1990 ; Dahlan M. Sutalaksana, dalam
Catatan Pembuka
12
beragam. Setiap instansi memberikan definisi tersendiri sehingga cukup merepotkan untuk mengidentifikasi usaha kecil ? ini dengan
tegas. Kedua, lembaga-lembaga perkreditan ternyata secara operasional belum dapat memberikan layanan kredit dengan biaya
yang murah dan prosedur yang mudah sesuai dengan harapan masyarakat. Ketiga, asumsi yang banyak berkembang di lembaga-
lembaga perkreditan bahwa kredit untuk usaha kecil tidak layak pinjam, harus diterapkan tingkat suku bunga yang disubsidi, dan
berisiko tinggi dalam pengembalian sehingga banyak menjebak dan membuat ragu-ragu pihak-pihak yang awalnya ingin melakukan
intervensi di sisi tersebut. Apabila dikaji lebih jauh maka persoalan yang menyebabkan
rendahnya tingkat absorpsi usaha kecil terhadap berbagai akses kredit bisa dikategorikan pada empat sisi. Pertama, sisi penawaran, yaitu
dari sisi perbankan yang menyediakan berbagai fasilitas kredit. Pada sisi ini muncul kecenderungan pihak perbankan tidak berorientasi
pada pembiayaan usaha kecil. Skema-skema pembiayaan yang dibangun cenderung berorientasi kepada pengalaman usaha besar.
Kurangnya pengalaman pihak perbankan dalam menyalurkan kredit untuk usaha kecil seringkali jadi alasan sekaligus pembenaran bagi
mereka untuk tidak menyalurkan kredit tersebut secara langsung. Kedua
, sisi permintaan, yaitu dari sisi usaha-usaha kecil sebagai pihak atau konsumen yang membutuhkan kredit. Dari sisi permintaan
kredit perlu dikaji secara khusus karena suatu kebijakan yang diinisiasi oleh pengenalan mendalam mengenai karakter permintaan,
patut mendapat tempat didalam circle pengambilan keputusan. Pengabaian atas situasi ini, sebagaimana terlihat sekarang, telah
melahirkan suatu generalisasi kebijakan perkreditan --yang secara praktis menganggap usaha kecil sebagai suatu bisnis yang homogen.
Ketiga
, sisi penggalangan dana yaitu mencari peluang-peluang penggalangan dana di luar fasilitas penggalangan dana formal
sehingga memungkinkan akses usaha kecil terhadap fasilitas kredit semakin besar. Dari sisi penggalangan dana terlihat adanya
Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia
13
kecenderungan usaha kecil yang terlalu mengandalkan lahirnya berbagai bentuk kredit formal yang bisa memberikan berbagai
fasilitas dan keringanan dalam perolehannya. Problem formalisasi sangat berat „menghantui’ kelincahan dan fleksibilitas skema
pembiayaan informal. Padahal di luar kredit-kredit formal masih terbuka peluang kredit yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana
pengembangan usaha kecil. Arisan misalnya merupakan suatu bentuk kredit kelompok yang sebenarnya berpotensi untuk dikembangkan
karena segi informal dan fleksibilitasnya, terutama bagi usaha yang sangat kecil, namun belum mendapat perhatian semestinya karena
dirasakan peluangnya terbatas. Kombinasi sistem giliran pada arisan dengan sistem penawaran yang diperkuat dengan dukungan bank
dalam meningkatkan perputaran uangnya bisa menjadikan arisan sebagai satu alternatif kredit yang potensial. Alternatif-alternatif
seperti ini yang menarik untuk digali sehingga bisa memberikan pilihan kepada usaha kecil disamping bisa memperluas akses usaha
kecil terhadap kredit. Terlebih karena secara bertahap pemerintah akan mengurangi peranan subsidi atau lebih spesifik akan mengurangi
peranan KLBI. Kebijakan saat ini bahwa KLBI dalam jumlah yang terbatas hanya diberikan untuk mendukung upaya pemantapan
swasembada pangan, pengembangan koperasi, dan peningkatan investasi.
Keempat,
kebijakan makro, yaitu mendorong munculnya kebijakan- kebijakan langsung maupun tidak langsung deregulasi perbankan
yang bisa memacu perkembangan dan pertumbuhan usaha kecil. Pada tingkat pengambil kebijakan masih kuat kecenderungan menempatkan
usaha kecil sebagai sasaran program, bukan sebagai bagian dari pelaku program. Akibatnya seringkali aspirasi dan kondisi usaha kecil
yang bervariasi tidak terakomodasi dalam skema kredit yang
dimaksud. Penempatan rakyat pada „pihak luar’ dari otoritas dan lembaga
pelaksana program
kredit untuk
usaha kecil
menyebabkannya ada pada posisi sulit mengakses sumber-sumber finansial apalagi mengontrol lembagaprogram dan distribusinya
untuk usaha kecil . Pada sisi lain masih tertangkap kecenderungan yang kuat bahwa paket-paket kebijakan kredit untuk usaha kecil
Catatan Pembuka
14
bobot politisnya cukup tinggi. Misalnya skema kredit yang juga dibebani dengan pesan-pesan tambahan lain seperti upaya
mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial sebagai wahana mengembangkan solidaritas sosial hingga pesan yang tidak
mempunyai relevansi dengan tujuan skema kredit itu sendiri seperti penurunan laju kelahiran penduduk. Meskipun demikian, memang
tidak bisa dipungkiri bahwa baik Bank Indonesia maupun Departemen Keuangan selalu berusaha untuk senantiasa konsisten
memberikan penyediaan dana bagi usaha kecil yang lebih baik dari sebelumnya.
Persoalan-persoalan pada masing-masing sisi satu sama lain saling mempengaruhi sehingga perlu analisis yang cermat untuk mencari
solusi yang tepat sehingga penyelesaian persoalan pada satu sisi tidak menimbulkan persoalan pada sisi yang lain. Begitu kompleksnya
persoalan usaha kecil yang menyangkut finansial maka diperlukan berbagai upaya kongkrit, salah satunya melalui kegiatan diskusi ahli.
Diskusi Ahli ini sejak awal dirancang untuk memenuhi empat hal, yaitu pertama, mengidentifikasi, sekaligus menganalisis sejauh mana
berbagai model kredit untuk usaha kecil mampu mencapai sasarannya. Kedua, mengidentifikasi sekaligus menggali model-
model alternatif praktis dalam pembinaan dan dukungan finansial bagi usaha kecil. Ketiga, menggali strategi penggalangan dan
penyaluran kredit yang efektif bagi usaha kecil. Keempat, mencoba mengkritisi kebijakan finansial di tingkat pusat termasuk di dalamnya
analisis mengenai perlindungan terhadap usaha kecil. Tidak
mudah untuk mengubah dan merumuskan strategi pengalokasian kredit yang telah ada saat ini. Oleh karena itu,
dibutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai pihak terutama pemerintah sebagai pemegang otoritas moneter untuk mengendalikan
kebijakan kredit yang berorientasi kepada usaha kecil --tidak sekedar melahirkan kebijakan-kebijakan setengah hati yang bobot dan muatan
politisnya lebih besar serta cenderung mengalahkan kepentingan usaha kecil itu sendiri.
Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia
15
Akhirnya dapat ditarik suatu catatan bahwa suatu kebijakan, selain mengandung keterbatasan karena sifat generalisasinya, juga tidak
sepenuhnya dapat mendeteksi problema di sisi mikro yang sangat bervariasi. Dalam konteks ini, khususnya di bidang perkreditan,
menarik untuk dicatat sejumlah varian kebijakan dan intervensi yang dilakukan oleh berbagai institusi. Ada kecenderungan setiap institusi
mulai membidik target dengan lebih spesifik, baik dari keterjangkauan sektor maupun region. Artinya, penyusunan kebijakan
dan intervensi berupaya untuk semakin mendekatkan diri pada target dan dinamika perkembangannya. Bagian berikut akan memetakan apa
dan bagaimana variasi, pola, dan skema perkreditan yang dikembangkan oleh sejumlah besar institusi keuangan di Indonesia.
Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia
17
BAB DUA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN: SINTESIS POKOK
Beberapa Kesimpulan Umum A. Sisi Permintaan
Ditinjau dari sisi permintaan, secara umum terlihat kecenderungan bahwa kebijakan publik mengenai perkreditan bagi usaha kecil masih
tetap berorientasi untuk mendorong pertambahan produksi. Hal tersebut didasarkan pada dua dugaan, pertama, adanya kelangkaan
sumber daya kapital di lingkungan usaha kecil, dan kedua, pada saat yang bersamaan, gejala monetisasi juga bergerak ke arah lintas
region, lintas sektor, termasuk pula lintas skala usaha. Dengan kata lain, muncul kecenderungan aliran kredit yang bergerak ke arah skala
usaha menengah-besar. Belum terlihat gejala dimana dukungan aspek finansial secara langsung dapat memberdayakan usaha kecil dalam
merespons sumber-sumber permintaan baru. Selama diskusi disimpulkan beberapa hal :