Daya serap usaha kecil terhadap kredit masih sangat lemah dan
Kesimpulan dan Rekomendasi
18
pengembangan usaha kecil cukup tinggi. Pada sisi lainnya, usaha kecil acapkali sulit memperoleh bantuan pembiayaan modal kerja
maupun investasinya. Pengusaha kecil umumnya tidak memiliki modal yang cukup
memadai untuk mengembangkan usahanya, sementara dengan skala usahanya yang terlampau kecil hampir tidak mungkin mereka
melakukan pemupukan atau pembentukan modal. Laba usaha yang ada hampir selalu habis dikonsumsi dalam rangka memenuhi
kebutuhan primer. Reinvestasi atau penggantian aktiva, terlebih ekspansi usaha, nyaris tidak mampu dilakukan. Pada sisi lain karena
berbagai hambatan teknis perbankan dan keterbatasan informasi, pengusaha kecilpun sulit mengakses ke lembaga keuangan formal.
Lokasi usaha kecil seringkali jauh dari jangkauan bank. Berbagai keterbatasan di atas ternyata menyulitkan pihak perbankan untuk
melayani
kebutuhan pengusaha-pengusaha
kecil. Karena
pertimbangan efisiensi —menekan biaya operasi—seringkali bank
juga berkeberatan melayani terlampau banyak debitur gurem. Diduga kecilnya daya serap usaha kecil terhadap kredit dikarenakan
beberapa faktor, yaitu pertama, banyak bank yang tidak mengeluarkan kreditnya dan kedua, menyangkut karakteristik usaha kecil yang
dibina. Dugaan pertama bisa dibuktikan dengan data yang memperlihatkan bahwa rasio alokasi kredit 20 KUK dari bank-bank
swasta sejak Pakjan, sebagai refleksi demand tidak sepenuhnya dapat tercapai. Perbankan swasta pada tahun pertama kebijakan Pakjan
1990 mampu melampaui limit 20, yakni hampir 23. Namun demikian capaian ini semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1995 perbankan swasta hanya mampu mengalokasikan kredit kecil sebesar 15. Sebaliknya bank-bank pemerintah menampilkan
kinerja alokasi KUK yang menguat. Di tahun awal Pakjan limit 20 tidak dapat dilampaui oleh bank-bank pemerintah hanya 19,7, th.
1991, tetapi lima tahun kemudian limit ini berhasil dilewati 21,4, th.1995.
Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia
19
Namun demikian, secara total bank pemerintah dan swasta, dalam lima tahun terakhir ini terdapat tendensi rasio yang semakin menurun,
yakni dari 21 di tahun 1991 menjadi 18 di tahun 1995. Hal itu berarti kenaikan alokasi kredit dari bank pemerintah tidak cukup
mampu mensubstitusi penurunan tajam alokasi kredit bank swasta. Tendensi penurunan ini diperkuat juga oleh lambatnya tingkat
pertumbuhan kredit yang dialokasikan untuk KUK. Rata-rata tingkat pertumbuhan KUK dibandingkan dengan kredit total dalam lima
tahun terakhir ini sebesar 15,5 berbanding 19,5. Selain itu hampir setiap tahun pertumbuhan KUK selalu di bawah pertumbuhan kredit
total, bahkan pernah terjadi pertumbuhan KUK negatif pada tahun 1991-1992.
Kuat dugaan bahwa keadaan di atas lebih bersumber pada dua hal, yaitu pertama kentalnya dimensi politis yang mewarnai kebijakan
kredit kecil ketimbang dimensi ekonomi, sehingga kebijakan ini melulu bertumpu pada sisi supply. Kedua, kurang dikenalinya
karakter demand kredit kecil dan usaha kecil secara lebih mendalam. 2. Subsidi bunga
Ada perdebatan klasik di seputar persoalan suku bunga kredit untuk usaha kecil, yakni: 1 apakah kredit kecil memerlukan suku bunga
yang rendah dan karenanya diperlukan subsidi, ataukah 2 memberikan suku bunga kepada usaha kecil dengan mengikuti suku
bunga pasar? Argumen pertama didasarkan alasan bahwa suku bunga bersubsidi
bagi usaha kecil penting diberikan dalam kerangka upaya kapitalisasi bagi usaha kecil. Dalam kaitan ini menarik untuk menengok
pengalaman tahun 70-80an ketika beberapa skim kredit bersubsidi menemui kegagalan seperti halnya kegagalan yang dialami
KIKKMKP. Ada beberapa pandangan yang mengomentari kegagalan skim kredit bersubsidi. Satu sisi melihat bahwa kegagalan skim kredit
bersubsidi lebih dikarenakan faktor eksternal, terutama karena besarmya muatan politis dalam pelayanan kredit yang ada dan
lemahnya accountability dari penerima kredit. Pandangan lain
Kesimpulan dan Rekomendasi
20
melihat bahwa kegagalan tersebut lebih bersumber pada situasi internal usaha kecil dimana pemberian skim kredit bersubsidi
cenderung menciptakan ketergantung-an di pihak usaha kecil, akibatnya pengembangan dan kemandirian usaha kecil yang menjadi
target menjadi sulit untuk dicapai. Dalam konteks ini kemudian muncul pertanyaan, apakah suku bunga
yang bergerak di sepanjang kurva permintaan cukup signifikan untuk mempengaruhi permintaan kredit? Hasil penelitian LP-IPB 1991,
Rachmina 1994, dan Tampubolon 1995 menunjukkan bahwa suku bunga berkorelasi negatif dan signifikan terhadap tingkat permintaan
kredit. Hal ini berarti bahwa usaha kecil cukup responsif terhadap suku bunga kredit dan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.
Penelusuran lebih jauh juga perlu mendeteksi tingkat elastisitas suku bunga untuk melihat seberapa lentur tingkat permintaan kredit dapat
dipelajari dari besaran elastisitasnya. Apabila suku bunga dianggap signifikan maka pergerakannya akan menjadi sinyal terhadap tingkat
permintaan kredit. Tingkat elastisitas ini pula yang bisa memperkuat
„daya tarik’ permintaan ke arah lembaga formal ketimbang lembaga informal sebagai kompetitornya yang lebih inelastis. Jika
dikembalikan pada dua argumen di atas, tampaknya masih perlu ditelusuri lebih jauh kapan, di mana, dan bagaimana suku bunga
masih cukup signifikan terhadap tingkat permintaan kredit, misalnya ditelusuri melalui konteks sektor dan region. Penelusuran ini penting
untuk kepentingan sisi permintaan, selanjutnya dapat menentukan apakah suku bunga perlu dikontrol dan disubsidi atau dilepas
mengikuti irama mekanisme pasar. Catatan penting yang muncul dan perlu diperhatikan dalam diskusi
ahli ini adalah bahwa penggunaan bunga pasar merupakan pilihan optimum untuk saat ini, mengingat subsidi dapat menciptakan insentif
bagi usaha yang lebih besar untuk memanfaatkannya sehingga kredit kecil tidak mencapai sasarannya. Apabila produk-produk pelayanan
kredit kecil sudah dapat dirumuskan secara lebih tajam dan kemampuan bank dalam memahami perilaku usaha kecil sudah lebih
baik, tampaknya subsidi bagi usaha yang sangat kecil tidak harus
Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia
21
ditabukan, terutama pada saat penyaluran kredit bagi mereka dianggap masih terlalu mahal. Hal tersebut dapat dibandingkan
dengan kemampuan usaha kecil meminjam uang dari para rentenir pelepas uang yang memberlakukan bunga yang tinggi.