Keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia

Meskipun telah banyak jasa yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, tetapi dalam keseharian bermasyarakat di Indonesia ternyata masih banyak ditemukan adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa ini.

3. Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia

Adanya perbedaan perlakuan terhadap etnis Tionghoa ini didasari oleh adanya aturan mengenai diskriminasi yang dikeluarkan pemerintah. Afianti 2010:32, mahasiswa Institut Pertanian Bogor, menyebutkan bahwa ada beberapa aturan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127UKEP121996 tentang masalah ganti nama. Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37UIV61967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin. Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06PresKab61967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Tionghoa diganti dengan nama Indonesia. Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37UIN61967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Tionghoa di sekolah- sekolah nasional sebanyak 40 dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Tionghoa. Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-3601968 tentang penataan kelenteng-kelenteng di Indonesia. Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02SEDitjenPP6K1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan iklan beraksen dan berbahasa Cina. Kebijakan-kebijakan yang dibuat semasa Orde Baru tersebut sebenarnya bertujuan untuk pembauran total. Etnis Tionghoa diharapkan dilebur ke dalam budaya pribumi sehingga tercapai asimilasi seperti yang diharapkan. Namun pengistilahan “Cina” sendiri terhadap etnis ini membuat proses asimilasi tersebut sulit dicapai apalagi didukung dengan stereotip tentang etnis Tionghoa tersebut. Sudarjanto 2013 menyebutkan, menjelang kerusuhan Mei 1998 berbagai kerusuhan sosial yang terjadi sejak 1996 telah memicu terganggunya distribusi berbagai barang khususnya barang kebutuhan pokok. Akibat kerusuhan sosial yang kerap menjadikan etnis Tionghoa sebagai korbannya, akhirnya membuat pasokan bahan makanan terganggu. Hal ini disebabkan karena jaringan retailer umumnya di pegang oleh etnis ini. Ia juga menyatakan, ketika krisis ekonomi mulai terjadi pada tahun 1997, naiknya harga-harga dan pengangguran akhirnya mendorong frustasi masyarakat untuk melakukan penjarahan pada pusat-pusat penyalur bahan-bahan makanan. Sebagian besar penyalur adalah etnis Tionghoa. Akibatnya situasi menjadi berkembang dengan munculnya semacam tuduhan bahwa pedagang etnis Tionghoa sengaja menimbun barang dan berusaha mendapat untung besar. Kondisi ini membuat kebencian terhadap etnis Tionghoa seperti mendapatkan kembali momentumnya. Sejumlah kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat seperti di Situbondo, Kebumen, Rengasdengklok, telah memunculkan beberapa aksi bersifat rasialis. Lebih lanjut dinyatakan ternyata banyak makian dan selebaran gelap bernada menghasut untuk melakukan penjarahan toko dan rumah milik warga etnis Tionghoa mulai bermunculan. Dalam situasi kerusuhan yang terjadi, banyak masyarakat yang berusaha menghindari toko, rumah atau bangunannya, menjadi sasaran amuk massa, kemudian justru melakukan tindakan rasialis dengan membuat berbagai tulisan seperti “rumah milik pribumi”, “rumah milik Jawa asli”, “pribumi muslim” dan sebagainya. Dengan demikian maka secara bertahap krisis ekonomi yang semakin meningkat, meningkatkan pula kebencian terhadap etnis Tionghoa. Tak hanya itu saja, Sudarjanto 2013 menjelaskan juga kondisi situasi anti-Cina terus berkembang. Sejumlah pihak kelihatannya ikut bermain dalam mengobarkan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Di Bogor misalnya, dengan dipimpin seorang yang mengaku sebagai dukun santet, masyarakat setempat membentuk Barisan Anti-Cina. Kelompok ini kemudian melakukan aksi pembongkaran kuburan bong Tionghoa untuk menghina keluarganya serta mengambil harta yang berada di dalamnya. Selanjutnya kelompok ini juga dengan aktif mengajak masyarakat untuk merampas rumah-rumah milik etnis Tionghoa. Ia melihat adanya Gerakan Anti-Cina yang mulai terlihat dari kota Bandung yaitu sejak September 1997. Sepasang muda-mudi Tionghoa yang sedang berpacaran dicegat sejumlah pemuda. Sang pemuda dirampok dan dianiaya, sang perempuan diseret masuk ke dalam mobil dan diperkosa secara bergiliran. Isu-isu penyerangan terhadap etnis Tionghoa juga muncul bersamaan dengan isu penggusuran terhadap tukang becak dan pedagang kaki lima di Bandung. Berbagai selebaran yang menghargai kepala orang Tionghoa serta ajakan melakukan penjarahan, perusuhan dan kekerasan terhadap orang Tionghoa juga bermunculan pada beberapa wilayah sekitar kota Bandung.

D. Diskriminasi Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia