1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sekolah merupakan instansi pendidikan formal dan dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang tepat untuk mendidik anak-anak. Selain
untuk mendapatkan pengetahuan, masyarakat mempunyai ekspektasi bahwa sekolah akan senantiasa membimbing serta mengarahkan para siswa dengan
tepat demi masa depan yang cerah Wiyani, 2012. Dalam dunia pendidikan, manusia memiliki relasi dengan orang lain.
Terdapat relasi antar para pendidik, antar para peserta didik, pendidik dengan peserta didik, dan relasi antar siapapun yang menjadi elemen dari instansi
pendidikan tersebut. Relasi yang mereka bangun memiliki tujuan yang baik dan menguntungkan satu dengan yang lain.
Meskipun demikian, relasi yang seharusnya berjalan dengan baiktidak selalu terjadi. Tanpa disadari, fenomena kekerasan telah terjadi di lingkungan
sekolah Susanto, 2010. Masih banyak orang-orang yang belum mengerti sepenuhnya mengenai kekerasan yang sering disebut dengan
bullying. Bullying
adalah perilaku agresi yang dilakukan secara sengaja, berulang- ulang, dan menyakiti korban Papalia et al. 2007.
Bullying
seringkali dibiarkan serta dianggap remeh. Masalah
bullying
itu sendiri sering dianggap oleh orang tua maupun guru sebagai bagian dari permainan anak-anak
modern dan suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan remaja Susanti, 2007.
Cukup banyak kasus
bullying
yang diberitakan di media massa. Sebagai contohnya adalah
“Seorang Siswa Disu
n
dut Rokok Saat Ospek” dipungut 25 September 2013, dari http:megapolitan.kompas.com. Siswa
tersebut dipaksa untuk telanjang, bahkan dicabuli hanya karena ingin mengikuti ekstrakurikuler futsal. dipungut tanggal 25 Sepetember 2013, dari
http:news.detik.com. Selain itu, ada pula kasus
bullying
yang berakibat kematian seperti yang dialami siswi peserta Masa Orientasi Siswa MOS
SMK 1 Pandak, Bantul. “Siswi Meninggal Akibat Ospek: Disuruh Squad
Jump, Siswi di Pandak Pingsan Lalu Meninggal” dipungut 25 September 2013, dari http:www.harianjogja.com.
Bullying
dapat dialami oleh semua tingkatan umur. Akan tetapi, kebanyakan dari pelaku
bullying
berasal dari kalangan remaja Susanto, 2010. Monks, Knoes, Haditono, 2002 menyatakan bahwa remaja
merupakan masa di mana seseorang mengalami perubahan fisik, psikis, seksual, kognisi, dan sosial. Masa remaja dialami oleh seseorang yang sudah
beranjak dari masa kanak-kanak dan sedang menuju masa dewasa. Santrock 2003 menambahkan, remaja adalah transisi antara anak menjadi dewasa
yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Elisabeth 2006 bahwa tindakan
bullying
banyak terjadi di kalangan Sekolah Menengah Atas.
Riauskina, Djuwita, Soesetio 2005 mengatakan bahwa dampak dari kecenderungan tindakan
bullying
antara lain mengganggu kesehatan fisik, menurunnya kesejahteraan psikologis dan penyesuaian sosial yang
buruk, kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan gangguan psikologis. Tindakan
bullying
memiliki dampak buruk, sehingga diperlukan usaha kerjasama untuk mencegah atau mengatasi sedini mungkin dari pihak
orang tua dan sekolah Inung, 2007. Pihak sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kesadaran pada para siswa tentang
bullying.
Program penanganan preventif secara terpadu adalah langkah yang efektif dilakukan untuk mengatasi perilaku
bullying
Widayanti, 2009. Beberapa pihak sudah memberikan perhatian khusus terhadap
fenomena
bullying
di sekolah. Mereka melakukan penelitian yang bertujuan untuk setidaknya meminimalisir terjadinya
bullying
di sekolah. Menurut Yandri, Daharnis, Nirwana 2013, penggunaan modul oleh konselor atau
Guru Bimbingan Konseling cukup layak dalam usaha mencegah terjadinya
bullying
di sekolah. Akan tetapi, dalam jurnal penelitiannya dikatakan bahwa tingkat keefektifan metode tersebut belum sepenuhnya teruji.
Selain itu, salah seorang Guru Bimbingan dan Konseling salah satu SMA di Yogyakarta mengatakan bahwa sangat penting untuk memberikan
pemahaman kepada para siswa tentang perilaku terhadap teman, terutama di lingkungan sekolah komunikasi pribadi, 20 Juli 2013. Dalam proses
wawancara, beliau mengatakan bahwa setiap anak harus berpikir jauh tentang apa yang akan mereka lakukan dan mengerti konsekuensi yang akan mereka
terima nanti. Walaupun maksudnya baik, belum tentu tindakan yang dilakukan dapat diterima oleh orang lain. Hal ini sedikit banyak mengarah
pada usaha pencegahan tindakan
bullying
di SMA tersebut. Guru-guru sebaiknya lebih memperhatikan tempat-tempat yang berpotensi terjadi
bullying
seperti toilet siswa, kantin, tempat parkir, dan beberapa tempat lain yang hampir tidak pernah diawasi oleh guru. Hal tersebut juga merupakan
salah satu usaha untuk mencegah tindakan
bullying
di sekolah Yayasan Sejiwa, 2008.
Penelitian yang dilakukan oleh Hardika 2009 mendapatkan hasil bahwa Sekolah Menengah Atas homogen lebih memiliki kecenderungan
bullying
yang tinggi daripada Sekolah Menengah Atas heterogen. Sekolah homogen di sini diartikan sebagai sekolah dengan siswa yang memiliki jenis
kelamin sama, sedangkan sekolah heterogen memiliki siswa dengan jenis kelamin berbeda. Masalah perbedaan jenis kelamin tersebut merupakan salah
satu kecenderungan terhadap tindakan
bullying
. Agresi dan dominasi akan lebih mudah muncul pada relasi yang jenis kelaminnya sama Santrock,
1995. Edmunds Kendrick 1980 mengatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku agresi seseorang adalah jenis kelamin. Di samping itu, menurut Fesbach dalam Soffat, 1998 tingkat agresivitas laki-
laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, khususnya dalam bentuk perilaku fisik. Beberapa pernyataan tersebut memberikan kesimpulan bahwa sekolah
menengah atas homogen laki-laki menjadi tempat yang memiliki potensi besar terjadinya perilaku
bullying.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
bullying
memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dilakukan oleh remaja laki-laki yang berada di lingkungan sekolah homogen. Disadari atau tidak,
lingkungan sekolah homogen laki-laki adalah tempat yang paling berpotensi terjadinya praktik
bullying
. Dengan demikian, sangat diperlukan perhatian khusus dari pihak sekolah homogen laki-laki terhadap potensi terjadinya
perilaku
bullying
berdasarkan keadaan sekolah tersebut, sehingga lingkungan sekolah tidak menjadi tempat yang justru memberi dampak negatif dan
merugikan para siswa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pihak
sekolah homogen laki-laki dalam upayanya mengatasi terjadinya praktik
bullying
di lingkungan sekolah. SMA Kolese De Britto Yogyakarta merupakan salah satu contoh sekolah homogen laki-laki. Sejauh ini belum
ada penelitian sistematis mengenai program yang digunakan oleh pihak guru SMA Kolese De Britto apakah cukup efektif untuk mengatasi perilaku
bullying.
Di sisi lain, penelitian oleh Hardika 2009 menunjukkan bahwa di SMA Kolese De Britto terdapat tindakan
bullying
. Hal ini semakin mendukung penelitian tentang program yang digunakan untuk mengatasi
bullying
. SMA Kolese De Britto memiliki program mengatasi perilaku
bullying.
Program tersebut dilakukan pada siswa kelas XI di semester II. Program ini
terdiri dari 3 metode: a
Case Study
, b
Dramatic Presentation
, dan c
Discussion
. Ketiga metode tersebut merupakan suatu rangkaian dari program yang dilakukan.
Case Study
adalah langkah pertama, kemudian dilanjutkan dengan
Dramatic Presentation
dan diakhiri dengan
Discussion
.
Case Study
adalah studi kasus tentang contoh perilaku
bullying
di sekolah.
Dramatic Presentation
adalah berperan sebagai karakter-karakter yang ada saat
bullying
terjadi.
Discussion
adalah diskusi antara guru dan siswa tentang kegiatan yang sudah dilakukan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengatahui bagaimana usaha dari pihak SMA Kolese De Britto Yogyakarta dalam upayanya mengatasi perilaku
bullying
yang terjadi pada para siswa di lingkungan sekolah. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti mengenai keefektifan
metode yang dilakukan oleh pihak guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta dalam usaha mengurangi perilaku
bullying
.
B. Rumusan Masalah