88
B. Pengaruh Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh
Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam
yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala pola sikap, tindak -tanduk, tata perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan
sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan apakah sejajar atau
bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya.
Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang
telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula,
atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut.
66
1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Laksamana”. Oleh karena
itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat hukum dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek
seperti yang termaktub dalam beberapa narit maja di bawah ini.
66
Nyak Pha M. Hakim. 2000. “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, dalam Haba No. 132000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
89
Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab sultanrajakepala pemerintahan, sedangkan hukum- hukum Islam berada di
bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat, tata upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putroe Phangpermaisuri
sultan dan adat istiadat atau kebiasaan lokal berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat.
2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet
Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan karena hokum adat adalah perangkat pelaksanaan dari hukum.
3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh Hukum Islam
dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau
mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya.
Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas
kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan pelayan bertanggungjawab atas
harta perusahaannya majikan. Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. HR. Al Bukhari dan Muslim.
Universitas Sumatera Utara
90
Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri anggota masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem
organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang bernuansa Islami, Karena sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’,
lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng mepetua.” yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpagar, sawah berpematang, orang berpimpinan’. Narit maja ini
menyiratkan bahwa sebuah komunitas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah
kehidupan yang harmonis. Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang
berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut: ”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan
negeri hukuman yang tidak mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam,
lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.
Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi
kerajaan Aceh, yaitu: a.
Kekuasaan Hukum Yudikatif yang dipegang oleh Kadhi Malikul Adil.
Universitas Sumatera Utara
91
b. Kekuasaan Adat Eksekutif yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.
c. Kekuasaan Qanun Legislatif yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat. d.
Kekuasaan Reusam Hukum Darurat yang dipegang oleh Penguasa Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam masa darurat atau waktu negara
dalam keadaan perang. Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi
menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal tidak boleh jauh atau bercerai dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:
”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau ulama bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang
siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah,
maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.
Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kerajaan, keharmonisan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit dalam komunitas
tersebut, seperti dikatakan dalam narit maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana.
Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang,
Universitas Sumatera Utara
92
Reusam bak BentaraLaksamana. Narit maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat- istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan
diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja masa lalu ataupun saat
ini berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan kembali, dan takut sekali melanggar adat walau kadang bertentangan dengan syariat Islam. Sikap ini
merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud narit maja, “Boh malairi ie
paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.
C. BentukWujud Sistem Kepemimpinan di Aceh Berdasarkan Qanun Meukuta Alam