tidak  ada  perilaku
bullying
yang  terjadi  di lingkungannya.  Hal  ini  yang  mendasari  bahwa
penonton
bullying
berpotensi  pula  menjadi pelaku
bullying.
6. Dapat  berpotensi  pula  menjadi  sasaran
bullying
selanjutnya. Penonton
bullying
memiliki kecenderungan  untuk  di-
bully
oleh  orang-orang di  lingkungannya  yang  tidak  menyukai  sifat
suka  mengintimidasi  yang  dimiliki  penonton
bullying
.
C. Program Sekolah dalam Mengatasi
Bullying
1. Latar Belakang Program
Adanya  beberapa  kasus
bullying
dalam  media  masa  dewasa  ini membuat sekolah merasa bertanggung jawab untuk segera menjauhkan
peserta  didik  dari  ancaman  tindakan
bullying
.  Berdasarkan  penelitian yang  telah  dilakukan  oleh  Hardika  2009,  SMA  Kolese  De  Britto
merupakan  salah  satu  sekolah  yang  terdapat  tindakan
bullying
.  Di samping  itu,  sekolah  tersebut  merupakan  sekolah  homogen  laki-laki,
sehingga  memiliki  potensi  tinggi  terjadinya  perilaku
bullying
di
dalamnya.
Suatu  program  dilakukan  oleh  sekolah  sebagai  intervensi terhadap tindakan
bullying
. Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya  bahwa  masih  banyak  kasus  tindakan
bullying
terutama  di lingkungan  sekolah.  Bukan  tanpa  alasan,  pihak  sekolah  SMA  Kolese
De  Britto  memberi  perhatian  lebih  terhadap  perkembangan  pribadi peserta  didiknya,  terutama  dalam  mempersiapkan  diri  menghadapi
tantangan  global.  Para  siswa  menjadi  pribadi –  pribadi  yang    mampu
menyesuaikan  diri  dalam  lingkungan  masyarakat  dalam
Student Handbook JB
, 2013. Dalam hal ini, sekolah menitikberatkan perhatian kepada isu
bullying
yang terjadi di lingkungan sekolah. Program  tersebut  disusun  oleh  tim  Guru  Bimbingan  Konseling
sekolah.  Tujuan  umum  dari  program  ini  tentunya  untuk  mengurangi kecenderungan
bullying
siswa di sekolah, terutama di lingkungan kelas. Tujuan  khususnya  adalah  memberikan  pemahaman  tentang  perilaku
bullying
kepada  siswa,  meliputi  bentuk-bentuk  tindakan
bullying
serta dampak-dampak  yang  akan  terjadi  akibat  tindakan
bullying
.  Dengan memahami  hal  tersebut,  para  siswa  diharapkan  untuk  tidak  melakukan
bullying
bagi  yang  belum  pernah  melakukan  ataupun  mengurangi bahkan  menghilangkan  perilakunya  bagi  yang  sudah  pernah
melakukan.
2. Pelaksanaan  dan  Peran  Program  dalam  Mengurangi  Perilaku
Bullying
Program  anti
bullying
ini  menggunakan  metode  pendekatan kelas  karena  dilakukan  dalam  lingkup  kelas.  Pendekatan  model  ini
menyerupai  salah  satu  program  yang  dikemukakan  oleh  Gini  2004 dengan  pendekatan  kelas
Class-group  level  approach.
Program  yang juga bertujuan untuk mengatasi
bullying
tersebut menekankan aktivitas- aktivitas  kelompok  di  kelas.
Beberapa  aktivitas  tersebut  diantaranya:
Problem solving, stories, role-play, discussion, game,
dan
lecture.
Akan tetapi,  program  yang  dilakukan  oleh  sekolah  hanya  mengadopsi
beberapa metode yang dilakukan, yaitu
stories  problem solving
yang disebut  sebagai
case  study
,
role  play
yang  disebut  sebagai
dramatic presentation
,  dan
discussion.
Program  yang  dilakukan  sekolah  tidak menggunakan aktivitas
game
dan
lecture
ceramah.
a.
Case Study
Studi kasus tindakan
bullying
Metode ini merupakan metode awal dari program. Para siswa dalam satu kelas diarahkan untuk membentuk kelompok
kecil  kemudian  masing-masing  kelompok  disuguhi  satu ilustrasi  peristiwa
bullying
dalam  bentuk  tulisan.  Peristiwa tersebut  disesuaikan  dengan  keadaan  nyata  yang  besar
kemungkinan  untuk  terjadi  di  lingkungan  sekolah.  Tugas mereka  adalah  memahami  apa  yang  terjadi  dalam  peristiwa
tersebut  dan  mengutarakan  pendapat  masing –  masing  dalam
kelompok.  Tujuan  dari  metode  ini  adalah  mengarahkan  pola pikir siswa pada peristiwa
– peristiwa yang terjadi di sekolah.
Peran  dari  metode  ini  adalah  mengajak  siswa  untuk mengenali  serta  mempelajari  situasi  yang  mungkin  belum
pernah  mereka  temui  sebelumnya.  Dengan  mempelajari  secara lebih  mendalam,  siswa  juga  dapat  mengerti  peran-peran  yang
ada dalam contoh kasus, meliputi pelaku, korban, serta penonton
bullying
. Cara  yang  digunakan  dalam  metode  ini  adalah  peserta
diarahkan  untuk  melakukan  sedikit
brainstorming
dengan anggota  kelompok.
Brainstorming
yang  dimaksud  adalah pencarian  strategi  untuk  memecahkan  masalah  yang  ada
Isaksen  Gaulin, 2005; Maer, 1992; Osborn, 1963; Schunk, 2012.  Seseorang  akan  semakin  berhasil  dalam
brainstorming
apabila  ia  telah  mengenal  dan  mempelajari  masalah  secara lebih  mendalam,  karena  solusi-solusi  akan  lebih  banyak
muncul karena pengalaman Schunk, 2012.
b.
Dramatic  Presentation
Berperan  dalam  situasi
bullying
terjadi Setelah metode studi kasus selesai, langkah selanjutnya
adalah  penggunaan  metode
Dramatic Presentation
.  Setiap kelompok  diberi  tugas  untuk  memperagakan  peristiwa  yang
terjadi  dalam  ilustrasi  tersebut.  Kelompok  mendapatkan kebebasan  untuk
sedikit memodifikasi
cerita  misal:
menyesuaikan anggota kelompok, dan sebagainya, akan tetapi tidak  menghilangkan  esensi  yang  penting  dalam  cerita
tersebut.  Setiap  kelompok  bergantian  untuk  menjadi  peraga dan  menjadi  penonton.  Tujuan  dari  metode  ini  adalah
mengajak siswa untuk berperan langsung sebagai individu atau kelompok  dalam  situasi  terjadinya
bullying
.  Bagi  penonton adegan,  metode  ini  memberikan  gambaran  secara  langsung
tentang  proses  terjadinya
bullying
.  Dengan  demikian, pengetahuan siswa mengenai
bullying
semakin luas. Bagian  ini  merupakan  bagian  terpenting  dari  program,
karena  secara  langsung  merupakan  penerapan  dari  Teori Kognitif  Sosial,  di  mana  sesorang  dapat  belajar  dari
pengamatannya  terhadap  lingkungan.  Tujuan  dari  kegiatan tersebut  adalah  membuat  penonton  melihat  secara  langsung
peristiwa yang terjadi, membangkitkan emosi, sehingga timbul perasaan empati terhadap peran yang dimodelkan Rae, 2009.
Fieldman    Jones  2000  menyatakan  bahwa  dengan
Dramatic  Presentation
,  peserta  juga  dapat  menggali  refleksi pribadi berkaitan dengan peristiwa yang diperankan.
Dramatic Presentation
juga  disebut  sebagai
role-playing  activitie
s. Menurut  Sharp    Smith  1994,
role-playing  activities
berguna  pula  bagi  peserta  siswa  karena  memunculkan berbagai  perspektif  dari  suatu  masalah  yang  diamati.  Selain
melihat  peristiwa  secara  langsung,  peserta  juga  dapat mempelajari tentang bagaimana menghadapi situasi serupa.
c.
Discussion
Diskusi mengenai kegiatan yang telah dilakukan Metode  ini  merupakan  langkah  ke  tiga  dari  program.
Setelah  metode
Dramatic Presentation
selesai,  para  siswa diajak  untuk  berdiskusi  mengenai  kegiatan  yang  telah
dilakukan.  Mulai  dari  tahap  studi  kasus,  hingga  presentasi drama. Metode ini dilakukan secara santai antara guru dan para
siswa. Awalnya
guru mempersilahkan
siswa untuk
menyampaikan  perasaannya  terkait  kegiatan  yang  telah dilakukan,  khususnya  terhadap  situasi  terjadinya
bullying
. Setelah  dirasa  cukup,  guru  memberikan  penjelasan  secara
menyeluruh  tentang  apa  sebenarnya  kegiatan  tersebut.  Selain itu,  guru  juga  memberikan  penjelasan
– penjelasan tambahan tentang  pengetahuan  terhadap
bullying
,  meliputi  hukuman –
hukuman yang akan diterima sebagai pelaku, potensi – potensi
lain apabila
bullying
tetap dipertahankan, dan lain sebagainya. Tujuan  dari  metode  ini  adalah  memberikan  kesimpulan  dari
kegiatan –  kegiatan  yang  telah  dilakukan,  serta  memberikan
arahan  yang  tepat  terhadap  pemahaman  siswa  mengenai
bullying
.
Pentingnya  diskusi  adalah  mengajak  murid  untuk merefleksikan  dan  berbagi  tanggapan  tentang  kegiatan  yang
telah  dilakukan
case  study    dramatic  presentation
.  Hal  ini penting  karena  peserta  tidak  hanya  disajikan  satu  peristiwa
dalam  kelompok,  akan  tetapi  mereka  juga  akan  mengetahui berbagai  peristiwa  dari  kelompok  yang  berbeda.  Di  samping
itu,  diskusi  juga  dilakukan  untuk  bersama-sama  mencari alternatif  langkah  dalam  merespon  peristiwa  serupa,  sehingga
menghasilkan  keadaan  yang  lebih  positif  Rae,  2009. Fieldman    Jones  2000  menambahkan  bahwa  diskusi  yang
dilakukan  dapat  menambah  kemampuan  pemecahan  masalah, mengembangkan  atau  menumbuhkan  perasaan  empati  dan
menambah pengalaman bagi peserta.
D. Belajar sebagai Proses Perubahan Perilaku