Nilai-nilai Budaya Lokal Aceh terkait dengan Kepemimpinan

82

BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

A. Nilai-nilai Budaya Lokal Aceh terkait dengan Kepemimpinan

Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat. 60 Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja Masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan. Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang pernah hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. 61 60 Melalatoa, M. Junus. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono ed. Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam. Hlm. 10 61 Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Gratifipers. , sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, Universitas Sumatera Utara 83 alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga idelanya dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pelanggarnya disebut tercela. Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diriwatak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk 62 Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris, dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampung haruslah ada pimpinannya narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat Istiadat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat. Narit yang tidak mengarah ke arah keluhuran budi tidak disebut narithadih maja. 62 Zaini Ali dkk.. 2009. Narit Maja Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh. Hlm. 1 Universitas Sumatera Utara 84 yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan menjadi kacau balau disebut tidak berbudaya no culture bahkan lebih jauh lagi disebut tidak beradab uncivilized. Berdasarkan teori serba sifat-sifat traits theory dalam kepemimpinan yang dipaparkan dalam kerangka teori, Di Aceh secara tradisional dikenal tiga syarat minum dari seorang pemimpin, yaitu cerdas, berani, jujur. 63 Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi gugur semua syarat lain atau gagaltidak terpenuhi sebagai pemimpin. Jelas syarat ini diwarisi dari keislaman. Ketentuan ini dinisbatkan kepada tungku tempat menyerang periuk. Jadi hanya dua tungku pastilah gagallah acara menyerangmenanak. 64 Selain itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter masyarakat yang dipimpinnya secara baik. 65 63 Wawancara dengan Bapak Azharudin Ramli, Keuchik gampong Lhok pawoh. Wawancara dilakukan tanggal 10 Mei 2015 64 ibid 65 ibid Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan tajam, seorang pemimpin di Aceh tidak bertahan lama, gagal, dan tidak berharga. Hal ini tampak pada narit maja berikut ini Lampoh mupageue, umong mupitak Universitas Sumatera Utara 85 Kebun berpagar, sawah berpetak Nanggroe meusyarak maseng na raja Negeri berhukum semua ada raja Lagee mon tuha, Geulupak, tapeh keunan bandum Seperti sumur tua, Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu: 1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan. Hal ini disebabkan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih maja yang menyatakan hal tersebut, Nibak lon kalon dumnoe pie, Bakkeuh reule ho langkah ba, Hantom digob na digeutanyoe, Saboh nanggroe dua raja Daripada kulihat begini keadaannya, Biarlah hancur kemana langkah bawa, Tidak pernah pada orang ada sama kita, Satu negeri dua orang raja Saboh nanggroe dua tanglong Saboh gampong dua peutua Dalam satu negeri dua tanglung,Dalam satu kampong dua pemimpinnya Universitas Sumatera Utara 86 2. Pemimpin adalah raja Dalam terminologi masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja. Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hukum. Hukum adat tidak membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas sebagai factorkarakter genetis, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini adalah: Euncien bak putu bek tasok bak gitek, Aneuk bak gundek bek taboh keu raja Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking, Anak pada gundik jangan diangkat menjadi raja 3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada narit maja berikut ini, Universitas Sumatera Utara 87 Nyankeuh raja nyang seureuloe Aneuk nanggroe that geuaja itulah raja yang sangat utama Selalu mengajari rakyatnya Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik, tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip ini tercermin dalam hadih maja berikut ini: Raja ade geuseumah Raja laklem geusanggah Raja adil disembah Raja zalim disanggah Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial, yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam negara harus memberikan peringatan kepada kepala negara, baik cara lembut maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Dimungkinkan halnya makmum dianjurkan menegur imam yang lalai atau keliru dalam rukun shalat berjamaah. Hal ini tampak dari narit maja berikut Paleh inong hana lakoe Paleh nanggroe laklem raja Sial wanita tak bersuami Sial negeri zalim raja Universitas Sumatera Utara 88

B. Pengaruh Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh

Dokumen yang terkait

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

3 69 135

PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG (Studi Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Gampong Gegarang, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

2 25 29

Budaya Organisasi Pemerintahan Gampong Bireuen Meunasah Capa Utara

0 0 2

Kekuasaan Keuchik Dalam Sistem Pemerintahan Gampong (Kekuasaan Elit Lokal Di Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 13

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 4

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 4 33

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 1 35

Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)

0 0 2

TUGAS DAN FUNGSI KEUCHIK, TUHA PEUET DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN GAMPONG LAMPISANG KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR BERDASARKAN QANUN NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN GAMPONG

0 0 14