Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA

3 Nilai-nilai kemanusiaan Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang. Menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandaikan sikap keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk di sini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Yang menjadi nilai bukanlah kepentingan kelompokku sendiri, melainkan kepentingan yang menjadi kepentingan setiap orang, seperti keadilan, persamaan di depan hukum, kebbeasan, dll. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi sangat relevan diterapkan dalam pendidikan karakter karena masyarakat kita telah menjadi masyarakat global. b. Aspek Kehendak Kehendak merupakan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk menggerakkannya melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini benar. Sagala 2013: 132-133 merumuskan kehendak sebagai kekuatan dari dalam diri untuk memilih dan merealisasikan suatu tujuan yang merupakan pilihan antara berbagai tujuan yang bertentangan. Dalam kepedulian sosial, kehendak juga berkerja sebagai penggerak yang berperan mengaktifkan keinginan-keinginan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan hasil yang ingin diperoleh dari aspek kesadaran. Setiap manusia diciptakan dengan kehendak bebasnya masing-masing. Kehendak bebas berfungsi agar manusia dapat memilih apa akan dilakukan untuk kehidupannya. Kehendak ini tidak pernah dapat lepas dari pikiran atau otak manusia untuk mencapai suatu tujuan. Otak yang mengatur seluruh tubuh itu juga membutuhkan hati atau perasaan untuk mengatur tepat atau tidaknya hal yang akan dilakukan. Kehendak yang dikolaborasi dengan kemampuan otak dan bekerjasama dengan perasaan suara hati akan membantu manusia untuk menentukan jalan mana yang akan diambil, pilihan hidup seperti apa yang akan ditempuh. Begitu juga dengan kepedulian sosial. Dengan kehendak yang menuntun otak dan berkolaborasi dengan hati untuk kearah peduli terhadap kehidupan sosial, maka seseorang itu dapat menjadi seorang yang berkepedulian sosial tinggi. c. Aspek Keterlibatan Keterlibatan adalah sikap dan tindakan seseorang sebagai wujud kepedulian untuk ikut ambil bagian terhadap situasi tertentu. Dalam keterlibatannya seseorang hadir dan memberikan sumbangsih baik tenaga maupun pikiran. Keterlibatan sosial adalah sikap dan tindakan seseorang sebagai wujud kepedulian untuk ikut ambil bagian terhadap situasi sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Adapun contoh keterlibatan sosial yang ada misalnya keterlibatan kaum muda kristiani di lingkungan Gereja dan di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Keterlibatan di lingkungan Gereja seperti keikutsertaan dalam kor lingkungan, pendalaman iman, lektor, retret, kemping Rohani, dll. Adapun keterlibatan di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya seperti terlibat dalam membangun suatu tatanan sosial yang ada di lingkungan masyarakat, misalnya ikut terlibat dalam kegiatan pembangunan desa, dengan melibatkan diri menjadi seorang aktivis, yang akan memperjuangkan hak dan kewajiban masyarakat demi terciptanya tatanan masyarakat sosial yang lebih baik, ikut kegiatan kerja bakti di lingkungan masyarakat tempat tinggal, dll. Dengan ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan yang ada di lingkungannya kaum muda dapat menumbuhkan rasa kesadaran yang tinggi tentang keanekaragaman masyarakat yang majemuk, sehingga kaum muda kristiani dapat menghargai dan menghormati perbedaan agama dalam masyarakat yang majemuk. Kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat majemuk tidak ada satu sistem sosial untuk semua dan juga tidak ada satu agama saja. Dengan demikian kaum muda dapat menyadari pentingnya keterlibatan mereka di lingkungan sosial dalam mengatasi permasalahan sosial. 3. Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pengembangan Kepedulian Sosial Remaja Usia SMA. Kepedulian sosial seorang remaja memang tidak terbentuk baik secara otomatis saja, tetapi membutuhkan sinergi peran keluarga, sekolah dan masyarakat di mana remaja tersebut tumbuh dan berkembang Sarwono, 1991: 107. Peranan dari keluarga, sekolah dan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut : a. Peranan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak termasuk perkembangan sosialnya. Keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak pondasi dari karakter dan pendidikan setelahnya. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan. keluarga memiliki peranan untuk Kematangan sosial pada diri anak sangat dipengaruhi oleh peran orang tua dalam membimbing dan mengenalkan mengenai kehidupan sosial, baik norma-norma kehidupan bermasyarakat atau pun fenomina lain seputar lingkungan sekitar. Bimbingan orang tua sangat penting bagi anak, karena anak belum bisa mengenal sekitar dan tidak memiliki pengalaman banyak untuk mencapai kematangan sosialnya sendiri. Keluarga menempati posisi yang sentral dalam masyarakat, berkaitan dengan fungsinya sebagai pendidik yang utama dan terutama. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja dinyatakan bahwa “Sebagai satu persekutuan alamiah di mana sosialita manusia dialami, keluarga memainkan peran yang sangat khas dan tak tergantikan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat ” ASG, 2009: 149. Sebab kebersamaan dalam keluarga sebenarnya lahir dari kebersamaan antar pribadi : “‟ Kesamaan ‟ berkaitan dengan relasi personal antara „Aku‟ dan „Engkau‟. Namun „ kebersamaan ‟ melampaui skema ini dan terarah kepada „persekutuan‟, satu „kekitaan‟. Karena itu, keluarga sebagai satu kebersamaan antarpribadi merupakan „persekutuan‟manusia pertama. Satu masyarakat yang ditata berdasarkan kriteria sebuah keluarga merupakan perlindungan yang terbaik melawan segala tendensi individualisme dan kolektivisme, sebab masyarakat seperti ini selalu menempatkan pribadi pada pusat perhatian, bukan sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Sebab itu sangat jelas bahwa kesejahteraan pribadi-pribadi dan keberfungsian yang baik dari masyarakat terkait erat dengan “kesejahteraan persekutuan perkawinan dan keluarga”. Tanpa keluarga-keluarga yang kuat dalam kebersamaan dan berkanjang dalam komitmennya, maka bangsa-bangsa akan kehilangan kekuatannya. Sejak tahun-tahun awal keluarga telah memberi andil untuk membatinkan nilai-nilai moral seperti juga mewariskan pusaka spiritual dan kultural dari satu jemaat beragama dan satu bangsa. Di dalam keluarga, seorang anak manusia belajar menerima tanggungjawab sosial dan bersikap solider. Sebagai unsur yang terpenting dan utama, keluarga mendapatkan perhatian khusus oleh Gereja Katolik dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja : Keluarga harus mendapat prioritas dibandingkan dengan masyarakat dan negara. Sekurang-kurangnya dalam segi penerusan keturunan keluarga merupakan prasyarat bagi keberadaan masyarakat dan negara. Fungsi-fungsi lain yang dilaksanakan demi kebaikan para anggotanya, merupakan hal-hal yang lebih penting dan bernilai dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat dan negara. Sebagai pemilik hak-hak yang tidak boleh terlecehkan, keluarga memperoleh legitimasinya dari kodrat manusia dan bukan dari pengakuan oleh pihak negara. Sebab itu, keluarga tidak ada untuk masyarakat dan negara, melainkan masyarakat dan negara ada untuk keluarga ASG, 2009: 168 . Tidak ada model masyarakat yang hendak mengupayakan kesejahteraan manusia dapat mengabaikan makna sentral dan tanggungjawab sosial keluarga. Sebaliknya, masyarakat dan negara mempunyai kewajiban untuk berpegang pada prinsip subsidiaritas dalam menentukan relasinya terhadap keluarga. Berdasarkan prinsip ini maka otoritas-otoritas publik tidak boleh mengambil alih dari keluarga tugas-tugas yang dapat dilaksanakan sendiri oleh keluarga atau dalam kerja sama yang bebas dengan keluarga-keluarga lain. Pada pihak lain, otoritas-otoritas publik ini mempunyai kewajiban untuk mendukung keluarga dengan cara menyediakan sarana- sarana bantuan yang diperlukannya untuk dapat memenuhi kewajibannya secara benar. Keluarga pun memiliki tugas mendidik kaum muda seperti tertuang dalam Kompendium ASG 2009: 168 bahwa “melalui pendidikan keluarga membentuk manusia dan mengantarnya pada kepenuhan martabatnya, dalam seluruh matra, termasuk matra sosial. b. Peranan sekolah Doni Koesoema 2007: 155-156 mengungkapkan bahwa setiap sekolah harus memiliki visi yang sarat dengan pendidikan karakter. Visi pendidikan karakter yang ditetapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan diarah melalui kinerja lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah. Visi pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan akan semakin menjiwai setiap individu ketika mereka semua merasa dilibatkan dalam penentuan visi tersebut sehingga visi tersebut menjadi bagian dari keyakinan pribadi dan keyakinan komunitas lembaga pendidikan tersebut. Di Indonesia, banyak sekolah swasta yang telah dikelola secara profesional memiliki visi ini. Kadang visi ini ditentukan melalui latar belakang sejarah pendirian lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu bisa jadi seorang guru ketika sudah masuk dalam lembaga pendidikan tertentu telah menerima tradisi dari para pendahulunya tentang visi lembaga pendidikan tempat ia bekerja. Meskipun visi itu seringkali telah jadi, dan tidak ada partisipasi langsung dari guru dan individu yang terlibat dalam lembaga pendidikan tersebut, visi tersebut tetap dapat menjadi roh bagi setiap individu sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya tentang visi pendidikan yang dia miliki. Jika visi di dalam sekolah itu telah ada, apakah dengan visi tersebut, sekolah itu memiliki misi, yaitu semacam penjabaran yang lebih praktis-operasional, yang indikasinya dapat diukur, diverifikasi, dan dievaluasi secara terus-menerus. Misi adlah sebuah usaha menjembatani praxis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai seluruh gerak sekolah. Bisa dikatakan, tercapainya misi merupakan tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia. Sekolah adalah tempat mengenyam pendidikan dalam bentuk kelembagaan. Sekolah juga dapat disebut lembaga pendidikan kedua setelah keluarga. Pendidikan merupakan proses sosialisais anak yang terarah. Pendidikan merupakan proses pengoperasian ilmu yang normatif. Di sekolah, setiap peserta didik mendapatkan pengajaran tentang norma-norma yang ada tidak hanya dalam lingkup keluarga dan masyarakat, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu lingkup nasional. Yusuf 2007: 95 mengungkapkan bahwa sekolah sebagai salah satu lingkungan sosial tempat individu berinteraksi, harus mampu menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang tepat. Sekolah berperan dalam menggugah kesadaran sosial peserta didik dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang segala hal kemanusiaan. Selain itu, sekolah dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan, melatih peserta didik untuk peka terhadap sesama yang kesulitan. Sekolah membuka jendela pemikiran peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan. A. Sewaka, SJ 1991: 21 menjelaskan ajaran dan pedoman gereja tentang Pendidikan Katolik mengenai asimilasi budaya tiap pribadi : Pendekatan pokok itu terjadi di sekolah dalam bentuk kontak dan keterlibatan pribadi yang memperhatikan nilai-nilai mutlak dalam suatu konteks hidup, dan berusaha memasukkan nilai-nilai ke dalam kerangka hidup. Sesungguhnya kebudayaan itu hanya mendidik kalau kaum muda dapat mengaitkan pelajaran mereka dengan keadaan hidup nyata yang mereka kenal. Sekolah harus mendorong murid melatih pikirannya melalui pemahaman yang dinamis guna mendapatkan kejelasan dan kekayaan akal. Sekolah harus menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari pengalaman itu. tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang terjadi, sekolah tersebut menghambat perkembangan pribadi murid-muridnya. Dari hal tersebut diatas tampak jelas, penting sekali menekankan relevansi pengalaman hidup yang secara nyata dialami peserta didik dalam konteks hidup bermasyarakat dengan proses pendidikan di sekolah. Agar tidak menciptakan perasaan keterasingan, maka peserta didik harus selalu didekatkan dengan realitas sosial dimana mereka hidup. c. Peranan masyarakat Masyarakat adalah lembaga pendidikan non formal, yang juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan remaja, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat Sarwono, 1991: 128. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi kepekaan sosial yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan kemanusiaan, masyarakat memiliki juga mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik. Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses kepedulian sosial. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepedulian sosialnya akan kurang baik pula. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Jadi, mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. BAB III SEKOLAH KATOLIK DAN PENGEMBANGAN KEPEDULIAN SOSIAL

A. Panggilan Gereja dalam Dunia Pendidikan

1. Latar Belakang Gereja Katolik Terlibat dalam Dunia Pendidikan. Menurut Gereja Katolik setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu dalam dokumen Gravissimum Educationis dinyatakan bahwa “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan. ” GE art. 1. Rumusan ini menegaskan bahwa hak atas pendidikan menjadi hak yang sangat mendasar bagi setiap orang tanpa memandang latar belakangnya. Hak ini melekat pada diri setiap orang sejak ia hidup dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Begitu tingginya pengakuan Gereja Katolik terhadap hak atas pendidikan. Perhatian khusus mengenai pendidikan ditujukan kepada anak-anak dan remaja. Dalam GE dikatakan bahwa “...anak-anak dan kaum remaja berhak didukung, untuk belajar menghargai dengan suara hati yang lurus, nilai-nilai moral, serta dengan tulus menghayatinya secara pribadi, pun juga untuk makin sempurna mengenal serta mengasihi Allah. ..” GE art. 1. Jelas diungkapkan bahwa anak-anak dan remaja selain berhak atas pendidikan, mereka juga berhak mendapatkan dukungan untuk mendapatkan hak tersebut. Gereja Katolik mengemban amanat yang besar untuk memenuhi hak atas pendidikan tersebut. Dalam rangka melaksanakan perintah Pendirinya yang ilahi, yakni mewartakan misteri keselamatan kepada semua orang yang membaharui segalanya dalam Kristus. Maka, Gereja berperan serta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan. 2. Tujuan Pendidikan menurut Gereja Katolik Dalam mengemban tugas sucinya, Gereja Katolik memiliki kewajiban untuk menghantarkan umat agar sampai pada keselamatan di dalam Yesus Kristus. Pendidikan merupakan salah satu jalan menuju keselamatan tersebut. Sehingga arti pendidikan dirumuskan dengan sangat baik dalam GE art. 1 sebagai sebuah bentuk tanggungjawab untuk membina jiwa-jiwa agar bertumbuh dan senantiasa mengembangkan hidupnya. Mengenai hal ini, tujuan pendidikan dirumuskan dalam GE yaitu untuk : ...mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya. Maka dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan psikologi, pedagogi dan didaktik, perlulah anak-anak dan kaum remaja dibantu untuk menumbuhkan secara luas-serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual mereka. Dengan demikian mereka setapak demi setapak akan mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan saksama mengembangkan hidup mereka sendiri GE art.1. Bagi Driyarkara 2003: 17, yang harus diangkat dalam pemanusiaan manusia adalah seluruh diri manusia itu untuk dapat hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi, manusia harus memanusiakan dirinya. Driyarkara mengistilahkannya sebagai hominisasi dan humanisasi. Dua istilah ini bisa dijelaskan sebagai berikut : a. Hominisasi Hominisasi dapat diartikan sebagai proses pemanusiaan secara umum atau dengan kata lain hominisasi diartikan sebagai penjadian manusia. Hominisasi ini terjadi pada setiap manusia, sejak awal hidupnya sampai akhir hayat. Manusia dari hari ke hari dan masa ke masa bertumbuh kembang, berproses, dan lambat laun akan sampai kepada kemanusiaannya. Manusia berkembang untuk menjadi seorang pribadi, person, seorang subyek yang artinya mengerti diri, menempatkan diri dalam situasinya, mampu mengambil sikap, dan menentukan dirinya. Proses untuk menjadi pribadi inilah yang menjadi peran dari pendidikan. b. Humanisasi Humanisasi diartikan sebagai pembudayaan yang dilakukan manusia terhadap dirinyadan lingkungannya. Bila dibandingkan dengan hominisasi, taraf humanisasi menjadi lebih tinggi tingkat atau derajatnya karena tidak semata berhubungan dengan perkembangan diri tapi juga memberi arti bagi dirinya dengan lingkungannya. Aspek- aspek pembudayaan itu meliputi tematisasi proses memberi arti sehingga tidak sekedar dijalani saja, universalisasi memahami bahwa nilai yang dialami dalam hidupnya itu juga berharga bagi orang lain, dan teorisasi proses memberdalamkan makna secara lebih sistematis dan dinamis. Hominisasi dan humanisasi ini nampaknya tidak mempunyai batas di antara keduanya karena berjalan beriringan dan berdampingan. Tidak akan ada hominisasi tanpa humanisasi sedikitpun dimana keduanya berkembang bersama-sama hanya saja tingkat yang minimal itu yang disebut hominisasi, sedang tingkat yang lebih sempurna itu humanisasi. Maka teranglah bahwa pendidikan itu disebut perbuatan yang fundamental karena mengubah, menentukan, dan mengkonstruksi hidup manusia. Hominisasi dan humanisasi penting karena menjadi sebuah kegiatan mendidik yang menyebabkan manusia menjadi manusia. Dari uraian diatas tampak bahwa tujuan pendidikan bertitik tolak pada pribadi manusia yang dibina diarahkan kepada peranan pribadi tersebut dalam keberadaannya hidup bersama dengan masyarakat dimana ia hidup dan tinggal. Setiap manusia sebagai individu tidaklah berdiri sendiri sebagai individu tetapi dalam sebuah kelompok masyarakat. Sehingga setiap manusia perlu dipersiapkan untuk menanggalkan individualitasnya agar dapat berintegrasi menjadi anggota komunitas. Gereja Katolik juga dengan jelas mengakui keunikan pribadi setiap manusia. Oleh sebab itu, penting untuk dicermati bahwa pendidikan yang diselenggarakan memperhatikan bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual setiap manusia. Dengan kata lain, pendidikan diselenggarakan untuk pembentukan manusia yang utuh dan memiliki kedewasaan kristiani. Konsili Suci memandang bahwa pendidikan tidak hanya diselenggarakan dalam rangka memanusiakan manusia saja, melainkan juga sampai pada kepenuhan iman kristiani, seperti tertuang sebagai berikut : Berkat kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus umat kristen telah menjadi ciptaan baru, serta disebut dan memang menjadi putera-puteri Allah. Maka semua orang kristen berhak menerima pendidikan kristen. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran lih. Yoh 4:23, terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati Ef 4:22-24; supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus lih. Ef 4:13, dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik GE art. 2. Seperti yang tertulis di atas, orang Kristen yang telah dibaptis berhak menerima pendidikan kristen supaya semakin memiliki kedewasaan iman kristiani. Dengan ini pula proses pendidikan mencakup penyadaran atas kurnia yang dimiliki sampai kepada peran serta untuk mengusahakan karya-karya nyata dalam Tubuh Mistik, yakni meneruskan karya Kristus di dunia.

B. Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia yang Utuh

1. Visi dan Misi Sekolah dalam Pendidikan Karakter Visi yang baik akan membentuk kultur sekolah yang pada gilirannya akan menunjang prestasi dan mutu sekolah. Visi dapat diartikan sebagai latar belakang filosofis kinerja pendidikan yang dipercaya oleh lembaga pendidikan Doni Koesuma, 2007: 157-159. Visi ini merupakan cita-cita yang akan diraih. Rumusan visi ini, agar operasional dan terukur, dijelmakan melalui rumusan misi sekolah. Misi sekolah merupakan sebuah rumusan akan tujuan goal yang ingin direalisasikan