Waktu fermentasi yang digunakan untuk membentuk selulosa bakteri adalah 7-14 hari, namun berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pada hari
ketujuh, lapisan pelikel yang terbentuk sudah cukup tebal dan sudah tidak terlihat adanya cairan ketela rambat pada nampan yang digunakan sebagai sumber nutrisi
saat fermentasi sehingga diputuskan bahwa waktu fermentasi optimum yang digunakan adalah tujuh hari. Waktu fermentasi optimum selama tujuh hari ini
sendiri sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saragih 2004 yang menyatakan bahwa waktu optimum untuk fermentasi
nata de coco
adalah tujuh hari.
J. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol SG
Langkah pembuatan SG ini sama dengan pembuatan selulosa bakteri sebagai kontrol karakterisasi biomaterial. Hal yang membedakan yaitu terdapat
penambahan gliserol sebanyak 0,5 gram untuk 100 mL limbah cair ketela rambat pada proses ini. Penambahan gliserol sebanyak 0,5 gram ini mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Pardosi 2008 yang menemukan bahwa dengan pemberian 0,5 gram gliserol ini sudah mampu memberikan peningkatan sifat
mekanik dari selulosa bakteri.
K. Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+
Chitosan
SGK
Langkah pembuatan SGK ini sama dengan langkah orientasi pembuatan material selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
dengan metode pelapisan. Hasil yang didapat menunjukkan tidak ada perbedaan dengan hasil orientasi yang dilakukan.
Chitosan
yang digunakan untuk melapisi selulosa bakteri memiliki konsentrasi 2.
L. Analisis Karakteristik Biomaterial
1. Analisis Sifat Fisik Secara Makroskopis dan Organoleptis
Analisis ini merupakan uji pendahuluan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
pada selulosa bakteri. Tujuan dari analisis ini adalah melihat sifat fisik dari masing-masing biomaterial. Melalui sifat fisik ini juga dapat
dibedakan pula karakteristik dari masing-masing biomaterial yang dihasilkan. Hasil analisis sifat fisik dari masing-masing biomaterial disajikan dalam Tabel V.
Tabel V. Hasil pengamatan sifat fisik sampel biomaterial No
Sifat Fisik Selulosa Bakteri
Selulosa Bakteri + Gliserol
Selulosa Bakteri + Gliserol +
Chitosan
1 Warna
Kuning kecoklatan dan
agak putih keruh Kuning
kecoklatan dan agak putih keruh
Kuning kecoklatan
2 Tekstur
Kasar Kasar
Halus 3
Bentuk Lembaran seperti
kertas Lembaran seperti
kertas Lembaran seperti
kertas 4
Transparansi Tidak
Tidak Tidak
Berdasarkan hasil pengamatan sifat fisik dari masing-masing sampel biomaterial seperti yang ditunjukkan pada Tabel V, maka dapat dilihat bahwa
adanya penambahan gliserol ini tidak begitu mempengaruhi sifat fisik dari selulosa bakteri karena dilihat dari sisi tekstur, transparansi, warna dan bentuk
baik itu selulosa bakteri maupun selulosa bakteri yang diberi gliserol ini memiliki karakter yang sama. Berdasarkan pengamatan terhadap sifat fisik selulosa bakteri
yang dilakukan ternyata memiliki kemiripan dengan pengamatan sifat fisik selulosa bakteri yang dilakukan oleh Pratomo dan Rohaeti 2011.
Selain itu secara makroskopik memang dengan penambahan gliserol ini tidak akan terlihat adanya perbedaan namun kemungkinan untuk terjadinya
interaksi antar senyawa itu tetap ada. Hal ini akan diperjelas jika membandingkan profil spektra IR masing-masing sampel.
Adanya tekstur yang kasar pada selulosa bakteri ini kemungkinan dikarenakan akibat adanya rongga-rongga pada selulosa bakteri akibat adanya
pembentukan mikrofibril yang tidak merata yang dilakukan oleh bakteri
Acetobacter xylinum
saat proses fermentasi. Adanya rongga-rongga pada selulosa bakteri ini akan terlihat jika dilakukan analisis morfologi permukaan
menggunakan SEM. Adapun penambahan
chitosan
ini mempengaruhi tekstur dari selulosa bakteri yang semula kasar menjadi lebih halus. Adanya tekstur yang halus pada
permukaan selulosa bakteri akibat adanya penambahan
chitosan
ini kemungkinan dikarenakan adanya pengisian rongga-rongga dari selulosa bakteri oleh material
chitosan
. Adanya perubahan tekstur dari selulosa bakteri akibat adanya penambahan
chitosan
ini juga dapat menyebabkan kemungkinan adanya interaksi antara selulosa bakteri dengan
chitosan
. Interaksi antara selulosa bakteri dan
chitosan
dapat terlihat dan teramati dari profil spektra IR-nya. Lalu untuk melihat adanya pengisian dari rongga-rongga pada selulosa bakteri oleh material
chitosan
ini, tidak dapat diamati melalui pengamatan secara makroskopik namun harus dengan menggunakan suatu instrumen khusus, salah satunya adalah dengan
menggunakan SEM. Melalui analisis dengan SEM ini maka adanya perubahan tekstur dari selulosa bakteri dari yang semula kasar menjadi lebih halus akibat
adanya penambahan
chitosan
dapat lebih diperjelas dan diamati dengan mudah Freire
et. al.
, 2011.
Adanya warna yang agak putih keruh pada selulosa bakteri dan selulosa bakteri+gliserol ini kemungkinan dikarenakan pengaruh tumbuhnya jamur pada
permukaan sampel. Namun menurut Pratomo dan Rohaeti 2011, hal ini dapat diatasi dengan mencuci sampel tersebut dengan larutan alkohol 70.
2. Analisis Gugus Fungsi dengan Instrumen FT-IR
Analisis ini bertujuan untuk melihat adanya interaksi antara gliserol dan
chitosan
dengan selulosa bakteri seiring dengan penambahan kedua bahan tersebut. Apabila ada interaksi maka akan terlihat adanya perbedaan dari spektra
masing-masing biomaterial dan melalui spektra-spektra ini dapat diinterpretasikan gugus-gugus fungsi dari tiap-tiap biomaterial. Berikut ini disajikan spektra IR dari
serbuk
chitosan
, selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
.
Gambar 14. Spektra serbuk
chitosan
Pemeriksaan gugus fungsi dari
chitosan
dilakukan karena selama penelitian ini, hampir seluruhnya menggunakan
chitosan
. Selain itu spektra serbuk
chitosan
ini digunakan sebagai kontrol pembanding antara selulosa bakteri dengan selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
. Jika terjadi interaksi antara selulosa bakteri dengan
chitosan
maka dapat dibandingkan spektranya dengan spektra dari selulosa bakteri maupun selulosa bakteri+gliserol. Selain itu berdasarkan spektra serbuk
chitosan
dapat dihitung pula nilai derajat deasetilasi DD dari
chitosan
yang digunakan.
Berdasarkan perhitungan dengan metode
baseline, chitosan
yang digunakan memiliki DD 73,78. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pillai,
Paul dan Sharma 2009 yang menyatakan bahwa
chitosan
merupakan hasil deasetilasi
chitin
dengan derajat deasetilasi 60-90. Pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap spektra IR dari selulosa bakteri ditunjukkan melalui Gambar 15.
Gambar 15. Hasil spektra IR biomaterial S, SG dan SGK Keterangan: S=selulosa bakteri, SG= selulosa bakteri+gliserol, SGK= selulosa
bakteri+gliserol+
chitosan
Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan serapan dari masing-masing sampel. Melalui perbedaan serapan dari masing-masing sampel ini dapat
diinterpretasikan gugus-gugus fungsi yang terdapat dalam masing-masing sampel. Hasil interpretasi spektra IR dari masing-masing sampel disajikan dalam Tabel
VI. Tabel VI. Hasil interpretasi gugus fungsi dari sampel biomaterial
No. Sampel Bilangan
Gelombang cm
-1
Gugus Fungsi 1
S 3441,01
-OH 2931,80
-CH Alifatik 1627,92
C=O
stretching
1350,17 –CH
3
bending vibrations
1072,42 β-1,4-Glikosidik
2 SG
3464,15 -OH
2931,80 -CH Alifatik
1342,46 –CH
3
bending vibrations
1026,13 β-1,4-Glikosidik
3 SGK
3425,58 -OH
and
–NH
stretching
2931,80 -CH Alifatik
1635,64 C=O
stretching
1566,20 –NH
bending
amide II 1342,46
–CH
3
bending vibrations
1064,71 β-1,4-Glikosidik
Gambar 15 menunjukkan dengan adanya penambahan gliserol pada selulosa bakteri ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak
gugus -OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm
-1
, selain itu pada spektra SG ini tidak ditemukan adanya puncak dengan intensitas kuat di
sekitar daerah 1600 cm
-1
. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan gliserol ini akan mempengaruhi gugus fungsi dari selulosa bakteri. Selain itu
dengan penambahan gliserol ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran puncak gugus
–OH dari selulosa bakteri yang semula berada di sekitar daerah 3441,01
cm
-1
bergeser menjadi di sekitar daerah 3464,15 cm
-1
. Adanya pergeseran puncak ini menandakan terjadinya penambahan gugus
–OH dari gliserol terhadap gugus –OH selulosa bakteri.
Adanya pelebaran dan penajaman pada puncak spektra IR selulosa bakteri yang ditambah gliserol ini menunjukkan bahwa selulosa bakteri ini berinteraksi
dengan gliserol. Pelebaran puncak ini disebabkan adanya penambahan gugus –OH
dari gliserol sedangkan penajaman dari puncak menandakan adanya peningkatan intensitas dari gugus
–OH selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohaeti dan Rahayu 2012,
yang menyatakan bahwa lebarnya puncak pada spektrum yang terbaca menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara gliserol dengan selulosa. Adanya
peningkatan intensitas gugus fungsi –OH dari selulosa bakteri ketika ditambah
dengan gliserol akan berkaitan dengan sifat mekanik selulosa bakteri tersebut. Hubungan antara intensitas dengan sifat mekanik dari sampel ini dapat diketahui
dengan menghitung nilai absorbansi gugus fungsi dari setiap sampel. Tabel VII menyajikan nilai absorbansi dari tiap gugus fungsi untuk setiap sampel:
Tabel VII. Hasil absorbansi selulosa bakteri, selulosa bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
No. Sampel
Gugus Fungsi Absorbansi
1 S
-OH 0,17
C=O 0,027
2 SG
-OH 0,35
C=O 8,47 x 10
-3
3 SGK
-OH 0,27
C=O amida 0,033
Keterangan: S = selulosa bakteri, SG = selulosa bakteri+gliserol, SGK = Selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus –OH
dan penurunan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol. Hal ini akan mendukung terjadinya peningkatan persen
perpanjangan dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan persen perpanjangan dari selulosa bakteri serta peningkatan
stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan gliserol jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri.
Gambar 15 menunjukkan dengan penambahan
chitosan
ini akan menyebabkan terjadinya pelebaran dan penajaman dari puncak gugus
–OH dari selulosa bakteri di sekitar bilangan gelombang 3400 cm
-1
. Adanya pelebaran puncak ini menunjukkan kemungkinan terjadinya overlapping antara gugus
–OH dengan gugus
–NH
2
. Hal ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Anicuta
et. al.
2010 yang menemukan adanya pergeseran pita absorbansi yang semula di sekitar 3350,71 cm
-1
bergeser menjadi 3349,75 cm
-1
dan menjadi semakin lebar yang mengindikasikan adanya kemungkinan overlapping antara
interaksi hidrogen dari gugus –OH dengan -NH
2.
Lalu jika dilihat dari Tabel VI, maka terlihat adanya serapan di sekitar daerah 1635,64 cm
-1
dan 1566,20 cm
-1
yang menunjukkan adanya C=O
stretching
Amida I dan –NH bending Amida
II yang merupakan ciri khas dari gugus C=O amida I dan gugus NH amida II yang terdapat di
chitosan,
yang menunjukkan gugus amida dari
chitin
yang belum terdeasetilasi sempurna. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Stefanescu
et. al.
2012 dalam penelitiannya bahwa telah ditemukan pita baru di sekitar daerah
1640 cm
-1
atau 1643 cm
-1
dan di sekitar daerah 1565 cm
-1
yang menunjukkan adanya C=O
stretching
Amida I dan –NH bending Amida II.
Terjadinya penajaman puncak gugus –OH ini menunjukkan adanya interaksi
yang terjadi antara gugus –OH dari selulosa bakteri dengan
chitosan
yang akan ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas gugus
–OH dari selulosa bakteri setelah ditambah dengan
chitosan
. Adanya peningkatan intensitas ini ditunjukkan dengan peningkatan dari absorbansinya.
Tabel VII menunjukkan terjadinya peningkatan absorbansi dari gugus –OH
dan peningkatan absorbansi gugus C=O dari selulosa bakteri ketika ditambah dengan
chitosan
. Hal ini menunjukkan terjadinya ikatan hidrogen antara
chitosan
dengan selulosa bakteri serta terjadinya penambahan gugus C=O dari
chitosan
yang berasal dari
chitin
yang belum tedeasetilasi dengan sempurna. Adanya ikatan hidrogen yang terbentuk ini akan mempengaruhi sifat mekanik nilai kuat tarik
dan stabilitas termal dari selulosa bakteri. Seiring dengan meningkatnya jumlah ikatan hidrogen yang terbentuk maka stabilitas termal dari selulosa bakteri yang
ditambah
chitosan
ini akan meningkat jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri dan sifat mekanik dari selulosa bakteri khususnya nilai kuat
tarik dari selulosa bakteri yang ditambah
chitosan
ini juga akan meningkat secara teori jika dibandingkan dengan nilai kuat tarik dari selulosa bakteri.
3. Analisis Struktur Morfologi
Analisis ini bertujuan untuk melihat struktur morfologi dari selulosa bakteri serta selulosa bakteri yang dilapisi
chitosan
. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan instrumen SEM. Sampel yang semula tidak bermuatan ini diberi
dobel tape karbon khusus setelah itu sampel dilapisi dengan partikel emas dengan alat
ion coating sputter.
Sampel harus dilapisi dengan emas agar sampel ini memiliki muatan, adanya muatan pada sampel ini akan memantulkan elektron
yang ditembakkan dari instrumen, adanya elektron yang dipantulkan akan ditangkap dan dideteksi oleh instrumen lalu dihasilkan dalam bentuk gambar yang
ditampilkan melalui monitor. Melalui analisis struktur morfologi ini, dapat dilihat struktur permukaan dan melintang dari selulosa bakteri, bentuk mikrofibril dari
selulosa bakteri, diameter dari mikrofibril selulosa bakteri maupun struktur permukaan serta melintang dari selulosa bakteri yang telah dilapisi dengan
chitosan
. Melalui analisis morfologi permukaan juga dapat memperkuat perbedaan hasil analisis sifat fisik secara makroskopis dan organoleptis dari
masing-masing sampel. Berikut ini disajikan Gambar 16 yang merupakan foto permukaan SEM dari
selulosa bakteri maupun selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
dengan perbesaran 500x.
Gambar 16.a. Foto permukaan SEM selulosa bakteri
Gambar 16.b. Foto permukaan SEM SGK
Gambar 16.a menunjukkan beberapa rongga serta bentuk berlekuk yang menyerupai serat pada sampel sehingga menyebabkan bentuk permukaannya
menjadi tidak merata. Hal ini juga yang menyebabkan tekstur dari sampel menjadi kasar. Selain itu bentuk yang tidak merata ini dapat disebabkan juga karena
kondisi dari sampel membran yang sedikit terlipat sebelum dianalisis dengan menggunakan instrumen SEM ini. Bentuk serat dari selulosa bakteri kurang dapat
terlihat dengan jelas karena perbesaran yang digunakan kurang dapat untuk melihatnya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari instrumen SEM yang
digunakan. Selain itu jika digunakan perbesaran yang lebih besar lagi maka gambar yang dihasilkan menjadi sedikit kabur dan tidak jelas, sehingga
diputuskan hanya menggunakan perbesaran 500x saja sedangkan untuk melihat serat-serat mikrofobril pada selulosa bakteri, paling tidak harus digunakan
perbesaran hingga 5000x Freire
et. al
., 2011. Gambar 16.b menunjukkan bagian foto yang berwarna putih dan berbentuk
partikel kecil adalah partikel dari
chitosan
yang kurang terdispersi homogen saat melarutkan
chitosan
dan melapiskannya pada selulosa bakteri namun melalui hal ini dapat dibuktikan bahwa
chitosan
ini telah mampu melapisi selulosa bakteri. Selain itu jika dibandingkan dengan Gambar 16.a, maka Gambar 16.b memiliki
permukaan yang tidak sekasar permukaan dari Gambar 16.a, beserta tidak adanya bentuk berlekuk yang menyerupai serat seperti yang terdapat pada Gambar 16.a,
namun tetap masih memiliki sedikit lekukan-lekukan. Adanya sedikit lekukan- lekukan
pada foto
kemungkinan dikarenakan
membran selulosa
bakteri+gliserol+
chitosan
ini sedikit terlipat sebelum dianalisis dengan instrumen
SEM. Selain itu dari Gambar 16.b. tersebut tidak ditemukan adanya rongga- rongga kosong pada sampel sehingga hal ini dapat digunakan untuk membuktikan
bahwa adanya perubahan tekstur dari selulosa yang semula kasar menjadi selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
lebih halus ini dikarenakan partikel-partikel
chitosan
ini telah mengisi rongga-rongga dan melapisi selulosa bakteri. Hal ini yang akan
menguatkan adanya perbedaan hasil pengamatan tekstur dari selulosa bakteri dan selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
secara makroskopis dan organoleptis. Gambar 17 merupakan gambar hasil analisis morfologi permukaan SEM
dari selulosa bakteri beserta
chitosan
yang dilakukan oleh Zhijiang
et. al.
2011 serta
Eldin
et. al.
2008 dengan menggunakan perbesaran 5000x.
Gambar 17.a. Foto permukaan SEM selulosa bakteri
Gambar 17.b. Foto permukaan SEM membran
chitosan
Pada Gambar 17.a, dapat dilihat bentuk mikrofibril dari selulosa bakteri. Selain itu terlihat adanya rongga-rongga pada mikrofibril-mikrofibril dari selulosa
bakteri tersebut yang merupakan salah satu karakteristik dari selulosa bakteri. Pada Gambar 17.b, dapat dilihat bentuk permukaan dari membran
chitosan
dimana pada gambar tersebut terlihat bahwa permukaan dari membran
chitosan
ini sangat halus dan tidak kasar serta tidak nampak adanya rongga-rongga kosong seperti pada penampang permukaan dari selulosa bakteri.
Penampakan melintang dan menggunakan perbesaran 500x untuk sampel S dan SGK menghasilkan foto hasil analisis SEM seperti pada Gambar 18.
Gambar 18.a. Foto penampang melintang SEM selulosa bakteri
Gambar 18.b. Foto penampang melintang SEM SGK
Gambar 18.a menunjukkan hanya terdapat satu jenis lapisan dengan karakteristik yang sama, yaitu menyerupai mikrofibril-mikrofibril. Selain itu
terlihat juga adanya beberapa rongga-rongga yang menunjukkan bahwa kemungkinan mikrofibril dari selulosa bakteri ini tidak merata pembentukannya.
Gambar 18.b. menunjukkan adanya tiga lapisan dari SGK yang terdapat dalam gambar tersebut. Lapisan yang berada ditengah ini memiliki karakteristik
yang menyerupai dengan Gambar 18.a, sehingga dapat disimpulkan lapisan yang berada di tengah tersebut merupakan lapisan selulosa bakteri lalu kedua lapisan
yang berada di paling atas dan paling bawah dari gambar ini menunjukkan lapisan
chitosan
yang telah melapisi selulosa bakteri. Hal ini diperkuat dengan adanya kemiripan satu sama lain antara lapisan yang paling atas dengan lapisan yang
paling bawah, hanya saja pada lapisan bagian bawah ini
chitosan
yang melapisi selulosa bakteri ini ketebalannya lebih banyak dibandingkan dengan lapisan yang
berada di bagian atas.
4. Analisis Sifat Mekanik
Analisis ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap karakterisitik sifat mekanik dari selulosa bakteri. Sifat mekanik suatu biomaterial dapat ditentukan dari nilai kekuatan tarik dan persen
perpanjangannya. Menurut Iskandar dkk. 2010, kualitas suatu biomaterial sangat tergantung pada kekuatan tarik dan persen perpanjangannya. Berikut ini disajikan
data hasil uji mekanik dari masing-masing sampel. Tabel VIII. Hasil pengujian sifat mekanik biomaterial
No. Parameter
Sampel
Tensile strength
MPa
Strain at Fmax
1 S
16,71 ± 0,66
A,B
19,75 ± 3,27
C,B
2 SG
16,31 ± 4,46
A,D
27,36 ± 5,28
C,D
3 SGK
5,67 ± 1,61
B,D
4,70 ± 2,28
B,D
Keterangan: A
= S dan SG berbeda tidak bermakna, B
= S dan SGK berbeda bermakna, C
= S dan SG berbeda bermakna dan D
= SG dan SGK berbeda bermakna, data berbeda bermakna jika
p 0,05
Masing-masing sampel diuji sifat mekaniknya menggunakan lima kali perulangan. Hal ini sesuai dengan persyaratan yang dipersyaratkan oleh
American Standard Testing Material
ASTM D-638 tentang pengujian sampel
Plastic
mengenai jumlah sampel minimal yang digunakan, yaitu lima kali perulangan. Tabel VIII menunjukkan penambahan gliserol ini dapat mempengaruhi sifat
mekanik selulosa bakteri. Seiring dengan adanya penambahan gliserol ini dapat meningkatkan persen perpanjangan dari selulosa bakteri namun menurunkan nilai
kuat tarik dari selulosa bakteri. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya nilai
strain at Fmax
persen perpanjangan selulosa bakteri dari 19,75 menjadi 27,36 dan perhitungan nilai ini secara statistik memiliki nilai yang berbeda
bermakna. Nilai
tensile strength
kuat tarik dari selulosa bakteri ini juga
mengalami penurunan dari 16,71 MPa menjadi 16,31 MPa setelah ditambah gliserol walaupun secara statistik dibuktikan penurunan nilainya ini berbeda tidak
bermakna. Adanya perbedaan nilai kuat tarik yang tidak bermakna tersebut menunjukkan karakter biomaterial yang digunakan sebagai penutup luka adalah
biomaterial yang memiliki nilai persen perpanjangan tinggi namun nilai kuat tariknya juga tetap tinggi. Hal ini disebabkan gliserol sebagai pemlastis mampu
merenggangkan jarak antar rantai dari polimer karena gliserol ini mampu memutus interaksi-interaksi yang terjadi antar rantai-rantai polimer sehingga
mampu mengurangi kekakuan yang ditimbulkan akibat struktur tiga dimensinya dari rantai-rantai polimer yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan postulat mengenai
mekanisme kerja dari
plasticizer
teori gel Suyatma, Tighzert, dan Copinet,
2005
.
Akibat adanya pemutusan interaksi-interaksi dan berkurangnya kekakuan dari rantai polimer maka ketika polimer ini diberi beban maka polimer tersebut
akan kurang kuat dalam menahan bebannya sehingga secara tidak langsung akan mengakibatkan turunnya nilai kuat tarik dari selulosa bakteri.
Terjadinya peningkatan persen perpanjangan ini merupakan kebalikan dari menurunnya nilai kuat tarik suatu polimer. Hal ini disebabkan karena adanya
perenggangan jarak antar rantai-rantai polimer yang diakibatkan adanya pemberian gliserol sebagai pemlastis sehingga merenggangkan interaksi-interaksi
dari rantai polimer sehingga mampu mengurangi kekakuan dari rantai polimer yang terbentuk. Akibat berkurangnya kekakuan dari rantai polimer yang terbentuk
maka akan menyebabkan polimer ini akan semakin mudah ditarik sehingga secara tidak langsung nilai
strain at Fmax
atau persen perpanjangannya akan meningkat.
Selain itu gliserol dapat berperan juga sebagai pemlastis internal karena gliserol ini mampu berinteraksi dengan beberapa gugus fungsi yang terdapat dalam rantai-
rantai polimer. Hasil ini diperkuat dengan spektra IR dari selulosa bakteri+gliserol yang menunjukkan adanya penambahan gugus
–OH yang ditandai dengan pelebaran dan penajaman puncak dari spektra IR-nya pada daerah bilangan
gelombang untuk gugus –OH.
Tabel VIII menunjukkan penambahan
chitosan
juga dapat mempengaruhi sifat mekanik dari selulosa bakteri. Seiring dengan penambahan
chitosan
maka nilai
tensile strength
dan
strain at Fmax
dari selulosa bakteri ini menurun dari 16,71 MPa menjadi 5,67 MPa dan nilai
strain at Fmax
dari selulosa bakteri ini menurun dari 19,75 menjadi 4,70 dan secara statistik telah dibuktikan bahwa
penurunan nilai kuat tarik dan persen perpanjangan ini memiliki nilai yang bermakna. Penurunan nilai kuat tarik ini disebabkan karena seiring dengan
penambahan
chitosan
maka akan menyebabkan peningkatan daerah amorf pada selulosa bakteri. Adanya peningkatan daerah amorf ini menyebabkan
meningkatnya ketidakteraturan susunan rantai polimer dari selulosa bakteri, adanya ketidakteraturan rantai polimer ini yang menyebabkan nilai kuat tariknya
menurun Aji, 2008. Terjadinya penurunan persen perpanjangan ini disebabkan seiring dengan
penambahan
chitosan
maka akan menyebabkan struktur rantai polimer dari selulosa bakteri menjadi semakin rigid dan kaku karena adanya interaksi hidrogen
yang terbentuk antara gugus -OH selulosa bakteri dengan gugus -NH dari
chitosan
.
Adanya struktur rantai polimer yang rigid ini akan menyebabkan rantai polimer menjadi semakin susah bergerak ketika ditarik sehingga nilai persen
perpanjangannya akan mengalami penurunan Aji, 2008. Hal ini diperkuat melalui
hasil analisis
XRD dari
selulosa bakteri
dan selulosa
bakteri+gliserol+
chitosan
yang menunjukkan terjadinya penurunan nilai persen kristalinitas dari selulosa bakteri apabila ditambah dengan
chitosan
jika dibandingkan dengan selulosa bakteri. Adanya penurunan nilai kristalinitas
menunjukkan adanya penambahan daerah amorf pada selulosa bakteri. Menurut Zhijiang
et. al.
2011,
chitosan
mampu menurunkan kristalinitas dari selulosa bakteri karena adanya keberadaan
chitosan
yang bersifat amorf dan selulosa bakteri yang memiliki kristalinitas tinggi memiliki hubungan dengan tingginya
sifat mekanik dari selulosa bakteri. Hal ini diperkuat dengan penelitian dari Cai, Jin dan Kim 2009 dan
Zhijiang
et. al.
2011 , yang menemukan bahwa seiring
dengan penambahan konsentrasi
chitosan
pada selulosa bakteri dari 12 persen menjadi 45 persen maka nilai
tensile strength-
nya cenderung menurun dari 130 MPa menjadi 54 MPa sedangkan nilai persen perpanjangannya turun dari 12
menjadi 6,8. Adanya penambahan gliserol belum mampu memperbaiki sifat mekanik dari
selulosa bakteri yang telah ditambah dengan
chitosan
. Hal ini kemungkinan disebabkan pengaruh daerah amorf dari
chitosan
pada selulosa bakteri yang lebih dominan dibandingkan dengan perenggangan rantai-rantai dari polimer yang
disebabkan adanya penambahan gliserol.
5. Analisis Sifat Termal dengan
Differential Thermal Analysis
DTA
Uji ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap sifat termal dari selulosa bakteri. Uji DTA tidak dapat dipisahkan dengan uji TGA karena dengan melihat kurva sifat termal pada termogram DTA, dapat
dilihat terjadinya proses perubahan sifat termal yang terjadi pada sampel yang secara tidak langsung akan mempengaruhi terjadinya perubahan massa pada
termogram TGA sampel tersebut. Langkah-langkah pengujian menggunakan instrumen ini adalah sampel
yang telah dikeringkan ini lalu dimasukkan ke dalam
chamber
bagian sampel dan pada chamber
reference
diisi dengan alumina. Penggunaan alumina sebagai
reference
karena alumina merupakan senyawa yang memiliki titik lebur yang sangat tinggi mencapai 1000
C, sehingga jika digunakan sebagai
reference
ini tidak akan mudah mengalami degradasi akibat perubahan suhu sehingga dapat
digunakan sebagai faktor koreksi dari persen kehilangan massa dari sampel. Gambar 19 menyajikan termogram DTA dari selulosa bakteri S, selulosa
bakteri+gliserol SG beserta selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
SGK.
Gambar 19. Kurva termogram DTA biomaterial Keterangan:
SG S
SGK
Gambar 19 menunjukkan di sekitar suhu 90-120 C pada masing-masing
sampel terdapat puncak ke bawah yang menandakan adanya reaksi endotermik. Adanya reaksi endotermik pada ketiga sampel ini menunjukkan adanya pelepasan
kandungan air dari masing-masing sampel. Hal ini akan diperkuat dengan kurva termogram TGA biomaterial S, SG dan SGK dimana pada kurva TGA-nya akan
terlihat adanya penurunan massa dari masing-masing sampel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputro, Kartini dan Sutarno 2009 serta
Fernandes, Oliveira, Freire, Silvestre, Gandini dan Neto 2009. Termogram DTA selulosa bakteri menunjukkan di sekitar suhu 270-300
C muncul puncak ke atas yang menandakan adanya reaksi eksotermik. Adanya
reaksi eksotermik ini menunjukkan terjadinya kristalisasi atau proses perubahan fase kristalin dari selulosa bakteri dari fase kristalin yang satu menjadi fase
kristalin yang lain seperti yang dilaporkan oleh Pratomo dan Rohaeti 2011. Adanya perubahan fase kristalin ini akan diperkuat dengan difraktogram XRD
dari selulosa bakteri pada Gambar 22.a, yang menunjukkan keberadaan suatu daerah kristalin dengan intensitas puncak yang sangat tajam sekitar 159.
Sedangkan pada selulosa bakteri+gliserol muncul puncak eksotermik di sekitar suhu 285-320
C yang menandakan terjadi pergeseran puncak ke atas jika dibandingkan dengan puncak dari selulosa bakteri. Adanya pergeseran ini
kemungkinan disebabkan karena SG ini terdapat kandungan gliserol yang kemungkinan akan menguap terlebih dahulu di sekitar suhu 250
C namun kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh instrumen
karena kandungan gliserolnya sangat kecil kemudian baru terjadi proses kristalisasi dari selulosa bakteri. Adanya
penguapan dari gliserol ini sesuai dengan hasil penelitian dari Yunos dan Rahman 2011, yang menyatakan bahwa gliserol akan mulai menguap pada suhu 200
C dan akan menguap dengan sempurna pada suhu 300
C. Penambahan
chitosan
menyebabkan munculnya puncak ke atas di sekitar suhu 200-250 C yang
kemungkinan menandakan perubahan
base
line atau adanya dua kemungkinan lain yang berjalan secara bersamaan, kemungkinan pertama terjadi pemutusan
ikatan antar gugus fungsi yang dimiliki antara
chitosan
dengan gliserol atau selulosa bakteri dan kemungkinan kedua terjadi penguapan dari gliserol. Lalu
pada suhu di sekitar 310-330 C muncul puncak ke atas lagi yang menandakan
terjadinya proses perubahan fase kristal dari selulosa bakteri.
6. Analisis Sifat Termal dengan
Thermal Gravimetric Analysis
TGA
Analisis TGA bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap kestabilan termal dari selulosa bakteri. Kestabilan termal dari masing-masing sampel ini dapat terlihat dari perubahan massa yang terjadi. Selain
itu, uji ini berkaitan langsung dengan uji DTA karena dengan mengamati perubahan massa yang terjadi pada termogram TGA maka dapat diamati pula
perubahan sifat termal yang terjadi pada termogram DTA-nya. Berikut ini disajikan Gambar 20 yang merupakan termogram TGA dari selulosa bakteri S,
selulosa bakteri+gliserol SG beserta selulosa bakteri+ gliserol+
chitosan
SGK.
Gambar 20. Kurva termogram TGA biomaterial Keterangan:
S SG
SGK
Gambar 20 menunjukkan dengan penambahan gliserol serta
chitosan
ini akan meningkatkan kestabilan termal dari selulosa bakteri. Hal ini dilihat dari
persen kehilangan massa dari masing-masing sampel. Gambar 21 menyajikan kurva kehilangan massa lawan suhu dari masing-masing sampel.
Gambar 21. Kehilangan massa vs suhu Gambar 21 menunjukkan penambahan
chitosan
pada selulosa bakteri ini memiliki persentase kehilangan massa paling kecil mulai dari suhu 30
C hingga sekitar suhu 250
C namun setelah melewati suhu tersebut terjadi ketidakstabilan persen kehilangan massa dari SGK jika dibandingkan dengan SG seiring dengan
kenaikan suhu hingga akhirnya mencapai suhu 400 C. Adanya ketidakstabilan ini
10 20
30 40
50 60
50 100
150 200
250 300
350 400
K e
h i
l a
n g
a n
M a
s s
a
Suhu C
SGK S
SG
kemungkinan disebabkan terjadinya proses pemutusan rantai bercabang pada polimer menjadi monomer-monomernya setelah selulosa bakteri kehilangan
interaksinya dengan
chitosan
akibat adanya suhu yang tinggi. Lalu adanya penambahan gliserol pada selulosa bakteri ini memiliki persentase kehilangan
massa lebih rendah dari selulosa bakteri namun lebih tinggi daripada SGK mulai dari suhu 30
C hingga sekitar suhu 250 C namun setelah melewati suhu tersebut
terjadi ketidakstabilan persen kehilangan massa dari SG jika dibandingkan dengan SGK seiring dengan kenaikan suhu hingga mencapai suhu 400
C. Adanya ketidakstabilan ini dimungkinkan karena adanya ketidakteraturan rantai polimer
dari selulosa bakteri yang menjadi renggang karena adanya penambahan gliserol sehingga setelah gliserol ini menguap di sekitar suhu 250
C maka rantai polimer selulosa bakteri yang merenggang ini akan putus dengan cepat menjadi monomer-
monomernya. Sementara selulosa bakteri memiliki persentase kehilangan massa yang paling tinggi mulai dari suhu 30
C hingga suhu 400 C.
Gambar 20 menunjukkan adanya penurunan massa yang cukup banyak mulai dari suhu 30
C hingga di sekitar suhu 100 C seperti yang ditunjukkan dari
termogram masing-masing sampel ini menunjukkan adanya kehilangan kandungan air dari masing-masing sampel. Hal ini diperkuat dengan munculnya
puncak ke bawah pada termogram DTA masing-masing sampel di sekitar suhu 100
C yang mana puncak ke bawah tersebut bersifat endotermik. Hal ini sendiri sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Saputro, Kartini dan Sutarno
2009 serta Fernandes, Oliveira, Freire, Silvestre, Gandini dan Neto 2009, yang menyatakan bahwa baik pada selulosa bakteri, komposit selulosa bakteri-
chitosan
maupun
chitosan
murni akan mengalami kehilangan kandungan air akibat adanya pada proses penguapan air pada suhu di sekitar 100
C. Jika dilihat pada Gambar 21, maka sampel selulosa bakteri, selulosa
bakteri+gliserol dan selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
secara berurutan akan mengalami kehilangan massa sebanyak 50 pada sekitar suhu 294,91
C; 331,35 C dan 330,15
C. Terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri ketika ditambahkan gliserol ini kemungkinan
disebabkan gliserol ini mampu menarik kandungan air dari udara di sekitar selulosa bakteri karena sifat dari gliserol hidrofilik sehingga kandungan airnya
akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan selulosa bakteri, selain itu terjadinya ikatan hidrogen antara gugus fungsi pada selulosa bakteri dan gugus fungsi pada
gliserol juga akan menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk memutus ikatan tersebut lebih besar sehingga suhu yang dibutuhkan juga akan semakin tinggi
sehingga stabilitas termalnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Quijada-
Garrido, Iglesias-González, Mazón-Arechderra dan Barrales-Rienda 2007 yang menyatakan bahwa adanya pengamatan peningkatan kehilangan massa pada
konsentrasi gliserol yang lebih tinggi terkait dengan kehilangan air yang terabsorbsi secara kimiawi melalui ikatan hidrogen karena kandungan air dari
selulosa bakteri akibat penambahan gliserol ini meningkat maka akan menyebabkan interaksi hidrogen antar molekul dalam rantai selulosa bakteri ini
meningkat sehingga akan menyebabkan stabilitas termalnya meningkat.
Terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri ketika ditambahkan
chitosan
ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh
Zhijiang
et. al.
2011 yang menyatakan terjadinya pergeseran suhu dekomposisi 50 kehilangan massa dari selulosa bakteri yang semula suhunya
sekitar 263 C ketika dibentuk komposit selulosa bakteri-
chitosan
suhu dekomposisinya menjadi sekitar 380
C. Adanya pergeseran suhu dekomposisi ini menunjukkan terjadinya peningkatan stabilitas termal dari selulosa bakteri ketika
selulosa bakteri tersebut ditambah
chitosan
. Adanya peningkatan stabilitas termal ini kemungkinan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen intermolekular yang
sangat kuat antara gugus -OH dengan gugus -NH
2
dari selulosa bakteri dengan
chitosan
sehingga stabilitas termalnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan stabilitas termal dari selulosa bakteri
Zhijiang
et. al.
, 2011 . Hal ini diperkuat
dengan melihat profil spektra IR-nya. Selain itu, ketika selulosa bakteri ditambah dengan gliserol dan
chitosan
maka secara tidak langsung stabilitas termalnya akan semakin lebih meningkat jika dibandingkan dengan selulosa bakteri. Hal ini
disebabkan adanya interaksi hidrogen intermolekulernya yang akan semakin meningkat seiring dengan penambahan gliserol dan
chitosan
.
7. Analisis Kristalinitas dengan XRD
Uji ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap kristalinitas dari selulosa bakteri. Kristalinitas dari suatu polimer ini akan berkaitan erat dengan sifat mekanik yang dimiliki oleh polimer tersebut.
Selulosa bakteri dan
chitosan
merupakan suatu polimer alam sehingga memiliki nilai kristalinitas tertentu. Selulosa bakteri merupakan suatu polimer
yang memiliki nilai kristalinitas yang tinggi. Menurut Cai
et. al.
2009, selulosa bakteri memiliki kristalinitas tinggi 70-90 sedangkan
chitosan
merupakan suatu polimer yang bersifat semikristalin Saputro dkk., 2009, sehingga melalui
uji ini apabila ada pengaruh maka akan terlihat adanya perbedaan dari difraktogram yang dihasilkan dari selulosa bakteri maupun selulosa
bakteri+gliserol+
chitosan
beserta adanya perbedaan dari kristalinitas masing- masing sampel. Berikut disajikan Gambar 22., yang merupakan difraktogram dari
masing-masing sampel.
Gambar 22.a. Difraktogram selulosa bakteri
Gambar 22.b. Difraktogram selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
Gambar 22.a menunjukkan adanya empat buah puncak dengan intensitas tinggi pada sudut 2θ = 18,1
; 22,8 ; 31,7
dan 33,8 . Adanya puncak-puncak
tertinggi pada sudut 2θ ini sesuai dengan penelitian yang dikemukakan oleh Meshitsuka dan Isogai 1996 beserta Hon 1996 yang menyatakan bahwa signal
difraksi yang utama dari selulosa bakteri terdapat di sekitar daerah 2θ = 16,8
; 22,6
; 33,7 ; 34,9
dimana pada daerah tersebut selulosa bakteri ini memiliki fase kristalin pada bidang 101,002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai persen
kristalinitas dari selulosa bakteri ini adalah 72. Persen kristalinitas selulosa bakteri dihitung dengan pendekatan luas segitiga. Luas kristal + luas amorf
diperoleh dari luas total dibawah kurva – luas
background
lalu luas kristal dihitung dengan mengalikan tinggi puncak dengan FWHM yang diperoleh.
Setelah mendapat luas kristal maupun luas kristal+luas amorf, lalu persen kristalinitas dihitung menggunakan Persamaan 4. Perhitungan ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Purmana dan Firman 2006, yang menyatakan
bahwa dengan penghilangan
background
dikurangi dengan penghilangan amorf akan mendapatkan fraksi luas kristalin.
Gambar 22.b menunjukkan adanya puncak dengan intensitas lemah pada sudut
2θ = 14,2 . Adanya puncak ini menunjukkan adanya
chitosan
yang berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini sesuai dengan penelitian yang
dikemukakan oleh Samuels 1981, yang menyatakan bahwa
chitosan
dengan BM rendah maupun tinggi ini memiliki puncak pada difraktogram di
sekitar daerah 2θ = 12
. Selain itu adanya puncak dengan intensitas tinggi di sekitar daerah 2θ =
22,8 ; 31,8
dan 32,2 ini menunjukkan adanya fase kristalin dari selulosa bakteri
pada bidang 002 dan 040 sedangkan perkiraan nilai kristalinitas dari selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
adalah 63. Adanya penurunan nilai kristalinitas dari 72 menjadi 63 menunjukkan
bahwa
chitosan
berinteraksi dengan selulosa bakteri, hal ini akan diperkuat dengan melihat profil spektra IR-nya selain itu hal ini sesuai dengan penelitian
yang dikemukakan oleh Zhijiang
et. al.
2011
chitosan
mampu menurunkan kristalinitas dari selulosa bakteri karena adanya keberadaan
chitosan
yang bersifat amorf dan ternyata penambahan gliserol ternyata tidak mampu menaikkan
kristalinitas dari selulosa bakteri, hal ini bertentangan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Suyatma dkk. 2005, yang menyatakan bahwa dengan sedikit
penambahan
plasticizer
ini dapat meningkatkan kristalinitas dari suatu polimer, sehingga dengan penambahan gliserol ini seharusnya akan meningkatkan
kristalinitas dari selulosa bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan karena daerah amorf dari
chitosan
berperan sangat dominan dalam menambah daerah amorf
pada selulosa bakteri sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap struktur tiga dimensi dari rantai polimer selulosa bakteri yang sangat kompleks jika
dibandingkan dengan pemutusan rantai polimer yang terjadi pada selulosa bakteri akibat adanya gliserol yang kemungkinan terjadi beberapa pemutusan rantai hanya
di beberapa rantai sehingga ketika terjadi interaksi antara gliserol dan
chitosan
dengan selulosa bakteri ini, kristalinitas dari selulosa bakteri ini tetap turun. Namun adanya pemberian gliserol yang dapat meningkatkan kristalinitas dari
selulosa bakteri ini masih perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut. Adanya penurunan kristalinitas ini juga akan berpengaruh terhadap sifat
mekanik dari selulosa bakteri sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhijiang
et. al
. 2011, yang menyatakan bahwa selulosa bakteri yang memiliki kristalinitas tinggi memiliki hubungan dengan tingginya sifat mekanik dari
selulosa bakteri tersebut.
M. Sterilisasi Produk
Proses sterilisasi ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme- mikroorganisme yang kemungkinan akan mengkontaminasi biomaterial yang
dibuat. Adanya kontaminasi dari mikroorganisme lain pada biomaterial yang dibuat sangat berpotensi dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada luka yang
akan ditutup oleh biomaterial. Oleh karena itu, sebelum diaplikasikan maka biomaterial ini harus disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi yang digunakan untuk
suatu material penutup luka biasanya menggunakan proses sterilisasi dengan radiasi sinar gamma. Alasannya adalah karena sinar gamma merupakan suatu
sinar yang sifatnya inert sehingga tidak akan mengubah komposisi penyusun dari
material. Selain itu energi yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga energi ini dapat digunakan untuk merusak struktur sel suatu makhluk hidup. Namun karena
keterbatasan dari peralatan yang ada maka proses sterilisasi yang dipilih adalah sterilisasi dengan panas basah. Proses sterilisasi yang digunakan adalah dengan
menggunakan panas basah atau autoklaf dengan suhu 121 C selama 15 menit.
Prinsipnya adalah uap panas dari autoklaf akan mengkoagulasi protein-protein penyusun dari mikroorganisme sehingga mikroorganisme akan mati.
N. Orientasi Penyembuhan Luka Secara Normal