Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir”(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

(1)

REPRESENTASI ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL

“DIMSUM TERAKHIR”

(Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam

Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan menyelesaikan Pendidikan

Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh :

YOHANNA

040904055

ILMU KOMUNIKASI

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Yohanna

NIM : 040904055 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana Tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel “Dimsum Terakhir” oleh Clara Ng)

Medan, Mei 2008

Dosen Pembimbing Kepala Departemen

Haris Wijaya, S. Sos

NIP. 132 307 626 NIP. 131 654 104 Drs. Amir Purba, MA

Dekan FISIP USU

NIP. 131 757 010

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Yohanna NIM : 040904055 Pada hari : Kamis Tanggal : 8 Mei 2008 Pukul : 12.00 s/d selesai

Tim Penguji

Ketua Penguji : Drs. Amir Purba, M.A. ( ) NIP.131 654 104 Penguji I : Drs. Hendra Harahap, M.Si. ( ) NIP. 132 102 415 Penguji II : Haris Wijaya, S. Sos. ( ) NIP.132 307 626


(4)

Abstraksi

Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel

Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.

Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel

Dimsum Terakhir yang terdiri dari 16 bab cerita. Hasil penelitian ini menemukan bahwa isi teks novel Dimsum Terakhir ingin mencerminkan bahasa yang digunakan bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga dapat menciptakan realitas, tetap adanya unsur stereotipe yang negatif terhadap etnis Tionghoa, kekuasaan yang sudah mulai seimbang di antara masyarakat pribumi, serta adanya ideologi pengarang yang ingin memberikan sudut pandang baru, pencerahan dan cara berpikir yang kreatif buat pembaca.


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan berkat dan anugerah-Nya yang berkelimpahan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Departemen Ilmu Komunikasi.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini mengingat terbatasnya waktu, pengetahuan dan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas peneliti menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang nantinya berguna di hari yang akan datang.

Dalam penyelesaian skripsi ini peneliti banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pertama sekali peneliti mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orangtua, Nyo Gek Han & Gho Siok Lie yang sudah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menjadi seorang sarjana. Orang yang selalu ada di rumah untuk membimbing dan memberikan semangat, cinta dan kasih sayangnya. Terima kasih telah selalu mendoakan peneliti dalam setiap kesempatan dan yang selalu berharap bahwa peneliti nantinya akan menjadi manusia yang berguna di masa yang akan datang. Kepada kakak peneliti Swanni, S.E. yang tidak bosan-bosannya mengingatkan peneliti akan kewajiban yang harus diselesaikan. Kepada abang peneliti Johanness, S.E. sudah banyak memberikan pencerahan dan semangat kepada peneliti agar selalu


(6)

berjuang. Terima kasih atas dukungan yang tidak kunjung habis dan canda tawanya dari kedua adik peneliti, Dewi Maya dan Yolanda.

Tidak lupa pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Haris Wijaya, S. Sos. selaku dosen pembimbing peneliti yang telah banyak membantu memotivasi dan membimbing peneliti selama penulisan skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, nasehat dan pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti.

4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, M.A. selaku dosen wali yang telah banyak membimbing peneliti selama perkuliahan.

5. Bapak Drs. Safrin, M.Si. selaku dosen yang telah banyak membagikan pengalaman, pengetahuan yang bermanfaat bagi peneliti.

6. Bapak/Ibu dosen Ilmu Komunikasi pada khususnya dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada umumnya yang telah memberikan bekal pengetahuan selama masa perkuliahan.

7. Kak Icut, Kak Ros, Maya, Rotua dan seluruh staf yang ada di Departemen Ilmu Komunikasi yang membantu peneliti dalam hal administrasi selama ini.


(7)

8. Teman-teman dekat peneliti. Terutama kepada Noe yang sudah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi. Kepada Jessie, Endang, Nova, Selly dan Maya yang sudah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertemanan kita selama hampir 4 tahun ini. Terima kasih karena selalu ada buat peneliti, selalu memberikan canda tawa yang khas dan yang memberikan semangat ketika peneliti merasa duka. Semoga pertemanan kita selalu ada meskipun jarak akan memisahkan kita nantinya.

9. Senior-senior Komunikasi ‘02 dan ‘03 yang banyak memberikan nasehat, ilmu-ilmunya selama perkuliahan dan skripsi terutama yang masih mau memberikan saran-sarannya meskipun telah bekerja.

10.Teman-teman Kom ’04 yang sudah menjadi teman yang menyenangkan sehingga saling mendukung dalam mengerjakan skripsi dan mau memberikan informasi-informasi penting kepada peneliti.

11.Clara Ng yang sudah mau memberikan masukan-masukan penting kepada peneliti. Terima kasih karena sudah mengizinkan buku karangannya untuk diteliti sebagai bahan skripsi. Terima kasih sudah mau selalu meluangkan waktunya untuk membalas e-mail peneliti.

12.Semua pihak yang turut membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(8)

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan dapat memperluas pemikiran di masa yang akan datang. Terima kasih.

Medan, 8 Mei 2008 Peneliti


(9)

Daftar Isi

Abstraksi…... i

Kata Pengantar ……… ii

Daftar Isi ……….. vi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

I.1 Latar Belakang ……….. 1

I.2 Perumusan Masalah ……….. 5

I.3 Pembatasan Masalah ………. 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 6

I.4.1 Tujuan Penelitian ……… 6

I.4.2 Manfaat Penelitian ………. 6

I.5 Kerangka Teori ………. 6

I.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra ……… 7

I.5.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 9

I.5.3 Analisis Wacana Kritis……… ……… 10

I.5.4 Representasi ……… 12

I.5.5 Ideologi ……….. 14

I.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ……… 16

I.6 Kerangka Konsep ……… 17

I.7 Operasionalisasi Konsep ……… 18

I.8 Metodologi Penelitian……… 21

I.8.1 Tipe Penelitian ……….. 21

I.8.2 Subjek Penelitian ………. 22

I.8.3 Unit dan Level Analisis ………... 22

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data ……….. 23

I.8.5 Teknik Analisis Data ………... 23

BAB II URAIAN TEORITIS ………. 25

II.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra……… 25

II.2 Teori Komunikasi Antar Budaya ……… 35

II.3 Analisis Wacana Kritis ……… 40

II.4 Representasi ……… 46


(10)

II.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk ………. 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 65

III.1. Deskripsi Objek Penelitian ……… 65

III.2. Tipe Penelitian ……….. 73

III.3. Subjek Penelitian ……… 74

III.4. Unit dan Level Analisis ……....……… 74

III.5. Teknik Pengumpulan Data ……… 74

III.6. Teknik Analisis Data ………. 75

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …...……….. 76

IV.1. Analisis Wacana Novel Dimsum Terakhir……….. 77

IV.2. Diskusi dan Pembahasan ………. 186

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 193

V.1 Kesimpulan ……… 193

V.2 Saran ……….. 196

V.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis ……… 196

V.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis ………. 196


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 82

Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 91

Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 100

Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 112

Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 120

Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir” ... 127

Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 139

Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 148

Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 158

Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 165

Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 170

Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Dimsum Terakhir”... 180

Tabel IV.2.1 Rangkuman Perbandingan Representasi Etnis Tionghoa pada Masa Orde Baru dengan Masa Sekarang ...192


(12)

Abstraksi

Penelitian ini berjudul “Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel

Dimsum Terakhir” (Studi Analisis Wacana tentang Representasi Etnis Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir oleh Clara Ng). Isu-isu diskriminasi antara pribumi-nonpribumi menjadi suatu hal yang sangat sering dibicarakan dalam masyarakat Indonesia. Representasi etnis dalam media massa bisa saja menggambarkan suatu tujuan yang sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, tetapi tidak halnya jika representasi itu ditampilkan dalam sebuah karya fiksi yang begitu dekat dengan ideologi si pengarang. Bagaimana ideologi si pengarang bermain dalam teks, hal inilah yang menjadi titik fokus penelitian ini. Namun, secara umum penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana representasi etnis Tionghoa yang ditampilkan dalam sebuah novel yang berjudul Dimsum Terakhir. Masalah ini semakin menarik diteliti ketika mengingat bahwa Clara Ng sebagai pengarang novel ini merupakan warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra telah banyak melaporkan dan menggali fakta-fakta yang tersembunyi dari suatu peristiwa. Pemakaian gaya penulisan fiksi digunakan untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi lebih memikat, namun sebuah jurnalisme sastra tetaplah harus sebuah fakta, sama seperti berita walaupun memang kadang-kadang ditulis secara subyektif. Novel ini mengambil latar belakang masa pemeritahan Orde Baru dan masa sekarang. Kisah yang tertulis dalam novel ini menjadi suatu catatan bagaimana orang Cina memandang segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis dengan model pendekatan Teun A. van Dijk yang meneliti pada level teks. Dimensi teks akan dianalisis dengan elemen wacana seperti tematik, skematik, latar, detil, maksud, koherensi, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, pranggapan, grafis dan metafora. Dari analisis van Dijk tersebut akan dirangkum kembali dalam tabel representasi sehingga dapat disimpulkan ideologi apa yang ingin disampaikan oleh pengarang novel Dimsum Terakhir.

Populasi yang digunakan adalah keseluruhan isi cerita dalam novel

Dimsum Terakhir yang terdiri dari 16 bab cerita. Hasil penelitian ini menemukan bahwa isi teks novel Dimsum Terakhir ingin mencerminkan bahasa yang digunakan bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga dapat menciptakan realitas, tetap adanya unsur stereotipe yang negatif terhadap etnis Tionghoa, kekuasaan yang sudah mulai seimbang di antara masyarakat pribumi, serta adanya ideologi pengarang yang ingin memberikan sudut pandang baru, pencerahan dan cara berpikir yang kreatif buat pembaca.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa yang masing-masing memiliki identitas kebudayaan sendiri. Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar semenjak berpuluh-puluh tahun yang silam. Banyaknya suku bangsa di Indonesia saat ini telah bertambah satu, yaitu dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indonesia.

Perkembangan yang sangat baik adalah dengan adanya pengakuan dan pembauran etnis Tionghoa yang kini lebih terasa nyata. Pengakuan etnis ini secara resmi diberlakukan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur. Hal ini memberi angin segar bagi seluruh warga Tionghoa di Indonesia, terutama kebebasan mereka dalam merayakan tahun baru Imlek dengan lebih leluasa. Tahun baru Imlek pun sudah menjadi libur nasional pada saat itu. Dengan adanya pengakuan inilah etnis Tionghoa semakin memiliki keberanian untuk bergerak maju dan membaur bersama etnis lainnya di Indonesia.

Bukti bahwa mulai membaurnya etnis ini dengan masyarakat Indonesia lainnya dapat kita lihat dari beberapa acara di televisi, seperti ajang Indonesian Idol, beberapa peserta seperti Delon dan Helena terlihat jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa waktu lalu, salah satu stasiun televisi swasta di


(14)

Indonesia baru saja menggelar ajang penyanyi bahasa Mandarin yang kontestannya sebagian besar berasal dari etnis Tionghoa. Dari sinilah terpancar bahwa adanya kerjasama yang dijalin antar etnis. Dan faktor ini akan semakin memperkuat keberadaan etnis Tionghoa di negara Indonesia.

Sebelum masa reformasi representasi terhadap etnis ini seringkali tidak seimbang, mereka banyak direpresentasikan sebagai orang sukses, pelit, eksklusif dan kaya. Hal ini menunjukkan seakan-akan ada suatu perbedaan yang sangat besar dengan etnis lain di Indonesia.

Representasi etnis Tionghoa yang berbicara mengenai cerita-cerita tradisional, sebagian besar dapat dilihat dalam sinema Indonesia, seperti film Sam Pek Eng Tay (1931), Gadis Jang Terdjoeal (1937), Oh Iboe

(1938), Penjelundup (1952), dan Di Balik Awan (1963). Setelah tahun 1966, representasi etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil. Representasi etnis, apalagi etnis Tionghoa merupakan hal yang sangat sensitif di Indonesia. Film pertama pada masa Orde Baru yang dengan terbuka mengungkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan

(1971), kemudian diikuti oleh film Ca Bau Kan yaitu film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998 dan film Gie (2005). Lalu film yang terakhir yaitu Berbagi Suami (2005) yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal.

Banyaknya representasi etnis Tionghoa yang diangkat dalam sinema Indonesia, membuat pihak media massa lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam merepresentasikan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari munculnya novel-novel Indonesia


(15)

dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai 1990-an. Saat itu novel-novel tersebut lebih banyak membahas isu-isu diskriminasi antara pribumi dan non pribumi.

Tetapi pada kenyataannya, saat ini sudah banyak pencitraan yang telah dilakukan media massa tentang keadilan ras dan etnis Tionghoa. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara sukarela dan setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Hal inilah yang telah dilakukan oleh Clara Ng, seorang novelis Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mencoba untuk membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka melalui novelnya Dimsum Terakhir. Clara Ng ingin memberikan suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu novel Dimsum Terakhir lahir menjadi potret utuh kehidupan sebuah keluarga modern dengan segala persoalannya. Konflik-konflik antarsaudara (kembar) meluncur karena perbedaan karakter di antara mereka. Meski tidak adanya perbandingan antara hitam-putih, Clara Ng membuat satu deskripsi yang detail dari sisi fisik hingga perilaku tokoh-tokohnya.

Setiap media memiliki cara tersendiri dalam merepresentasikan sebuah isu yang kemudian akan ditampilkan dalam teks-teks berita. Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat pada teks akan membentuk pengertian sendiri di benak pembaca. Media memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia yang berperan untuk mengkonstruksi nilai dan sikap masyarakat terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Begitu kuatnya


(16)

pengaruh media terhadap pengetahuan manusia maka baik itu karena kebutuhan maupun kewajiban, manusia tetap akan dihadapkan dengan isi media.

Novel sebagai salah satu karya jurnalisme sastra, memiliki pandangan subjektif yang berasal dari pengarangnya sendiri. Clara Ng memiliki gaya penulisan yang tentu saja berbeda dengan novelis lain yang juga banyak merepresentasikan kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Clara Ng menulis untuk memberikan sudut pandang baru, pencerahan, dan cara berpikir yang kreatif buat pembaca, agar setiap pembaca yang selesai membaca karyanya dapat terhibur dan terinspirasi.

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk membiarkan semuanya akan berjalan sendiri, bukan sesuatu yang bijaksana. Kemauan untuk terus belajar menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini.

Hal yang sangat menarik di sini adalah bahwa novel ini tidak lagi bercerita tentang tuntutan bagaimana seorang Tionghoa ingin diperlakukan, tetapi lebih memfokuskan kepada bagaimana warga Tionghoa mampu menghadapi kesulitan-kesulitan mereka sebelum era reformasi, bahwa bagaimana kepercayaan yang akhirnya muncul sebagai sebuah masalah baru bagi seorang keturunan Tionghoa. Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena hal tersebut masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Bahwa tata bahasa yang digunakan dalam novel Dimsum Terakhir ini apakah dapat merepresentasikan bagaimana kehidupan sebuah keluarga keturunan Tionghoa dalam menghadapi segala


(17)

macam bentuk konflik dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir di mana suatu gambaran sekelompok individu minoritas yang tidak lagi mempermasalahkan identitas mereka.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah etnis Tionghoa direpresentasikan dalam novel Dimsum Terakhir?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian akan dilakukan terhadap novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng.

2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik penyajian tata bahasa tersebut.

3. Penelitian ini tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.


(18)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana wacana yang dipakai dalam menyampaikan representasi etnis Tionghoa.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.

3. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.

1.4.2 Manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang


(19)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah :

1.5.1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru.

Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau

investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu yang lain.


(20)

Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama.

Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru, karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak tempat pada waktu yang sama.

Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain, seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri.


(21)

1.5.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972) bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal,


(22)

dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan, tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi antar budaya ditentang secara aktif.

1.5.3 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih


(23)

melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu


(24)

berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

1.5.4 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi.


(25)

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.


(26)

Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

1.5.5 Ideologi

Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Van Zoest, 1991: 70 dalam Sobur, 2004: 60). Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William (Eriyanto, 2001: 87) mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atas kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun


(27)

ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat - ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Ideologi bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.

Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun, menjadi perhatian utama para sejarawan, kritikus sastra, filsuf, ahli semiotika, ahli retorika, yang dapat mewakili semua bidang dalam ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998: 2).

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata

idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary

berarti “something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like (sesuatu yang ada di dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini dari kata


(28)

(pengetahuan/teori). Jadi ideologi menurut arti kata adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Sejumlah perangkat ideologi diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya.

1.5.6 Analisis Wacana Teun A. van Dijk

Model ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Perlu dilihat bagaimana sesuatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto, 2001:222).

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:224).

Teks bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga dari suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tapi ia melihat juga bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada


(29)

dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tersebut. Wacana oleh van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi: teks, kognisi sosial dan konteks sosial.

Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. Dalam wicara atau percakapan (conversation), bentuk-bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis.

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah memakai model dari analisis wacana Teun A. van Dijk.

Van Dijk menganalisis pada tiga tahap, yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Penelitian ini hanya membahas pada tahap teks. Analisis teks van Dijk dibagi pada tiga level, yaitu :

1. Struktur Makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.


(30)

2. Superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh.

3. Struktur Mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dan bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

1.7 Operasionalisasi Konsep

Menurut van Dijk, meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Menurut Littlejohn (Eriyanto, 2001:226) antara bagian teks dalam model van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Prinsip ini untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana van Dijk tersebut:

1. Tematik

Menunjukkan gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.


(31)

2. Skematik

Teks atau wacana mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga terbentuk suatu kesatuan arti. 3. Latar

Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Latar belakang peristiwa menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. 4. Detil

Berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang untuk melakukan penonjolan dan menciptakan citra tertentu dan mengekspresikan sikapnya secara implisit.

5. Maksud

Menunjukkan bagaimana wartawan secara eksplisit menonjolkan kebenaran tertentu dan secara implisit mengaburkan kebenaran lain.

6. Koherensi

Adalah pertalian atau jalinan antar kata dan kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren.

7. Koherensi Kondisional

Ditandai dengan pemakaian tanda kalimat dengan jelas. Ada tidaknya anak kalimat tidak mempengaruhi arti.


(32)

8. Koherensi Pembeda

Berhubungan dengan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua buah peristiwa dapat dibuat saling bertentangan dan berseberangan. Perlu diketahui bagian mana yang diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan. 9. Pengingkaran

Bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang akan diekspresikan secara implisit.

10.Bentuk Kalimat

Merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini tidak hanya persoalan teknis di ketatabahasaan tapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat itu.

11.Kata Ganti

Elemen ini untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.

12.Leksikon

Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.


(33)

13.Praanggapan

Merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.

14.Grafis

Merupakan bagian untuk memeriksa bagian yang ditekankan atau ditonjolkan. Dapat diamati beberapa bagian yang dibedakan dari tulisan lain.

15.Metafora

Penyampaian pesan melalui kiasan, ungkapan, metafora sebagai ornamen dari suatu berita yang dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks.

1.8 Metodologi Penelitian 1.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Dikategorikan dalam penelitian interpretatif dan bersifat subjektif. Metode penelitian ini memakai pisau analisis wacana versi Teun A. van Dijk pada level teks.

Pada level teks ini terdapat tiga lapis yaitu makro, superstruktur, dan mikro. Dengan analisis wacana model van Dijk ini akan mengungkapkan bagaimana penggunaan bahasa digunakan untuk membentuk realitas media.


(34)

1.8.2 Subjek Penelitian

Yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng, yang dibagi dalam 16 bab cerita. Terdiri atas 368 halaman, tebal buku 20 cm. Penelitian ini menggunakan novel cetakan pertama, April 2006 yang diterbitkan oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

1.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang akan dianalisis adalah teks dari seluruh isi cerita dalam novel. Analisis hanya dilakukan pada level teks saja. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu. Jika digambarkan maka struktur teks adalah sebagai berikut :

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang diamati dari topik atau tema yang diangkat dari suatu teks

Super Struktur

Kerangka dari suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.


(35)

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Data Primer, yaitu di mana data unit analisa dari teks-teks yang tertulis pada novel Dimsum Terakhir.

b. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research), dengan cara mengumpulkan literatur serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

c. Wawancara terhadap pengarang novel Dimsum Terakhir via e-mail.

1.8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks pada novel Dimsum Terakhir dengan menggunakan Analisis Wacana. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Teun A. van Dijk, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam tabel.


(36)

Struktur Wacana van Dijk

STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI ELEMEN

Struktur Makro Tematik

Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita

Topik

Superstruktur Skematik

Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh

Skema

Struktur Mikro Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misalnya dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit pada satu sisi atau

membuat eksplisit pada satu sisi dan mengurangi detil sisi lain

Latar, detil, maksud, praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih

bentuk kalimat, koherensi, kata ganti.

Struktur Mikro Stilistik

Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita

Leksikon

Struktur Mikro Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan

Grafis, metafora, ekspresi


(37)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Maka teori berguna untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2000:6). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra, Teori Komunikasi Antarbudaya, Analisis Wacana Kritis, Representasi, Ideologi, Analisis Wacana Teun A. van Dijk. Secara lebih rinci dapat dilihat pada uraian-uraian berikut ini.

II. 1 Jurnalisme Baru dan Jurnalisme Sastra

Sejalan dengan berkembangnya kehidupan pers di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya muncul pula teori-teori jurnalistik yang mendasari perkembangan pers, di antaranya yang terpenting adalah munculnya suatu teori jurnalistik yang disebut jurnalistik baru.


(38)

Menurut JB Wahyudi, jurnalistik baru dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Paul Williams, seorang perintis laporan investigatif atau

investigative reporting. Ia juga seorang pendiri Perkumpulan Wartawan dan Editor yang melakukan upaya pemasyarakatan laporan investigatif di Indianapolis Amerika Serikat pada tahun 1976.

Sesuai dengan namanya sebagai jurnalistik baru, maka jenis jurnalistik ini berbeda dengan gaya jurnalistik lama. Jurnalistik lama bersifat linier, yaitu satu referensi saja. Dalam memberitakan suatu peristiwa hanya menginformasikan peristiwa itu saja tanpa berusaha membandingkan dengan peristiwa yang sama yang terjadi di tempat yang lain dan waktu yang lain.

Sementara jurnalistik baru beritanya multilinier, yaitu selain menggunakan referensi pokok, yaitu kejadiannya, juga dilengkapi dengan referensi-referensi lain, seperti wawancara dengan orang yang mengetahui kejadian itu, kliping surat kabar, majalah, buku dan sebagainya, sehingga beritanya jauh lebih lengkap daripada berita yang ditulis dengan gaya jurnalistik lama.

Kemudian wartawan dituntut menulis dengan gaya jurnalistik baru, karena khalayak saat ini selain ingin mengetahui suatu kejadian, juga menginginkan kaitannya dengan peristiwa lain yang relevan dan kecenderungannya. Lalu perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan suatu kejadian atau pendapat dapat diketahui dengan cepat dan lengkap, sehingga menuntut wartawan mencari kaitan peristiwa satu


(39)

sama lain atau memberitakan satu jenis peristiwa yang terjadi di banyak tempat pada waktu yang sama.

Jurnalistik baru juga dikembangkan karena kalau wartawan hanya menulis apa yang terjadi di permukaan atau mudah terlihat, maka hampir pasti berita suatu media massa akan sama dengan berita media massa lain, seperti antara berita satu surat kabar dengan surat kabar lain atau satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lain atau satu radio dengan radio lain dan sebagainya. Kalau berita-berita di semua media massa itu sama, maka tidak ada daya tariknya. Karena itu, wartawan harus melakukan penggalian suatu kejadian agar beritanya berbeda dengan berita di media massa lain, sehingga memiliki kelebihan dan daya tarik tersendiri.

Dengan demikian, suatu jurnalistik disebut jurnalistik baru lebih karena kelengkapan dan pengembangan beritanya. Karena itu pada prinsipnya jurnalistik baru tetap mengacu pada konsep jurnalistik yang ada.

Jurnalistik baru menggali fakta-fakta yang tersembunyi, maka isinya bisa mengandung banyak hal, tergantung aspek yang digali. Seperti ada yang berupa laporan investigatif, laporan kontemporer, laporan analisis, laporan interpretatif, laporan evaluatif dan laporan komparatif.

Pada pertengahan tahun 1960-an, Jurnalis Amerika mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.

Para jurnalis kemudian melakukan eksperimen literer di berbagai surat kabar dan majalah tahun 60-an. Rata-rata mereka melakukannya


(40)

dengan bersembunyi di belakang batas-batas konvensi jurnalisme, walau kadang melampauinya dalam hal teknik. Ambisi kerap mempengaruhi kerja mereka. Fakta-fakta mereka cari tidak hanya di permukaan, tetapi sampai ke kedalaman peristiwa. Mereka mencatat peristiwa sampai ke detail-detailnya. Dan, hampir bisa dipastikan, kegiatan liputan mereka memakan waktu lebih banyak dari waktu kerja reporter surat kabar atau majalah; begitu pula jika dibandingkan dengan pekerjaan reporter yang mendapat tugas investigasi. Mereka menyusun laporan mengenai kasus yang mereka liput di tengah orang yang mereka amati selama beberapa waktu, hari bahkan minggu.

Mereka mengambil materi yang ditinggalkan jurnalis konvensional. Mereka mengamati segala hal penting yang terjadi ketika suasana dramatis sedang berlangsung di lokasi. Mereka melaporkan dialog, sikap, ekspresi wajah dan berbagai rincian lain yang tampak di sekitar kejadian. Mereka dipengaruhi oleh gagasan untuk memberikan laporan yang utuh, deskriptif dan obyektif, serta segala sesuatu yang selalu dicari pembaca ketika menikmati novel atau cerita pendek, seperti penanaman subjektivitas dan emosi karakter tertentu yang dihidupkan. Karenanya, banyak pengamat jurnalistik dan sastra yang menganggap hasil laporan mereka bersifat

impresionistik.

Teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi (depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab, dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar kebiasaan reporter surat kabar atau penulis non fiksi, yakni: mengamati seluruh


(41)

suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang (point of view) dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.

Pemakaian gaya fiksi untuk mengemas laporan jurnalistik memunculkan fenomena baru dalam hal fakta, perubahan defenisi, proses pengamatan dan pencariannya. Begitu pula dalam kaitannya penyajian serta perubahan konvensi bentuk dan gaya penulisan (Kurnia, 2002: 23).

Jurnalistik sastra membahas pemakaian gaya penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel menjadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan rincian potret subjek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya. Khalayak diminta mengimajinasikan penampakan fakta-fakta yang telah dirancang wartawan dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana (Tebba, 2005: 28).

Jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang yang selama ini dijauhi. Laporan perjalanan (travelling) dan memoar bahkan dipakai untuk memungkinkan suara penulis tampil dengan lebih leluasa.

Pers yang menyatakan diri sebagai representasi negara, harus mengakui keberadaan jurnalisme sastra yang bangkit menolak dominasi wacana pemerintah. Dengan demikian, terjadi akumulasi pergeseran wacana pemberitaan. Sastra tidak hanya digunakan oleh pers, tetapi juga oleh sastrawan yang menolak hegemoni makna oleh negara. Sastra menjadi daya letup tersendiri bagi penyampaian fakta politik. Sastra bahkan menjadi


(42)

sarana bagi kebebasan bersuara atau kebebasan menyampaikan kenyataan yang disembunyikan oleh kekuasaan.

Secara konsep dan dalam banyak segi, jurnalisme sastra membawa kebaruan. Kebaruan itu, diawali dengan pencampuran fakta dan fiksi. Pembaca dibuat merasa membaca kisah fiksi yang berbumbu fakta. Hal itu karena sajian peliputannya kadang-kadang menampilkan karakter tokoh-tokoh yang riil. Bahkan, dalam contoh yang paling ekstrem, pembaca tidak tahu lagi yang mana fiksi yang mana fakta. Pada diri tokoh yang diberitakan, penulis jurnalisme sastra dengan sengaja mengkompilasikan banyak karakter yang ia temukan saat meliput sehingga laporan mereka terasa dramatis dan diceritakan dalam tempo penceritaan yang tepat.

Teknik penulisan jurnalisme melebarkan ketentuan yang semula cukup melaporkan “apa” yang disampaikan. Konsepnya berubah, Penyajian berita lebih ditujukan pada “bagaimana” jurnalis menyampaikannya. Untuk menjawab pertanyaan itu, para jurnalis menyampaikannya. Untuk menjawab pertanyaan itu, para jurnalis baru memakai dua teknik sastra: teknik menulis realisme dan teknik menulis roman.

Kedua teknik ini menegaskan pentingnya upaya serius penulis dalam menyeleksi materi tulisan. Setiap materi mesti diseleksi dengan ketat agar keseluruhan atau setiap bagian laporan dapat merepresentasikan realitas fakta-berita yang diketengahkan oleh pelapor berita. Laporan dibuat sedemikian rupa agar pembaca secara nyata dan merasakan apa yang terjadi. Daya tarik roman terletak pada gaya penceritaan yang dibangun dengan pembuatan dialog, penyusunan adegan, pemunculan tokoh-tokoh dengan


(43)

berbagai karakter (sudut pandang), dan detail-detail yang menghidupkan imajinasi pembaca.

Menurut Wolfe, jurnalisme ini telah mendayagunakan kelebihan penulisan novel realisme dan roman, sehingga pelaporan berita tidak lagi sekedar mengungkapkan fakta, tempat dan waktu. Jurnalisme baru berusaha mendalami “mengapa dan bagaimana” sebuah peristiwa terjadi. Materi laporan dipersepsi dengan referensi dan perspektif tertentu. Setelah tersusun, semua fakta dibentuk menjadi news story yang menampilkan konfigurasi sosial yang meliputi emosi, motif, kejiwaan, dan berbagai ciri kemasyarakatan lainnya.

Karakteristik tersebut menumbuhkan keunikan dalam menulis, dan itu terjadi karena penggunaan empat alat jurnalisme sastra seperti : Penyusunan Adegan, Dialog, Sudut Pandang Orang Ketiga dan Mencatat Detail.

1. Alat Pertama: Penyusunan Adegan

Laporan disusun menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, prestasi reportase yang luar biasa berhasil diraih para jurnalis dengan cara ini. Jurnalis menyajikan scene peristiwa-demi peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian sedang berlangsung. Teknik pengisahan suasana demi suasana, atau adegan demi adegan, membuat pembaca larut dalam kejadian yang tengah dilaporkan jurnalis baru.

Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B. Rahmanto, adegan adalah bagian dari suatu babak di dalam


(44)

pementasan teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau bila dekor (latar) berubah. Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta suatu berita yang mengilustrasikan berbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan peristiwa yang hendak dilaporkan. Perubahan adegan bukan hanya melibatkan sejumlah pelaku yang melakukan tindakan tertentu, tetapi juga melibatkan topik yang tidak sama dengan topik sebelumnya.

Untuk melaporkan suatu peristiwa secara lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa. Mereka harus mencatat fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa suatu berita. Mungkin saja mereka perlu mewawancarai lebih dari selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang ada. Fakta-fakta tersebut kemudian secara kreatif direkonstruksi menjadi rangkaian adegan news story dengan menggunakan apa saja yang masuk akal dan dapat dikumpulkan.

Alasan memasukkan apa saja yang “masuk akal” itu dalam kasus tertentu, menimbulkan kontroversi tersendiri. Para jurnalis sastra, karena kepentingan untuk menciptakan adegan yang utuh, jadi merasa memiliki keleluasaan untuk menampilkan berbagai karakter gabungan dalam diri satu tokoh. Hal ini mereka anggap sebagai eksplorasi.


(45)

Penulis tidak perlu menyampaikan penjelasan verbal mengenai apa yang terjadi. Setiap adegan (suasana) dinilai telah menampilkan urutan setiap kejadian. Jika khalayak bisa merasa seperti berada di dalam peristiwa yang dikisahkan, berarti jurnalis tak perlu berupaya untuk lebih banyak menerangkan.

Sebelum masuk ke pokok berita, pembaca disuruh melihat-lihat apa yang terjadi. Bagaimana tokoh-tokohnya bersikap, berpikir, dan berbicara. Lengkap dengan karakter mereka. Dengan kata lain, pengadeganan merupakan upaya untuk menolak gaya menjelaskan (ekspositoris) atau gaya historis. Lewat adegan, jurnalis baru mencoba menulis laporan yang persuasif sekaligus estetis.

2. Alat Kedua: Dialog

Alat yang kedua adalah “mencatat dialog secara utuh”. Setiap orang pasti akan “berkata” atau “menyampaikan sesuatu” (talking), dan apa yang dikatakannya bisa bernilai “berita” (news). Ucapan orang yang membuat berita terjadi sebelum disampaikan pada khalayak. Berita tersusun setelah reporter bertanya jawab dengan narasumber.

Materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Berbagai pernyataan (statements) memang bisa disampaikan tanpa menyebut “siapa bicara apa”. Walau begitu , semua itu merupakan hasil kerja jurnalis yang telah berbicara dengan, bertanya pada, dan dijawab oleh seseorang.


(46)

Dengan teknik dialog ini, jurnalis sastra mencoba menjelaskan peristiwa yang hendak dilaporkannya. Bagaimana kejadiannya dan disampaikan. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa yang terjadi. Melalui dialog, jurnalis mencoba memancing rasa keingintahuan pembaca.

Pada dasarnya mereka sangat mengandalkan dialog realistis yang dapat mengundang penafsiran yang meluaskan makna. Melalui dialog, orang-orang di dalam news story dapat ditampilkan seasli orng-orang dalam kehidupan sehari-hari pembaca. Apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya merepresentasikan realitas tersebut. Inti pelaporan mereka muncul dalam pembicaraan dan sudut pandang tokoh-tokoh mereka jadikan narasumber. Hal itu didapat dengan upaya mengkaji pikiran-pikiran narasumber lewat wawancara-wawancara intensif yang kemudian dilaporkan lengkap dengan berbagai nuansa emosinya dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.

3. Alat Ketiga: Sudut Pandang Orang Ketiga

Alat ini merepresentasikan setiap suasana peristiwa berita melalui pandangan mata seorang tokoh yang sengaja dimunculkan. Dengan alat ini, pembaca diberitahu tentang perasaan narasumber dan pengalaman emosionalnya yang terjadi saat itu. Dengan alat ini, jurnalis tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh,


(47)

karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa.

4. Alat Keempat: Mencatat Detail

Semua hal dicatat secara terperinci, yaitu: perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan wisata, makanan, cara merawat rumah, hubungan dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain.

II.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Definisi komunikasi antarbudaya menurut Samovar dan Porter (1972) bahwa komunikasi antarbudaya terjadi jika bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing depositof group experience, knowledge, and values).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan


(48)

mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi.

Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Kebudayaan dari unit sosial apapun selalu berubah dengan berjalannya waktu. Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok atau organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia membawa serta kebudayaan dari kelompoknya sebagai latar belakang. Dan apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung secara wajar, alami, evolusioner, secara perlahan-lahan, tetapi dapat juga secara revolusioner dan disengaja. Juga pandangan terhadap perubahan kebudayaan bisa berbeda-beda, ada yang memang mengijinkan,


(49)

tetapi ada pula yang menentang. Sebagian orang akan menilai negatif pemasukan kebudayaan asing yang dapat membawa dampak “melting pot” pada masyarakat atau pengaburan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat. Mereka melihat proses tersebut dapat mengancam identitas dan khas kelompok-kelompok. Maka dalam hal ini komunikasi antarbudaya ditentang secara aktif.

Dalam setiap kebudayaan selalu ada pandangan hidup, kosmologi dan ontologi. Kehadiran tiga komponen itu seolah-olah hanya bisa diterima namun tidak dapat dipahami atau dimengerti. Manakala seseorang dapat memahami pandangan hidup, kosmologi dan ontologi suatu masyarakat, dia memprediksi perilaku dan motivasi tiap dimensi itu. Setiap studi antarbudaya selalu berusaha menggambarkan dan menerangkan perbedaan-perbedaan tiga faktor itu dalam kebudayaan masing-masing (Liliweri, 2003:115).

Dalam setiap struktur individu selalu terbentuk hirarki ontologi yang mengakui: (1) ada wujud tertinggi; (2) bersifat supernatural; (3) ada norma yang mengatur masalah kemanusiaan; (4) ada bentuk-bentuk rendah kehidupan; (5) ada objek-objek bukan manusia tentang relasi individu dengan unsur-unsur tersebut tersusun pada suatu hirarki berdasarkan atas kepentingan terhadap unsur itu, yakni kepercayaan, sikap dan nilai. Tiga unsur ini selalu dikenal dalam setiap uraian tentang ontologi-kebudayaan.

Sebagian pola-pola perilaku kebudayaan yang sering terjadi, sebenarnya menggambarkan betapa tingginya orientasi budaya individu.


(50)

Melalui orientasi budaya individu, setiap individu dapat menerima semua bentuk situasi apa pun yang melibatkan pertemuan antarbudaya.

Perbedaan antara dua atau lebih orientasi budaya sering menimbulkan konflik antarbudaya. Hal ini disebabkan karena setiap individu tidak mengetahui sejauh mana bentuk, jenis, tingkat harapan terhadap suatu nilai tertentu. Perbedaan ini merupakan hal utama yang menyebabkan komunikasi antarbudaya Tionghoa dengan individu lainnya tidak dapat dijalin dengan baik. Banyak prasangka dan stereotipe yang terjadi di antara hubungan keduanya. Hal ini dapat sangat mempengaruhi setiap individu dalam kegiatan pergaulan sehari-hari. (http://smartpsikologi.blogspot.com/2007

Sama halnya seperti yang dikatakan oleh Tarrant, Feinberg dan Tanofsky (1994: 204-205):

)

“Kita cenderung mencap atau menentukan tipe orang lain walaupun baru pada pertemuan pertama. Membuat cap dan menentukan tipe orang ini sangat mempengaruhi dan menguasai diri kita dalam berhadapan dengan orang lain. Menentukan tipe dapat menyesatkan dan berbahaya jika kita melakukan perkiraan yang dangkal dan terlalu mudah mengenai orang yang tidak begitu kenal dengan baik. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa begitu banyak hubungan dengan orang luar tidak begitu terjalin dengan baik”

Untuk tidak terjebak dengan stereotipe yang menyesatkan itu, sebaiknya tiap individu memiliki keterbukaan untuk menerima seseorang dengan tanpa terlebih dahulu dibebani dengan stereotipe yang belum tentu kebenarannya. Apabila suatu individu sudah bisa berpikir secara terbuka, maka suatu individu pun pasti akan mampu bertindak dan berpikir dengan berdasarkan pertimbangan rasional dan bukan semata-mata didasari oleh emosi. Adapun stereotipe etnis Tionghoa adalah sebagai berikut:


(51)

a. rasa sosial terhadap sesama etnis tinggi b. pelit

c. berjiwa dagang dan suka bekerja keras d. bersahabat

e. kurang suka bergaul

f. eksklusif (mengisolasi diri dari masyarakat kelas bawah) Beberapa faktor lain yang menyulitkan asimilasi antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia adalah :

a. Perbedaan ciri-ciri badaniah

b. In-group feeling yang sangat kuat sehingga mereka tetap mempertahankan identitas sosial dan kebudayaan mereka yang dianggap eksklusif oleh bangsa Indonesia.

c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap tinggi hati. Dominasi ekonomi ini bersumber pada fasilitas-fasilitas yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda dan juga karena kemampuan teknis dalam perdagangan serta ketekunan mereka dalam berusaha.

Hal tersebut di atas dapat terjadi antara lain merupakan akibat politik pemerintah penjajah Belanda sewaktu menjajah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia (Hindia Belanda) kala itu mereka bagi dalam 3 golongan, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing dan Bumiputera (Indonesia).

Hak-hak orang Tionghoa Indonesia (yang mulai bermigrasi ke Indonesia dari abad XVI sampai kira-kira pertengahan abad XIX dari wilayah Fukien dan Kwangtung serta memiliki 4 bahasa yang saling berbeda


(52)

yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan bahasa Kanton) yang tergabung dalam golongan Timur Asing lebih menguntungkan daripada golongan Bumiputera. Sebagai salah satu sebab politiknya adalah golongan Tionghoa mendapat fasilitas-fasilitas tertentu yang memungkinkan mereka menduduki lapisan lebih tinggi di atas rakyat Indonesia. Ini dimungkinkan oleh peraturan-peraturan yang mengangkat mereka secara ekonomis menjadi lebih kuat.

Fakta-fakta lain yang mempertajam masalah ini adalah sewaktu perang kemerdekaan nasional, di mana tidak banyak orang Tionghoa yang memihak Indonesia, namun lebih memilih memihak Belanda.

II.3 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya.


(53)

Pengalaman-penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas.

Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka. Konstruktivis menganggap subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivis.

Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa:


(54)

batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.

Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA), wacana di sini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya, bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

Dalam Eriyanto (2001:8-13) mengutip Fairclough dan Wodak, Analisis Wacana Kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Karakteristik Analisis Wacana Kritis menurut Teun A. van Dijk, Fairclough dan Wodak adalah :

1. Tindakan

Wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Wacana tidak ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Ada beberapa konsekuensi yang harus dipandang. Pertama wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan. Apakah untuk mempengaruhi, membujuk, merayu, mendebat, bereaksi. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali.

2. Konteks

Analisis Wacana Kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana diproduksi,


(55)

dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi; siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk masing-masing pihak. Ada tiga hal sentral yang harus ada dalam wacana teks, konteks dan wacana.

3. Historis

Salah satu aspek penting untuk mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu dimana wacana itu diciptakan. Pemahaman akan wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberi konteks historis di mana teks itu diciptakan.

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan berhubungan dengan kontrol kekuasaan. Bisa berupa kontrol atas teks atau mengontrol struktur wacana.

5. Ideologi

Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa


(56)

dominasi itu diterima secara taken for granted. Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar.

Menurut Eriyanto (2001: 15-17), ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis yaitu :

1. Analisis Bahasa Kritis ( CriticalLinguistik)

Critical Linguistik ini dibangun oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia tahun 1970-an. Memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Inti dari gagasan Critical Linguistik adalah melihat gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Artinya aspek ideologi diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur bahasa yang digunakan.

2. Analisis Wacana Pendekatan Prancis (French Discourse Analysis)

Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser dan teori wacana Foucolt. Dalam pandangan Pecheux, bahasa dan ideologi bertemu dalam pemakaian bahasa, dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya, kata yang digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya.


(57)

3. Pendekatan Kognisi Sosial

Dikembangkan oleh pengajar di Universitas Amsterdam Belanda dengan tokohnya Teun A. van Dijk. Wacana disini dilihat bukan hanya dari struktur wacana, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Proses produksi ini menyertakan suatu proses yang disebut kognisi sosial.

4. Pendekatan Perubahan Sosial (Social Cultural Change Approach)

Analisis wacana memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Farclough banyak dipengaruhi oleh Foucoult dan pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana di sini dipandang sebagai praktek sosial, ada hubungan dialektis antara praktek diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial.

5. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approach) Dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Vienna di bawah Ruth Wodak. Penelitian terutama ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, rasialisme dalam masyarakat kontemporer. Menurut Wodak, wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu realitas digambarkan.

Selain itu Fairclough mensyaratkan beberapa hal penting dalam analisis wacana kritis. Pertama analisis wacana membutuhkan analisis yang multidimensi. Kedua dengan model multidimensi, analisis


(58)

wacana kritis butuh analisis yang multifungsi. Ketiga membutuhkan metode untuk analisis historis. Dan keempat, membutuhkan metode kritis (Dina Listiorini dalam Birowo, 2004: 68).

II.3 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi.

Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page whichstands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja


(59)

sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

a. Bahasa

Representasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-pertama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi di sini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.


(60)

Ada dua proses yang dilakukan media untuk memaknai realitas yaitu pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin, melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuansi foto dan gambar apa, dan sebagainya.

Proses pemilihan fakta mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kenneth Burke mengatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.

b. Misrepresentasi

Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi: ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagai mestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca, atau melihat bagaimana kesalahan representasi itu terjadi.


(1)

V.2 Saran

V.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis

Sangat disarankan agar frekuensi pelajaran dan buku-buku yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya ditambah/diperbanyak, agar tercipta pemahaman yang lebih mendalam mengenai berbagai adat istiadat yang ada di negara ini. Diharapkan penelitian ini akan dapat berguna nantinya dalam penerapannya di luar kegiatan perkuliahan sdan juga diharapkan melalui penelitian ini komunikasi antarbudaya dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk menciptakan kerjasama antar etnis yang berjalan secara harmonis.

V.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis

1. Suatu wacana tidak ada yang benar-benar netral, karenanya diharapkan khalayak memiliki pemikiran kritis ketika melihat suatu wacana. Khalayak paling tidak sudah memiliki pengetahuan tentang media yang dibaca sehingga pada akhirnya ketika menerjemahkan isi pesan memiliki empati terhadap berita yang diturunkan. Dengan empati khalayak mengetahui mengapa suatu berita dapat menjadi sedemikian rupa. Kemudian menumbuhkan pemahaman yang benar terhadap suatu realitas dan tidak mudah terpancing dengan isu-isu apalagi berkaitan dengan masalah SARA. 2. Subjektifitas memang tidak dapat dilepaskan, namun selalu ada cara yang lebih baik agar subjektifitas tersebut tidak mendominasi pemberitaan. Paling tidak media harus memiliki batasan etika dan moral ketika menyajikan berita.


(2)

3. Peneliti menyadari bahwa penelitian analisis wacana yang kritis sangat memungkinkan peneliti juga turut memasukkan subjektifitasnya. Sehingga tidak heran apabila pandangan peneliti dengan pandangan orang lain dapat berbeda ketika melihat sebuah teks berita. Teks dapat diartikan bermacam-macam oleh orang yang berbeda dan inilah yang menjadi kelemahan penelitian ini. Untuk mengatasinya disarankan untuk membagikannya ke dalam kelompok sehingga didapat makna yang lebih objektif. Selain itu dapat pula dipakai receker. Penelitian ini seperti penelitian kualitatif pada umumnya tidak mempunyai ukuran yang pasti tentang batas benar dan salah, semuanya tergantung dari nilai, etika dan moral yang dianut peneliti. Karena itu, peneliti menyarankan bagi mereka yang berminat untuk meneliti analisis wacana agar memiliki batasan yang pasti, mungkin dengan memakai undang-undang sebagai tolak ukurnya, karena kode etik jurnalistik masih belum dapat memberikan batasan yang mendalam dan luas.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Baran, Stanley. 2003. Introduction to Mass Communication Media Literacy & Culture. Bryant College.

Birowo, Antonius M. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali.

Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta: Andi.

Bungin, Burhan.2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada.

____________.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis. London: Logman London & New York.

Feinberg, Mortimer R., Robert Tanofsky & John J. Tarrant. 1994. Psikologi Manajemen. Jakarta: Mitra Utara.

Kaplan, David & Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ki, Goh Pei. 1997. Origins of Chinese Festivals. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Kriyantono, Rachmat. 2006.Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media.

Kurnia, Septiawan. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(4)

Liliweri, Alo M.S. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Lubis, Lusiana A. 2005. Pengantar Komunikasi Lintas Budaya. Medan: USU Press.

Lull, James. 1998. Media Komunikasi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mc Quail, Denis. 1994. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Ng, Clara. 2006. Dimsum Terakhir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Purwasito, Andrik. 2004. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Sumandiria, Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tan, Sofyan. 2004. Jalan Menuju Masyarakat Anti Diskriminasi. Medan: Kippas. Tebba, Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia.


(5)

Sumber lain:

Majalah TRUTH, mengungkap kebenaran edisi Februari 2008, Jakarta Pusat. Tabloid Aplaus The Life Style edisi 68 (halaman 9), 15-28 Maret 2008, Medan.  Situs :

http://www.tabloid nova.com/articles.asp?id=15857

http:

Blog :

http://iccsg.wordpress.com/2006/09/17/cerita-tentang-bangsa-perantau-1-asimilasi-pencinaan-kembali-dan-pengakuan/

 e-mail:


(6)

BIODATA

Nama : YOHANNA

N.I.M : 040904055

Tempat/ tanggal lahir : Tebing Tinggi, 19 Oktober 1986 Anak ke- : 3 dari 5 bersaudara

Alamat : Jl. Dt. Bandar Kajum no 8 Tebing Tinggi 20632.

Alamat e-mail

2004 – 2008 Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU RIWAYAT PENDIDIKAN:

2001 – 2004 Sekolah Menengah Atas Swasta F. Tandean Tebing Tinggi 1998 – 2001 Sekolah Menengah Pertama Swasta F. Tandean Tebing Tinggi 1992 – 1998 Sekolah Dasar Swasta F. Tandean Tebing Tinggi

Magang di UKM Pers Mahasiswa SUARA USU, 2004 PENGALAMAN ORGANISASI:

Anggota Muda (sebagai reporter) di UKM Pers Mahasiswa SUARA USU, 2005 IMAJINASI, 2006-2007 :

Anggota divisi pendidikan dan penalaran

Penulis Naskah film Company Profile Departemen Ilmu Komunikasi

Praktek Kerja Lapangan jurnalistik dalam program Lacak! TRANS 7, Jakarta PENGALAMAN KERJA:


Dokumen yang terkait

Motif Etnis Tionghoa Bekerja sebagai Pegawai Negeri Studi Kasus pada PNS dan Polisi di Sumatera Utara)

1 45 135

Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

5 75 211

Peran Partai Politik Dalam Pemenangan Pilkada (Studi Analisis Partai Golkar Sebagai Kendaraan Politik dalam Pilkada Kabupaten Rokan Hilir 2006)

2 42 102

Eksistensi Bisnis Etnis Tionghoa (Studi Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis China Penjual Spare part Sepeda Motor di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun)

0 56 88

Orientasi Nilai Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtua di Panti Jompo (Studi Deskriptif Pada Keluarga Etnis Tionghoa Yang Menitipkan Orangtuanya di Panti Jompo Karya Kasih Medan)

29 227 96

Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

0 17 158

Analisis Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel 'Dimsum Terakhir' Karya Clara Ng : Tinjauan Psikologi Sastra.

0 3 9

REPRESENTASI STEREOTYPE TIONGHOA DALAM NOVEL CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir).

3 7 93

DISKRIMINASI TOKOH PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG.

1 11 132

CLARA NG BERJUDUL DIMSUM TERAKHIR (Studi Semiologi Representasi Stereotype Tionghoa Dalam Novel Clara Ng Berjudul Dimsum Terakhir)

0 0 21