REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir).

(1)

REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL

CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR

(Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

OLEH : RIA ROZALINA

0743010091

YAYASAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN DAN PERUMAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR


(2)

REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL “DIMSUM TERAKHIR” KARYA CLARA NG

(Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” Karya Clara Ng)

Oleh : RIA ROZALINA NPM. 0743010091

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 Mei 2011

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji

1. Ketua

Dra. Dyva Claretta, M.Si Ir. Didiek Tranggono, M.Si

NPT : 3 6601 94 0025 1 NIP : 195812251990011001

2. Sekertaris

Dr. Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 0028 1 3.Anggota

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT :3 6601 94 0025 1

Mengetahui, Dekan

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 030.175.349


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia serta rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR” (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi banyak terdapat kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan sangat terbatasnya ilmu yang penulis miliki serta kekuranganya pengalaman dalam membuat skripsi. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat mahasiswa dalam menempuh pendidikan di Prorgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”Jawa Timur.”

Keberhasilan dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, baik materiil dan sprituil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Ibu Dra. Dyva Claretta, Msi selaku Dosen Pembimbing atas ketersediaan waktunya serta terima kasih kepada :

1. Ibu Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


(4)

3. Keluarga tercinta, Papa dan Mami, Omku (The Big Boss) dan kedua Adikku Kiki dan Vivi juga kakak dan iparku tercinta atas segala dukungan moral maupun materiilnya, terutama untuk doa dan kesabarannya menjagaku.

4. Para Beibh, atas semua motivasi yang menyemangatiku untuk menyelesaikan skripsi. Bebi Dian yang berjuang bersama, bebi me2y, bebi cing.

5. Teman-teman Kos Djeni, Didoo, Mbak etta, Mbak Upy, selalu menyediakan waktu untuk membantu dan menemani dalam pengerjaan skripsi.

6. Crew of Ophi Uchus, terima kasih buat pengalaman baru dalam hidupku (Uphy, Chypu, Duyung, Me2y)

7. For specially, Finsa Anggara Pratama atas dukungan untuk selalu mengingatkanku dan membantu dalam pembuatan skripsi ini khususnya untuk pinjaman printernya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan baik dari segi teknis maupun dalam segi penyusunannya. Untuk itu, penulis senantiasa bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.

Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua, Amin.

Surabaya, 12 Mei 2011


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI…….. . i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI ………. v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah………. ... 11

1.3 Tujuan Penelitian…..…. ... 11

1.4 Manfaat Penelitian………. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...………..13

2.1 Landasan Teori……….13

2.1.1 Karya Sastra Sebagai Suatu Proses Komunikasi Massa...13

2.1.2 Novel Sebagai Media Massa Cetak………....15

2.2 Unsur-unsur Novel……….……….17

2.3 Teori Representasi……….………..19

2.4 Stereotype…...…21

2.5 Stereotype Cina………22


(6)

2.7 Prasangka………24

2.8 Hubungan Stereotipe dengan Komunikasi Antar Budaya………….….25

2.9 Pengertian Etnik………...…….25

2.10 Semiologi………...26

2.11 Kerangka Berpikir……….30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...33

3.1 Metodologi Penelitian………....33

3.2 Subyek Penelitian………...34

3.3 Unit Analisis………...35

3.4 Corpus Penelitian…..……….…35

3.5 Teknik Pengumpulan Data………...38

3.6 Teknis Analisis Data………..38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...40

4.1 Gambaran Obyek Penelitian……….………….….40

4.2 Penyajian dan Analisis Data………..43


(7)

4.2.2. Hasil Analisis Data………..46

4.3 Sistem Mitos………..68

4.4 Penggambaran Stereotype pada novel Dimsum Terakhir………..71

BAB V KESIMPULAN & SARAN……….……….76

5.1 Kesimpulan………76


(8)

ABSTRAKSI

RIA ROZALINA, REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

Penelitian ini menaruh perhatian adanya representasi stereotype Tionghoa di Indonesia dalam novel Dimsum Terakhir. Adanya stereotype mengenai etnis Tionghoa di Indonesia, mampu menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi pada kaum Tionghoa. Didalam novel “Dimsum Terakhir” ini menceritakan bagaimana kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia dan perjuangan empat tokoh keturunan Tionghoa dalam menghadapi berbagai masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan mereka.

Stereotype, merupakan suatu konsep yang menjelaskan suatu keadaan yang menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Hubungannya dalam kajian ilmu komunikasi adalah jika komunikasi individu yang berbeda budaya didahului persepsi negative, akan menimbulkan stereotype negative. Hal itu akan mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam interaksinya. Sehingga apa yang terjadi pada masalah Tionghoa dan pribumi mampu menimbulkan tindakan-tindakan yang bersifat diskriminasi karena adanya kepercayaan ataupun pemikiran yang salah.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teori semiologi Roland Barthes, yang mana ia memaknai teks pada novel “Dimsum Terakhir”. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan konsep dan melibatkan leksia sebagai subyek tanda (sign), obyek (object), dan penafsiran (interpretant). Penafsiran data ialah salah satu diantara tiga tujuan berikut : deskripsi semata-mata, deskripsi analitik, dan teori subtantif. Penelitian ini hanya bertujuan untuk deskripsi semata.

Dari data yang diperoleh, dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan teori maka akan dapat disimpulkan bahwa Novel Dimsum Terkahir karya Clara Ng ini, sarat akan nilai-nilai moral yaitu sebagai sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya, dan dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya kita hidup saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Adanya stereotype pada suatu kelompok etnis, memicu timbulnya kesenjangan sosial diantara keragaman etnis dan mampu mengakibatkan perpecahan.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang terdiri banyak suku, dimana diantara suku tersebut terjadi hubungan yang harmonis maupun konflik. Konflik mengenai suku yang marak dibicarakan di pulau Jawa khususnya adalah konflik antara pribumi dan non-pribumi yaitu antara suku Jawa dengan suku Tionghoa(Cina). Pada dasarnya orang-orang Cina yang bertdatangan ke Indonesia adalah orang-orang yang memiliki jiwa dagang yang tinggi, sehingga ketika orang-orang Cina ini tinggal di daerah-daerah di Indonesia, mereka tetap melakukan dan meperluas perdagangan yang sudah mendarah daging.

Sebagai sebuah bangsa, hendaknya selalu memulyakan kedudukan manusia, budaya dan peradaban. Hanya manusia yang berbudaya dan berperadaban yang memiliki citra baik dalam pergaulan antar manusia dan bangsa. Kemerosotan kualitas moral bangsa itu memang tidak dapat dilihat dan di observasi secara langsung, melainkan hanya dapat dilihat dari siakp, tindakan dan perilaku manusia ( Santoso, 2005: ix)


(10)

Konflik yang terjadi antara kedua suku ini menekankan pada adanya pelabelan yang tercipta atau stereotype terhadap etnis Tionghoa oleh pribumi selama ini, merupakan salah satu bentuk perubahan sosial dan kemerosotan kualitas moral manusia yang berbudaya dan beradab. Terlebih dari itu, stereotype mampu menimbulkan praktik diskriminasi utamanya di masa Orde Baru (Orba). Di masa Orba itu, pintu kebebasan dan saluran komunikasi public, khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, khususnya politik, sangat terbatas. Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola pemikiran negatif yang mengakar, di era reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.

Awalnya bermula ketika bangsa Belanda dan bangsa barat lainnya melakukan penjajahan baik di bidang politik maupun ekonomi, mereka meilhat orang-orang Cina ini sebagai saingan dagang yang cukup berat. Di saat inilah Belanda melancarkan politik adu domba antara Cina dan pribumi. Pada saat bersamaan, orang-orang Cina melihat peluang memperluas perdagangan mereka, sehingga lebih banyak lagi yang datang terutama di pulau Jawa dengan membawa keluarga mereka. Disinilah akhirnya mereka membentuk kelompok sendiri dengan mendirikan perkampungan Cina, yang


(11)

pribumi, pada dasarnya hal ini merupakan politik adu domba antara Cina dan pribumi.

Namun pada masa kemerdekaan RI tidak mudah dimasuki orang-orang Cina. Mereka tidak mau sekolah di sekolah negeri, sehingga Pemerintah RI menutup sekolah-sekolah Tionghoa. Di lain pihak,pemerintah Indonesia membatasi perdagangan orang Cina dan menerbitkan beberapa larangan untuk orang Cina,seperti penghapusan status Dwi Kewarganegaraan dan pembatasan wilayah perdagangan. Namun, peraturan itu justru mencetuskan suasana rasialisme karena pada akhirnya penduduk kota merasa terkalahkan oleh orang-orang Cina dalam bidang perdagangan di daerahnya sendiri. Kerusuhan rasial yang terjadi diantaranya:

1. Bandung, 10 Mei 1963, kerusuhan anti peranakan suku Tionghoa terbesar di Jawa Barat.

2. Ujung Pandang, April 1980, Suharti, seorang pembantu rumah tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus bahwa ia mati dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak. 3. Surabaya,September 1986, seorang pembantu rumah tangga dianiaya

oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang Tionghoa.


(12)

4. Jakarta, 13-14 Mei 1998, kemarahan masa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh politik teretntu anti Cina. Peristiwa ini merupakan peristiwa anti Cina terbesar sepanjang sejarah RI.

Riwayat konflik di atas menunjukkan bahwa konflik antara Jawa(pribumi) dan Cina.memang merupakan masalah yang dapat dikatakan berat, sepertiyang tertulis dalam sebuah artikel bahwa konflik antara pribumi setempat dan orang Cina tidak dapat dituntaskan sekalipun konflik tersebut

tidak berlangsung terus-menerus. (http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel ps2.html).

Pertikaian antar etnis yang terjadi di Indonesia bisa dipahami sebagai ekspresi dari konflik yang sudah mengakar. Dikatakan sebagai konflik yang mengakar, karena pertikaian antar kelompok tersebut melibatkan dua faktor yang saling berkaitan yaitu faktor identitas cultural dan faktor ketidakadilan ekonomi sosial. Konflik karena identitas cultural cenderung bertahan dalam waktu yang panjang. (Bloomfield&Reilly).

Mulyana dalam Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (2001:167), mengatakan bahwa inti dari komunikasi sebenarnya adalah persepsi, ssehingga untuk memciptakan komunikas yang baik (terutama untuk meminimalkan konflik) adalah persepsi yang selalu ada dalam diri inidividu dan harus dipahami, karena persepsi yang memerankan dalam menilai orang


(13)

lain dan pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan berkomunikasi dan berprilaku pada orang lain.

Persepsi menurut Dafiddof, merupakan suatu proses yang dilalui suatu stimulus yang diterima panca indera yang kemudia di organisasikan dan di interpretasikan sehingga individu menyadari yang di inderanya itu. (Walgito, 2002: 69). Dan dari sebuah kegagalan persepsi akan menciptakan stereotype maupun prejudice(prasangka) dan pada akhirnya memicu terjadinya konflik yang lebih besar seperti tindak diskriminasi yang terjadi hingga saat ini.

Stereotype atau stereotyping adalah suatu keadaan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam $suatu kelompok. Menurut Larry Samovar dan Richard E Porter, stereotype didefinisikan sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Dengan adanya stereotype maka kesulitan komunikasi pun sering muncul karena pada umumnya stereotype bersifat negatif. Dengan adanya stereotype yang terus menerus tertanam dalam pola pikir masyarakat, akan menghambat keefektifan komunikasi. Karena stereotype, mampu mengeluarkan pemahaman negative yang sesuai dari apa yang kita pikirkan terhadap suatu hal. Sehingga, hal tersebut akan menimbulkan dampak-dampak tindakan yang negative.


(14)

Menurut Charmichael dan Hamilton (1967), ada dua type rasisme: individual dan intitusional. Rasisme Individual terjadi ketika seseorang dari ras tertentu membuat aturan dan bertindak keras dan kasar terhadap ras lain, karena anggota ras lain itu berada dalam kekeuasaanya. Sedangkan rasisme Intitusional merupakan tindakan kelompok mayoritas terhadap minoritas yang dilembagakan atau diinstitusikan.

Secara historis, citra negatif etnis Tionghoa memiliki akar yang sangat panjang. Menurut pakar dan peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan bahwa secara historis, sejak masa sebelum kedatangan bangsa Eropa, terutama pada masa kolonial. Masalah China (baca: Tiongkok) (Chineesche Kwestie) baru menghangat di koloni ini sejak 1900-an ketika timbul gerakan nasionalisme kaum peranakan China di Indonesia.

Praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hingga kini masih merajalela baik secara struktural maupun kultural. Secara kultural, dalam benak penduduk “pribumi” nampaknya masih tersimpan stereotip yang memang “sengaja” dibuat sejak berabad-abad silam, bahwa warga etnis Tionghoa adalah warga “kelas dua”. (Andjarwati Noorjanah, 2004). Penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi atau “kelas kedua” di sini tidak tepat, namun karena dalam realitasnya masih saja dipakai, sengaja atau tidak, akibatnya terjadilah stereotiping. Karenanya, barangkali tepat bila istilah-istilah tersebut tidak seharusnya dipakai atau disebut lagi dalam interaksi


(15)

pihak-pihak tertentu. Selain itu, secara substansial beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraannya hingga saat ini. Bahkan timbulnya diskriminasi hingga saat ini banyak terjadi dikarenakan sebuah stereotip yang sengaja dibentuk pada jaman Orde Baru dan melekatnya pola pikir adanya kata pribumi dan nonpribumi.

Selain itu, Amandemen keempat UUD 1945, tidak diadakan perubahan pada pasal 26 Ayat (1), karena masih terdapat kata “Indonesia Asli” mengenai status Kewarganegaraan. Itu hal yang esensial dan tetap membuka peluang tindakan diskriminatif. Istilah asli pada ayat tersebut tidak jelas maknanya secara hukum. Dan ketentuan pada ayat tersebut mampu melahirkan kembali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif, khususnya pada masyarakat keturunan Tionghoa.

Langkah yang seharusnya diambil dalam penghapusan segala bentuk kesenjangan akibat sebuah pelabelan atau stereotype, sebaiknya diawali dari pembenahan structural/ hukum yang berbau diskriminasi. Dengan dibuka hukum baru yang lebih terbuka mengenai anti diskriminasi etnis apapun dan siapapun. Khususnya etnis Tionghoa. Selain itu, ditanamkan pada generasi


(16)

tindakan stereotype pada etnis tertentu tidak dibenarkan dengan merubah pola pikir setiap individu. Sehingga mereka sadar akan bentuk diskriminasi yang timbul dari stereotype terhadap apapun dan siapapun.

Karena itulah, peneliti menaruh perhatian terhadap adanya stereotype pada etnis Tionghoa dalam novel Dim Sum Terakhir karya Clara Ng. Novel ini menceritakan kisah empat perempuan kembar keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia. Mereka bernama Siska, Indah, Rosi dan Novera. Keempat perempuan keturunan Tionghoa ini dilahirkan di Jakarta, meski kembar, mereka memiliki kepribadian dan kehidupan yang berbeda serta masa lalu yang membingungkan. Pengalaman hidup keempat saudari kembar ini, bermula pada sisa-sisa adat yang masih dipegang teguh disaat zaman semakin modern. Seorang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia, ditakdirkan lahir bersama konflik yang sudah mengakar terutama pada rezim ORBA (Orde Baru). Meski kini keadaan jauh lebih baik setelah bergesernya jaman Orde Baru, namun sisa-sisa konflik tersebut secara tidak sadar masih dirasakan pada masyrakat keturunan Tionghoa Indonesia hingga saat ini. Dilahirkan sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia pada jaman orde baru bukan suatu perkara yang menyenangkan. Banyak diskriminasi yang terjadi dalam orde ini. Perlakuan yang sangat berbeda pada jaman itu yang berlangsung cukup lama, ternyata menyisakan duka. Stereotip yang tercipta terhadap keturunan tionghoa secara tidak sadar terbawa hingga kini.


(17)

Empat perempuan kembar ini hidup dengan perjuangan mereka masing- masing. Ketika dewasa, mereka pun berpisah untuk meniti karir mereka. Siska memilih tinggal di Singapura dan berbisnis, Indah memilih tetap di Jakarta, namun memilih hidup mandiri sebagai seorang penulis, rosi memilih hijrah ke Bandung dan melebarkan usaha berkebunnya sedangkan Novera menetap di Jogja sebagai guru. Kehidupan mereka merupakan realita sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Disaat kesibukan masing-masing membuat mereka melupakan kebersamaan yang harusnya ada dalam keluarga, tiba-tiba satu persoalan besar muncul, ketika mereka diharuskan berkumpul kembali dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Nung Antasana ayah dari keempat bersaudara ini menderita Myelodysplastic Syndromes (MDS), Penyakit dimana penderitanya tidak mampu memproduksi sel darah merah yang di butuhkan tubuh. Dan artinya ayah mereka dalam keadaan sekarat dan sewaktu-waktu bisa kehilangan nyawa. Hal itulah yang akhirnya memaksakan mereka meninggalkan kesibukan masing-masing untuk berkumpul dan berada kembali disamping ayah mereka.

Kembali kerumah masa kecil mereka membuat mereka mengenang masa lalu. Tinggal di perkampungan kelompok etnis tionghoa, menyisakan begitu banyak kenangan pahit dan indah. Mulai dari kebiasaan keluarga mereka menyajikan dimsum di pagi hari sebelum perayaan Imlek, bersekolah di sekolah Katolik namun sebagai kaum minoritas dari pribumi, dan selalu


(18)

mendapatkan perlakuan diskriminasi di jaman Orde Baru. Hingga masalah-masalah diskriminasi lainnya yang hingga saat ini masih mereka rasakan. Sebagai Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Hingga jaman Orde Baru berakhir, kenyataannya praktek kecil diskriminasi terhadap etnis ini masih terasa. Adanya penstereotypean yang tercipta di mata pribumi terhadap keturunan Tionghoa,memuncullkan pemahaman yang bersifat negative. Sehingga mampu menimbulkan adanya perlakuan yang berbeda. Namun masalah diskriminasi yang timbul dari sebuah bentuk pelabelan atau stereotype itu, hanya sebagian kecil yang dihadapi mereka. Persoalan yang paling besar adalah dimana mereka mencari jalan untuk menyisakan kenangan terindah disaat terakhir kebersamaan mereka bersama ayah mereka. Mulai dari menuruti keinginan ayah mereka, agar keempatnya segera menikah, rosi yang harus jujur bahwa dirinya seorang lesbian karena dia merasa sebagai lelaki dalam tubuh perempuan, Indah dengan janin di rahimnya tanpa seorang ayah dan Novera dalam masalahnya tanpa rahim dia bukan wanita seutuhnya.

Semua masalah pelik itu pun akhirnya berakhir, disaat kebersamaan mereka jalani bersama kejujuran, yang akhirnya pun mengantarkan ayah mereka kembali ke nirwana yang tenang dan bahagia.

Diantara karya, fiksi dewasa, remaja,anak-anak dan novel karya Clara Ng :Indiana, A Comedy with a Twist of Reality, UTUKKI Sayap Para Dewa,


(19)

Pustaka pada tahun 2006. Clara Ng merupakan sastrawan dan pengarang bestseller yang banyak menulis cerita-cerita inspiratif, lucu, segar dan mendidik. Karyanya telah dicetak berulang kali. Dia mampu menuliskan fenomena-fenomena dalam bahasa yang halus dan imajinasi tingkat tinggi yang mampu memuaskan pembacanya.

Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng ini merupakan novel popular di masyarakat. Realitas kehidupan yang terjadi dalam novel ini, mampu menyuguhkan sesuatu yang berbeda namun tetap berani dalam mengangkat sebuah realitas kehidupan dan memasukakan unsur mengenai diskriminasi etnis Tionghoa karena adanya stereotype yang melekat, dalam gaya bahasanya yang mampu membangun imajinasi ketika membacanya.

Dari latar belakang permasalahan diatas, akhirnya peneliti mengambil judul “ Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir” .


(20)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian adalah : Bagaimana penggambaran Stereotype Tionghoa beserta dampaknya dalam novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana bentuk Stereotype terhadap keturunan Tionghoa dengan “Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Dimsum Terakhir ”.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi seseorang. bahwa diantara Kerukunan Beragama dan Bhineka Tunggal Ika, sebagai manusia yang berbudaya kita harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain untuk mendapatkan suatu tujuan bersama yang lebih baik dalam kehidupan kita yang direpresentasikan dalam novel Clara Ng berjudul Dimsum Terakhir.


(21)

13 

 

1.4.2 Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi pembaca terhadap pesan yang coba disampaikan dalam novel Dimsum Terakhir dan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang menggeluti dunia sastra yang juga memahami bahwa novel adalah sebagai media komunikasi massa.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Karya Sastra Sebagai Suatu Proses Komunikasi Massa

Menurut Ducan dalam Ratna (2003:142), karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam sebuah karya sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya sastra menyajikan pengalaman dalam kualitas antar hubungan. Hubungan antara pengarang dan pembaca harus dipahami dengan hubungan yang bermakna, sebagai pola-pola hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi sosial, bukan sebagai kualitas yang tunggal dan linier. Komunikasi sastra merupakan komunikasi tertinggi sebab melibatkan unsur-unsur yang paling luas.

Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang


(23)

permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004: 2).

Karya sastra sebagai salah satu bentuk kreatifitas cultural sebagai representasi super struktur ideologis, dipandang sebagai gejala-gejala sosial yang terdiri dari system informasi yang rumit. Di satu pihak karya sastra merupakan respon-respon interaksi sosial, yaitu gejala sosial sebagai akibat antara hubungan pengarang dan masyarakat. Di pihak lain, karya sastra menyediakan dunia rekaan bagi pembacanya. Dalam pengertian terakhir inilah sesungguhnya terletak gagasan mengenai komunikasi sastra. Interaksi simbolik dalam karya sastra merupakan representasi kehidupan sehari-hari dengan cara yang sangat halus, tidak langsung, mengacu pada kualitas transcendental, konotatif dan metaforis (Ratna, 2003 : 132-133).

Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: Novel cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi. Karya sastra khususnya novel, dengan peralatan formulanya, makin lama makin dirasakan sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial (Ratna, 2003:134).


(24)

2.1.2. Novel sebagai Media Massa Cetak

Dalam sejarahnya, buku termasuk media massa cetak yang dianggap mampu menyampaikan pesan secara mendalam. Terlebih lagi dengan banyaknya kelebihan yang dimilikinya seperti mudah dibawa kemana saja, dan yang paling penting terdokumentasi permanen, namun sayangnya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang melek huruf (Cangara, 2005:128). Melalui sebuah buku, penulis atau penyusunnya dapat berbagi banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, pengalaman bahkan imajinasi kepada pembacanya sehingga buku banyak digunakan untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau media hiburan dengan penyajian mendalam.

Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1995 : 694), novel merupakan hasil karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang dis sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra sama seperti media cetak lainnya. Novel juga


(25)

memberikan informasi kepada pembacanya, selain itu novel juga berfungsi menghibur dan mempersuasi para pembacanya (Keraf, 1993 : 187-188).

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo). Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.

Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi social, sedang novel hiburan Cuma berfungsi personal. Novel berfungsi social lantaran novel yang baik ikut membina orang


(26)

tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya.

2.2 Unsur-unsur Novel

2.2.1 Unsur Intrinsik

a) Tema

merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Dengan adanya tema, maka pengarang lebih fokus pada pembangunan cerita dan pengembangan alur yang dibuat. Fungsi utamanya adalah memberikan suatu nilai dalam kesatuan literature. Tema mengontrol ide-ide yang timbul dalam karya fiksi. Dengan adanya tema, jalan cerita yang timbul dapat tersusun secara sistematis sesuai dengan maksud yang ingin ditampilkan pengarang ( Perrine, 1974 : 402).

b) Setting

Rustamaji dan Agus Priantoro berpendapat bahwa Setting dalam novel, merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita. Setting meliputi waktu, tempat, dan sosial budaya.


(27)

c) Sudut Pandang

Sudut pandang dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

2. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menngunakan kata ganti orang ketiga.

3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

(Harry Show,1972 : 293)

d) Alur/ Plot

Merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.


(28)

e) Penokohan/ Karakterisasi

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, cirri fisik lingkungan tempat tinggal. Karakter merupakan perwujudan ide-ide pengarang, dan aksi karakter merupakan perubahan dalam nilai-nilai dan ide-ide (Brooks, 1970 : 60 dalam Gayyu, 2005: 23).

f) Gaya Bahasa

Merupakan gaya yang dominant dalam sebuah novel.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, bografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsure instrinsik. Unsur-unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsure-unsur ini akan membantu keakuratan penfsiran suatu karya sastra.


(29)

Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya.(Fiske, 2004 : 282).

Chris Barker menyebutkan bahwa Representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikostruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita didalam pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri. (Barker, 2006 : 9)

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga berarti proses perubahan konsep-konsep ideology yang abstrak dalam bentuk-bentuk konkret. Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial. Pemaknaan melalui system penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas representasi merupakan produksi makna melalui bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi merupakan salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan yang menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang


(30)

dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa”yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dan symbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system”Peta konseptual”dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual” dan “bahasa/symbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi. Konsep bisa berubah-ubah, intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu didunia ini,


(31)

representasi adalah hasil dari praktek penandaan, praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

2.4 Stereotype

Stereotype atau stereotyping adalah suatu keadaan menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain Stereotype adalah proses menempatkan orang-orang dan objek-objek ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang dianggap sesuai, daripada berdasarkan karakter individual mereka.

Menurut Robert A Baron dan Paul B. Paulus, stereotype adalah kepercayaan bahwa semua anggota suatu kelompok tertentu memiliki ciri-ciri tertentu atau menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Dengan kata lain stereotype adalah kategorisasi atas kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.


(32)

Dengan adanya stereotype maka kesulitan komunikasi sering terjadi karena pada umumnya stereotype bersifat negative. Alasan terjadinya stereotype adalah:\

1. Sebagai manusia, seseorang cenderung membagi dunia ini kedalam dua kategori, yaitu kita dan mereka. Ketika kategori tersebut terbentuk, seringkali seseorang mempersepsi bahwa dirinya yang termasuk dalam kelompok dan parahnya mereka disamaratakan.

2. Stereotype pada dasarnya bersumber dari kecenderungan seseorang untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. (Mulyana, 2001:218,220).

2.5 Stereotype Cina

Stereotype adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan (Narwoko, 2004 : 342). Pada umumnya stereotype bersifat negative. Stereotype tidak berbahaya sejauh hanya disimpan di kepala. Namun bahayanya akan sangat nyata bila stereotype diaktifkan dalam hubungan manusia. Apa yang dipersepsi sangat dipengaruhi oleh apa yang diharapkan. Ketika


(33)

mengharapkan orang lain berprilaku tertentu, seseorang mungkin mengkomunikasikan pengharapannya kepada orang lain berprilaku tertentu, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa orang lain akan berprilaku sesuai dengan harapannya.

Beberapa stereotip Cina, diantaranya:

 Orang Cina pandai memasak (Mulyana,2004 :219)

 Orang Cina tertutup, angkuh, matrealistis, rajin, ulet, gigih dan giat bekerja, pedagang.

 Orang Cina itu licik, kaya tapi pelit

 Economic Animal, tidak punya solidaritas, suka berpetualang ekonomi, kurang patriortik,dan sukar membaur. (Wibisono, 2007: 244)

2.6 Diskriminasi

Diskriminasi pada The New Oxford Dictionary of English 1998 mencantumkan 2 makna kata discrimination, yaitu (1) perlakuan tidak adil dan berprasangka dalam kategori-kategori berbeda terhadap orang atau hal, terutama atas dasar ras, umur dan seks. (2) perngakuan dan pemahaman atas perbedaan suatu hal yang lain, misalnya diskriminasi antara benar dan salah,


(34)

kemampuan membedakan apa yang berkualitas bagus, penilaian baik, dan selera tinggi.

Maka diskriminasi pada dasarnya selalu mempengaruhi setiap individu dalam menentukan pilihan dalam kehidupannya. Namun dapat dimungkinkan dalam melakukan proses penilaian dan pembedaan tersebut mengakibatkan tindakan yang kemudian berakibat merugikan pihak lain sehingga diskriminasi dapat diartikan secara negative pula.

2.7 Prasangka

Stereotype merupakan salah satu bentuk kegagalan persepsi, dan bentuk kegagaln yang muncul dari bentuk stereotype adalah prasangka. Adanya prasangka mampu menciptakan pandangan negatif dengan adanya pemisahan tegas antara perasaan kelompokku (in group) dan perasaan adanya kelompok lain (out group). (Purwasito dalam komunikasi Multikultural, 2003:178). Prasangka sosial yang pada awalnya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negative lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan diskriminatif.

Prasangka menurut Richard W Brislin adalh suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Dan Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut: memandang


(35)

kelompok lain sebagai kelompok yang lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain pada saat tertentu namun menjaga jarak pada saat lain. Yang pada akhirnya menjadi kekeliruan persepsi dan hambatan bagi suatu kegiatan komunikasi karena adanya pertentangan atau sikap curiga.

2.8 Hubungan Stereotype dengan Komunikasi Antarbudaya

Ketika individu berbeda budaya berkomunikasi, salah penafsiran atas pesan yang disampaikan merupakan hal yang lazim. Perbedaan faktor budaya seperti bahasa, system komunikasi non verbal, norma, nilai, kepercayaan yang berakar dalam system budaya secara keseluruhan, yang sering menimbulkan kesalahpahaman antarbudaya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena persepsi yang berbeda dari individu berbeda budaya. Jika komunikasi diantara individu yang berbeda budaya didahului oleh persepsi yang negative, akan menimbulkan stereotype negatif. hal itu akan mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam interaksinya. Efektifitas komunikasi tergantung atas pengertian bersama antarpribadi sebagai orientasi persepsi serta system kepercayaan(Stereotype). (William, 1966 dan Samovar 1976).


(36)

Etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani “etnicos” yang diasumsikan sebagai kelompok yang fanatic terhadap ideologinya. Para ahli ilmu sosial menganalogikan kelompok etnik sebagai kelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat budaya misalnya bahasa, adat istiadat, perilaku budaya, karakteristik budaya serta sejarah budaya. Konsep yang terkait dengan etnik adalah etnosentrisme yang merupakan sikap untuk menilai unsure-unsur kebudayaan lainnya dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri tanpa mau mengerti atau memahami nilai-nilai kebudayaan kelompok lainnya.(Hariyono,1998:56).

2.10 Semiologi

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Akarnya adalah “semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokraktik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostic inferensial(Sinha, 1988:3 dalam Kurniawan,2001:49).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalh perngkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia(sobur, 2004:15).


(37)

Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, maka semiologi menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan tentang tanda. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada Linguistik, kenyataannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non linguistic. Sementara itu, bagi Barthes (1988:179) semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)memakai hal-hal (things). (Kurniawan 2001:53).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca(the reader). Konotasi, walupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai system pertama. System kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologiesnya secara tegas dibedakan dari denotative atau system tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaiman tanda bekerja (Cobley&Janz,1999).


(38)

Gamba r 2.1.4 Peta

Tanda Roland Barthes (Sobur, 2003 : 69) 1. Signifier

(Penanda)

2.Signified

(Petanda)

3. Denotative sign (Tanda Denotativ)

4. CONOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dalam Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebutnya sebagai”mitos”dan berfungsi untuk mengungkapkan dan meberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominasi yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Barthes memfokuskan ulang lensa arsenal teoritisnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi penekanan pembacaan diarahkan pada representasi tubuh, kenikmatan, cinta, nafsu,


(39)

keterasingan, interobjektivitas, budaya perbedaan, memori dan tulisan (Trifonas, 2003 : 12). Lima kode Barthes adalah :

1. Kode Hermeneutic atau kode teka-teki adalah satuan-satuan sengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya serta aneka peristiwa yang dapat diformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2004 : 55).

2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak isi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema sutu teks. Barthes melihat bahwa dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas, karena bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi psikoseksual yang melalui proses ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitiv menjadi kekuatan dan mitologis dapat dikodekan (Sobur, 2004 : 66).


(40)

4. Kode Proaretik atau kode tindakan. Kode ini didasarkan pada konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengimplikasikan suatu logika prilaku manusia : tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki tema generik tersendiri, semacam judul bagi yang bersangkutan.

5. Kode Gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini berwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan ototatif ; bersumber dari pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara tentang esuatu yang hendak dikukuhkan sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima secara umum. Kode ini yang bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas dan ilmiah bagi suatu wacana (Budiman, 2004 : 56).

Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001 : 196) bukan hanya untuk membangun siatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal dan rincian yang paling menarik merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.


(41)

Semiologi sejauh ini tetaplah sebuah metode untuk mendekati kebuadayaan dalam beragam bentuk.

2.11 Kerangka Berpikir

Banyaknya kesalahpahaman komunikasi dari kegagalan persepsi, menimbulkan adanya ketimpangan dalam interaksi sosial. Timbulnya stereotype yang pada umumnya bersifat negatif terhadap etnis Tionghoa, memacu terjadinya tindakan diskriminasi yang hingga kini masih terjadi sadar maupun tidak disadari. Meski telah mengalami banyak perubahan, namun stereotype terhadap suatu kelompok tertentu, khususnya etnis Tionghoa oleh masyarakat pribumi, masih sangat banyak dan kini bersifat cultural (membudaya) dalam kehidupan masyarakat.

Pada dasarnya setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda beda dalam memaknai suatu obyek atau peristiwa. Disinilah media massa sangatlah berperan dalam menyampaikan sebuah pesan atau dalam menciptakan makna terhadap pemikiran seseorang.

Novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng adalah sebuah karya novel yang dapat dijadikan wahana bagi masyarakat untuk bangkit dari kesenjangan sosial yang membuat mereka semakin terpuruk. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda berbentuk tulisan pada novel “Dimsum


(42)

Terakhir” karya Clara Ng. Dalam hubungannya dengan representasi Stereotype Tionghoa dengan menggunakan metode semiologi barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Representasi Stereotype yang terdapat dalam novel kali ini akan direpresentasiakan melaluli tahap pemaknaan. Novel Dimsum Terakhir akan dipilah yang di pengal-penggal penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan kode cultural. Leksia dapat berupa satu kata, sebuah paragraf atau beberapa paragraf.

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interprestasi yang mendalam dan tidak dangkal dan disertai dengan bukti-bukti dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang tertera dalam gambar berikut ini :

Analisis menggunakan Metode Semiologi

Roland Barthes Novel Dim Sum

Terakhir karya Clara

Ng Hasil Interpretasi Data


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan menggunakan metode penelitian semiologi yang bersifat kualitatif, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi keseimbangan hidup dalam novel Dimsum Terakhir.

Definisi penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor(1975:5), sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beurpa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif


(44)

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. (Moleong, 2006:4).

Sedangkan analisis semiologi merupakan analisis mengenai tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya hubungan dengan tanda-tanda lain , pengiriman dan penerimaannya untuk mereka yang menggunakan.

Penelitian Kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, yang bermaksud untuk menafsirkan fenomena yang terjadi. Penelitian yang menggunakan naturalistic untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar tang berkonteks khusus. Dalam penenelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, pemanfaatan dokumen.

3.2 Subyek Penelitian

Subyek dari penelitian yaitu leksia dari teks novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng yang menunjukkan adanya unsur stereotype.

Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng dan diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun


(45)

2006, yang pada teksnya terdapat leksia. Berdasarkan sifat representatifnya tanda pada teks novel tersebut diterjemahkan ke dalam struktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang digunakan mengidentifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke tahap interprestasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu stereotype yang didapat oleh masyarakat Tionghoa(Cina) yang ada di Indonesia yang keberadaan mereka dijadikan sebagai posisi kedua dan terdapat pelabelan negative mengenai Tionghoa yang telah lama berlangsung hingga menimbulkan tindakan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa. Sedangkan tema dari novel ini adalah sebuah perjalanan hidup peranakan Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia dengan diwarnai unsur stereotype Cina.

Peneliti berusaha mengungkapkan bagaimana penggambaran stereotype dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.

3.3Unit analisis

Penelitian ini menggunakan leksia dari Roland Barthes sebagai unit analisis. Leksia merupakan satuan bacaan tertentu dengan panjang pendek bervariasi (Kurniawan, 2001 : 93). Leksia ini dapat berupa satu dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraf dari teks novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng yang menunjukkan adanya unsur


(46)

ketidakadilan sosial dalam bentuk tindakan diskriminasi sesuai dengan subyek penelitian. Dengan adanya analisis naratif yang ditawarkan Barthes, maka peneliti memilih untuk menggunakan analisis tersebut agar lebih mudah untuk menganalisis teks dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.

3.4Corpus Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut sebagai Corpus. Corpus merupakan sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, Corpus haruslah cukup luas untuk memberi tanggapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001 : 70).

Corpus pada penelitian ini adalah leksia-leksia dalam teks novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng. Leksia yang menunjukkan adanya unsure-unsur stereotype Tionghoa pada novel ini, diantaranya:

1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman 45)


(47)

2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halamna 46)

3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)

4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)

5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman 55)

6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia.Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” (halaman 86)

7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh


(48)

papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah Cina”.(halaman 126)

8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)

9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)

10. “ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Data Primer, yaitu teks novel “DIMSUM TERAKHIR”, yang berkaitan dengan semiologi dan penggambaran Stereotype Tionghoa. Data primer ini membantu peneliti dalam menjawab penelitian ini.

2. Data Sekunder, yaitu pernyataan dari penulis novel serta berbagai pengertian mengenai semiotik dan penggambaran stereotype yang di dapat


(49)

dari berbagai sumber. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam memahami latar belakang penulisan novel “DIMSUM TERAKHIR” dalam permasalahannya.

3.6 Teknik Analisis Data

Seluruh temuan data yang terdapat dalam teks novel “Dimsum Terakhir” telah dibagi oleh peneliti dalam beberapa langkah teknis. Langkah ini bertujuan untuk memudahkan penganalisaan secara semiotik dan merupakan pengembangan dari Barthes dalam membaca semiotik teks tertulis.

1. Menggunakan semiologi Bathes, dengan mengumpulkan seluruh unit analisis yang berupa leksia-leksia, yaitu satuan bacaan tertentu berdasarkan pemilihan atas teks novel “Dimsum Terakhir” yang sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.

2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul tersebut dalam aspek semiologi, yaitu aspek material dan aspek konseptual. Leksia- leksia tersebut dalam semiologi Barthes dianggap sebagaai tanda (Sign). Yang dimaksud aspek aspek material adalah teks tertulis dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng, sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika membaca aspek material pada leksia tersebut.


(50)

41 

 

3. Setelah itu peneliti menganalisa secara semiologi teks Roland Barthes dengan menemukan kode-kode pokok (Kode hermuetik, semik, simbolik, proaretik dan kultural) di dalam leksia tersebut. Melalui kode- kode pembacaan ini kita akan menemukan tanda-tanda dan kode-kode yang menghasilkan makna.

4. Langkah-langkah diatas telah memberikan kesimpulan akhir bagaimana representasi stereotype dalam novel “Dimsum Terakhir” (studi semiotik tentang representasi stereotype Tionghoa dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng).


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Obyek Penelitian

Empat perempuan kembar yang mempunyai empat kehidupan berbeda. Empat masa depan yang membingungkan. Empat rahasia masa lalu yang menghantui. Dan satu usia biologis yang terus-menerus berdetik. Siska Yuanita, Indah Pratidina, Rosi Liliani, dan Novera Kresnawati terpaksa harus pulang untuk mendampingi ayah yang diprediksi tidak punya harapan hidup lagi. Mereka tidak pernah menyangka bahwa kesempatan berkumpul kembali ternyata mengubah segalanya. Pertanyaan-pertanyaan penting tentang kehidupan bermunculan, termasuk rasa ketakutan, kecemasan, dan keangkuhan mengakui bahwa kehidupan dan kematian hanyalah sekadar garis tipis.

Clara Ng adalah novelis Indonesia yang membeberkan persoalan seputar kaum Tionghoa dengan gaya yang berbeda, sehingga novel ini menjadi lain dari novel-novel yang erat dengan cerita kaum Tionghoa. Dimsum Terakhir adalah drama penuh haru, memikat, cerdas, dan dituturkan dengan amat indah oleh novelis bestseller Indonesia, Clara Ng. Kisah yang


(52)

ditulis dengan gaya modis dan lembut tapi kuat ini menyuarakan keberanian serta kekuatan yang selalu ada di setiap hati kita semua.

Inti dari novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng ini adalah ketika empat perempuan kembar dengan darah keturunan Cina yang dilahirkan di Inodenesia, dengan segala macam bentuk masalah yang dibawanya termasuk salah satunya ketika seorang keturunan Tionghoa di Indonesia tidak diakui sepenuhnya sebagai bangsanya. Mulai dari berbagai macam hal dan bentuk diskriminasi yang dirasakan oleh Siska,Indah, Novera dan Rosi pada masa-masa orde baru. Hingga mereka beranjak dewasa dan banyaknya kebijakan-kebijakan yang seharusnya dibuat untuk melindungi kaum minoritas Tionghoa, dianggap tidak cukup untuk melindungi mereka. Adanya pelabelan pada diri seseorang atau stereotype masa lalu mengenai orang Tionghoa, menjadikan keturunan Tionghoa di Indonesia sebagai kaum minoritas tidak memiliki hak hak yang sama. Dan banyak dari kejadian masa lalu yang menyisakan bentuk diskriminasi akibat dari stereotype yang umumnya bersifat negatif. Siska, Indah, Rosi dan Novera adalah empat perempuan kembar dari Nung Antasana. Keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia ini, menjalani hidup mereka dengan kuat. Berbagai masalah yang dihadapi mereka jalani dan selesaikan dengan segenap hati mereka. Belum lagi soal


(53)

masalah lainnya. Siska yang dituduh melakukan tidakan pelecehan seksual terhadap kliennya, Indah yang hamil dengan seorang pastor, namun tak bertanggung jawab, Rosi yang merasa dirinya seorang lelaki yang terperangkapa pada tubuh wanita dan mencintai seorang wanita, dan Novera yang rahimnya harus diangkat karena penyakitnya. Mereka hidup dan tumbuh dengan jalan mereka masing-masing, keluarga Nung Antasana sangat menjunjung tinggi budaya mereka dan mengajarkannya pada setiap anaknya. Suatu hari mereka dihadapkan pula pada sebuah masalah yang sama. Ketika semua telah hidup sendiri-sendiri, ayah mereka Nung menderita penyakit Myelodysplastic Syndromes (MDS).

Kembali kerumah masa kecil mereka membuat mereka mengenang masa lalu. Tinggal di perkampungan kelompok etnis Tionghoa, menyisakan begitu banyak kenangan pahit dan indah. Mulai dari kebiasaan keluarga mereka menyajikan dimsum di pagi hari sebelum perayaan Imlek, bersekolah di sekolah Katolik namun sebagai kaum minoritas dari pribumi. Hingga masalah-masalah yang ditimbulksn dari adanya Stereotype, seperti diskriminasi yang hingga saat ini masih mereka rasakan sebagai Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Hingga jaman Orde Baru berakhir, kenyataannya praktek kecil diskriminasi terhadap etnis ini masih terasa. Adanya stereotype yang tercipta di mata pribumi terhadap keturunan Tionghoa, seperti semua keturunan Tionghoa bersifat angkuh, pelit


(54)

memuncullkan pemahaman yang bersifat negative. Sehingga mampu menimbulkan adanya perlakuan yang berbeda. Namun masalah diskriminasi yang timbul dari sebuah bentuk pelabelan atau stereotype itu, hanya sebagian kecil yang dihadapi mereka. Persoalan yang paling besar adalah dimana mereka mencari jalan untuk menyisakan kenangan terindah disaat terakhir kebersamaan mereka bersama ayah mereka. Mulai dari menuruti keinginan ayah mereka, agar keempatnya segera menikah, rosi yang harus jujur bahwa dirinya seorang lesbian karena dia merasa sebagai lelaki dalam tubuh perempuan, Indah dengan janin di rahimnya tanpa seorang ayah dan Novera dalam masalahnya tanpa rahim dia bukan wanita seutuhnya.

Semua masalah pelik itu pun akhirnya berakhir, disaat kebersamaan mereka jalani bersama kejujuran, yang akhirnya pun mengantarkan ayah mereka kembali ke nirwana yang tenang dan bahagia.

4.2 Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Penyajian Data

Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel”Dimsum Terakhir” karya Clara Ng yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada tahun 2006, khususnya pada teksnya terdapat leksia. . Berdasarkan sifat


(55)

stuktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang digunakan mengidentifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel Dimsum Terakhir yaitu adanya stereotype pada masayarakat keturunan Tionghoa di Indonesia. Sedangkan tema dari novel ini adalah Perjuangan empat orang wanita keturunan Tionghoa dalam menghadapi berbagai masalah hidup di jaman modern ini.

Kisah tentang keturunan Tionghoa jaman inilah yang diangkat ke dalam sebuah novel yang ditulis Clara Ng dan diterbitkan dengan judul Dimsum Terakhir pada Tahun 2006. Novel Dimsum Terakhir ini mengangkat cerita keturunan Tionghoa dengan gaya berbeda dan lebih modern. Novel ini diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, dan menjadi salah satu novel Clara Ng yang menjadi favorit di kalangan pembaca Indonesia.

Corpus pada penelitian ini adalah teks novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng berupa leksia-leksia yang mengandung unsur stereotype pada etnis Tionghoa. Dalam teks novel Dimsum Terakhir karya Oka Rusmini, terdapat 9 leksia yang menunjukkan adanya bentuk stereotype Tionghoa :

1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis


(56)

pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman 45)

2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halaman 46)

3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)

4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)

5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman 55)

6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia.Hanya orang-orang Cina di


(57)

7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah Cina”.(halaman 126)

8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)

9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)

10.“ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)

11.“Siska yakin, orang-orang miskin memang banyak yang menderita di Negara ini…sama menderitanya seperti dia, orang-orang Cina keturunan.”(halaman 232)

4.2.2 Hasil Analisis Data


(58)

Leksia 1 1. “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman 45)

Leksia 2 2. “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halamna 46)

Leksia 3 3. “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)

Leksia 4 4. “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)

Leksia 5 5. “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman 55)


(59)

Leksia 6 6. “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia.Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” (halaman 86)

Leksia 7 7. “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah Cina”.(halaman 126)

Leksia 8 8. “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)

Leksia 9 9. “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)

Leksia 10 10. “ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)


(60)

Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan penggolongan leksia kedalam kode pembacaan menurut Roland Barthes beserta kalimat mana dalam leksia tersebut yang menunjukkan salah satu kode pembacaan, yaitu :

Kode Pembacaan

Leksia Kalimat yang menunjukkan kode

pembacaan pada leksia

Hermeneutic Leksia 4 “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)

Leksia 5 “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman 55)


(61)

Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)

Semik Leksia 3 “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)

Leksia 1 “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman 45)

Leksia 2 “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halamna 46)

Simbolik Leksia 8 “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli.


(62)

Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)

Leksia 6 “Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia.Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” (halaman 86)

Proaretik Leksia 7 “Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda, apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah Cina”.(halaman 126)

Leksia 9 “ Amoy! Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAWWW!” (halaman 235)


(63)

Gnomic Leksia 10 “ Orang Cina menyukai gunung karena gunung dianggap tempat yang kokoh untuk bersandar” (halaman 341)

Leksia 4 “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”(halaman 55)

1. Kode Hermeneutik

Leksia 4 ( halaman 55)

“Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah,kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”


(64)

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Hermeneutik (Kode teka-teki), sebuah narasi yang dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan misteri dan misteri sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. Dari leksia ini menggambarkan sebuah permasalahan yang meruncing, dan terbentuk dari pelabelan diri dari seorang individu terhadap sebuah kelompok. Didalam novel ini salah satu tokoh mendapatkan sebuah

pelecehan etnis. Dimana seharusnya sebagai sesama masyarakat harus saling

menghargai dan menghormati.

Dari leksia diatas kita dapat menyimpulkan dengan adanya stereotype yang muncul di masa lalu hingga kini mengenai bangsa Cina yang memiliki sifat yang sok dan angkuh, menyebabkan timbulnya pandangan asumsi negative. Sehingga mampu menimbulkan tindakan-tindakan seperti pelecehan yang diakibatkan hanya dari sebuah asumsi yang terbentuk dari permasalahan masa lalu yang secara tidak sadar membudaya. Seharusnya sebagai bangsa yang beradab dan bermoral, perbedaan budaya seharusnya dijadikan sebagai kekayaan Negara. Dan sesama warga Negara harus saling menghormati dan menghargai.


(65)

PENANDA : “Dasar Cina sialan. Sudah belagu, sok kaya, sok borjuis pula. Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan, Bayangkan, padahal aku sudah mau mengalah, kasih duit. Yang menabrak siapa? Yang penyok mobil siapa? Semuanya kan aku yang tanggung.”

PETANDA : menjelaskan pada kata Cina sialan, belagu, sok kaya, sok borjuis. Yang mana Cina atau semua masyarakat Cina dianggap sama yaitu sombong, dan menyusahkan.

TANDA DENOTATIF : terlihat adanya pelabelan atau stereotype pada kelompok Tionghoa.

PENANDA KONOTATIF : Itu benar-benar pelecehan kelas berat Ndah!Masa aku dibilang Cina sialan,

PETANDA KONOTATIF : Pada petanda konotatif ini menjelaskan adanya makna pada kata pelecehan kelas berat. Dimaksud bahwa terjadi tindakan penghinaan yang sangat tidak manusiawi. Dan penghinaan ditujukan pada suatu kelompok bukan individu. TANDA KONOTATIF : Dari leksia ini dapat disimpulkan bahwa stereotype yang dibangun pada pemikiran masyarakat pribumi di Indonesia, mampu mengganggu efektifitas komunikasi. Dengan adanya kepercayaan pada pola pikir membudaya dan salah akan menimbulkan masalah diantara kelompok tersebut.


(66)

Leksia 5 (halaman 55)

“Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih duit selalu sedikit.”(halaman 55)

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Hermeneutik (kode teka-teki), sebuah narasi yang mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan memberikan pemecahan atau jawaban, dalam leksia ini terdapat masalah yang meruncing pada leksia Cina pelit, yang merujuk bahwa semua keturunan Tionghoa memiliki sifat kikir, dengan leksia yang menujukkan adanya stereotype.

Ketidakadilan yang timbul pada leksia ini merupakan isyarat makna. Dimana tokoh dalam novel ini upayanya untuk memberikan uang, justru dilecehkan dengan perkataan yang negative mengenai etnis Cina. Karena adanya stereotype yang ditanamkan mengenai pandangan-pandangan buruk etnis Cina, menyebabkan timbulnya ketidakadilan sosial dalam bermasyarakat. Terutama pada kelompok minoritas. Dan seharusnya tidak terjadi ketidakadilan pada kelompok minoritas di Indonesia. Sesama bangsa yang berbudaya seharusnya saling menghormati meski etnis berbeda.

PENANDA : “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku. Dasar Cina pelit, kasih

PETANDA : Menjelaskan kata pada Cina pelit, kasih duit selalu sedikit. Bahwa masyarakat Cina pada


(67)

duit selalu sedikit.” umumnya dianggap sebagai individu yang sedikit memberikan uang untuk orang lain.

TANDA DENOTATIF : Pada leksia ini menjelaskan bahwa semua masyarakat Tionghoa adalah orang-orang yang jarang bersedekah. Selalu sedikit jika memberikan uangnya kepada orang lain.

PENANDA KONOTATIF : “Waktu aku mau kasih duit, ada lagi yang kasih komentar di belakangku.

PETANDA KONOTATIF : mengandung makna bahwa ucapan itu adalah ucapan seseorang yang berasumsi negative terhadap masyarakat Cina.

TANDA KONOTATIF : Bahwa etikat baik dari seorang keturunan Tionghoa dianggap salah sekalipun mereka sudah berusaha untuk berbuat baik. Adanya pandangan dan pemikiran negative mengenai Tionghoa akan berdampak seolah-olah kenyataannya sesuai dengan apa yang ada dalam pemikirinnya.

2. Kode Semik

Leksia 1 (halaman 45)

“Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”(halaman 45)

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Semik atau kode konotatif karena kilasan makna dalam narasi ini. Dalam leksia “tertekan di Negara ini”, maksudnya adalah bahwa terjadi masalah-masalah yang


(68)

menyebabkan suatu tindakan yang berakibat ketidaknyamanan secara psikis (mental), sehingga merasa tertekan di negaranya sendiri, yang seharusnya memberikan kenyamanan untuk setiap warganya.

PENANDA : “Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat dari itu?Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini.”

PETANDA : Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka. Mengartikan banyaknya masalah yang etrajadi pada masyarakat Tionghoa di Indonesia, sehingga seolah-olah mereka berada di neraka.

TANDA DENOTATIF : Pada leksia ini menunjukkan adanya tindakan tindakan yang menjadi sebuah tekanan hidup pada kelompok Tionghoa

PENANDA KONOTATIF : “ orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka”

PETANDA KONOTATIF : tiket gratis ke neraka yang dimaksud adalah tinggal di Indonesia, seolah olah dimknai sama dengan neraka.

TANDA KONOTATIF : Pada leksia ini kilasan makna adanya stereotype yang melekat pada keturunan Tionghoa Indonesia, sehingga banyak terjadi tindakan yang berakibat penyiksaan baik secara lahir maupun batin disadari maupun tidak.

Leksia 2 (halaman 46)

“Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”(halaman 46)


(69)

Leksia di atas digolongkan dalam kode semik atau kode konotatif karena kilasan makna dalam narasi ini. Dalam leksia ini mengandung makna menerima barang bekas adalah orang susah. Sedangkan orang susah adalah orang-orang yang dianggap tidak mampu untuk menhidupi dirinya secara materi.

Dalam hal ini, penulis ingin menunjukkan bahwa keluarga Tionghoa ini, bukan orang susah maupun yang sangat kaya. Akan tetapi, dengan menerima barang dari orang lain, menunjukkan adanya sikap rendah hati dan tidak sombong, seperti stereotype Cina yang selalu dianggap sombong.

PENANDA : “Uuh, Mama juga sih! Kenapa mau nerima barang bekas segala. Kayak orang susah aja.”

PETANDA : Arti kata orang susah disini adalah orang miskin atau orang yang serba kekurangan baik dalam sandang maupun pangan.

TANDA DENOTATIF : Pada leksia ini menunjukkan adanya makna tersirat, bahwa masyarakat Tionghoa pada umumnya adalah masyarakat yang mampu dan berkecukupan.

PENANDA KONOTATIF : “Kenapa mau nerima barang bekas segala”

PETANDA KONOTATIF: bahwa adanya pemikiran mengenai etnis Cina sombong dan sok kaya tidak selalu benar. Mereka masih mau menerima pemberian orang meskipun bekas karena mereka menghargai pemberian


(70)

orang.

TANDA KONOTATIF : Pada leksia ini timbul stereotype yang salah, tidak semua orang Cina maupun keturunannya sombong ataupun sok kaya. Pada dasarnya masyarakat Tionghoa pun sama dengan etnis lainnya.

Leksia 3 (halaman 54)

“ Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”(halaman 54)

Leksia di atas digolongkan dalam kode semik atau kode konotatif karena kilasan makna dalam narasi ini. Dalam kata”santapan empuk”, adalah kata yang mengartikan sebuah makanan yang dirasa enak.

Dari leksia diatas dapat disimpulkan bahwa leksia ini mengandung makna yaitu orang Cina sangat mudah mengalami tindak diskriminasi sehingga sering dimanfaatkan oleh masyarakat tak bertanggung jawab. Dengan mudahnya mereka memanfaatkan kelompok minoritas seperti yang dialami salah satu tokh dalam novel ini, untuk mendapatkan uang dengan mencari-cari kesalahan.

PENANDA : “Mungkin karena aku kelihatan Cina banget, jadi santapan

PETANDA : menjelaskan pada makna santapan yang berkaitan dengan sebuah makanan.


(71)

empuk bagi mereka semua!Akhirnya dia mau juga mengalah. Tapi you know-lah, UUD gitu,,,ujung-ujungnya duit.”

TANDA DENOTATIF : pada leksia ini menunjukkan adanya tindakan diskriminasi yang timbul karena adanya stereotype yang melekat pada masyarakat mengenai etnis Cina bahwa Cina itu kaya.

PENANDA KONOTATIF : jadi santapan empuk bagi mereka semua

PETANDA KONOTATIF: bahwa adanya latar belakang yang didahuli stereotype Tionghoa, menjadikannya sebagai sasaran tindakan semena-mena.

TANDA KONOTATIF : Adanya makna santapan empuk, dalam hal ini dijelaskan bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia, sangat mudah untuk dijadikan sasaran atau target permasalahan yang berujung uang.

3. Kode Simbolik

Leksia 8 (halaman 134)

“Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”(halaman 134)


(72)

Leksia di atas digolongkan dalam kode simbolik yaitu kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dari sarana tekstual.(Budiman, 2003:56)

Leksia diatas dapat diartikan bahwa tokoh dalam novel ini yaitu kaum Tionghoa, lebih mengerti peranannaya sebagai warga Negara Indonesia dibandingkan warga Negara Indonesia asli (pribumi). Pada pernyataan “Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri” yang dimaksud mereka adalah kaum Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia. Disini dapat dilihat adanya perlakuan pembedaan yang terjadi, sehingga kaum Tionghoa di Indonesia, meski yang lahir di Indonesia statusnya sebagai warga Negara Indonesia kurang diakui secara tidak langsung. Adanya unsur Nasionalisme pada pernyataan tersebut dapat dilihat pada “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada Indonesia asli”.

PENANDA : “Banyak akhirnya yang menjadi lebih Indonesia daripada orang Indonesia asli. Tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri”

PETANDA : Indonesia asli dalam leksia ini adalah warga negara Indonesia yang lahir di Indonesia dan bukan keturunan dari Negara lain.


(73)

TANDA DENOTATIF : pada leksia ini menjelaskan bahwa justru yang lebih mengerti perannya sebagai warga Negara Indonesia adalah kaum Tionghoa yang ada di Indonesia.

PENANDA KONOTATIF : “tapi mereka tidak dianggap sebagai tuan rumah di Negara kelahiran mereka sendiri.”

PETANDA KONOTATIF: bahwa mereka yang dimkaksud adalah keturunan Tionghoa yang dilahirkan di Indonesia dan berwarga Negara syah Indonesia.

TANDA KONOTATIF : Dari leksia diatas dapat disimpulkan bahwa adanya perlakuan berbeda yang dirasakan kaum minoritas Tionghoa di Indonesia, secara langsung maupun tidak. Belum adanya kesetaraan secara merata pada bangsa Indonesia.

Leksia 6 (halaman 86 )

“ Tampang Cina tapi tidak mampu berbahasa Cina, sudah pasti orang Indonesia. Itu sindiran baku yang tersebar dari mulut ke mulut di antara orang-orang Asia. Hanya orang-orang Cina di Indonesia yang gagap berbahasa Cina.” (halaman 86)

Leksia di atas digolongkan dalam kode simbolik yaitu kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dari sarana tekstual.(Budiman, 2003:56)


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa makna dari penggambaran stereotype Tionghoa yang diceritakan dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng. Berdasarkan hasil dari analisis dan interprestasi terhadap penggambaran stereotype dalam novel tersebut, peneliti menarik kesimpulan bahwa novel ini menggambarkan stereotype Tionghoa dalam beberapa hal seperti lingkup keluarga dan masyarakat strata sosial yang dideskripsikan melalui kata-kata. Beberapa stereotype yang melekat pada kaum Tionghoa diantaranya Kaum Tionghoa memiliki sifat angkuh, kikir atau pelit, economic animal, tidak suka bersosialisasi dan berkelompok dengan sesame kaum Tionghoa.

Penggambaran stereotype Tionghoa hadir dalam alur cerita yang dialami oleh para tokoh dalam novel Dimsum Terakhir . Novel yang menampilkan kisah tentang kehidupan yang dialami oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dengan berbagai macam bentuk permasalahan dan penderitaan untuk memperoleh kesetaraan hak dan kehidupan yang lebih layak terutama sebagai warga Negara yang sama. Dari kisah novel ini peneliti menemukan berbagai macam pelabelan atau stereotype yang ditujukan pada kaum Tionghoa. Ketidakberdayaan masyarakat keturunan Tionghoa dan stereotype yang melekat menjadi

76 


(2)

sasaran tindakan penyimpangan kesetaraan hak sebagai warga negara yang dilakukan oleh masyarakat pribumi pada keturunan Tionghoa di Indonesia. Adanya kepercayaan atau pelabelan dalam novel ini, bahwa semua masyarakat Tionghoa memiliki sifat angkuh, sombing, kikir dan tidak suka bersosialisasi serta sebagai sebuah kelompok yang sering memonopoli perdagangan, dapat memicu terjadinya tindakan diskriminasi Tionghoa yang digambarkan sebagai tindakan berupa pembedaan antar kelompok maupun secara individu. Stereotype atau pelabelan yang menempel pada bangsa Cina hingga pada keturunannya terjadi akibat pola pikir yang salah dan secara tidak langsung menurun hingga sekarang . Kurangnya rasa Bhineka Tunggal Ika dan kesetaraan hak sesama warga negara pada masyarakat dapat menyebabkan penindasan hak asasi manusia terutama pada kelompok tertentu (minoritas),.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa stereotype yang melekat pada etnis Tionghoa,mampu menimbulkan tindakan diskriminasi pada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu dalam kajian ilmu komunikasi, penelitian ini mengacu pada kajian komunikasi budaya. Dapat dilihat bahwa stereotype merupakan suatu pola pikir yang timbul dari bentuk budaya. Pemahaman yang ditanamkan dan mengakar secara turun temurun, dengan pemahaman negative, akan mampu menimbulkan dampak negative yang berkelangsungan. Proses komunikasi yang didahului stereotype pada diri seseorang tidak akan menghasilkan komunikasi yang efektif karena adanya kesalahapahaman yang timbul


(3)

akibat pemikiran negative yang didahulukan. Yang mendominasi corpus penelitian ini. Dari 9 leksia yang dijadikan corpus, terdapat Leksia dalam kode hermeneutik yang mengandung ketegangan penggambaran stereotype Tionghoa berupa adanya penindasan peran keturunan Tionghoa, leksia kode semik mengandung penggambaran stereotype Tionghoa berupa stereotype (pelabelan) pada masyarakat Tionghoa, Kode simbolik penggambaran stereotype Tionghoa akibat perannya sebagai warga Negara Indonesia, dalam kode proaretik terdapat pada leksia yang menggambarkan dampak-dampak sebuah stereotype akibat sebagai individu keturunan Tionghoa, dan juga pada leksia kode gnomik dapat dikodifikasi oleh budaya yaitu dalam penggambaran stereotype Tionghoa dalam ilmu,pengetahuan sejarah dan lainnya dari pengkodean diatas, novel ini sarat dengan tindkan diskriminasi terhadap kaum Tionghoa yang timbul akibat stereotype yang terjadi dalam masyarakat Indonesia terhadapa kaum Tionghoa.

Novel Dimsum Terakhir telah mampu menyajikan penggambaran stereotype Tionghoa pada kisah keturuan Tionghoa di Indonesia dengan cara mengangkat sisi-sisi yang lebih lugas tanpa prasangka ke dalam dunia yang modern.


(4)

79

5.2 Saran

 Diharapkan kepada pengarang novel, khususnya di Indonesia untuk menghasilkan karya sastra yang mengangkat berbagai genre yang edukatif dan beragam.

 Diharapkan kepada para kritikus novel agar menyampaikan makna yang tersirat secara jelas dan mudah dimengerti, sehingga para pembaca juga dapat dengan mudah memaknai tema-tema yang tersirat dalam novel.

 Diharapkan kepada pembaca, agar membaca novel tidak hanya untuk kesenangan atau pengisi waktu luang. Akan tetapi, pahamilah cerita dan pesan moral dari sebuah novel, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat agar menjadi lebih baik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland, 2007. Membedah mitos-mitos Budaya Massa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Barthes, Roland, 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Budiman, Kris, 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Fiske, John, 2004. Cultural and Communications studies. Yogyakarta: Jalansutra. Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthes. Jakarta : Yayasan Indonesia Liliweri, Alo, 2005. Prasangka dan Konflik.Yogyakarta: LKiS.Pelangi Aksara Liliweri, Alo, 2003.Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Mulyana, Deddy, 2004. Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Rosdakarya. Maleong, Leksi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Noorjanah, Andjarwati, 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya. PT. Gramedia Purwasito, Andrik, 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta : Muhammadiyah

University Press

Rakhmat, Jalaludin, 2002. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Susan, Novri, 2005. Sosisologi Konflik dan isu-isu Konflik Kontenporer. Jakarta :

Kencana

Sobur, Alex, 2004. Analisis Teks Media. Bandung : Remaja Rosdakarya.


(6)

Non Buku:

http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel ps2.html http://www.sosbud.kompasiana.com

http://www.suaramerdeka.com/news-nasional.htm http://www.artikata.com

http://www.sosbud.com/diskriminasi-etnis-tionghoa.html http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm

http://www.bappenas.go.id http://www.hukumonline.com http://www.stop-discrimination.info