terangkat ke atas dan mudah untuk dilepas Santoso, 2006. Berikut ini skema pengelupasan bioplastik akibat difusi larutan NaOH.
Gambar 11. Skema pengelupasan bioplastik
E. Pembuatan Membran
Chitosan
sebagai Kontrol Positif
Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan maka dilakukan pembuatan membran
chitosan
ini dengan nampan plastik merk Lion Star. Larutan
chitosan
dipindahkan ke atas nampan dan diangin-anginkan di udara terbuka selama beberapa hari. Membran
chitosan
dapat terbentuk sempurna di atas nampan plastik dan ketika dikeluarkan dengan mengelupaskan membran
chitosan
, membran
chitosan
ini dapat dikeluarkan dengan mudah dan tidak menempel serta lengket di wadahnya seperti saat orientasi.
Hasil membran
chitosan
yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 12 dan digambarkan sifat fisiknya seperti pada Tabel IV.
Tabel IV. Tabel sifat fisik membran
chitosan
No Sifat Fisik
Hasil Pengamatan 1
Warna Agak kekuningan
2 Tekstur
Halus 3
Bentuk Lembaran seperti kertas
4 Transparansi
Transparan
Gambar 12. Membran
chitosan
F. Orientasi Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+
Chitosan
dengan Metode Perebusan dan Memakai Cawan Petri sebagai Tempat Fermentasi
Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan, ternyata untuk proses pembuatan selulosa bakteri dengan penambahan gliserol dan
chitosan
dengan metode perebusan dan memakai cawan petri sebagai tempat fermentasi sangat
sulitdilakukan. Metode perebusan adalah metode dengan mencampurkan semua bahan dan nutrisi yang diperlukan oleh bakteri untuk proses fermentasi ke dalam
suatu wadah yang disertai dengan sedikit pengadukan dan pemanasan. Penggunaan metode dengan memakai cawan petri sangat sulit dilakukan
dikarenakan ada beberapa penyebab. Penyebabnya antara lain adalah masalah kelarutan dari
chitosan
. Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan, ketika mencampurkan air ketela rambat dengan
chitosan
lalu gula pasir dan urea beserta gliserol, ternyata
chitosan
tidak mau larut dalam air ketela rambat ini.
Chitosan
merupakan suatu polisakarida dengan bobot molekul tinggi, oleh karena itu sangat sukar larut dalam air. Ada beberapa kemungkinan penyebab tidak mau terlarutnya
chitosan
, yang pertama adalah masalah pH. pH limbah cair ketela rambat yang terukur saat itu adalah 5. pH yang baik untuk kelarutan
chitosan
pada pH di
bawah 6,5. Mat dan Zakaria 1995 melaporkan bahwa
chitosan
tidak larut dalam asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Meskipun sudah sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Mat dan Zakaria namun ternyata
chitosan
tetap tidak terlarut dalam limbah cair ketela rambat tersebut. Penyebab kedua dari jenis pelarut yang
digunakan, biasanya untuk melarutkan
chitosan
digunakan beberapa pelarut asam organik lemah seperti asam asetat dan asam formiat.
Chitosan
tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, alkali atau asam-asam mineral pada pH di atas 6,5.
Chitosan
larut dalam asam-asam organik seperti asam formiat, asam sitrat dan asam asetat Mat dan Zakaria, 1995. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan,
pelarut yang digunakan adalah limbah cair ketela rambat yang bukan merupakan suatu asam organik lemah.
Alasan lain metode memakai cawan petri susah dilakukan adalah dari cawan petri yang digunakan. Ketika menggunakan cawan petri sebagai wadah
untuk proses fermentasi dari selulosa bakteri setelah ditunggu selama 7-14 hari tidak didapatkan adanya lapisan pelikel pada petri dan pada petri tetap cair.
Berdasarkan hal tersebut diduga kultur bakteri kesulitan mendapatkan oksigen karena oksigen sukar menembus cawan petri, adanya cahaya yang menembus
petri ataupun kontaminasi dari mikroorganisme lain yang sangat tinggi ini yang menyebabkan bakteri tidak dapat melakukan proses fermentasi. Adanya oksigen
yang sukar menembus petri ini akan mengakibatkan bakteri kesulitan mendapatkan sumber oksigen untuk proses metabolismenya sehingga
kemungkinan bakteri di dalam petri tersebut tidak akan hidup. Adanya penetrasi cahaya juga kemungkinan akan mempengaruhi suhu dan kelembaban udara yang
kurang optimal bagi bakteri dalam melakukan proses fermentasi. Menurut Purnomo 2009, suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri adalah sekitar 35
C sehingga kemungkinan saat memakai petri, suhu saat fermentasi ini jauh dibawah
atau di atas suhu optimum yang diperlukan oleh bakteri untuk hidup. Adanya kontaminasi ini sendiri juga akan menyebabkan kegagalan pada proses fermentasi
karena nutrisi yang seharusnya dibutuhkan oleh bakteri
Acetobacter xylinum
untuk proses metabolisme bakteri tersebut justru direbut oleh mikroorganisme lain sehingga bakteri
Acetobacter xylinum
akan mengalami kekurangan nutrisi dan akhirnya tidak dapat hidup. Selain itu penyebab yang lain adalah kemungkinan
saat menuang bakteri ke dalam petri, cairan yang ada di dalam petri ini masih terlalu tinggi suhunya sehingga bakteri langsung mati dan tidak dapat berkembang
dengan baik. Kemungkinan penyebab yang lain adalah karena saat menuang starter bakteri, tidak didapatkan kultur bakteri karena kultur bakteri mengendap di
bagian bawah akibat botol yang mengandung medium tumbuh bakteri tidak digojog terlebih dahulu sebelum bakteri dituang sehingga yang dituang ke dalam
petri ini hanyalah cairan medium tumbuh dari bakteri ini sendiri sehingga tidak ada bakteri yang melakukan proses fermentasi pada petri tersebut. Berdasarkan
beberapa orientasi yang dilakukan serta karena kegagalan dari hasil orientasi yang dilakukan sebelumnya, maka cawan petri yang digunakan dicoba diganti dengan
nampan sebagai wadah untuk fermentasi. Kemungkinan penyebab yang lain adalah karena
chitosan
memiliki aktivitas antibakteri sehingga kemungkinan dengan adanya penambahan
chitosan
ini akan menghambat pertumbuhan kultur bakteri yang digunakan.
G. Orientasi Pembuatan Material Selulosa Bakteri+Gliserol+