Konvensi Jenewa 1949 Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang;

4. Konvensi IV tentang hukum dan kebiasaan perang didarat dilengkapi dengan peraturan Den Haag ; 5. Konvensi V tentang hak dan kewajiban negara dan warga negara netral dalam perang didarat ; 6. Konvensi VI tentang status kapal dagang musuh pada saat permulaan perang ; 7. Konvensi VII tentang staturs kapal dagang menjadi kapal perang ; 8. Konvensi VIII tentang penempatan ranjau otomatis di dalam laut ; 9. Konvensi IX tentang pemboman oleh angkatan laut di waktu perang ; 10. Konvensi X tentang adopsi azas-azas Konvensi Jenewa tentang perang di laut ; 11. Konvensi XI tentang pembatasan tertentu terhadap penggunaan hak penangkapan dalam perang angkatan laut ; 12. Konvensi XII tentang mahkamah barang-barang sitaan ; 13. Konvensi XIII tentang hak dan kewajiban negara netral dalam perang di laut ;

2. Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang yang dikenal juga dengan nama Konvensi Palang Merah adalah nama cakupan bagi keempat buah konvensi yang masing-masing bernama : 1. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran darat ; 2. Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka, sakit dan korban karam di laut ; 3. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang ;

4. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang sipil di waktu perang;

Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah sekitar tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat beberapa rumusan pengertian hukum humaniter oleh para ahli, seperti pengertian hukum humaniter menurut Mochtar Kusumaatmadja : 35 “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”. Esbjorn Rosenbland merumuskan hukum humaniter internasional dengan melakukan pembedaan, yaitu : 1. The law of armed conflict, berhubungan dengan : a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian. b. Penduduk wilayah lawan. c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral. 2. Sedangkan law of warfare, antara lain mencakup : a. Metode dan sarana berperang. b. Status kombatan. c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil. Sedangkan Jean Pictet mengartikan hukum humaniter internasional sebagai berikut: “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, wether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.” “Hukum humaniter internasional dalam arti luas adalah merupakan perlengkapan hukum konstitusi, baik tertulis maupun kebiasaan, 35 Op. Cit ICRC guna memastikan penghargaan terhadap individu sebagaimana ia berada.” Ada beberapa azas atau prinsip pokok yang terkandung dalam hukum humaniter, antara lain : 36 a. Azas keperluankepentingan militer military necessity, yaitu memberikan batasan, lamdasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling bertempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum dalam situasi perang, alat sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan. b. Azas kemanusiaan humanitarian, yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan sebagai binatang hewan, menyadari rasa kasih saying sesama manusia jangan membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya atau yang sudah menyerah, menghargai hak-hak hidup bagi manusia dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak azasi manusia. c. Azas ksatria chivalry, yaitu untuk berlaku ksatria, tidak membokong lawan dan tidak berbuat khianat. Dalam hal ini termasuk larangan untuk melakukan pembalasan dendam dengan mengatasnamakan perang atau situasi pertempuran. Perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga dan harta benda lawan. d. Azas non-diskriminasi non-discrimination, yaitu untuk menghargai persamaan derajat, tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang termasuk tawanan perang, atas dasar agama, ras, suku, bangsa, warna kulit, status sosial, afiliasi ideologi dan lain sebagainya. 36 Ibid Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut : 1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu unnecessary suffering. 2. Menjamin hak azasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Dibagian ini yang terpenting adalah azas kemanusiaan.

B. Perlindungan Penduduk Sipil Pada Konflik Bersenjata

Prinsip atau azas pembedaan distinction principle merupakan suatu azas penting dalam hukum humaniter, yaitu suatu prinsip atau azas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau terlibat konflik bersenjata yang dibagi kedalam 2 dua golongan, yakni kombatan combatant dan penduduk sipil civilian. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan hostilities, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang bukan anggota angkatan bersenjata yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan. 37 Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari azas umum yang dinamakan azas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa “the civilion population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation”. Azas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh kedalam sejumlah azas pelaksanaan principles of application, yakni : 37 Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 1984, hlm. 63