2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetaraan Gender
Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender dan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan
ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonsturksikan secara sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan
kaum perempuan dalam konteks sosial ini menyebabkan sejumlah persoalan. Sejak dulu banyak mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan
gender, misalnya laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional, sedangkan kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Misalnya perempuan
itu sebagai konco wingking teman dibelakang berfungsi 3M macak, masak, manak, meskipun Mmanak masih harus dipertahankan. Disamping itu juga ada
anggapan bahwa tantangan bagi laki-laki untuk bekerja di dapur untuk memasak, mencuci, maupun melakukan kegiatan rumah tangga. Dikatakannya juga laki laki
untuk bekerja di dapur tangga. Dikatakannya jika laki laki berada di dapur, maka rejekinya akan “seret”.
Kebanyakan mitos-mitos yang muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum lelaki dan mendiskreditkan kaum perempuan. Semua
contoh-contoh di atas sebenarnya disebabkan karena negara Indonesia sebenarnya menganut negara hukum hegemoni patriarkhi, yaitu yang berkuasa dalam
keluarga adalah bapak. Patriarkhi menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga, dan ini berlanjut kapada dominasi laki-
laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarkhi adalah konsep dalam masyarakat, dalam pemerintah, militer, agama dan sebagainnya.
Selain hukum hegemoni patriarkhi diatas ketidak seimbangan gender juga di sebabkan karena sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang mempunyai
modal besar itulah yang menang. Hal ini mengakibatkan laki laki yang dilambangkan lebih kuat daripada perempuan akan mempunyai peran dan fungsi
yang lebih besar. Menifestasi ketidakadilan gender tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan
perempuan secara mantap, yang mengakibatkan ketidakadilan tersebut merupakan kebiasaan dan akhirnya dipercaya bahwa peran gendar itu seolah-olah merupakan
kodrat dan akhirnya diterima masyarakat secara umum. Hal ini disebabkan karena terdapat kesalahan atau karancuan makna gender, dimana apa yang sesungguhnya
gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial , justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan Tuhan. Misalnya: pekerjaan domestik, seperti merawat
anak, merawat rumah sangat melekat pada tugas perempuan, yang akhirnya dianggap kodrat. Padahal sebenarnya pekerjaan pakerjaan tersebut adalah
konstruksi sosial yang dibentuk laki-laki maupun perempuan. Usaha yang harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender
nampaknya bukan hanya sekedar bersifat institusional, utamanya dari pihak pihak yang memiliki wewenang kekuasaan yang memegang peran dalam proses
pembentukan gender. Untuk itu peranan pembuat kebijakan dan perencanaan pembangunan menjadi sangat penting dan menentukan arah perubahan menuju
kesetaraan gender atau dapat dikatakan bahwa negara pemerintahan mempunyai peran atau andil dalam mewujudkan keseimbangan gender.
Dalam setiap perencanaan pembangunan, gender hendaknya dijadikan sebagai “Kunci utama” dalam memahami kegiatan apa yang dilakukan lelaki dan
perempuan, berapa banyak waktu yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, siapa yang memutuskan dan sebagainya. Perencana peran pembangunan hendaknya
mampu menganalisis perbedaan peran kodrati dan peran gender sehingga mengetahui hal-hal yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah serta
mempertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan.
2.1.4. Pembagian kerja Berdasarkan Gender dan Karakteristik Psikologi Laki laki dan Perempuan.