5. Analisis Sifat Termal dengan
Differential Thermal Analysis
DTA
Uji ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian gliserol dan
chitosan
terhadap sifat termal dari selulosa bakteri. Uji DTA tidak dapat dipisahkan dengan uji TGA karena dengan melihat kurva sifat termal pada termogram DTA, dapat
dilihat terjadinya proses perubahan sifat termal yang terjadi pada sampel yang secara tidak langsung akan mempengaruhi terjadinya perubahan massa pada
termogram TGA sampel tersebut. Langkah-langkah pengujian menggunakan instrumen ini adalah sampel
yang telah dikeringkan ini lalu dimasukkan ke dalam
chamber
bagian sampel dan pada chamber
reference
diisi dengan alumina. Penggunaan alumina sebagai
reference
karena alumina merupakan senyawa yang memiliki titik lebur yang sangat tinggi mencapai 1000
C, sehingga jika digunakan sebagai
reference
ini tidak akan mudah mengalami degradasi akibat perubahan suhu sehingga dapat
digunakan sebagai faktor koreksi dari persen kehilangan massa dari sampel. Gambar 19 menyajikan termogram DTA dari selulosa bakteri S, selulosa
bakteri+gliserol SG beserta selulosa bakteri+gliserol+
chitosan
SGK.
Gambar 19. Kurva termogram DTA biomaterial Keterangan:
SG S
SGK
Gambar 19 menunjukkan di sekitar suhu 90-120 C pada masing-masing
sampel terdapat puncak ke bawah yang menandakan adanya reaksi endotermik. Adanya reaksi endotermik pada ketiga sampel ini menunjukkan adanya pelepasan
kandungan air dari masing-masing sampel. Hal ini akan diperkuat dengan kurva termogram TGA biomaterial S, SG dan SGK dimana pada kurva TGA-nya akan
terlihat adanya penurunan massa dari masing-masing sampel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saputro, Kartini dan Sutarno 2009 serta
Fernandes, Oliveira, Freire, Silvestre, Gandini dan Neto 2009. Termogram DTA selulosa bakteri menunjukkan di sekitar suhu 270-300
C muncul puncak ke atas yang menandakan adanya reaksi eksotermik. Adanya
reaksi eksotermik ini menunjukkan terjadinya kristalisasi atau proses perubahan fase kristalin dari selulosa bakteri dari fase kristalin yang satu menjadi fase
kristalin yang lain seperti yang dilaporkan oleh Pratomo dan Rohaeti 2011. Adanya perubahan fase kristalin ini akan diperkuat dengan difraktogram XRD
dari selulosa bakteri pada Gambar 22.a, yang menunjukkan keberadaan suatu daerah kristalin dengan intensitas puncak yang sangat tajam sekitar 159.
Sedangkan pada selulosa bakteri+gliserol muncul puncak eksotermik di sekitar suhu 285-320
C yang menandakan terjadi pergeseran puncak ke atas jika dibandingkan dengan puncak dari selulosa bakteri. Adanya pergeseran ini
kemungkinan disebabkan karena SG ini terdapat kandungan gliserol yang kemungkinan akan menguap terlebih dahulu di sekitar suhu 250
C namun kemungkinan tidak dapat terdeteksi oleh instrumen
karena kandungan gliserolnya sangat kecil kemudian baru terjadi proses kristalisasi dari selulosa bakteri. Adanya
penguapan dari gliserol ini sesuai dengan hasil penelitian dari Yunos dan Rahman 2011, yang menyatakan bahwa gliserol akan mulai menguap pada suhu 200
C dan akan menguap dengan sempurna pada suhu 300
C. Penambahan
chitosan
menyebabkan munculnya puncak ke atas di sekitar suhu 200-250 C yang
kemungkinan menandakan perubahan
base
line atau adanya dua kemungkinan lain yang berjalan secara bersamaan, kemungkinan pertama terjadi pemutusan
ikatan antar gugus fungsi yang dimiliki antara
chitosan
dengan gliserol atau selulosa bakteri dan kemungkinan kedua terjadi penguapan dari gliserol. Lalu
pada suhu di sekitar 310-330 C muncul puncak ke atas lagi yang menandakan
terjadinya proses perubahan fase kristal dari selulosa bakteri.
6. Analisis Sifat Termal dengan