8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Remaja 1.
Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal dari bahasa Latin
adolescene
yang berarti
grow
atau dengan kata lain
to grow
maturity
, dan dalam bahasa Indonesia berart
i “tumbuh mencapai kematangan”. Menurut beberapa ahli lain, masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dan
dewasa. Masa itu pada umumnya diawali pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal usia 20 tahun Papalia,
Olds, Fieldman, 2001. Hurlock 1990 membagi masa remaja menjadi masa remaja awal
dan masa remaja akhir. Adapun masa remaja awal meliputi usia 13 hingga 16 atau 17 tahun, dan masa remaja akhir meliputi usia 16 atau 17 tahun
hingga 18 tahun. Hurlock membagi masa remaja dengan alasan bahwa pada usia remaja akhir, individu sudah memiliki transisi perkembangan
yang lebih mendekati masa dewasa Aaro, 1997, dalam Jahja 2011. Berdasarkan pengertian remaja yang telah dikemukakan, dapat
diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah individu yang berusia 16 –
17 tahun dan sedang mengalami masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Individu tersebut mengalami proses perkembangan
meliputi perubahan-perubahan tertentu yang bersifat kuantitatif maupun
kualitatif. Dalam prosesnya menuju dewasa, remaja juga mengalami pergolakan-pergolakan berupa konflik dan perubahan suasana hati.
Konflik-konflik inilah yang membuat remaja berpotensi untuk melakukan tindakan
bullying
, sehingga remaja yang berada pada tahap awal maupun akhir pun memiliki potensi yang sama.
B. Perilaku
Bullying
1. Pengertian Perilaku
Bullying
Bullying
adalah perilaku di mana terdapat usaha menyakiti ataupun tekanan secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau
sekelompok orang yang lebih lemah oleh sesorang atau sekelompok orang yang lebih kuat Olweus, 2004. Yayasan Semai Jiwa Amini
mengemukakan bahwa
bullying
adalah penggunaan kekuasaan yang dimiliki untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang sehingga
korban merasa tertekan, tidak berdaya, bahkan trauma Yayasan Sejiwa, 2008. Elliot 2005 mendefinisikan
bullying
adalah tindakan yang dilakukan agar orang lain merasa takut, terancam, atau setidak-tidaknya
tidak bahagia.
Bullying
merupakan perilaku agresi yang dilakukan dengan sengaja. Perilaku tersebut berlangsung secara terus menerus terhadap
seseorang yang sudah menjadi incaran atau korban Papalia et al. 2007. Sears, Peplau, Taylor, 1994 mengatakan bahwa seseorang yang
mempunyai maksud dan tujuan untuk menyakiti orang lain merupakan individu agresif.
Pada saat peristiwa
bullying
terjadi, terdapat beberapa unsur yang terlibat. Coloroso 2007 mengungkapkan bahwa beberapa unsur yang
terlibat di dalam
bullying
sebagai berikut: a.
Ketidakseimbangan Kekuatan Pelaku
bullying
selalu lebih kuat dari korban
bullying
. Dengan demikian, tindakan
bullying
dilakukan oleh pelaku yang memiliki kekuatan ataupun dominansi terhadap korban
yang cenderung lemah dan tidak dapat melawan. b.
Kesengajaan Tindakan
bullying
dilakukan oleh pelaku dengan disertai niat untuk melukai orang lain. Apabila niat atau
tujuan tersebut dapat tercapai, pelaku
bullying
akan memperoleh kepuasan dari luka yang dialami oleh korban.
c. Pengulangan
Kepuasan maupun kesenangan yang telah dialami mengakibatkan pelaku cenderung melakukan tindakan
bullying
secara berulang-ulang. Pengulangan ini terus terjadi apabila masih terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara
pelaku dan korban
bullying
.
d. Teror
Suatu tindakan tidak menyenangkan yang ditujukan pada korban dan terjadi berulang-ulang merupakan suatu hal
yang menjadikan ancaman tersendiri bagi korban. Teror yang dimaksud adalah ancaman itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
bullying
adalah perilaku agresi secara fisik maupun psikologis yang disengaja dan dilakukan oleh seseorang atau kelompok kepada seseorang atau
kelompok, dengan tujuan menekan atau menyakiti sehingga korban merasa takut, terancam, atau tidak bahagia.
2. Bentuk-bentuk Perilaku
Bullying
Menurut Riauskina, dkk 2005, perilaku
bullying
dikelompokkan dalam berbagai bentuk:
a. Kontak Fisik Langsung
Antara lain: Memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit,
mencakar, merusak barang-barang milik orang lain. b.
Kontak Verbal Langsung Antara lain: Mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, member
panggilan nama,
sarkasme, merendahkan, mencelamengejek, mengintimidasi, memaki,
menyebarkan gosip.
c. Perilaku Non Verbal Langsung
Antara lain: Melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek,
mengancam. d.
Perilaku Non Verbal Tidak Langsung Antara
lain: Mendiamkan
seseorang, memanipulasi
persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
e. Pelecehan Seksual
Antara lain: Memukul atau menendang alat kelamin korban, membuat lelucon tentang alat kelamin korban. Kadang
dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik atau verbal.
3. Karakteristik Pelaku, Korban, dan Penonton
Bullying
Yayasan Sejiwa 2008 mengatakan bahwa
bullying
merupakan suatu situasi di mana terdapat 3 tiga karakter yang berperan di
dalamnya. Tiga karakter tersebut adalah pelaku
bullying,
korban
bullying,
dan penonton
bullying.
Peran serta sifat yang dimiliki oleh masing- masing karakter tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Karakteristik Pelaku
Bullying
Para pelaku
bullying
memiliki beberapa sifat yang cenderung sama. Sifat-sifat itulah yang memberikan
kontribusi dalam tindakan
bullying
yang dilakukan. Hanya saja mereka memiliki cara atau strategi yang berbeda-beda
dalam menjalankan aksinya Coloroso, 2007. Pada umumnya, sifat-sifat yang dimiliki pelaku
bullying
antara lain:
1. Cenderung
hiperaktif, disruptive, impulsive,
dan
overactive.
2. Suka mendominasi orang lain.
3. Suka
memanfaatkan orang
lain untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. 4.
Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain. 5.
Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan pada hak-hak dan
perasaan-perasaan orang lain. 6.
Menggunakan kesalahan, kritikan, dan tuduhan- tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan
ketidakcakapan mereka pada targetnya. 7.
Haus perhatian. 8.
Memiliki tempramen yang sulit dan masalah pada atensi atau konsentrasi.
9. Berteman dengan anak-anak yang memiliki
kecenderungan agresif.
10. Kurang memiliki empati terhadap korbannya dan
tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.
b. Karakteristik Korban
Bullying
Coloroso 2007 menemukan ciri-ciri seseorang yang biasanya menjadi korban tindakan
bullying
. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain:
1. Anak baru di suatu lingkungan.
2. Anak termuda di sekolah.
3. Anak penurut.
4. Anak yang perilakunya dianggap mengganggu
orang lain. 5.
Anak yang tidak mau berkelahi dan lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.
6. Anak
yang pemalu,
menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik
perhatian orang lain, penggugup, peka. 7.
Anak yang miskin atau kaya. 8.
Anak yang memiliki etnisagama yang minoritas dan orientasi
gender
atau seksual yang berbeda. 9.
Anak yang kurus atau gemuk, pendek atau jangkung.
10. Anak yang memakai kacamata atau kawat gigi.
11. Anak yang berjerawat atau memiliki masalah
kondisi kulit lainnya. 12.
Anak yang memiliki ciri fisik berbeda dengan mayoritas anak lainnya.
13. Anak dengan ketidakcakapan mental dan atau
fisik. Anak-anak seperti itu biasanya dua atau tiga kali lebih sering ditindas daripada anak-anak lain
karena mereka memiliki ketidakcakapan mental yang nyata sehingga menyediakan dalih bagi sang
pelaku kekurangan yang dimiliki korban menjadi materi ejekan atau lelucon.
14. Anak yang berada di sekitar pelaku
bullying
. Mereka berpotensi untuk dikenai tindakan
bullying
karena pelaku sedang ingin menyerang siapapun di tempat itu dan pada saat itu juga.
c. Karakteristik Penonton
Bullying
Coloroso 2007 menemukan ciri-ciri seseorang yang biasanya menjadi penonton peristiwa atau praktik
bullying
. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1. Anak-anak yang hanya berdiam diri dan
memandangi saja.
2. Anak-anak yang mendorong penindasan secara
aktif. 3.
Anak-anak yang bergabung dan menjadi salah satu anggota dari gerombolan penindas.
4. Memberikan penguatan kepada pelaku
bullying
berupa tepuk tangan, tawa, dan gerakan anggota tubuh lainnya.
5. Menambah kehancuran kendali batin korban
bullying
dengan terikan-teriakan, kritikan-kritik kejam yang bersifat verbal, fisik, dan relasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penonton
bullying
adalah pihak ketiga dalam peristiwa
bullying
selain pelaku dan korban. Secara tidak langsung, mereka berperan sebagai peran pendukung tindakan yang
dilakukan oleh pelaku
bullying
. Mereka dapat berdiam dan hanya menonton atau bisa pula ikut berperan secara tidak
langsung sebagai pelaku
bullying
.
4. Dampak Perilaku
Bullying
Peristiwa
bullying
yang terjadi di sekolah secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi orang yang
terlibat di dalamnya. Orang yang terlibat meliputi pelaku
bullying
individu atau kelompok yang menindas, korban
bullying
individu atau
kelompok yang tertindas, dan penonton
bullying
individu atau kelompok yang berada di tempat terjadinya
bullying
. Untuk uraian lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a. Dampak Bagi Pelaku
Bullying
Menurut Coloroso 2007, tindakan
bullying
akan memberikan dampak jangka panjang bagi pelaku. Adapun
dampak-dampak tersebut antara lain: 1.
Tumbuh menjadi pribadi yang suka terhadap kekerasan.
2. Tumbuh sebagai pribadi yang memiliki ego yang
besar. 3.
Tidak memiliki empati terhadap orang lain dan perasaan menyesal.
4. Menjadi pribadi yang kejam dan penuh dendam
terhadap orang lain. 5.
Tumbuh sebagai pribadi yang suka bereaksi agresif bahkan pada provokasi yang ringan, dan
membenarkan tanggapan agresifnya dengan menempatkan kesalahan di luar dirinya.
6. Suka menguasai, mengontrol, mendominasi,
menduduki, dan menjajah.
7. Memiliki sikap fanatisme terhadap perbedaan.
Perbedaan sama dengan lemah, dan karenanya tidak layak mendapat penghargaan.
8. Tumbuh menjadi pribadi yang arogan dan
memegang hukum senioritas. 9.
Merasa memiliki kekuasaan untuk mengecualikan orang
lain, membatasi,
mengisolasi, dan
memisahkan orang lain.
b. Dampak Bagi Korban
Bullying
Menurut beberapa ahli, tindakan
bullying
akan memberikan dampak bagi korban. Salah satunya dalam hal
kesehatan, seperti yang dikemukakan oleh Olweus 1993 dengan pendapatnya bahwa
bullying
akan mempengaruhi kesehatan korban. Gejala-gejala yang timbul pada korban
bullying
antara lain: 1.
Stres dan menjadi mudah cemas. 2.
Menjadi sering
terjangkit infeksi
virus, khususnya seperti flu, demam tinggi, batuk,
paru-paru, telinga,
hidung, dan
infeksi tenggorokan. Hal ini dikarenakan stres dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh.
3. Sering merasakan sakit di daerah persendian dan
tulang tanpa sebab yang jelas, juga tulang belakang. Penderita enggan untuk memeriksa
keadaan kesehatannya
ketika mengalami
keadaan seperti ini. 4.
Sakit kepala dan sering migrain. 5.
Mudah merasa kelelahan. 6.
Susah tidur, selalu bermimpi buruk, cenderung bangun lebih awal, dan bangun tidur akan
merasakan lebih lelah dibandingkan dengan pada saat akan tidur.
7. Cenderung teringat akan peristiwa yang sudah
dialami. Misalnya: Korban tidak bisa melupakan wajah dari pelaku yang pernah menyerangnya.
8. Mengalami sindrom iritasi perut yang cukup
parah. 9.
Tidak bisa konsentrasi terhadap sesuatu dan untuk waktu yang lama.
10. Lebih sering berkeringat, gemetar, menggigil,
berdebar-debar, dan panik. 11.
Menjadi orang yang sangat waspada, akan tetapi bukan paranoia.
12. Menjadi terlalu sensitif, lemah, terisolasi,
pendiam, dan menarik diri dari pergaulan.
c. Dampak Bagi Penonton
Bullying
Menurut Coloroso 2007, penonton
bullying
yang memiliki keterlibatan aktif dalam mendukung pelaku
bullying
akan menambah penderitaan dan perasaan tertekan bagi korban. Bahkan, penonton yang hanya melihat tanpa
melakukan apapun mereka memiliki konsekuensi dan dampak tersendiri. Adapun dampak yang bisa muncul dalam
diri penonton
bullying
antara lain: 1.
Menjadi tidak peka terhadap kekejaman yang terjadi di sekelilingnya.
2. Dapat mengintimidasi pelaku agar melakukan
tindakan
bullying
. Hal ini terjadi karena mereka menganggap pelaku sebagai model yang
populer, kuat, dan berani. 3.
Sulit mengembangkan perasaan empati, belas kasih, dan susah menempatkan diri pada sudut
pandang orang lain. 4.
Tumbuh menjadi pribadi yang apatis. 5.
Berpotensi menjadi pelaku
bullying.
Penonton
bullying
tidak mendapatkan kepuasan ketika
tidak ada perilaku
bullying
yang terjadi di lingkungannya. Hal ini yang mendasari bahwa
penonton
bullying
berpotensi pula menjadi pelaku
bullying.
6. Dapat berpotensi pula menjadi sasaran
bullying
selanjutnya. Penonton
bullying
memiliki kecenderungan untuk di-
bully
oleh orang-orang di lingkungannya yang tidak menyukai sifat
suka mengintimidasi yang dimiliki penonton
bullying
.
C. Program Sekolah dalam Mengatasi
Bullying
1. Latar Belakang Program
Adanya beberapa kasus
bullying
dalam media masa dewasa ini membuat sekolah merasa bertanggung jawab untuk segera menjauhkan
peserta didik dari ancaman tindakan
bullying
. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hardika 2009, SMA Kolese De Britto
merupakan salah satu sekolah yang terdapat tindakan
bullying
. Di samping itu, sekolah tersebut merupakan sekolah homogen laki-laki,
sehingga memiliki potensi tinggi terjadinya perilaku
bullying
di
dalamnya.
Suatu program dilakukan oleh sekolah sebagai intervensi terhadap tindakan
bullying
. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya bahwa masih banyak kasus tindakan
bullying
terutama di lingkungan sekolah. Bukan tanpa alasan, pihak sekolah SMA Kolese
De Britto memberi perhatian lebih terhadap perkembangan pribadi peserta didiknya, terutama dalam mempersiapkan diri menghadapi
tantangan global. Para siswa menjadi pribadi – pribadi yang mampu
menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat dalam
Student Handbook JB
, 2013. Dalam hal ini, sekolah menitikberatkan perhatian kepada isu
bullying
yang terjadi di lingkungan sekolah. Program tersebut disusun oleh tim Guru Bimbingan Konseling
sekolah. Tujuan umum dari program ini tentunya untuk mengurangi kecenderungan
bullying
siswa di sekolah, terutama di lingkungan kelas. Tujuan khususnya adalah memberikan pemahaman tentang perilaku
bullying
kepada siswa, meliputi bentuk-bentuk tindakan
bullying
serta dampak-dampak yang akan terjadi akibat tindakan
bullying
. Dengan memahami hal tersebut, para siswa diharapkan untuk tidak melakukan
bullying
bagi yang belum pernah melakukan ataupun mengurangi bahkan menghilangkan perilakunya bagi yang sudah pernah
melakukan.
2. Pelaksanaan dan Peran Program dalam Mengurangi Perilaku
Bullying
Program anti
bullying
ini menggunakan metode pendekatan kelas karena dilakukan dalam lingkup kelas. Pendekatan model ini
menyerupai salah satu program yang dikemukakan oleh Gini 2004 dengan pendekatan kelas
Class-group level approach.
Program yang juga bertujuan untuk mengatasi
bullying
tersebut menekankan aktivitas- aktivitas kelompok di kelas.
Beberapa aktivitas tersebut diantaranya:
Problem solving, stories, role-play, discussion, game,
dan
lecture.
Akan tetapi, program yang dilakukan oleh sekolah hanya mengadopsi
beberapa metode yang dilakukan, yaitu
stories problem solving
yang disebut sebagai
case study
,
role play
yang disebut sebagai
dramatic presentation
, dan
discussion.
Program yang dilakukan sekolah tidak menggunakan aktivitas
game
dan
lecture
ceramah.
a.
Case Study
Studi kasus tindakan
bullying
Metode ini merupakan metode awal dari program. Para siswa dalam satu kelas diarahkan untuk membentuk kelompok
kecil kemudian masing-masing kelompok disuguhi satu ilustrasi peristiwa
bullying
dalam bentuk tulisan. Peristiwa tersebut disesuaikan dengan keadaan nyata yang besar
kemungkinan untuk terjadi di lingkungan sekolah. Tugas mereka adalah memahami apa yang terjadi dalam peristiwa
tersebut dan mengutarakan pendapat masing – masing dalam
kelompok. Tujuan dari metode ini adalah mengarahkan pola pikir siswa pada peristiwa
– peristiwa yang terjadi di sekolah.
Peran dari metode ini adalah mengajak siswa untuk mengenali serta mempelajari situasi yang mungkin belum
pernah mereka temui sebelumnya. Dengan mempelajari secara lebih mendalam, siswa juga dapat mengerti peran-peran yang
ada dalam contoh kasus, meliputi pelaku, korban, serta penonton
bullying
. Cara yang digunakan dalam metode ini adalah peserta
diarahkan untuk melakukan sedikit
brainstorming
dengan anggota kelompok.
Brainstorming
yang dimaksud adalah pencarian strategi untuk memecahkan masalah yang ada
Isaksen Gaulin, 2005; Maer, 1992; Osborn, 1963; Schunk, 2012. Seseorang akan semakin berhasil dalam
brainstorming
apabila ia telah mengenal dan mempelajari masalah secara lebih mendalam, karena solusi-solusi akan lebih banyak
muncul karena pengalaman Schunk, 2012.
b.
Dramatic Presentation
Berperan dalam situasi
bullying
terjadi Setelah metode studi kasus selesai, langkah selanjutnya
adalah penggunaan metode
Dramatic Presentation
. Setiap kelompok diberi tugas untuk memperagakan peristiwa yang
terjadi dalam ilustrasi tersebut. Kelompok mendapatkan kebebasan untuk
sedikit memodifikasi
cerita misal:
menyesuaikan anggota kelompok, dan sebagainya, akan tetapi tidak menghilangkan esensi yang penting dalam cerita
tersebut. Setiap kelompok bergantian untuk menjadi peraga dan menjadi penonton. Tujuan dari metode ini adalah
mengajak siswa untuk berperan langsung sebagai individu atau kelompok dalam situasi terjadinya
bullying
. Bagi penonton adegan, metode ini memberikan gambaran secara langsung
tentang proses terjadinya
bullying
. Dengan demikian, pengetahuan siswa mengenai
bullying
semakin luas. Bagian ini merupakan bagian terpenting dari program,
karena secara langsung merupakan penerapan dari Teori Kognitif Sosial, di mana sesorang dapat belajar dari
pengamatannya terhadap lingkungan. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah membuat penonton melihat secara langsung
peristiwa yang terjadi, membangkitkan emosi, sehingga timbul perasaan empati terhadap peran yang dimodelkan Rae, 2009.
Fieldman Jones 2000 menyatakan bahwa dengan
Dramatic Presentation
, peserta juga dapat menggali refleksi pribadi berkaitan dengan peristiwa yang diperankan.
Dramatic Presentation
juga disebut sebagai
role-playing activitie
s. Menurut Sharp Smith 1994,
role-playing activities
berguna pula bagi peserta siswa karena memunculkan berbagai perspektif dari suatu masalah yang diamati. Selain
melihat peristiwa secara langsung, peserta juga dapat mempelajari tentang bagaimana menghadapi situasi serupa.
c.
Discussion
Diskusi mengenai kegiatan yang telah dilakukan Metode ini merupakan langkah ke tiga dari program.
Setelah metode
Dramatic Presentation
selesai, para siswa diajak untuk berdiskusi mengenai kegiatan yang telah
dilakukan. Mulai dari tahap studi kasus, hingga presentasi drama. Metode ini dilakukan secara santai antara guru dan para
siswa. Awalnya
guru mempersilahkan
siswa untuk
menyampaikan perasaannya terkait kegiatan yang telah dilakukan, khususnya terhadap situasi terjadinya
bullying
. Setelah dirasa cukup, guru memberikan penjelasan secara
menyeluruh tentang apa sebenarnya kegiatan tersebut. Selain itu, guru juga memberikan penjelasan
– penjelasan tambahan tentang pengetahuan terhadap
bullying
, meliputi hukuman –
hukuman yang akan diterima sebagai pelaku, potensi – potensi
lain apabila
bullying
tetap dipertahankan, dan lain sebagainya. Tujuan dari metode ini adalah memberikan kesimpulan dari
kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan, serta memberikan
arahan yang tepat terhadap pemahaman siswa mengenai
bullying
.
Pentingnya diskusi adalah mengajak murid untuk merefleksikan dan berbagi tanggapan tentang kegiatan yang
telah dilakukan
case study dramatic presentation
. Hal ini penting karena peserta tidak hanya disajikan satu peristiwa
dalam kelompok, akan tetapi mereka juga akan mengetahui berbagai peristiwa dari kelompok yang berbeda. Di samping
itu, diskusi juga dilakukan untuk bersama-sama mencari alternatif langkah dalam merespon peristiwa serupa, sehingga
menghasilkan keadaan yang lebih positif Rae, 2009. Fieldman Jones 2000 menambahkan bahwa diskusi yang
dilakukan dapat menambah kemampuan pemecahan masalah, mengembangkan atau menumbuhkan perasaan empati dan
menambah pengalaman bagi peserta.
D. Belajar sebagai Proses Perubahan Perilaku
1. Belajar
a. Definisi Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata belajar memiliki arti usaha yang dilakukan untuk memperoleh ilmu atau
kepandaian Tim Penyusun KBBI, 2011. Beberapa ahli juga menyampaiakan pendapat mereka tentang definisi dari belajar.
Dahar, 2011 mengatakan bahwa belajar merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan, yang di dalam prosesnya terdapat
hubungan antara respon – respon dan stimulus - stimulus. Hal ini
sejalan dengan pendapat Djamarah, 2011 bahwa belajar merupakan usaha sadar dari individu secara jiwa maupun raga untuk
memperoleh suatu kesan dari apa yang dilakukan sebagai interaksi dengan lingkungannya. Di samping itu, belajar juga merupakan
interaksi atau pengalaman dengan lingkungan yang menyebabkan adanya perubahan pengetahuan maupun perilaku secara permanen
Woolfolk, 2013. Woolfolk menambahkan bahwa belajar tidak hanya dilakukan di sekolah, melainkan dapat dilakukan di manapun
sepanjang rentang kehidupan. Perubahan pengetahuan dan perilaku pada individu dapat
diukur berdasarkan pengamatan yang dilakukan. Hasil dari belajar dapat diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku Hergenhahn
Olson, 2008. Hasil dari belajar tersebut dapat dilihat atau diterjemahkan dalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati
Woolfolk, 2013. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang bersifat kualitatif, atau perubahan yang berkaitan dengan mutu
Djamarah, 2011. Pendapat tersebut memberikan kesimpulan bahwa perubahan yang terjadi secara fisik akibat kecelakaan, obat-obatan,
dsb bukanlah hasil dari belajar. Begitu pula dengan berubahnya keadaan fisik individu karena kelelahan bukanlah suatu perubahan
akibat belajar.
Hasil dari belajar tidak semuanya dapat diukur hanya dengan pengamatan dari perilaku semata. Perlu diingat bahwa belajar bukan
hanya mengubah perilaku, akan tetapi juga dapat mengubah pengetahuan ranah kognitif. Hasil dari belajar juga dapat
merupakan perubahan cara berpikir, kemampuan mengingat, dan pemecahan masalah Schwartz, Wasserman, Robbins, 2002;
dalam Woolfolk, 2013. Hal ini memberikan penjelasan bahwa pengamatan terhadap perilaku individu, bukanlah satu-satunya cara
dalam mengukur hasil belajar. Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
belajar merupakan usaha dari individu dalam interaksinya dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan
–perubahan pengetahuan maupun perilaku karena adanya kesan
–kesan baru. Hasil dari belajar dapat diukur, salah satunya dengan mengamati perilaku yang muncul
pada individu.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Proses belajar tidak semata-mata berlangsung dengan lancar. Beberapa faktor dapat mempengaruhi proses belajar. Faktor-faktor
tersebut digolongkan menjadi dua, antara lain faktor yang muncul dari diri sendiri faktor internal maupun dari luar faktor eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal
merupakan faktor
yang mempengaruhi proses belajar dan berasal dari diri
sendiri. Faktor internal dibagi menjadi dua, faktor jasmaniah dan faktor psikologis. Faktor jasmaniah
seperti kesehatan dan cacat tubuh akan menjadi pengaruh dalam proses penerimaan stumulus, begitu pula dalam
meresponnya. Salah satu contohnya adalah kesehatan tubuh yang lemah akan mempengaruhi kualitas kognitif
ranah cipta, sehingga hal-hal yang dipelajari tidak akan maksimal Syah, 2003.
Selain itu, faktor psikologis, meliputi motivasi, inteligensi, perhatian, minat, bakat, kematangan, dan
kelelahan. Dalam segi motivasi, misalnya. Motivasi merupakan suatu perubahan energi yang terjadi pada diri
seseorang yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu Djamarah, 2012. Dalam hal ini, Hamalik 1992
menambahkan bahwa perubahan energi tersebut tampak pada tindakan seseorang yang berupaya sekuat tenaga
untuk mencapai apa yang dia inginkan. Dengan demikian, motivasi merupakan salah satu faktor yang
akan memberikan pengaruh terhadap berhasil atau tidaknya proses belajar.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang bersal dari luar diri. Faktor-faktor tersebut dibagi dalam tiga bagian,
yaitu faktor keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat Slameto, 2010.
Beberapa contoh faktor keluarga adalah gaya pengasuhan dari orang tua dan relasi dengan anggota
keluarga. Para ahli mengatakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dalam proses sosialisasi
termasuk belajar dari suatu individu. Seorang anak merapkan apa yang ia dapat dari keluarga ke dalam
lingkungan sosial yang lebih luas, termasuk dalam proses belajar. Selain itu, relasi dengan anggota keluarga akan
memberikan dukungan maupun hambatan kepada individu.
Selanjutnya adalah faktor sekolah. Faktor ini dapat disebut juga sebagai lingkungan tempat belajar karena
belajar tidak selalu di sekolah. Dalam lingkungan tersebut, juga terdapat hal-hal yang harus diperhatikan
agar mendukung dan bukan menjadi hambatan dalam proses belajar. Hal-hal yang dimaksud antara lain:
kondisi fisik lingkungan, cara mengajar, relasi pengajar dan pelajar, fasilitasalat pelajaran, dan lain sebagainya.
Faktor eksternal yang terakhir adalah faktor lingkungan masyarakat atau dapat disebut juga
lingkungan di mana pelajar tinggal. Sebagai contoh adalah teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat
Slameto, 2010. Interaksi yang dibangun oleh seseorang dengan lingkungan akan memberikan berbagai pengaruh
tertentu. Hal ini tentu akan memberikan pengaruh pula terhadap proses belajar yang sedang dijalani.
2. Perubahan Perilaku
Pada hakikatnya, belajar merupakan suatu perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan pada unsur kejiwaan yang
mempengaruhi perilaku. Individu yang perilakunya berubah akibat adanya kesan atau pengalaman baru karena interaksinya dengan
lingkungan merupakan individu yang sudah belajar Djamarah, 2011. Dalam hal ini, hasil pembelajaran yang dicapai dapat disesuaikan dengan
perubahan yang dikehendaki, antara lain: a.
Perubahan Terjadi Secara Sadar Perubahan ini berarti bahwa individu merasakan
adanya perubahan
setelah melakukan
pembelajaran. Misalnya, seseorang merasa pengetahuannya bertambah
setelah setelah mengikuti kursus.
b. Perubahan dalam Belajar Bersifat Fungsional
Perubahan ini merupakan perubahan dari hasil belajar yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
lainnya. Sebagai contoh, seseorang yang belajar bicara. Setelah pandai, ia akan belajar untuk bercerita bahkan
berpidato. c.
Perubahan dalam Belajar Bersifat Positif dan Aktif Perubahan ini merupakan perubahan yang diusahakan
untuk memperoleh sesuatu yang baik dari sebelumnya. Dengan demikian, semakin banyak usaha untuk belajar, maka
semakin meningkatlah perubahan yang diharapkan. d.
Perubahan dalam Belajar Bertujuan dan Terarah Hal ini berarti bahwa dalam melakukan usaha belajar,
seseorang sudah menghendaki perubahan yang terjadi ke depannya. Perubahan tersebut sudah terarah dan disadari oleh
individu yang melakukan proses belajar. e.
Perubahan Mencakup Seluruh Aspek Tingkah Laku Perubahan ini merupakan perubahan yang meliputi
seluruh aspek individu. Artinya, dalam belajar sesuatu, maka seseorang tidak hanya mengalami perubahan ada satu hal,
akan tetapi hal-hal lain yang berkaitan dengan apa yang dipelajari. Misalnya, seseorang yang belajar mengendarai
motor. Dengan mempelajari hal itu, maka ia juga dapat
mengerti tentang cara kerja motor, peraturan lalu lintas, cara merawat motor, dan lain sebagainya.
Dalam perubahan perilaku, penting untuk mempertimbangkan teori-teori yang digunakan di dalamnya. Teori merupakan serangkaian
prinsip yang secara ilmiah dapat diterima dan ditawarkan untuk menjelaskan suatu fenomena Schunk, 2012. Dalam program ini, teori
yang digunakan adalah Teori Kognitif Sosial Bandura. Menurut Schunk, teori ini beranggapan bahwa pembelajaran manusia terjadi dalam
lingkungan social. Schunk juga menambahkan bahwa teori ini memberikan kesimpulan bahwa seseorang dapat belajar hal-hal baru dari
pengamatannya terhadap orang lain. Dengan menjadi pengamat, seseorang dapat memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, strategi-
strategi, keterampilan, sikap, dan lain-lain. Dalam proses tersebut, seseorang
nantinya dapat
mempelajari perilaku-perilaku
yang dimodelkan, untuk kemudian diterapkan sesuai dengan keyakinan dan
hasil yang diharapkan dari peristiwa serupa.
E. Efektivitas Program Anti
Bullying
dalam Mengurangi Perilaku
Bullying
di SMA Kolese De Britto Yogyakarta
Perilaku
bullying
merupakan suatu fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya pada remaja. Dampak dari
bullying
itu sendiri terbukti telah merugikan berbagai macam pihak. Dalam hal ini, remaja memiliki peran
sebagai pelaku, korban, maupun penonton
bullying
. Remaja cenderung mendapat pengaruh yang lebih besar dari teman sebaya dalam berperilaku.
Terdapat penelitian yang memberikan bukti bahwa remaja laki-laki memiliki potensi yang tinggi untuk terlibat dalam praktik
bullying
daripada remaja perempuan. Di samping itu, sekolah merupakan tempat di mana
praktik
bullying
dilakukan. Di sekolah, remaja mengalami proses sosialisasi terutama dengan teman sebaya. Mereka seakan memiliki area di mana mereka
dapat berekspresi sesuai dengan keinginannya. Terlebih pada remaja di sekolah homogen. Di sekolah homogen, para siswa lebih mendapatkan
kebebasan untuk bertingkah laku tanpa mempedulikan adanya lawan jenis. Dengan demikian, perilaku remaja berpotensi mengarah pada kekerasan yang
dikenal dengan nama
bullying
. Menyikapi hal ini, sekolah-sekolah khususnya sekolah homogen laki-
laki dirasa perlu untuk memperhatikan perilaku para siswa agar tidak terjerumus dalam praktik
bullying
. Suatu program diperlukan dengan tujuan mencegah maupun menanggulangi adanya perilaku
bullying
di sekolah. Program tersebut diperlukan agar lingkungan sekolah yang bertujuan untuk
membantu siswa berkembang akan tetap berada pada jalurnya, bukan justru menciptakan keadaan yang menjerumuskan para siswa dengan adanya
perilaku
bullying
. SMA Kolese De Britto merupakan sekolah homogen laki-laki yang
memiliki potensi menjadi tempat praktik
bullying
di sekolah. Berkaitan dengan
bullying
, sekolah tersebut sudah memiliki pogram untuk mengatasi
bullying
. Program Anti
Bullying
yang dimiliki sekolah bertujuan untuk merubah perilaku siswa secara positif dan aktif serta mencakup seluruh aspek
tingkah laku. Akan tetapi, perlu dilakukan pengukuran terhadap program tersebut mengenai keberhasilan dan kesesuaian dengan tujuan dari program
itu sendiri. Penelitian ini dilakukan agar pihak sekolah mengetahui apakah program yang dilakukan sudah sesuai dengan tujuan, atau justru sebaliknya.
Program yang dilakukan meliputi beberapa langkah-langkah tertentu. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan hingga pada akhirnya dapat
mengurangi kecenderungan
bullying
pada siswa. Program ini juga menggunakan beberapa metode yaitu: a
Case Study
, b
Dramatic Presentation
, dan c
Discussion
. Bukan tanpa alasan, penggunaan metode ini memiliki peran masing-masing dan saling mendukung dalam penyampaian
materi dari guru kepada para siswa.
F. Hipotesis Penelitian