Interaksi Sosial Gay Dalam Keluarga
Ibunya digambarkan sebagai sosok yang diam dan hanya senang memperhatikan. Ibu Yamada banyak memaklumi situasi keduanya, termasuk saat
Yamada dan Ayahnya bertengkar. Ayah Yamada digambarkan sebagai sosok yang tegas sekaligus keras. Ia sangat peduli terhadap masa depan anakanya. Hal
ini tercermin dalam chapter pertama, yaitu saat Yamada kabur dari rumah karena menganggap ayahnya terlalu mencampuri urusannya. Tetapi dibalik itu semua,
ayahnya merupakan sosok yang sangat baik dan disukai banyak orang. Ayahnya juga sebenarnya tidak bermaksud kejam terhadap Yamada. Ia hanya tidak mau
anaknya memilih jalan yang salah untuk masa depannya. Yamada dan ayahnya dalam beberapa kesempatan terlihat cukup akrab,
hanya saja mereka memang tidak bisa bicara dengan lembut satu sama lain. Bisa dikatakan bahwa perangai kasar yang dimilki oleh Yamada adalah sifat yang
diturunkan oleh ayahnya.
Cuplikan I
Yamada terlihat malas apabila diperintahkan untuk menjaga kedai. Ayahnya yang melihat hal itu, suatu hari menegurnya.
Ayah : Kalau kau malas-malasan seperti itu, kau tidak akan dapat
meneruskan bisnis ini. Yamada
: Bersikap tidak peduli Ayah
: Kalau kau seperti ini terus, bisnis keluarga kita akan hancur di tanganmu. Apa kau tahu ayah membangunnya dengan susah
payah.. Yamada
: Acuh tak acuh Kalau begitu tidak usah diwariskan padaku..
Ayah : Apa katamu?
Yamada : Aku tidak mau menjadi penerus usaha begini.
Ayah Yamada marah dan terjadilah percekcokkan yang panjang. Ayah
: Keluar kau dari rumah ini, anak kurang ajar Yamada
: Aku pergi Dasar orang tua Ibu
: Pergi lagi? Hati-hatilah... Chapter I
Analisis
Dari cuplikan diatas tergambar bahwa ayah Yamada sangat tegas terhadap Yamada, terlihat kasar dan tidak terbantahkan, tetapi itu semua karena ia
menyayangi anaknya. Alasan Yamada kabur dari rumah adalah karena ia tidak bersedia menjadi
penerus kedai sake yang merupakan bisnis keluarga mereka, bukan karena masalah orientasi seksualnya. Pada saat ini, Yamada belum terlibat dalam
hubungan homoseksual dan bahkan belum menyadari bahwa ia memiliki potensi sebagai gay.
Cuplikan di atas adalah salah satu dialog antara Yamada dan keluarganya dalam komik “Free Punch”. Dalam komik ini sama sekali tidak ada adegan yang
menggambarkan bahwa Yamada mengakui identitasnya sebagai gay terhadap orang tuanya. Menurut penulis hal ini adalah salah satu contoh fakta yang dapat
menjelaskan keadaan gay sebenarnya di Jepang. Dimana pada kenyataannya para gay di Jepang memang merahasiakan identitas dirinya sebagai gay, demi menjaga
nama baik keluarganya.
Cuplikan II
Saat Yamada masih berada di rumah Amano Nao, ia menceritakan alasannya kabur dari rumah.
Amano Nao : Kau bertengkar dengan ayahmu karena kau adalah penerus bisnis keluarga kan? Kedai sake kan?
Yamada : Yah...
Amano Nao : Kalau kau memilki masalah untuk bicara dengan ayahmu, aku akan ikut denganmu..
-------------------------------------------------------------------------------------------------- Sesampai mereka di rumah Yamada dan bertemu dengan Ayah dan Ibu Yamada.
Ayah Yamada : Kau anak nakal Apa kau pulang setelah berpikir dengan baik?? Menatap Amano Nao
Maaf, Sensei. Terima kasih telah menjaga anak kami... Yamada dan Amano Nao terdiam. Chapter End
Analisis
Sekalipun Ayah Yamada terlihat marah, tetapi ia tetap merasa berterima kasih terhadap Amano Nao yang bersedia menampung dan menjaga anaknya
selama Yamada melarikan diri dari rumah. Ia bersyukur anaknya tidak terlantar dan hidup di jalanan.
Yamada bukan orang yang dapat menentang ayahnya atau dapat dikatakan ia tidak dapat menandingi ketegasan ayahnya. Bahkan saat Amano Nao pun ikut
mengantar Yamada pulang, mereka hanya bisa terdiam mendengarkan perkataan
ayah Yamada. Sementara ibu Yamada lebih banyak diam dan memperhatikan, ia sudah merasa senang anaknya kembali pulang ke rumah.
Dari cuplikan komik “Free Punch” di atas juga dapat membuktikan bahwa para gay di Jepang tidak memiliki interaksi yang cukup dengan orang tuanya dan
lebih banyak memendam perasaannya sendiri. Dalam kasus di atas, Yamada lebih memilih pergi dari rumah dibandingkan harus berdebat dengan ayahnya.
Tergambar bahwa Yamada bahkan lebih terbuka pada Amano Nao dibandingkan dengan orang tuanya sendiri.
Seperti kebanyakan para gay pada umumnya, Yamada yang perlahan- lahan menjadi gay juga tidak memberitahukan keadaannya pada keluarga. Hal ini
membuktikan bahwa ketakutan akan mempermalukan keluarga dimiliki oleh semua gay, dalam komik “Free Punch” yang menjadi contoh adalah Yamada.
The Japanese legal system has never criminalised consensual same-sex relations. However, an unspoken consensus makes it all, impossible to Japanese
gays to come out to family or work colleagues. Sistem hukum Jepang tidak pernah menetapkan hubungan sesama jenis sebagai
kriminalitas. Namun, persetujuan umum tak terucap yang menetapkan semua itu, mustahil bagi gay Jepang untuk mengakui keadaan mereka kepada keluarga dan
rekan-rekan mereka Buckley, 2002:165. Sekalipun hukum Jepang tidak menetapkan gay sebagai suatu kriminalitas,
tetapi masyarakat menganggapnya demikian. Mungkin ini lebih baik daripada menempatkan keluarganya dalam posisi
yang sulit dalam masyarakat. Atau daripada memancing situasi yang semakin sulit
seperti kisah seorang gay dalam McLelland 2000:208 yang memutuskan untuk pindah ke Australia dengan pasangan gay-nya yang merupakan gurunya sendiri.
Saat di rumah, pembicaraan mereka terdengar oleh ibunya. Dan kemudia ibunya bertanya “kenapa sensei mengatakan ia mencintaimu?”. Anaknya menceritakan
bahwa mereka telah berpacaran selama dua tahun dan ia bahkan telah meninggalkan sekolahnya demi tinggal dengan pasangannya di Australia. Ibunya
sangat terkejut dan berlari ke luar ruangan untuk memanggil ayahnya “panggilkan dokter, bawa dokter kemari?”.
Cuplikan II juga menggambarkan kebijakan Amano Nao yang membujuk Yamada pulang dan akhirnya berhasil. Menjelaskan bahwa sekalipun tetap tidak
jujur tentang identitas seksualnya sebagai gay, Yamada masih membutuhkan orang tuanya. Dan ia bersedia pulang karena masih memikirkan posisi orang
tuanya dalam masyarakat. Membuktikan bahwa Yamada juga memiliki giri dan menjaga nama orang tuanya. Dan menjadi gambaran bahwa para gay di Jepang
lebih mementingkan orang lain terutama keluarganya dibandingkan dirinya sendiri.