Hubungan Para Gay Dalam Komunitas

lebih individu yang mengalami interaksi psikologis satu sama lain. Wiyarti menambahkan bahwa mempunyai dan digolongkan dalam suatu kelompok adalah suatu kebutuhan psikologis manusia, dimana kelompok merupakan tempat ia berlindung dan merasa aman. Para gay tidak mempunyai hubungan pertemanan dengan sesama gay seperti antara perempuan dengan perempuan ataupun laki-laki dengan sesamanya seperti yang umum kita ketahui selama ini. Mereka mungkin mempunyai teman sesama gay yang menjadi tempat untuk berkeluh kesah atau berbagi pengalaman, tetapi itu hampir sulit ditemukan. Antara sesamanya, mereka hampir pasti akan terlibat dalam hal seksualitas Robertson, 1998:145. Para gay lebih protektif terhadap pasangannya karena menganggap bahwa menemukan pasangan gay adalah hal yang sangat sulit. Sehingga jika ia menemukan orang yang cocok dengannya, ia akan menjadi sangat protektif. Dan menjadikan pasangan tersebut segalanya baginya. Kenyataan lainnya adalah para gay tidak mau terlihat sama dengan gay lainnya. Mereka berusaha untuk tampil berbeda atau setidaknya mempunyai kesan yang berbeda McLelland, 2000:210. Sementara itu, ada sebuah tempat di Shinjuku bernama Ni Chome yang merupakan tempat persinggahan bagi komunitas gay. Di tempat ini para gay Jepang bertemu dan berinteraksi dengan sesama gay. Tempat ini bahkan terkenal bagi wisatawan asing yang mempunyai ketertarikan sama. Ni Chome adalah tempat di mana pengunjung akan menemukan konsentrasi terbesar bar gay dan sejenisnya di dunia. Daerah ini merupakan tempat bagi sekitar 200 sampai 300 bar, pub, klub malam dan tempat-tempat lain yang melayani populasi gay Tokyo http:www.suite101.comcontentgay-tokyo. Selebihnya gay tidak memiliki perkumpulan khusus yang menjadi tempat naungan mereka. Tetapi tidak semua gay suka berada di tempat ini atau dengan senang hati akan masuk ke tempat ini. McLelland 2000:217 menyebutkan Just because a man experiences same-sex desire, this does not necessarily mean that he will feel welcomed or at home in a gay bar. Even though Tokyo provides extensive recreational space when gay men can relax as gay men, not all men who experience same-sex desire in Japan necessarily see this space as supportive. Hanya karena seorang laki-laki memilki kecenderungan hubungan sesama jenis, tidak berarti mereka akan merasa diterima atau nyaman berada di bar gay. Bahkan sekalipun Tokyo menyediakan daerah tersendiri dimana gay dapat bersantai dan menikmati hidup sebagai gay, tidak semua laki-laki yang menyukai sesama jenis di Jepang melihat hal ini sebagai tempat yang mendukung mereka.

4.2.3 Hubungan Para Gay Dengan Masyarakat

Summerhawk dalam McLelland 2005:6 mencoba menjelaskan bahwa A majority of Japanese gay men live in contradiction, a constant stuggle with the inner self, even to the point of cutting off emotions and the denial of their own oppression. Mayoritas laki-laki gay Jepang hidup dalam kontradiksi, perjuangan terus- menerus dengan batin, bahkan sampai ke titik menghilangkan emosi dan penolakan terhadap penindasan mereka sendiri. Mereka berusaha hidup dengan tampilan seperti kebanyakan orang dan berusaha untuk tidak mencolok agar orang-orang disekitarnya selain gay tidak dapat mengidentifikasi keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan cara seperti itu, mereka dapat hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat umum seperti biasa. Sekalipun gay mengakui bahwa mereka mengalami penindasan dan diskriminasi dari orang-orang sekitarnya, yang kebanyakan terjadi di sekolah. Hal itu bukan karena orang-orang mengetahui bahwa ia adalah gay, tetapi karena penampilan dan tingkah lakunya yang terlihat terlalu seperti perempuan McLelland, 2000:209. McLelland menambahkan 2000:210 bahwa hampir semua narasumber gay yang diteliti olehnya hidup seperti biasa dan cenderung mengikuti kehidupan bermasyarakat yang normatif seperti pria yang normal. Mereka masuk ke lembaga umum, sekolah sampai universitas dan bekerja di berbagai perusahaan. Hampir tidak ada dari mereka yang menunjukkan kecenderungan homoseksualitas yang mereka miliki. Mereka lebih memprioritaskan keluarga, lingkungan dan menempatkan kebutuhan seksual mereka di samping rutinitas yang mereka miliki. Atau bisa dikatakan mereka tidak mempunyai waktu untuk memikirkan kebutuhan seksuallitas mereka sebagai gay. Mereka menganggap bahwa bisa bersenang-senang dengan pasangan mereka setiap hari hanya bisa dilakukan di luar negeri. Para gay Jepang merasa mereka tidak berbeda dengan teman-temannya yang normal dan normatif. Yang menjadi persoalan adalah ketika para gay tersebut merasa tertarik dengan rekannya yang merupakan pria normal. Mereka harus berusaha keras untuk menutupi hal tersebut, jika tidak mau rekannya berubah membenci mereka. Tentu saja karena mereka tampil seperti biasa tanpa menunjukkan identitas mereka sebagai gay, orang-orang di sekitar mereka juga memperlakukan mereka seperti biasa. Dan apabila secara tidak sengaja seseorang melihat mereka sebagai gay, masyarakat Jepang akan berpura-pura tidak melihat apapun. Seperti giri dimana seseorang mempunyai kewajiban untuk menjaga reputasi orang lain Benedict, 1979:152. Hal ini sekaligus dapat menjaga hubungan bermasyarakat