Respon Tokoh Perempuan Etnis Tionghoa dalam Melawan Diskriminasi

dari ayahnya. Putri ayahnya ada empat, sehingga semua saudaranya juga memiliki tanggung jawab yang sama seperti dirinya. Kutipan di bawah ini memperjelas diskriminasi seorang kakak terhadap adiknya yang bersikeras bahwa penyakit Papa tidak terlalu parah, sehingga ia menginginkan bahwa seharusnya Indah-lah yang lebih berkewajiban menjaga dan merawat Papa mereka. “Kamu bekerja di Jakarta. Memangnya kenapa sih kalau kamu saja yang mengurus Papa? Papa toh tidak perlu kita berempat untuk mengingatkannya kapan dia makan obat atau kapan harus tidur.” Clara Ng, 2012: 108. Pada ranah publik, diskriminasi atau perbedaan perlakuan dialami oleh keempat tokoh. Perbedaan perlakuan itu berupa ejekan dan hinaan karena beretnis Tionghoa, kekerasan fisik, serta berbagai aturan dan larangan yang membatasi ruang gerak mereka sebagai salah satu warga Indonesia. Ejekan dan hinaan diterima Siska karena dia memang tidak dapat berbahasa Cina. Meskipun ia sukses di negara tetangga, tetapi ia sadar siapa dirinya bila sudah berurusan dengan kliennya. Ia menyadari kekurangannya sebagai etnis Tionghoa yang justru tidak bisa sama sekali berbahasa Cina. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut. Siska tahu, di belakangnya pasti klien-klien Hongkong itu bergosip ria tentang dirinya. Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia Clara Ng, 2012: 55. Kutipan di atas menunjukkan bahwa memang sebenarnya memang hal tersebut wajar terjadi. Meij 2008: 19-20 mengamini bahwa generasi usia 40-an dan usia 30-an adalah generasi baru. Kebanyakan dari mereka telah tidak menguasai bahasa Cina lagi. Mereka umumnya juga jarang menjadi pedagang atau pemilik toko seperti orang tua mereka. Kebanyakan dari mereka juga telah lepas dari ikatan tradisi dan adat istiadat leluhur. Kecinaan mereka lebih hanya karena hubungan darah dengan generasi pendahulu mereka. Etnis Tionghoa generasi ini lebih cenderung melihat diri sebagai “golongan menengah yang profesional” daripada “keturunan Tionghoa”. Bentuk ejekan dan hinaan juga diterima Rosi saat ditabrak sebuah angkutan umum ketika dalam perjalanan ke rumah sakit. Mobilnya sedikit rusak, tetapi justru dirinya yang diminta mengganti kerugian angkutan tersebut. Terjadi adu mulut, yang kemudian berujung pada dibawanya Rosi ke kantor polisi terdekat, seperti pada kutipan berikut. “Mungkin karena aku Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua.... Tapi you know-lah, UUD gitu, ujung-ujungnya duit. Masa mereka mau mencoba memeras aku Clara Ng, 2012: 86. Berdasarkan kutipan tersebut terlihat jelas bahwa orang-orang di sekitar tempat kejadian berusaha memeras Rosi karena wajahnya yang terlihat beretnis Tionghoa. Di samping itu, mereka juga memberikan ejekan yang bersifat memojokkan Rosi saat mengalami kejadian tersebut. Hal ini tentu saja membuat Rosi sangat marah. Hal tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini. ”Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit. Dengar seperti itu langsung ada darahku tancap gas sampai ubun-ubun. Sialan benar. Aku tersinggung sekali mendengarnya Clara Ng, 2012: 54-55. Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa perlakuan masyarakat pada umumnya yang memberi label “Cina Pelit” dalam hal ini juga merupakan salah