Terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri ketika ditambahkan
chitosan
ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Zhijiang
et. al.
2011 yang menyatakan terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri yang semula suhunya
sekitar 263 C ketika dibentuk komposit selulosa bakteri-
chitosan
suhu dekomposisinya menjadi sekitar 380
C. Adanya pergeseran suhu dekomposisi ini menunjukkan terjadinya peningkatan stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika
selulosa bakteri tersebut ditambah
chitosan
. Adanya peningkatan stabilitas termal ini kemungkinan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen intermolekular yang
sangat kuat antara gugus -OH dengan gugus -NH
2
dari selulosa bakteri dengan
chitosan
sehingga stabilitas termalnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri
Zhijiang
et. al.
, 2011 . Hal ini diperkuat
dengan melihat profil spektra IR-nya. Selain itu, ketika selulosa bakteri ditambah dengan gliserol dan
chitosan
maka secara tidak langsung stabilitas termalnya akan semakin lebih meningkat jika dibandingkan dengan selulosa bakteri. Hal ini
disebabkan adanya interaksi hidrogen intermolekulernya yang akan semakin meningkat seiring dengan penambahan gliserol dan
chitosan
.
7. Analisis Kristalinitas dengan XRD
Uji ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap kristalinitas dari selulosa bakteri. Kristalinitas dari suatu polimer ini akan berkaitan erat dengan sifat mekanik yang dimiliki oleh polimer tersebut.
Selulosa bakteri dan
chitosan
merupakan suatu polimer alam sehingga memiliki nilai kristalinitas tertentu. Selulosa bakteri merupakan suatu polimer
yang memiliki nilai kristalinitas yang tinggi. Menurut Cai
et. al.
2009, selulosa bakteri memiliki kristalinitas tinggi 70-90 sedangkan
chitosan
merupakan suatu polimer yang bersifat semikristalin Saputro dkk., 2009, sehingga melalui
uji ini apabila ada pengaruh maka akan terlihat adanya perbedaan dari difraktogram yang dihasilkan dari selulosa bakteri maupun selulosa
bakteri+gliserol+
chitosan
beserta adanya perbedaan dari kristalinitas masing- masing sampel. Berikut disajikan Gambar 22., yang merupakan difraktogram dari
masing-masing sampel.
Gambar 22.a. Difraktogram selulosa bakteri
Gambar 22.b. Difraktogram selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
Gambar 22.a menunjukkan adanya empat buah puncak dengan intensitas tinggi pada sudut 2θ = 18,1
; 22,8 ; 31,7
dan 33,8 . Adanya puncak-puncak
tertinggi pada sudut 2θ ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Meshitsuka dan Isogai 1996 beserta Hon 1996 yang menyatakan bahwa signal
difraksi yang utama dari selulosa bakteri terdapat di sekitar daerah 2θ = 16,8
; 22,6
; 33,7 ; 34,9
dimana pada daerah tersebut selulosa bakteri ini memiliki fase kristalin pada bidang 101,002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai persen
kristalinitas dari selulosa bakteri ini adalah 72. Persen kristalinitas selulosa bakteri dihitung dengan pendekatan luas segitiga. Luas kristal + luas amorf
diperoleh dari luas total dibawah kurva – luas
background
lalu luas kristal dihitung dengan mengalikan tinggi puncak dengan FWHM yang diperoleh.
Setelah mendapat luas kristal maupun luas kristal+luas amorf, lalu persen kristalinitas dihitung menggunakan Persamaan 4. Perhitungan ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Purmana dan Firman 2006, yang menyatakan
bahwa dengan penghilangan
background
dikurangi dengan penghilangan amorf akan mendapatkan fraksi luas kristalin.
Gambar 22.b menunjukkan adanya puncak dengan intensitas lemah pada sudut
2θ = 14,2 . Adanya puncak ini menunjukkan adanya
chitosan
yang berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini sesuai dengan penelitian yang
dikemukakan oleh Samuels 1981, yang menyatakan bahwa
chitosan
dengan BM rendah maupun tinggi ini memiliki puncak pada difraktogram di
sekitar daerah 2θ = 12
. Selain itu adanya puncak dengan intensitas tinggi di sekitar daerah 2θ =
22,8 ; 31,8
dan 32,2 ini menunjukkan adanya fase kristalin dari selulosa bakteri
pada bidang 002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai kristalinitas dari selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
adalah 63. Adanya penurunan nilai kristalinitas dari 72 menjadi 63 menunjukkan
bahwa
chitosan
berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini akan diperkuat dengan melihat profil spektra IR-nya selain itu hal ini sesuai dengan penelitian
yang dikemukakan oleh Zhijiang
et. al.
2011
chitosan
mampu menurunkan kristalinitas dari selulosa bakteri karena adanya keberadaan
chitosan
yang bersifat amorf dan ternyata penambahan gliserol ternyata tidak mampu menaikkan
kristalinitas dari selulosa bakteri, hal ini bertentangan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Suyatma dkk. 2005, yang menyatakan bahwa dengan sedikit
penambahan
plasticizer
ini dapat meningkatkan kristalinitas dari suatu polimer, sehingga dengan penambahan gliserol ini seharusnya akan meningkatkan
kristalinitas dari selulosa bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan karena daerah amorf dari
chitosan
berperan sangat dominan dalam menambah daerah amorf
pada selulosa bakteri sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap struktur tiga dimensi dari rantai polimer selulosa bakteri yang sangat kompleks jika
dibandingkan dengan pemutusan rantai polimer yang terjadi pada selulosa bakteri akibat adanya gliserol yang kemungkinan terjadi beberapa pemutusan rantai hanya
di beberapa rantai sehingga ketika terjadi interaksi antara gliserol dan
chitosan
dengan selulosa bakteri ini, kristalinitas dari selulosa bakteri ini tetap turun. Namun adanya pemberian gliserol yang dapat meningkatkan kristalinitas dari
selulosa bakteri ini masih perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. Adanya penurunan kristalinitas ini juga akan berpengaruh terhadap sifat
mekanik dari selulosa bakteri sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhijiang
et. al
. 2011, yang menyatakan bahwa selulosa bakteri yang memiliki kristalinitas tinggi memiliki hubungan dengan tingginya sifat mekanik dari
selulosa bakteri tersebut.
M. Sterilisasi Produk