5
keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia
dan lebih produktif. ”
Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orang tua bergembira
ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan
dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi siswa maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah.
Memasuki abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali hadirnya pendidikan budi pekerti, untuk memprmosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak
muda dalam kaitannya dengan merebaknya perilaku kekerasan dalam masyarakat. Mulyadi Wasesa 1986: 113
mengindikasikan bahwa, “...kejahatan dan bentuk- bentuk lain perilaku tidak bertanggungjawab telah meningkat dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan dan telah merember menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses reproduksi sosial.
” Masyarakat kita sedang berada dalam ancaman tindak kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan,
adanya geng-geng jalanan, anak-anak yang kabur dari sekolahbolos
truancy
, kehamilan di kalangan anak-anak muda, bisnis hitam
business fraud
, korupsi para politisi, kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat pada
orang lain, dan memupusnya etika profesi.”
6
Pendidikan diperlukan sebagai sebuah sarana yang mampu membentuk manusia secara utuh meliputi jasmani maupun rohani. Pembentukan kepribadian ini
harus bisa ditata dengan baik, dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ada. Pada kenyataannya, pendidikan yang harusnya digunakan sebagai wahana penempaan
karakter hanya mengedepankan
transfer of learning
dalam penyampaian materi- materi pelajaran dan masih mengesampingkan pembentukan sikap dan perilaku
peserta didik yang menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter peserta didik di Indonesia Zubaedi, 2012: 87.
Untuk memiliki kepedulian sosial, sekolah katolik sebagai lembaga pendidikan
perlu memiliki visi menumbuhkankembangkan kepedulian sosial terhadap
sesama dan lingkungan demi mewujudkan semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Sekolah Katolik
perlu mengusahakan lulusan yang beriman mendalam, berkepribadian utuh, mampu merefleksikan imannya dan berkualitas untuk
mengembangkan dan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berkualitas sehingga mampu memilih nilai-nilai hidup yang sesuai hati
nurani. Sekolah Katolik perlu mendampingi peserta didik agar pada waktunya nanti
mampu menjadi remaja mandiri, berkarier yang cakap, berdedikasi tinggi bagi kemajuan bangsa, negara, gereja berdasarkan visi dan nilai-nilai kristiani.
Peserta didik di SMA yang merupakan kaum remaja perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pendidikan di sekolah agar memiliki kesadaran, kehendak
dan keterlibatan dalam kehidupan sosialnya di tengah masyarakat. Dalam hal ini
7
sekolah katolik perlu membantu remaja usia SMA melalui program kegiatan yang sesuai.
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan diatas dan terdorong oleh keprihatinan pentingnya pendidikan yang bervisi sosial atau juga pentingnya
kepedulian sosial dalam kehidupan jaman ini, maka penulis menyusun skripsi dengan
judul Peranan Sekolah Katolik Dalam Mengembangkan Kepedulian Sosial Remaja usia Sekolah Menengah Atas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diidentifikasikan masalah skripsi sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan kepedulian sosial?
2. Bagaimanakah perkembangan kepedulian sosial pada remaja?
3. Apakah yang dimaksud dengan sekolah katolik?
4. Bagaimanakah peranan sekolah katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial
remaja usia SMA? 5.
Usaha apa yang dapat membantu mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA?
C. Tujuan Penulisan
1. Mampu memahami tentang arti Sekolah Katolik dan kepedulian sosial.
2. Mampu memahami peranan Sekolah Katolik dalam usaha mengembangkan
kepedulian sosial.
8
3. Menunjukkan peranan Sekolah Katolik terhadap perkembangan kepedulian sosial
remaja usia SMA. 4.
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana S1 Pendidikan Agama Katolik.
D. Manfaat Penulisan
1. Supaya penulis memiliki pengalaman, pengetahuan dan wawasan dalam penulisan
ilmiah. 2.
Memberikan sumbangan gagasan akan peranan Sekolah Katolik dalam mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA.
3. Sebagai bahan refleksi dalam usaha menumbuhkembangkan kepedulian sosial
remaja usia SMA untuk ambil bagian dalam mengurangi permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitarnya.
4. Sebagai masukan bagi Gereja Katolik bahwa Sekolah Katolik memiliki peranan
dalam mengembangkan kepedulian sosial siswi terhadap realitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
E. Metode Penulisan
Metode yang dipakai penulis adalah dengan kajian studi pustaka. Penulis dalam skripsi ini menggunakan buku-buku acuan yang berkaitan dengan pendidikan
karakter, psikologi perkembangan dan dokumen
Gravissimum Educationis
GE
9
sebagai acuan untuk memahami kepedulian sosial dan sekolah katolik. Dari buku dan dokumen tersebut akan disimpulkan adanya peranan Sekolah Katolik terhadap
kepedulian sosial remaja usia SMA.
F. Sistematika Penulisan
Pada Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Pada Bab kedua, penulis menguraikan kepedulian sosial remaja usia SMA dan
upaya pengembangannya meliputi: Gambaran Umum Kehidupan Remaja Usia SMA, Gambaran Umum Kehidupan Sosial Remaja Usia SMA dan Masalah yang
Melingkupi, Pengembangan Kepedulian Sosial bagi Remaja Usia SMA. Pada Bab ketiga, penulis menguraikan tentang Panggilan Gereja Dalam Dunia
Pendidikan, Pendidikan di Sekolah Sebagai Usaha Pengembangan Manusia Yang Utuh Sekolah Katolik Sebagai Sarana Pengembangan Kepedulian Sosial, Usaha
Sekolah Katolik Mengembangkan Kepedulian Sosial Siswa SMA. Pada Bab empat, penulisan menguraikan pengembangan langkah-langkah
untuk menyelenggarakan program
live in
untuk mengembangkan kepedulian sosial remaja usia SMA meliputi: pengertian, tujuan, dan langkah-langkah yang perlu untuk
dibuat. Pada Bab lima merupakan penutup, pada bagian ini penulis memaparkan
mengenai kesimpulan dan saran.
BAB II KEPEDULIAN SOSIAL REMAJA USIA SMA
DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA
A. Gambaran Umum Remaja Usia SMA
1. Pengertian Remaja Usia SMA
Istilah remaja berasal dari kata dalam bahasa Latin
adolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah
adolescence
, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial dan fisik. Dalam hal ini menurut Jean Piaget, dalam Elizabeth Hurlock 1980: 206 mengatakan :
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah
tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak....Integrasi dalam masyarakat
dewasa mempunyai banyak aspek efektif kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.
Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang
dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa remaja merupakan masa dimana individu sedang berproses dalam pertumbuhan menjadi dewasa dan sedang berusaha
menempatkan diri dalam integrasi dengan masyarakat. Proses ini mengarah pada pencapaian hubungan sosial dengan orang dewasa dalam masyarakat.
Sarlito W. Sarwono 1991: 9 mengutip pernyataan WHO
World Health Organization
pada tahun 1974, tentang definisi remaja yang bersifat konseptual. Secara biologis remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat
pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya
tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Sementara itu, secara psikologis individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri tercapainya fase genital dari
perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan konitif maupun moral.
Menurut Sarlito W. Sarwono 1991: 14-15 mendefinisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sulit karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat
dan tingkatan sosial-ekonomi maupun pendidikan. Tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Walaupun demikian, sebagai pedoman
umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan antara lain secara fisik usia 11 tahun sudah
dianggap akil balik dan pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak. Dengan begitu, secara sosial, di banyak masyarakat di Indonesia, mereka tidak lagi
diperlakukan sebagai anak-anak. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang
bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada