Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan akan sumber daya manusia yang unggul dan profesional mutlak adanya pada segala bidang. Sekolah sebagai media pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan globalisasi. Keberhasilan siswa di dalam kelas ditentukan oleh berbagai aspek, yang diantaranya adalah daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi. Namun demikian, adanya perbedaan daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi yang dilakukan oleh siswa menimbulkan masalah tersendiri dalam proses belajar-mengajar di sekolah, utamanya bagi siswa yang daya tangkap dan kecepatan belajarnya melebihi teman-teman sebayanya. Dalam studi kasus yang dilakukan Dharnoto 2006, dibahas tentang siswa yang bernama Riana dan Adrian, keduanya mulai duduk di bangku SD pada umur empat tahun, bahkan Adrian sejak usia dua tahun sudah bisa membaca koran, merasa kesal karena dikelas reguler mereka merasa pelajarannya diulang ulang. Kemampuan Riana dan Adrian dapat dimasukkan dalam tanda-tanda umum anak berbakat, yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dengan temannya, disamping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menyerap informasi sebanyak mungkian dengan mudah dan cepat Jaya, 2009. Fenomena di atas juga sesuai dengan ciri-ciri anak cerdas istimewa commit to user 2 yang dikemukakan oleh Monks dan Ypenburg yang dikutip oleh Van Tiel 2007 bahwa sejak dini anak cerdas istimewa sudah belajar membaca dan menulis dengan caranya sendiri tanpa diajari. Pemerintah menaruh perhatian tentang masalah anak berbakat dan cerdas istimewa, berupaya memberikan pelayanan pendidikan yang dinilai sesuai bagi mereka. Perhatian tersebut berupa beasiswa, perintisan sekolah anak berbakat sampai pada akhirnya pada tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar Akbar, 2004. Program percepatan belajar atau disebut juga program akselerasi diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan Depdiknas, 2003. Hawadi 2004 mengemukakan bahwa program akselerasi adalah pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan teman-temannya. Pelayanan pendidikan bagi anak berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa dalam program akselerasi ditunjang dengan fasilitas yang berbeda dibanding dengan program reguler atau kelas biasa demi mengoptimalkan proses belajar siswa kelas akselerasi. Fasilitas tersebut diantaranya adalah disediakannya kelas khusus yang ber-AC dengan sistem pengaturan suhu yang baik, multimedia dan dilengkapi dengan internet serta pembatasan jumlah siswa agar proses pembelajaran lebih efektif Kwartolo, 2005. commit to user 3 Percepatan masa belajar yang semula tiga tahun menjadi dua tahun menjadikan para siswa program akselerasi belajar “ekstra” keras. Porsi belajar siswa program akselerasi ditambah, pukul 07.00 sampai dengan 14.00, bahkan ada yang sampai sore, ditambah les untuk mata pelajaran tertentu, bisa dikatakan bahwa sudah pulang lebih larut dari pada program reguler dirumah mereka harus mengerjakan PR yang lebih banyak dari pada kelas reguler. Kerja mereka hanya belajar, mandi, makan, dan belajar Dharnoto, 2006. Program akselerasi memiliki jadwal yang sedemikian ketat, sehingga sering timbul pertanyaan apakah para siswa kelas akselerasi menjalani kehidupan secara normal, walaupun dalam kelas mereka mendapat fasilitas yang khusus. Mutiara, seorang pelajar SMA Negeri 8 Jakarta yang mengikuti program akselerasi, merasakan pergaulannya menjadi terbatas, dikarenakan setiap hari jadual belajarnya sangat padat. Senin hingga Jumat belajar sekitar pukul tujuh pagi hingga pukul empat sore. Pada hari Sabtu ketika pelajar lain libur dari kegiatan akademis dan menjalani aktivitas ekstrakurikuler, Mutiara dan 19 teman sekelasnya justru disibukkan dengan berbagai praktikum Permanasari, 2004. Permasalahan sosialisasi antara program reguler dan akselerasi sulit dihindari. Seperti yang dikemukakan oleh orang tua siswa akselerasi-Sigit Sigalayan dari Samarinda yang sempat kaget ketika putranya Bhima bercerita kalau teman-temannya di kelas reguler saat SMP mengatakan bahwa kelas akselerasinya tidak diakui sebagai satu angkatan dengan murid yang masuk bersamaan ke sekolah itu hanya karena waktu lulusnya berbeda, atau sebaliknya siswa kelas 3 masih menganggap mereka baru kelas 2 Sigalayan, 2008. Hal itu commit to user 4 karena waktu belajar yang umumnya ditempuh tiga tahun, diprogram akselerasi dengan pemadatan materi menjadi dipercepat dan hanya berlangsung dua tahun. Belajar tentunya adalah hal yang utama bagi siswa, terutama bagi siswa kelas akselerasi dalam mempertahankan prestasi dan keberadaan mereka dalam kelas akselerasi. Kepala SMPN 1 Sukatminanto dalam Anwar, 2007 mengatakan ada syarat khusus yang harus dipenuhi siswa agar bisa masuk kelas akselerasi dan memperoleh kompensasi pemangkasan waktu studi. Syarat tersebut diantaranya adalah siswa harus ber-IQ minimal 125, nilai akademik untuk pelajaran MIPA dan bahasa Inggris rata-rata minimal 7,5, lolos tes psikologi dan tes komitmen serta sudah melewati pengamatan guru dan wali kelas setelah 1,5 bulan jadi siswa. Kalau siswa lolos tes dan dinyatakan diterima, masih ada dua syarat tambahan lain, syarat tersebut, dites kesehatannya dan siswa dan orang tua harus mau meneken surat pernyataan yakni sanggup jadi peserta kelas akselerasi. Jika di tengah jalan tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada harus mau diturunkan di kelas reguler. Siswa program akselerasi adalah individu yang berada pada masa remaja, pada masa remaja kondisi perkembangan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, mental dan sosial. Hurlock 2004 menyebutkan bahwa masa remaja berada dalam rentang umur tiga belas tahun sampai delapan belas tahun, dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa ketegangan emosi yang meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar. Fisik remaja yang berkembang adalah tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks primer dan sekunder. Retnowati 2008 menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan fisik yang terjadi pada masa commit to user 5 pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ- organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan menstruasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio mimpi basah pertama, pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya. Tidak semua remaja dapat menerima perubahan dan menunjukkan kepuasan pada perubahan tersebut sehingga membuat remaja mudah mengalami perubahan suasana hati, sedih, gelisah, dan menangis tanpa sebab. Levine Smolak dalam Asrori, 2009 menyatakan bahwa 40-70 remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Hurlock 2004 menyebutkan pula bahwa tubuh anak perempuan yang terlalu tinggi ataupun anak laki-laki yang terlalu kurus, menimbukan penilaian sosial yang kurang baik. Shaw, Stice, dan Whitenton dalam Asrori, 2009 menyebutkan bahwa ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang commit to user 6 penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptif Elkind dan Postman dalam Retnowati, 2008 menyebutkan tentang fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat- obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis. Masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang sangat kompeten dan terampil untuk mengelola teknologi tersebut, ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional. Bellak dalam Retnowati, 2008 menyebutkan bahwa remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan yang segala sesuatunya berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa siswa program akselerasi berada dalam kondisi yang serba sulit, mereka harus memenuhi kebutuhan diri commit to user 7 sendiri dan lingkungan sekaligus memenuhi tuntutan yang besar dari program akselerasi itu sendiri. Psikolog UI, Reni Akbar Hawadi dalam Majidi, 2009 mengemukakan bahwa siswa akselerasi cenderung akan mengalami stres pada awal program dan stres tersebut akan muncul lagi saat ujian. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Hajar Pamadhi dalam Fenizar, 2005 memberikan tambahan informasi bahwa banyaknya sekolah yang menerapkan program percepatan akselerasi studi, mengakibatkan rata-rata 11 orang pelajar per tahun menderita depresi karena beban mental dan kelelahan belajar. Feldhusen dalam Indriasari, 2007 menyatakan bahwa jika seorang anak diketahui memiliki bakat intelektual, banyak orang yang mengharapkan anak tersebut dapat menunjukkan kemampuannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Jika tuntutan tersebut dinilai melebihi batas kemampuan yang dimiliki siswa untuk berespon, maka mereka akan mengalami stress. Rathi 2007 menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas dan keintiman dalam hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor penting yang memberi kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychologica l well- being pada remaja. Menurut Ryff dalam Trankle, 2008 psychologica l well-being adalah ukuran yang multidimensi dari perkembangan psikologis dan kesehatan mental, termasuk skala tingkatan kemandirian dan hubungan yang positif dengan orang lain. Kondisi ketertekanan yang dialami siswa akselerasi sudah tentu akan mengganggu psychologica l well-being mereka sebagai remaja. Dalam kondisi tersebut tentunya agar tidak mengganggu psychologica l well-being , mereka harus commit to user 8 mempunyai coping stres yang baik. Coping stres mencerminkan upaya seseorang dalam menghadapi stres. Lazzarus dan Folkman dalam Compas, 2001 mengemukakan bahwa coping adalah suatu perubahan konstan dari kognitif dan tingkah laku yang berusaha untuk mengatur tuntutan spesifik, luar maupun dalam yang dinilai membebani atau melampaui kapasitas dari seseorang. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Smith, 2007, coping stres mempunyai dua tipe yaitu problem focused coping dan emotion focused coping . Menurut Lazarus dan Folkman dalam Andrews dkk., 2004 problem focused coping termasuk usaha untuk mengendalikan atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused coping adalah usaha untuk mengelola respon emosional terhadap stres. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua tipe coping stres yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dimungkinkan memiliki efektivitas yang berbeda pula dalam keberhasilan menghadapi stres. Menurut Carver dkk. dalam Moore, 2007 problem focused coping dikatakan potensial bermanfaat karena dalam beberapa penelitian ternyata berhubungan secara negatif terhadap simtom gangguan mental, sedangkan emotion focused coping menunjukkan hubungan positif yang lebih konsisten dengan simtomatologi psikiatri dan masalah kesehatan fisik. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melihat psychologica l well-being siswa kelas akselerasi ditinjau dari tipe coping stress yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping. commit to user 9

B. Perumusan Masalah