi struktur otoritas dominan telah mampu membangun imaji dan wacana-wacana rasional logis yang secara berangsur mampu membangun makna dan fungsi baru pada wilayah kultur masyarakat setempat ke ruang 21 Sumber Facebook: Forum Diskusi Komunikasi Fordiskom STFT Fajar Timur Abepura Jayapura. 20 Januari 2015. 122 publik politik politische Offentlichkeit. Proses tersebut menggeser ruang assosiasi bebas masyarakat kultur, tempat berekspresi dengan kreatif dan merdeka dengan nilai-nilai kulturalnya. Kultur yang turun-temurun dari nenek moyang cenderung terepresi – bahkan mendapat penilaian rendah dan stigma negatif – dan tak diperhitungkan dalam bangunan imaji dan wacana baru modernitas pada ruang publik modern. Perbedaan kepentingan mewujud dalam resistensi sosial di antara aparatur pemerintah, elit politik, pengusaha, korporasi-korporasi dengan masyarakat kultur pengkonsumsi pinang yang disebabkan oleh perbedaan; konsep, paradigma, ideologi dan gaya hidup. Konsep modernitas pada subyek-subyek mempersepsi kampung sebagai “ruang privat tak terbatas” dan dikonstruk menjadi sebuah kota sebagai “ruang sosial yang banyak batasan” dengan aturan dan konsep-konsep regulasi yang lebih menitikberatkan suatu penyeragaman uniformitas untuk sebuah ide ruang publik. Terbangunlah ‘kampung-kampung dalam kota’ yang dilingkupi bentuk dan praktek-praktek kekuatan struktural dari otoritas dominan yang merupakan sebuah representasi kekuatan sosial pada ruang publik Kota Manokwari. 123 4 Budaya Konsumsi Pinang sebagai Tempat Pengucapan Ketiga 22 Mobilitas migrasi ke Manokwari menjadikan kebiasaan mengkonsumsi pinang semakin banyak dilakukan juga oleh warga pendatang bukan Papua. Mereka ikut berbiasa mengkonsumsi pinang dan membaur dengan masyarakat setempat untuk beragam alasan. Sebagaimana diungkapkan oleh Musa Rumbarar: “… bahkan masyarakat dari luar Papua saat ini telah mengenal dan ikut terbiasa mengkonsumsi pinang.” Mereka menyesuaikan diri dengan warga setempat, menjalin relasi; dalam lembaga perkawinan, rekan kerja, relasi dagang, serta alasan lainnya, sehingga ada intimitas komunikasi interaksi secara lebih intensif untuk mengungkapkan hasil refleksi atas kehidupan masing-masing di dalam ‘kedai-kedai kopi Papua’. Dalam relasi antara masyarakat setempat dan pendatang akan terbangun kolaborasi koloni struktur sosial baru dengan segala aktivitas kesehariannya. Situasi tersebut terbangun seperti dicontohkan oleh Habermas dengan terbentuknya struktur sosial ruang publik Inggris Raya pasca Ratu Elizabeth I sekitar abad 18: “Dominasi ‘kota’ semakin diperkuat oleh institusi-institusi baru yang, dengan semua ragamnya… mengambil alih fungsi-fungsi sosial yang sama: “… kedai kopi dan salon menjadi pusat kritik – awalnya hanya bersifat kesusteraan, 22 Istilah yang dipakai oleh Homi K. Bhabha, pada buku. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Karya Leela Gandi. 1998. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal. viii. 124 namun kemudian menjadi politis juga – yang di dalamnya mulai lahir kelompok baru …” 23 Tradisi mengkonsumsi pinang sebagai ‘ruang privat tak terbatas’ berfungsi menjadi kedai-kedai kopi atau salon-salon tempat seluruh pernyataan-pernyataan; seperti pengalaman diri, pengalaman sosial dan kritik keadaan serta menjadi bagian sistem kultur sosial dalam masyarakat di Papua. ‘Kedai-kedai kopi Papua’ telah diminati dihadiri oleh orang-orang yang tidak sekampung; seperti dari Bugis, Batak, Jawa, Timur, Minahasa dan sebagainya. “Orang dari luar Papua akan lebih akrab dengan masyarakat asli Papua, ketika para pendatang itu bisa makan mengkonsumsi pinang bersama warga masyarakat asli Papua,” sebagaimana menjadi sebuah harapan dari Bapak Edo Padwa. Terbentuknya koloni baru menjadi sebuah wujud otorita komunitas masyarakat terbayang yang akan turut merubah dan membentuk struktur publik dan kultur masyarakat setempat. “Kampung Pinang” bukan lagi tempat keluarga saya saja, melainkan telah menjadi tempat mereka di rumah saya. Keadaan baru ini menjadikan ruang tempat kami berucap bertransformasi dalam format transkultural yang baru, yang oleh Homi K. Bhabha disebut sebagai “tempat pengucapan ketiga”, 24 tempat bersama 23 Jurgen Habermas. 1989. terj. Yudi Santoso Ruang Publik. Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal.49. 24 Leela Gandhi. 1998. Teori Poskolonial .Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal. viii. 125 dengan latar heterogen multikultur yang akan berpartisipatoris dalam pembentukan identitas, karakter, dan wujud ruang publik Kota Manokwari yang berkelanjutan Mengkonsumsi pinang bersama bukan hanya sebagai aktivitas fisik saja, namun di dalamnya sarat akan nilai serta makna persahabatan, persaudaraan, bahkan penyatuan antara dua pribadi atau lebih secara intensif dan intim. Tradisi mengkonsumsi pinang telah mampu memelihara dan memperkuat keharmonisan relasi antar personal mau pun komunal, karenanya mengkonsumsi pinang menjadi fasilitas dan medium untuk membangun sinergisitas yang akan memberi kemudahan dalam sistem pencapaian hasiltujuan dari suatu kepentingan tertentu. Strategi yang sama diterapkan dalam kebijakan publik punggawa pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan pendekatan kepada penduduk koloninya. Tempat pengucapan ketiga tetap menjadi bagian dalam counter public sphere, 25 dimana identitas kultural warga budaya pengkonsumsi pinang setempat tetap berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi di antara otoritas pemerintahan state, kapital modal, media, serta masyarakat sipil civil society dengan beragam kultur. Pengakuan claim akan sebuah “kemurnian” hierarki kultur masyarakat menjadi tidak dapat dipertahankan 25 Bdk. Pemikiran Ben Highmore dalam buku Michel de Certeau Analysing Culture 2006:164; While their examples are mostly focused on lesbian and gay culture as a counter public sphere, how they figure this is relevant potentially to all sorts of other counter public spheres. What makes a counter public both public and ‘counter’ is crucial to their theory. 126 lagi, karena telah mengalami suatu perubahan wujud dan sistemnya seiring dengan proses perkembangan ruang publik yang berada dalam arus globalisasi. Obrolan Warung Pinang dan mop memposisikan pinang sebagai medium dan dinamisator yang mendasari terjadinya komunikasi sosial dan budaya dalam keseharian hidup masyarakat di Papua. Komoditi tersebut juga mampu menjadi katalisator proses interaksi personal mau pun komunal pada ruang publik. Keduanya menjadi forum dan media komunikasi warga masyarakat dalam posisi strategisnya sebagai tempat pengucapan ketiga sekaligus berada dalam ruang publik tandingan the counter public sphere. Tempat pengucapan ketiga pun semakin meluas dan terbuka untuk subyek-subyek baru, tradisi mengkonsumsi pinang sebagai medium dialektika yang ekslusif berubah menjadi inklusif dalam lingkup dan penerapannya untuk negosiasi praktek pengoprasian beragam kepentingan publik. Dengan demikian lebih banyak membuka kemungkinan terbangunnya opini, wacana, upaya analisis, pencerahan intuisi, ide-ide baru, konsep baru, informasi baru, serta perspektif baru yang semakin mendekatkan kepada harapan dan idealisme masing-masing kontestan. Dalam inklusivitas yang toleran, akan semakin meringankan beban- beban kehidupan sosial, memudahkan pencapaian harapan kepentingan, bisa saling menerima dengan simpati welcome, relasi mutualisma, dan bagi pemodalpebisnis yang merupakan bagian dari kapital sosial modern, dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 127 usaha mall, hotel, penyedia jasa dsb. akan berkemungkinan mendapatkan profit yang lebih. Lapangan terbuka, pasar, tempat berkumpul nongkrong, lorong pemukiman dan jalan-jalan menjadi ruang publik yang mempunyai aksesbilitas dengan berbagai jaringan bisnis mau pun teknologi modern, mengubah ruang publik tradisional menjadi lebih banyak fungsi multifungsi; seperti arena politik, perekonomian, interaksi sosial dan budaya. Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari. … Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa. Suryawan.2011:223 26 Mobilitas keseharian masyarakat mengentarai Kota Manokwari menjadi arena kontestasi guna mendapatkan pemenuhan keinginan ego dan idealism modernitas. Kontestasi tersebut semakin dinamis dengan diintensifkannya melalui program Pengembangan perkotaan utama di Kabupaten Manokwari sebagai Pusat Kegiatan Wilayah PKW di Propinsi Papua Barat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupten Manokwari. Program tersebut ditiik beratkan pada wilayah Distrik Manokwari Barat, Manokwari Timur, Manokwari Utara, dan Manokwari Selatan, dengan tujuan untuk mendorong dan mempersiapkan perkotaan Manokwari sebagai pusat pemerintahan, 26 Ibid., hal..223. 128 perdagangan, jasa serta mendorong pengembangan perkotaan Manokwari yang berfungsi untuk pelayanan fasilitas umum skala regional, dengan Distrik Manokwari Barat sebagai pusat wilayah pengembangannya, 27 yang di dalamnya termasuk upaya peningkatan Bandara Nasional Rendani serta Pelabuhan Laut Manokwari. Pengembangan pusat perkotaan menjadikan tempat pengucapan ketiga di Kota Manokwari tidak pernah berhenti dan sepi ‘pengunjung’, proses pembentukan ruang publik dengan dinamikanya berlangsung pada trajectory yang tidak menentu secara berkesinambungan kohoren dan berkelanjutan kontinuitas.

3. Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik

Perubahan struktur pemerintahan dan penambahan infrastruktur pada ruang publik Kota Manokwari secara kasat mata dilakukuan sesegera setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tertanggal 18 April 2007, yang juga menandai berdirinya Propinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah nama menjadi Propinsi Papua Barat dengan status Otonomi Khusus. 27 Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manokwari 2015. Tabel 6.1. Tahapan Pelaksanaan Pembangunan Indikasi Program Perwujudan Struktur Ruang Wilayah. Hal..2. 129 Perubahan begitu mencolok, ruang publik yang nyaman, dengan rimbun dan kokohnya pohon-pohon tua, bangunan-bangunan masa pendudukan Belanda dan Jepang di sekitar jalan Jalan Brawijaya, Jalan Siliwangi, dan beberapa tempat lainnya membuat ruang publik dengan sebutan; Kota Injil, Kota Peradaban, Kota Buah dan Kota Ikan, dalam satu dasa warsa terakhir berubah wajah dan karakter ruang publiknya, namun masih pula meninggalkan jejak-jejak perjalanan sejarah masa lalu yang tetap menjadi kenangan yang terpatri di hati dan benak masyarakat Papua di masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kibaran bendera Nederland Belanda di sekitar Kota Manokwari; banyak yang telah hilang dan darinya saat ini banyak hal baru yang tidak bisa dipungkiri kehadirannya. 1 Strategi vis-à-vis Taktik Berkurangnya ketentraman dan kenyamanan yang diikuti meningkatnya kriminalitas, persengketaan publik, dan kegerahan psikososial dalam ruang publik Kota Manokwari, menantang masyarakat untuk mau beradaptasi dengan keadaan baru yang dipengaruhi oleh globalisasi modernitas. Subyek- subyek masyarakat asli Papua sebagai tuan tanah representasi sosialnya semakin terbatasi oleh hadirnya dominasi rezim penentu, sehingga menjadi terusik posisi kenyamanannya. Subyek-subyek lambat laun terkonstruksi beragam sikap diri; beriringan, bersekongkol, menentang dan bahkan 130 melakukan operasional perlawanan secara terang-terangan terbuka mau pun dengan taktik-taktik tertutup under cover terhadap rezim dominan. Operasionalitas perlawanan mewujud dalam dinamika dialektik negosiasi antar kontestan yang menggunakan strategi dan taktik untuk mencapai tujuannya. Ruang publik menjadi arena pertarungan strategi dan taktik. Certeau menjelaskan bahwa: “… a strategy the calculation or manipulation of power relationships that becomes possible as soon as a subject with will and power a business, an army, a city, a scientific institution can be isolated.” 28 Sedangkan taktik adalah merupakan “… procedures that gain validity in relation to the pertinence they lend to time— to the circumstances which the precise instant of an intervention transforms into a favorable situation. 29 Pengguna strategi rezim penentu atau pun otoritas dominan berkecenderungan memposisikan pengguna taktik sebagai target, musuh, atau pesaing. Asumsi konsep pemikiran de Certeau tersebut dapat menjadi pisau bedah sekaligus mencermati realitas keadaan Kota Manokwari, dimana terjadi akumulasi relasi publik yang beragam latar belakang dan kepentingan. Setiap subyek dituntut mempergunakan atau pun menghadapi strategi atau taktik untuk dapat mengembangkan asosiasi bebasnya pada 28 Ibid. hal.35-36. 29 Ibid. hal.38. 131 ruang-ruang negosiasi dalam upaya untuk mendapatkan memperoleh nilai- nilai etika, kesenanganpemuasan atau pun penemuan baru inovasi pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik pada ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek rezim penentu memainkan strategi dalam konfigurasi struktur legal. Dengan strategi yang tepat otoritas-otoritas apparatus pemerintahan, birokrat, agen-agen kapital modal penanam modal dan pengusaha, pedagang-pedagang kelas menengah ke atas, serta otoritas lain dimungkinkan akan mampu menghegemoni publik secara lebih luas dan dengan sesegera mungkin memperoleh pemenuhan tujuannya. Operasional taktik dilakukan oleh subyek di luar rezim penentu atau berada di dalam wilayah otoritas asing. Taktik dipahami sebagai siasat yang harus memperhitungkan posisinya dengan tepat, karena akan selalu berhadapan vis-à-vis dengan strategi yang otoritasnya terstruktur, legaln dan dapat diklarifikasi kesejarahannya. Dengan kata lain taktik adalah siasat untuk menghadapi strategi yang dipakai oleh otoritas asing untuk mendapatkan kemenangan keberhasilan. Keduanya beroperasi dalam satu ruang, namun berbeda operasionalnya. Posisi ini dapat melekat seterusnya atau pun sebaliknya, namun keduanya tetap akan berpotensi dan berperan sebagai subyek aktor-aktor, faktor pembentuk serta pengendali keadaan ruang publik kota Manokwari yang berkelanjutan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI