Hubungan Para Gay Dengan Masyarakat
dan tingkah lakunya yang terlihat terlalu seperti perempuan McLelland, 2000:209.
McLelland menambahkan 2000:210 bahwa hampir semua narasumber gay yang diteliti olehnya hidup seperti biasa dan cenderung mengikuti
kehidupan bermasyarakat yang normatif seperti pria yang normal. Mereka masuk ke lembaga umum, sekolah sampai universitas dan bekerja di berbagai
perusahaan. Hampir tidak ada dari mereka yang menunjukkan kecenderungan homoseksualitas yang mereka miliki. Mereka lebih memprioritaskan keluarga,
lingkungan dan menempatkan kebutuhan seksual mereka di samping rutinitas yang mereka miliki. Atau bisa dikatakan mereka tidak mempunyai waktu untuk
memikirkan kebutuhan seksuallitas mereka sebagai gay. Mereka menganggap bahwa bisa bersenang-senang dengan pasangan mereka setiap hari hanya bisa
dilakukan di luar negeri. Para gay Jepang merasa mereka tidak berbeda dengan teman-temannya
yang normal dan normatif. Yang menjadi persoalan adalah ketika para gay tersebut merasa tertarik dengan rekannya yang merupakan pria normal. Mereka
harus berusaha keras untuk menutupi hal tersebut, jika tidak mau rekannya berubah membenci mereka.
Tentu saja karena mereka tampil seperti biasa tanpa menunjukkan identitas mereka sebagai gay, orang-orang di sekitar mereka juga memperlakukan mereka
seperti biasa. Dan apabila secara tidak sengaja seseorang melihat mereka sebagai gay, masyarakat Jepang akan berpura-pura tidak melihat apapun. Seperti giri
dimana seseorang mempunyai kewajiban untuk menjaga reputasi orang lain Benedict, 1979:152. Hal ini sekaligus dapat menjaga hubungan bermasyarakat
di Jepang dan menghindarkan mereka dari masalah dengan orang lain, termasuk dengan para homoseksual.
Sekalipun hal tersebut tidak selalu terjadi. Dalam banyak kasus lainnya, tidak jarang seorang gay akan mendapat tekanan dari orang-orang disekitarnya.
Masyarakat kebanyakan menganggap para gay yang secara terang-terangan mengakui dan bertindak sebagai gay di depan umum adalah hal yang menjijikkan.
Dan menilainya sebagai aib dalam masyarakat tersebut, sehingga mereka akan mendapat pengucilan, dihindari dan dijauhi. Inilah yang menyebabkan para gay di
Jepang sebisa mungkin menutupi identitas mereka di hadapan publik McLelland, 2005: 32.
Sementara itu, hal yang berbeda dilakukan oleh para perempuan Jepang. Perempuan Jepang suka mencari tahu dan mencoba memasuki dunia gay, banyak
dari mereka yang pergi ke bioskop gay atau berjalan-jalan di bar-bar gay hanya untuk melihat gay, yang membuat beberapa gay merasa seperti tontonan. Banyak
diantara para gay tersebut yang mengeluhkan para okoge, yaitu perempuan- perempuan yang senang berjalan-jalan di area Ni-Chome, shinjuku ini. mereka
mengatakan bahwa orang-orang seperti ini yang menyebabkan masalah bagi gay hingga seperti melakukan pelecehan seksual. Sedangkan gay yang lainnya sama
sekali tidak menanggapi invasi daerah gay oleh pengunjung heteroseksual, baik laki-laki ataupun perempuan. Terutama tidak merasakan empati yang sama untuk
perempuan normal seperti yang beberapa perempuan lakukan untuk mereka. Para gay merasa bahwa perempuan tidak dapat mengerti perasaan gay dan hanya ingin
berkumpul dengan gay demi keingintahuan.