Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia yang Utuh
menjadi bagaikan ragi keselamatan bagi masyarakat luas. Seperti dinyatakan Gereja Katolik dalam
Gravissimum Educationis
bahwa : Karena sekolah katolik dapat memberi sumbangan begitu besar kepada umat
Allah untuk menunaikan misinya dan menunjang dialog antara Gereja dan masyarakat yang menguntungkan kedua pihak, maka juga bagi situasi kita
sekarang ini tetap penting sekali. Oleh karena itu Konsili ini sekali lagi mengulangi pernyataan, bahwa
– seperti berkali-kali telah ditetapkan dalam dokumen-dokumen Magisterium
– Gereja berhak secara bebas mendirikan dan mengurus segala macam sekolah pada semua tingkat. Sementara itu
Konsili mengingatkan juga, bahwa pelaksanaan hak itu merupakan dukungan kuat sekali untuk melindungi kebebasan suarahati serta hak-hak para orangtua,
lagi pula banyak menunjang kemajuan kebudayaan sendiri. Hendaknya para guru menyadri, bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi
sekolah katolik, untuk dapat melaksanakan rencana-rencana dan usaha- usahanya. Maka dari itu hendaklah mereka sungguh-sungguh disiapkan,
supaya membawa bekal ilmu-pengetahuan profane maupun keagamaan yang dikukuhkan oleh ijazah-ijazah semestinya, dan mempunyai kemahiran
mendidik sesuai dengan penemuan-penemuan zaman modern GE art.8.
Hal ini ditegaskan dalam Dimensi Religius Sekolah Katolik art. 1, bahwa salah satu aspeknya dimensi
religius adalah “penerangan ilmu pengetahuan oleh cahaya iman.” Ilmu pengetahuan perlu mendapatkan penerangan iman agar ilmu
pengetahuan tidak hanya dimengerti secara intelektual, tapi mampu diterjemahkan dalam kehidupan nyata, atau dalam arti ini, ilmu pengetahuan yang diterangi iman
sungguh bermanfaat untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat Banawiratma 1991:18, bahwa “pendidikan yang mendapat
inspirasi dari iman Kristiani, berhubungan dengan perubahan sosial tersebut, mencita- citakan
munculnya pelaku-
pelakunya.” Sekolah Katolik Kristiani selain mengembangkan bidang intelektual dan bakat, pendidikan Kristiani berupaya untuk
membangun pribadi peserta didik yang memiliki kepedulian sosial dan hidupnya peka akan situasi masyarakat atau orang yang mengalami kesulitan.
3. Tantangan Sekolah Katolik dalam mengembangkan visi pendidikan karakter
Dalam sebuah situasi kelembagaan, selalu akan ada unsur-unsur non-edukatif yang bisa membelenggu kebebasan individu sehingga individu itu tidak dapat
mengembangkan kepribadiannya secara maksimal Doni Koesuma, 2007: 160. Individu itu tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara ilmiah sehingga cita-cita
dan harapannya tidak terwujud. Jika situasi ini tidak terjadi, individu tersebut semakin tidak dapat menemukan makna dari setiap kerja yang dilakukannya. Ia akan merasa
sebagai bagian dari mesin produksi, yang hanya bisa melakukan apa yang diperintahkan.
Tanpa kebebasan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, tidak mungkinlah sebuah kultur manusiawi muncul. Jika dalam lembaga sekolah kultur
yang manusiawi itu tidak muncul, kreativitas tidak akan ada. Lembaga pendidikan lantas menjadi semacam pabrik yang diisi mesin-mesin yang berproduksi seperti
sebuah program yang siap jadi. Dalam taraf yang sangat kronis, yang terjadi dalam lembaga pendidikan bukanlah pemanusiaan, melainkan penindasan. Jika struktur
yang menindas ini tudak diperbaiki, program pendidikan karakter apa pun yang diterapkan dalam lembaga pendidikan itu tidak akan bermakna. Di sana- sini akan
ada inkonsistensi yang pada gilirannya membuat program pendidikan karakter menjadi mandul.
Memperbaiki struktur saja belumlah mencukupi jika kultur dalam sekolah sendiri tidak diubah. Struktur yang sangat baik, dapat ditelikung oleh sebuah kultur
non-edukatif yang telah lama menjadi praksis di lapangan bagi kalangan pendidik. Katakanlah, sebuah sekolah telah memiliki peraturan yang cukup baik dalam
mengorganisasikan kehidupan akademis di dalam sekolah. Namun, ketika peraturan ini tidak disertai adanya konsistensi dalam penerapannya, peraturan pun lantas
menjadi pepesan kosong, menjadi macam kertas, yang hanya ada dalam tulisan, tetapi tidak ada dalam praksis di lapangan.
Kultur non-edukatif yang menjadi gejala umum dalam lembaga pendidikan kita, misalnya semangat untuk berkompetisi atau bersaing. Kultur persaingan ini tidak
hanya menggejala dalam diri siswa, namun juga hadi dalam diri para guru. Sebab, nilai keunggulan dipahami sekedar sebagai ungul dalam hal prestasi, mereka
melupakan pentingnya proses dalam meraih keunggulan tersebut. Oleh karena itu, banyak siswa berlomba mencapai keunggulan namun demi keunggulan itu sendiri,
mereka tidak memedulikan apakah cara-cara yang mereka gunakan selaras dengan nilai-nilai moral atau tidak. Misalnya, untuk mencari jalan pintas mereka
memutuskan mencontek. Yang penting nilainya bagus. Kultur mencontek ini semakin menjadi-jadi ketika para guru pun, demi menjaga gengsi diri atau lembaga,
membiarkan siswa itu mencontek, bahkan memberikan kesempatan dengan cara menutup mata atas ketidakjujuran tersebut, kalau perlu, sebagaimana terjadi dalam
Ujian Nasional, para guru penjaga memberikan bocoran jawaban soal agar siswa di sekolahnya mendapat nilai yang baik. Meskipun pemerintah lewat kebijakannya
menerapkan adanya para pengawas independen untuk menghindari kecurangan dalam Ujian Nasional, para pengawas itupun sudah tahu sama tahu sehingga saling
membiarkan pengawas dari sekolah lain itu memberikan kesempatan bagi siswa agar mereka sama-sama memperoleh prestasi maksimal.
Kultur non-edukatif yang sangat tidak mendidik bisa berjalan terus menjadi praksis harian dalam lingkup pendidikan, sampai individu yang ada dalam lembaga
pendidikan itu tidak lagi merasa bahwa perilaku demikian ini adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan.
Dalam satu peristiwa pendidikan ini, misalnya dalam kasus terjadinya pencontekan, terlibat lebih dari satu individu. Bahkan bisa jadi individu yang terlibat
bukan hanya dalam satu lembaga pendidikan guru dan siswa, melainkan menjangkau individu lain diluar lembaga pendidikan misalnya, pengawas ujian dari
sekolah lain. Corak relasional ini jika terjadi terus-menerus akan menciptakan sebuah kultur mencontek yang menjadi praksis umum. Jika kultur ini begitu kuat,
aturan apapun yang diberikan hanya akan menjadi pepesan kosong. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang ingin diterapkan di dalam lingkup
pendidikan mesti mengolah bagaimaba individu-individu dalam lembaga pendidikan itu bertindak dan bersikap terhadap kultur non-edukatif yang merasuk dalam sekolah,
sehingga pendidikan karakter menjadi bagian integral dari misi bersama seluruh individu di dalam sekolah tersebut. Individu-individu di dalam sekolah yang memiliki
potensi efektif dalam mengembangkan pendidikan karakter di dalam sekolah meliputi seluruh komponen organisasi dalam dunia pendidikan, seperti kepala sekolah,
yayasan, direktur, Komite Sekolah, guru, karyawan administrasi petugas perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, dll, karyawan non-administrasi penjaga
keamanan, petugas kebersihan, kantin, dll. Berhadapan dengan kultur non-edukatif dan konflik kepentingan yang bisa
muncul dalam lembaga pendidikan, pendidikan karakter semestinya mengedepankan etika profesi dari para individu yang terlibat dalam dalam dunia pendidikan.