PSYCHOLOGICAL WELL BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA
PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPECOPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI
SMA NEGERI 3 SURAKARTA
Skripsi
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi
Disusun Oleh : Alvian Pribadi
G0104006
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
(2)
commit to user
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul
Nama Peneliti NIM
Tahun
:
: : :
PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU
DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA
PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA
Alvian Pribadi G0104006 2010
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Hari Tanggal
: _______________ : _______________
Pembimbing I
Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP. 194904151981032001
Pembimbing II
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
(3)
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA
Alvian Pribadi, G0104006, Tahun 2010
Telah diuji dan disahkan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Hari Tanggal : _______________ : _______________ 1. 2. 3. 4. Pembimbing I
Dra. Salmah Lilik, M.Si.
Pembimbing II
Rin Widya Agustin, M.Psi.
Penguji I
Drs. Thulus Hidayat, S.U., M.A.
Penguji II
Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si.
( ______________ ) ( ______________ ) ( ______________ ) ( ______________ ) Surakarta, ______________ Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi NIP. 197698172005012002
Ketua Program Studi Psikologi
Drs Hardjono, M.Si NIP. 195901191989031002
(4)
commit to user
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi
saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, November 2010
(5)
commit to user
MOTTO
(6)
commit to user
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh hormat serta cinta, kasih, dan sayang, karya ini kupersembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapak tercinta, 2. Staf pengajar Program Studi Psikologi UNS, 3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini, 4. Almamaterku
(7)
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul Perbedaan Psychological Well Being Ditinjau dari Tipe Coping
Stress, sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari akan kekurangan, kelemahan, dan hambatan yang
penulis hadapi, sehingga tanpa dorongan, bantuan, bimbingan, serta doa dari
beberapa pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik, oleh karena itu
penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin
penelitian pada penulis.
2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku ketua Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan dosen pembimbing I,
yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang
bermanfaat bagi kelancaran skripsi penulis.
3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang telah
memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi
(8)
commit to user
4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II, yang dengan sabar
memberikan bimbingan, arahan, masukan, serta memberi semangat, dan
motivasi untuk terus berusaha hingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
5. Bapak Drs. Thulus Hidayat, S.U., M.A., selaku penguji I, yang memberi
masukan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si., selaku penguji II, yang
memberi kemudahan bagi penyelesaian skripsi ini.
7. Ibu Suci Murti Karini, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus
berjuang menyelesaikan skripsi.
8. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu
dan pengalaman kepada penulis.
9. Seluruh staf tata usaha dan perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran
studi penulis.
10. Bapak Kusmanto selaku Kepala Program Akselerasi yang telah membantu
dalam persiapan pelaksanaan penelitian Program Akselerasi di SMA
Negeri 3 Surakarta.
11. Adik-adik siswa kelas akselerari X SMA N 3 Surakarta yang telah
(9)
commit to user
12. Ibuku tersayang, Ibu Suprapti Ningsih, yang telah memberikan kesabaran,
nasihat, pengertian, semangat, motivasi, serta kasih sayang, dan doa yang
selalu beliau panjatkan demi kesuksesan saya.
13. Ayahku tersayang, Bapak Djoko Muljono, BA. yang telah memberikan
kesabaran, nasihat, pengertian, semangat, motivasi, dana kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu
beliau panjatkan demi kesuksesan saya.
14. Ullum, Raihana, Wahyu Pratomo, Ratih, Rini, Dewi, Femi, Erwin, Putri,
Nita, Dian, Agung B/N/W, Dani M, Candra, Sindhu, Irwan, dan
teman-teman Psikologi FK UNS dari semua angkatan. Terima kasih atas semua
dukungan dan bantuan yang telah kalian berikan.
15. dr. Mudzakkir Sp. An dan mamah, dr. Guntur dan mbak Fida, dr. Zen
Ahyar, dr. Iwing, dr. Andi, dr. Sandi, dan mr. Lilik. Terima kasih banyak
atas kasih sayang, perhatian, bantuan dan semangat yang telah saya terima.
16. Tegar, Lala, Agung, Icha, Iput, Tita, Ryan, Erika, Adiya, Viska,
17. dan seluruh teman-teman MAPALA VAGUS FK UNS, terima kasih untuk
rasa kebersamaan yang tidak akan pernah terlupakan.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada kita semua.
Surakarta, November 2010
(10)
commit to user
PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI
SMA NEGERI 3 SURAKARTA
G0104006 Alvian Pribadi
Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, sehingga dapat menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan. Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dapat timbul dalam pelaksaaan program akselerasi adalah terciptanya kondisi stres. Upaya untuk mengatasi stres tersebut dinamakan coping, dan bertujuan bertujuan mempertahankan well-beingnya
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan psychologica l well-being (PWB) ditinjau dari tipe coping stres yang berupa problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping (EFC) pada siswa program akselerasi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX pada program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Teknik pengambilan sampel dengan studi populasi. Alat pengumpulan data menggunakan modifikasi COPE Inventor y dan modifikasi skala psychologica l well-being dari WLS Sur vey. Analisis hipotesis dengan Uji Ma nn-Whitney.
Dari perhitungan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney diperoleh
hasil p-va lue , maka diperoleh
kesimpulan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres.
Hasil analisis deskriptif memberikan gambaran bahwa siswa program akselerasi cenderung memakai tipe coping berupa EFC (74%). Siswa program akselerasi yang menggunakan tipe PFC paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%), sama halnya dengan siswa yang menggunakan tipe EFC yaitu paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%). PWB siswa yang menggunakan tipe PFC lebih tinggi dari siswa yang menggunakan tipe EFC dengan selisih mean statistik yang tidak signifikan.
Kata kunci: psychologica l well-being, tipe coping, stres, problem focused coping, emotionfocused coping, progr am a kseler asi.
(11)
commit to user
PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGVIEWED FROM THE TYPE OF COPING AT SMA NEGERI 3 SURAKARTA
ACCELERATED PROGRAM STUDENT
G0104006 Alvian Pribadi
Accelerated program is an answer to the need for educational services for students who have special talents and extraordinary intelligence. In the accelerated program, students receive special attention and more lessons can be driven for achievement and talent development, so as to complete the program earlier than the time to learn more determined. In practice, the acceleration program in addition to having a positive impact also has a negative impact. Negative impacts that may arise in the conduct of accelerated program is the creation of conditions of stress. Efforts to cope with stress is called coping, and aims to maintain their pschological well being.
This study aimed to determine whether there is difference in psychological well-being (PWB) in terms the type of stress coping in the form of problem focused coping (PFC) and emotion focused coping (EFC) on an accelerated program students. The subject of this research is a class IX student at the SMA NEGERI 3 SURAKARTA accelerated program. Sampling techniques with the study population. Tools of data collection using a modified scale modification COPE Inventory and psychological well-being of WLS Survey. Analysis of the hypothesis with the Mann-Whitney test.
From the calculation using the Mann-Whitney test result p-value = 0
no difference in psychological well-being in terms of type of stress coping.
Results of descriptive analysis suggests that the accelerated program students tend to use coping type of EFC (74%). Students acceleration program that uses a type of PFC's most lots are in the moderate category (69.2%), as well as students who use the type that is most widely EFC is in the moderate category (69.2%). PWB students who use type of PFC is higher than students who use type of EFC with the mean difference was not statistically significant. ….
Key words: psychological well-being, type of coping, stress, problem focused coping, emotion focused coping, accelerated program.
(12)
commit to user
HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... KATA PENGANTAR ... ABSTRAK ... ABSTRACT………. DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... B. Perumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ...
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tipe Coping Stres
1. Pengertian Tipe Coping Stres... 2. Dimensi-Dimensi Tipe Coping Stres ... ………… 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres ... B. Psychological Well-Being
1. Pengertian Psychologica l Well-Being……….. 2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being………... 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychologica l Well-Being C. Program Akselerasi
1. Pengertian Program Akselerasi ………. 2. Ciri-Ciri Program Akselerasi………...
i ii iii iv v vi vii x xi xii xv xvi xvii 1 9 9 9 11 14 20 22 24 25 28 29
(13)
commit to user
4. Kekurangan Program Akselerasi………
D. Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe Coping Stres Pada Siswa Program Akselerasi……… E. Kerangka Pikir……….. F. Hipotesis………
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian ………... B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Tipe Coping Stres………. 2. Psychological Well Being……… C. Populasi, Sampel, dan Sampling ………. D. Metode Pengumpulan Data……….. E. Analisis Data
1. Uji Validitas Dan Daya Beda Aitem Alat Ukur………... 2. Uji Reliabilitas Aitem Alat Ukur………. 3. Uji Hipotesis………
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian ……… 2. Persiapan Penelitian………. B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian……… 2. Pengumpulan Data………... 3. Pelaksanaan Skoring………... C. Hasil Analisis Data
1. Analisis Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Alat Ukur………… 2. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas Data……… b. Uji Homogenitas………. 3. Uji Hipotesis……… 4. Analisis Deskriptif………...
34 36 39 39 40 40 41 42 42 45 45 45 46 49 50 50 51 52 54 55 56 57
(14)
commit to user
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……….. B. Saran ………... DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN………..
63 64 66 70
(15)
commit to user
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.Variabel Dummy Untuk Skala Coping Stres………... Skala Tipe Coping Stres Problem Focused Coping……… Skala Tipe Coping Stres Emotion F ocused Coping……….... Skala Psychological Well-Being ………... Jumlah Siswa Untuk Penelitian...……….. Indeks Daya Beda Aitem Skala Coping Stres……….. Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Coping Stres…... Indeks Daya Beda Aitem Skala Psychological Well Being……... Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Psychologica l Well Being………... Hasil Uji Normalitas………... Hasil Uji Homogenitas………... Hasil Uji Hipotesis Ma nn-Whitney………... Kondisi Empiris Tipe Coping Stres pada Siswa Program Akselerasi ... Kategorisasi Subjek Berdasar Skor Alat Ukur Penelitian …… Mean Psychological Well BeingDitinjau dari Tipe Coping Stres……….. . 43 44 44 44 50 53 53 54 54 55 56 57 58 58 58
(16)
commit to user
Gambar I..
Dinamika Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe
(17)
commit to user
Lampiran A.Lampiran B. Lampiran C. Lampiran D. Lampiran E. Lampiran F. Lampiran G. .
Alat Ukur Penelitian……… Tabulasi Data Hasil Penelitian……… Uji Reliabilitas dan Daya Beda Aitem……… Tabulasi Data Hasil Try Out Terpakai……… Hasil Uji Asumsi………... Hasil Uji Hipotesis………... Surat Ijin dan Surat Tanda Bukti Penelitian………
70 79 94 107 122 125 127
(18)
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan akan sumber daya manusia yang unggul dan profesional
mutlak adanya pada segala bidang. Sekolah sebagai media pembelajaran yang
diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan
globalisasi. Keberhasilan siswa di dalam kelas ditentukan oleh berbagai aspek,
yang diantaranya adalah daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi.
Namun demikian, adanya perbedaan daya tangkap dan kecepatan dalam
memproses informasi yang dilakukan oleh siswa menimbulkan masalah tersendiri
dalam proses belajar-mengajar di sekolah, utamanya bagi siswa yang daya
tangkap dan kecepatan belajarnya melebihi teman-teman sebayanya.
Dalam studi kasus yang dilakukan Dharnoto (2006), dibahas tentang siswa
yang bernama Riana dan Adrian, keduanya mulai duduk di bangku SD pada umur
empat tahun, bahkan Adrian sejak usia dua tahun sudah bisa membaca koran,
merasa kesal karena dikelas reguler mereka merasa pelajarannya diulang ulang.
Kemampuan Riana dan Adrian dapat dimasukkan dalam tanda-tanda umum anak
berbakat, yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak
hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda
dengan temannya, disamping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki
kemampuan menyerap informasi sebanyak mungkian dengan mudah dan cepat
(19)
yang dikemukakan oleh Monks dan Ypenburg yang dikutip oleh Van Tiel (2007)
bahwa sejak dini anak cerdas istimewa sudah belajar membaca dan menulis
dengan caranya sendiri tanpa diajari.
Pemerintah menaruh perhatian tentang masalah anak berbakat dan cerdas
istimewa, berupaya memberikan pelayanan pendidikan yang dinilai sesuai bagi
mereka. Perhatian tersebut berupa beasiswa, perintisan sekolah anak berbakat
sampai pada akhirnya pada tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan
Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (Akbar, 2004).
Program percepatan belajar atau disebut juga program akselerasi
diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi
siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan
pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (Depdiknas, 2003). Hawadi
(2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah pemberian layanan
pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan memberi kesempatan
kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang
lebih cepat dibandingkan teman-temannya.
Pelayanan pendidikan bagi anak berkemampuan dan berkecerdasan luar
biasa dalam program akselerasi ditunjang dengan fasilitas yang berbeda dibanding
dengan program reguler atau kelas biasa demi mengoptimalkan proses belajar
siswa kelas akselerasi. Fasilitas tersebut diantaranya adalah disediakannya kelas
khusus yang ber-AC dengan sistem pengaturan suhu yang baik, multimedia dan
dilengkapi dengan internet serta pembatasan jumlah siswa agar proses
(20)
Percepatan masa belajar yang semula tiga tahun menjadi dua tahun
menjadikan para siswa program akselerasi belajar “ekstra” keras. Porsi belajar
siswa program akselerasi ditambah, pukul 07.00 sampai dengan 14.00, bahkan ada
yang sampai sore, ditambah les untuk mata pelajaran tertentu, bisa dikatakan
bahwa sudah pulang lebih larut dari pada program reguler dirumah mereka harus
mengerjakan PR yang lebih banyak dari pada kelas reguler. Kerja mereka hanya
belajar, mandi, makan, dan belajar (Dharnoto, 2006).
Program akselerasi memiliki jadwal yang sedemikian ketat, sehingga
sering timbul pertanyaan apakah para siswa kelas akselerasi menjalani kehidupan
secara normal, walaupun dalam kelas mereka mendapat fasilitas yang khusus.
Mutiara, seorang pelajar SMA Negeri 8 Jakarta yang mengikuti program
akselerasi, merasakan pergaulannya menjadi terbatas, dikarenakan setiap hari
jadual belajarnya sangat padat. Senin hingga Jumat belajar sekitar pukul tujuh
pagi hingga pukul empat sore. Pada hari Sabtu ketika pelajar lain libur dari
kegiatan akademis dan menjalani aktivitas ekstrakurikuler, Mutiara dan 19 teman
sekelasnya justru disibukkan dengan berbagai praktikum (Permanasari, 2004).
Permasalahan sosialisasi antara program reguler dan akselerasi sulit
dihindari. Seperti yang dikemukakan oleh orang tua siswa akselerasi-Sigit
Sigalayan dari Samarinda yang sempat kaget ketika putranya Bhima bercerita
kalau teman-temannya di kelas reguler (saat SMP) mengatakan bahwa kelas
akselerasinya tidak diakui sebagai satu angkatan dengan murid yang masuk
bersamaan ke sekolah itu hanya karena waktu lulusnya berbeda, atau sebaliknya
(21)
karena waktu belajar yang umumnya ditempuh tiga tahun, diprogram akselerasi
dengan pemadatan materi menjadi dipercepat dan hanya berlangsung dua tahun.
Belajar tentunya adalah hal yang utama bagi siswa, terutama bagi siswa
kelas akselerasi dalam mempertahankan prestasi dan keberadaan mereka dalam
kelas akselerasi. Kepala SMPN 1 Sukatminanto (dalam Anwar, 2007) mengatakan
ada syarat khusus yang harus dipenuhi siswa agar bisa masuk kelas akselerasi dan
memperoleh kompensasi pemangkasan waktu studi. Syarat tersebut diantaranya
adalah siswa harus ber-IQ minimal 125, nilai akademik untuk pelajaran MIPA dan
bahasa Inggris rata-rata minimal 7,5, lolos tes psikologi dan tes komitmen serta
sudah melewati pengamatan guru dan wali kelas setelah 1,5 bulan jadi siswa.
Kalau siswa lolos tes dan dinyatakan diterima, masih ada dua syarat tambahan
lain, syarat tersebut, dites kesehatannya dan siswa dan orang tua harus mau
meneken surat pernyataan yakni sanggup jadi peserta kelas akselerasi. Jika di
tengah jalan tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada harus mau diturunkan di
kelas reguler.
Siswa program akselerasi adalah individu yang berada pada masa remaja,
pada masa remaja kondisi perkembangan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh
kondisi fisik, mental dan sosial. Hurlock (2004) menyebutkan bahwa masa remaja
berada dalam rentang umur tiga belas tahun sampai delapan belas tahun, dianggap
sebagai periode "badai dan tekanan", suatu masa ketegangan emosi yang
meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar. Fisik remaja yang berkembang
adalah tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks primer dan sekunder. Retnowati
(22)
pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis,
tidak beraturan dan terjadi pada sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai
diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi
serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai
dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik
seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan
organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan
dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri
ditandai dengan (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut
pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami
pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis,
tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan
sebagainya.
Tidak semua remaja dapat menerima perubahan dan menunjukkan
kepuasan pada perubahan tersebut sehingga membuat remaja mudah mengalami
perubahan suasana hati, sedih, gelisah, dan menangis tanpa sebab. Levine &
Smolak (dalam Asrori, 2009) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan
merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya
pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Hurlock (2004) menyebutkan pula
bahwa tubuh anak perempuan yang terlalu tinggi ataupun anak laki-laki yang
terlalu kurus, menimbukan penilaian sosial yang kurang baik. Shaw, Stice, dan
Whitenton (dalam Asrori, 2009) menyebutkan bahwa ketidakpuasan akan diri ini
(23)
penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan
yang maladaptif
Elkind dan Postman (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan tentang
fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan
harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami
banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan
serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa
sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan
tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan
obat-obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang
kronis. Masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang
sangat kompeten dan terampil untuk mengelola teknologi tersebut,
ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat
dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami
gangguan emosional.
Bellak (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan bahwa remaja masa kini
dihadapkan pada lingkungan yang segala sesuatunya berubah sangat cepat.
Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk
diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang
disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan,
absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
benturan budaya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa siswa program akselerasi
(24)
sendiri dan lingkungan sekaligus memenuhi tuntutan yang besar dari program
akselerasi itu sendiri.
Psikolog UI, Reni Akbar Hawadi (dalam Majidi, 2009) mengemukakan
bahwa siswa akselerasi cenderung akan mengalami stres pada awal program dan
stres tersebut akan muncul lagi saat ujian. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta,
Hajar Pamadhi (dalam Fenizar, 2005) memberikan tambahan informasi bahwa
banyaknya sekolah yang menerapkan program percepatan (akselerasi) studi,
mengakibatkan rata-rata 11 orang pelajar per tahun menderita depresi karena
beban mental dan kelelahan belajar. Feldhusen (dalam Indriasari, 2007)
menyatakan bahwa jika seorang anak diketahui memiliki bakat intelektual, banyak
orang yang mengharapkan anak tersebut dapat menunjukkan kemampuannya pada
tingkatan yang lebih tinggi. Jika tuntutan tersebut dinilai melebihi batas
kemampuan yang dimiliki siswa untuk berespon, maka mereka akan mengalami
stress.
Rathi (2007) menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas
dan keintiman dalam hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor
penting yang memberi kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychologica l
well-beingpada remaja. Menurut Ryff (dalam Trankle, 2008) psychologica l well-being
adalah ukuran yang multidimensi dari perkembangan psikologis dan kesehatan
mental, termasuk skala tingkatan kemandirian dan hubungan yang positif dengan
orang lain. Kondisi ketertekanan yang dialami siswa akselerasi sudah tentu akan
mengganggu psychologica l well-being mereka sebagai remaja. Dalam kondisi
(25)
mempunyai coping stres yang baik. Coping stres mencerminkan upaya seseorang
dalam menghadapi stres. Lazzarus dan Folkman (dalam Compas, 2001)
mengemukakan bahwa coping adalah suatu perubahan konstan dari kognitif dan
tingkah laku yang berusaha untuk mengatur tuntutan spesifik, luar maupun dalam
yang dinilai membebani atau melampaui kapasitas dari seseorang. Menurut
Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007), coping stres mempunyai dua tipe
yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Menurut Lazarus dan
Folkman (dalam Andrews dkk., 2004) problem focused coping termasuk usaha
untuk mengendalikan atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused
copingadalah usaha untuk mengelola respon emosional terhadap stres.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua tipe
coping stres yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping
memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dimungkinkan memiliki efektivitas
yang berbeda pula dalam keberhasilan menghadapi stres. Menurut Carver dkk.
(dalam Moore, 2007) problem focused coping dikatakan potensial bermanfaat
karena dalam beberapa penelitian ternyata berhubungan secara negatif terhadap
simtom gangguan mental, sedangkan emotion focused coping menunjukkan
hubungan positif yang lebih konsisten dengan simtomatologi psikiatri dan
masalah kesehatan fisik. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melihat
psychologica l well-being siswa kelas akselerasi ditinjau dari tipe coping stress
(26)
B. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah “Apakah ada
perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa
program akselerasi?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa
program akselerasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah pada Psikologi
Klinis serta Psikologi Pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
Memberikan informasi tentang coping stres yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan psychologica l well-being mereka.
b. Bagi Praktisi Psikologi, Guru dan Orang Tua
Memberikan informasi bahwa terdapat adanya situasi dan kondisi
yang menekan pada program akselerasi sehingga praktisi Psikologi, guru
(27)
adalah salah satu faktor yang berperan membantu siswa program akselerasi
dalam mempertahankan psychologica l well-being mereka.
c. Bagi Sekolah
Memberikan informasi mengenai kaitan coping stres dengan
psychologica l well-being dan selanjutnya dapat digunakan untuk
meningkatkan pelayanan belajar-mengajar dengan menyeimbangkan aspek
(28)
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tipe Coping Stres 1. Pengertian Tipe CopingStres
Setiap orang dalam hidupnya mengalami stres, karena stres adalah
bagian dari hidup seseorang. Lazarus (dalam Kovacs, 2007) mengemukakan
bahwa merasa stres adalah sebagai kondisi secara subyektif dialami oleh
responden yang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang ditujukan
pada dirinya dengan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan
tersebut.
Stres sendiri ada yang bermanfaat, ada pula yang merugikan. Selye
(dalam Kovacs, 2007) mengemukakan bahwa stres yang baik dan berhubungan
dengan perasaan yang positif dan respon psikologis yang sehat disebut
Eustress, sedangkan stres yang berhubungan erat dengan perasaan negatif dan
tergangguanya keadan jasmaniah disebut Distress.
Lazarus (dalam Kovacs, 2007) juga membuat perbedaan antara stres,
beliau membedakan stres menjadi:
a. Ha rm (gangguan), yaitu kerusakan psikologis yang telah terjadi
semisal gagal bertemu klien sehingga kehilangan proyek bernilai
jutaan.
b. Threa t (ancaman), yaitu gangguan yang telah diperkirakan, belum
(29)
c. Cha llenge (tantangan), yaitu hasil dari tuntutan yang sulit, yang kita
rasakan percaya diri untuk memenuhinya dengan tindakan efektif
dan mengatur sumberdaya coping kita.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Compas dkk, 2001), coping stres
adalah suatu usaha konstan dari pikiran dan perilaku untuk mengatur tuntutan
yang spesifik baik dari dalam maupun luar diri individu yang dinilai
membebani atau melebihi sumber daya individu tersebut. Chaplin (2004)
mengartikan coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas
atau masalah. Mutadin (2002) menyatakan bahwa strategi coping menunjuk
pada berbagai upaya baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian
yang penuh dengan tekanan, sedangkan Cheng (2001) menyatakan bahwa
coping itu adalah proses yang dinamis, individu mengubah secara konstan
pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan dalam penelitian
terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi tersebut.
Rudolph dan Weisz (dalam Compas, 2001) membedakan dua orientasi
coping. Orientasi tersebut adalah Prima ry Control yang berarti coping secara
langsung terhadap hal atau kondisi yang mempengaruhi atau pengaturan
langsung ekspersi emosi seseorang, dan yang berikutnya Seconda ry Control
berarti suatu usaha untuk menyesuaikan diri atau beradatasi dengan lingkungan
(30)
Ebata dan Moss (dalam Compass, 2001) berpendapat adanya tipe coping
Enggagement dan Disengga gement. Tipe Engga gement Coping biasanya
merupakan respon yang berorientasi langsung terhadap sumber stres, emosi
atau pikiran seseorang, sedangkan Disengga gement Coping berarti respon yang
menjauhi dari sumber stres emosi atau pikiran seseorang.
Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007) mengemukakan ada dua tipe
coping stres yaitu tipe Problem Focused Coping dan tipe Emotion Focused
Coping. Tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung
digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau
situasi yang menantang, dapat berubah, sedangkan tipe Emotion F ocused
Copingadalah ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami
stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak
ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut. Dalam jurnal
sebelumnya, disebut Problem F ocused Coping apabila merupakan suatu usaha
memecahkan masalah atau melakukan sesuatu hal untuk mengubah sumber
dari stres, sedangkan disebut Emotion Focused Coping apabila merupakan
suatu usaha untuk mengurangi atau mengatur emotional distress yang
berhubungan (atau disebabkan) keadaan seseorang (Carver dkk.,1989).
Menurut Lazzarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) walaupun stressor
dikenai baik Problem Focused Coping maupun Emotion Focused Coping,
Problem Focused Copingcenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa
(31)
Emotion Focused Coping,cenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa
harus bertahan dengan penyebab stress.
Penelitian ini menggunakan tipe coping dari Lazarus dan Folkman
(dalam Smith, 2007) yang berupa tipe Problem Focused Coping yaitu ketika
coping cenderung digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan,
ancaman, atau situasi yang menantang, dapat berubah, dan tipe Emotion
Focused Coping yaitu ketika coping yang digunakan saat seseorang yang
mengalami stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar
kendalinya, atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan
tersebut.
2. Dimensi-Dimensi Tipe CopingStres
Penelitian yang dilakukan oleh Carver dkk. (1989) memunculkan suatu
konsep-konsep teoritis baru sebagai pembentukan dimensi-dimensi coping
stres yang bertujuan untuk menyempurnakan konsep-konsep yang
dikemukakan oleh Lazarus (dalam Carver dkk., 1989). Penyempurnaan itu
dirasa perlu karena:
a. Tidak ada pengukuran sebelumnya yang dapat digunakan pada
sampel yang berbeda-beda dalam bidang dan daerah.
b. Skala terdahulu kurang menunjukkan fokus pada beberapa aitem
yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang ambigu pada beberapa
(32)
c. Terdapat masalah yang fundamental, yaitu bagaimana skala tersebut
secara tipikal dikembangkan. Skala yang terdahulu lebih berkembang
utamanya berbasis pada jalur kenyataan yang kemudian skala
tersebut kehilangan prinsip-prinsip teoritisnya.
Konsep-konsep yang telah disempurnakan tersebut kemudian digunakan
untuk menyusun suatu alat ukur coping stres yang disebut dengan COPE.
COPE terdiri dari lima skala yang konsepnya menjelaskan aspek dari problem
focused coping (a ctive coping, pla nning, suppression of competiting activities,
restra in coping, seeking socia l support for instumenta l rea son), lima skala
yang dapat dilihat sebagai emotion focused coping (Seeking socia l support for
emotional reason, positive r einterpreta tion, accepta nce, denia l, tur ning to
religion), serta tiga skala yang mengukur respon coping yang diperdebatkan
kurang berguna (focus on and venting emotion, beha viora l disengga gement,
mental disenggagement). Konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a . Active coping, maksudnya mengambil tindakan aktif untuk mencoba
menghilangkan atau mengelak dari stressor atau untuk memperbaiki
akibat dari stressor tersebut. Active coping dapat berupa tindakan
untuk memulai aksi coping secara langsung, meningkatkan suatu
upaya, dan mencoba untuk melaksanakan usaha coping dengan cara
yang lazim. Istilah a ctive coping hampir sama dengan inti dari
pernyataan dan istilah lain tentang problem-focused coping yang
(33)
b. Pla nning, maksudnya merencanakan tentang cara menanggulangi
stressor. Pla nning didalamnya termasuk cara merencanakan strategi
tindakan, memikirkan tentang langkah yang harus diambil dan cara
terbaik dalam mengendalikan masalah. Menurut Carver dkk. (1989)
pla nning jelas adalah problem focused, tetapi secara konseptual
berbeda dengan pelaksaaan aksi problem focused tersebut. Pla nning
terjadi selama penilaian kedua, dimana a ctive coping terjadi selama
fase coping berlangsung.
c. Suppression of competiting a ctivities, maksudnya mengesampingkan
aktivitas lain dan menekankan pada penanganan stressor. Seseorang
melakukan suppression of competiting a ctivities dalam rangka
meningkatkan konsentrasi pada dirinya dalam menangani masalah
yang dihadapi.
d. Restr aint coping, maksudnya secara pasif menunda pelaksanaan
kegiatan sampai saat yang tepat, sampai situai memungkinkan untuk
bertindak dan tidak tergesa-gesa. Restr aint coping kadang diperlukan
dan fungsional dalam respon terhadap stres, walaupun sering
dilupakan sebagai suatu strategi coping yang potensial. Restr ain
coping adalah strategi a ctive coping yang selain memfokuskan diri
pada bagaimana cara mengatasi stres, juga sebagai passive stra tegy
yang berarti tidak bertindak apapun.
e. Seeking socia l support for instrumenta l reason,maksudnya berusaha
(34)
lain. Seeking socia l support for instr umenta l reason termasuk
kategori problem focused coping.
f. Seeking social support for emotiona l reason, maksudnya berusaha
mendapatkan simpati, dukungan emosional, dan pengertian orang
lain. Seeking socia l support for emotiona l rea son termasuk kategori
emotion focused coping. Terjadinya perbedaan antara seeking social
support for instrumenta l r ea son dan seeking social support for
emotional rea son adalah karena perbedaan penerapan konsep
problem focusindividu tersebut.
g. Positif r einterpreta tion a nd growth, maksudnya berusaha mengatur
emosi akibat keadaan yang menyusahkan daripada berhadapan
dengan stressor pada dirinya. Lazarus dan Folkman (dalam Carver
dkk., 1989) memasukkan tendensi ini dalam emotion focused coping,
akan tetapi, ditegaskan oleh Carver dkk. (1989) bahwa
bagaimanapun, nilai dari tendensi ini tidak terbatas hanya untuk
mengurangi distres, tetapi juga menerangkan transaksi yang penuh
tekanan dalam makna positif, yang hakekatnya dapat membimbing
seseorang untuk melanjutkan atau meneruskan dengan aktif-perilaku
problem focused coping.
h. Acceptance, maksudnya menerima kenyataan bahwa situasi stres
telah terjadi. Seseorang dapat saja mengira a ccepta nce menjadi
(35)
harus disesuaikan, atau kebalikannya, yaitu seseorang dapat mengira
bahwa penyebab stres dapat mudah diubah atau diatasi.
i. Turning to religion, maksudnya memperbanyak aktifitas
keagaamaan, meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah
untuk meminta bantuan kepada tuhan. McCrae dan Costa (dalam
Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa turning to religion adalah
taktik yang cukup penting untuk banyak orang. Seseorang dapat
memilih turning to religion karena berbagai alasan seperti misalnya
agama mungkin tersaji sebagai sumber dukungan emosional, sebagai
media untuk positif reinterpreta tion a nd growth, atau sebagai taktik
dari a ctive coping terhadap penyebab stres.
j. Denial, maksudnya menolak mempercayai stresor itu ada dan
bertindak seolah-olah stresor itu tidak nyata dan tidak terjadi pada
dirinya. Lazarus dkk. (dalam Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa
denia l adalah respon yang berguna, meminimalisasi distres dan
dengan cara demikian akan memfasilitasi coping. Levine dkk.
(dalam Carver dkk., 1989) mengungkapkan bahwa denia l berguna
pada masa awal yang penuh tekanan walaupun nantinya
mengganggu coping itu sendiri.
k. Focus on a nd venting of emotions,maksudnya kecenderungan untuk
fokus pada distres apapun, atau kekecewaan seseorang yang
(36)
l. Beha viora l disengagement, maksudnya mengurangi upaya yang
berurusan dengan penyebab stres, sama halnya mengira usaha
mencapai tujuan bersama penyebab stres adalah suatu hal yang
bertentangan. Fenomena ini juga diidentifikasikan sebagai keadaan
tidak berdaya. Behaviora l disengagement dalam teorinya sering
terjadi ketika seseorang mengira kemungkinan keberhasilan
copingnya itu kecil.
m. Menta l disengagement, maksudnya aktivitas bervariasi yang
dilakukan untuk mengalihkan seseorang dari berpikir tentang
dimensi perilaku atau tujuan yang berhubungan dengan penyebab
stres. Seseorang yang memilih untuk mengalihkan pikiran dari
masalah adalah contoh dari mental disenga gement.
Penelitian ini menggunakan skala yang konsepnya serupa dengan yang
dikemukakan Lazarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) yang
disempurnakan dalam COPE oleh Carver dkk. (1989) yang memuat dimensi
dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi untuk
mengukur respon koping. Namun sesuai dengan judul penelitian, peneliti
hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping
sehingga dimensi-dimensi coping stres yang dipakai adalah a ctive coping,
pla nning, suppression of competiting a ctivities, restra int coping, seeking socia l
support for instr umenta l rea son, seeking social support for emotiona l r ea son,
(37)
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres
Menurut Lazzarus dan Mozkowitz (dalam Kilburn, 2002), coping stres
dipengaruhi oleh:
1. Disposisi kepribadian seperti optimism, neuroticism, dan extra version.
2. Penerimaan karakteristik dari situasi stres termasuk kendali
terhadapnya
3. Sumber daya sosial
Menurut Mutadin (2002), faktor-faktor yang berpengaruh dalam
perilaku coping stres terdiri dari:
1. Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena
selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut mengeluarkan
energi yang besar.
2. Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib,
mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan dan akan
menurunkan kemampuan coping tipe problem focused coping.
3. Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi
kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, identifikasi
masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan,
kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan
hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana
(38)
4. Keterampilan sosial. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
5. Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan orangtu,
anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat
sekitar.
6. Materi. Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang,
barang-barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
Menurut Lazarus (1976) perilaku coping yang dilakukan individu akan
dipengaruhi oleh:
a. Jenis kelamin. Menurut penelitian yang dilakukan Lazarus ditemukan
bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan tipe coping
yang berfokus pada masalah (problem focused coping) maupun tipe
copingyang berfokus pada emosi (emotion focused coping).
b. Konteks lingkungan dan dan sumber individu, karena sumber-sumber
individu yang dimiliki seseorang seperti pengalaman, persepsi,
kemampuan intelektual, kesehatan kepribadian, pendidikan, dan
situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu
stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai ancaman atau
tekanan.
Ditambahkan oleh Garmezy dan Rutter (Hapsari dkk., 2002) bahwa
(39)
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis menyimpulkan faktor-faktor
yang mempengaruhi coping antara lain kepribadian, jenis kelamin, usia,
dukungan sosial, dan sumber daya individu.
B.Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being
Konsep tentang psychologica l well-being merupakan konsep banyak
ditemukan dalam berbagai sumber dan literatur, sehingga konsep tersebut
mempunyai banyak definisi dengan berbagai pengertian. Ryff (dalam Min Ma,
2008) mengadakan pendekatan terhadap psychologica l well-being melalui
perkembangan dan realisasi diri dari individu, lebih lanjut lagi Ryff
mengemukakan bahwa konsep psychologica l well-being adalah suatu
euda imonia (kebahagiaan) yang dapat dialami dari aktivitas pribadi yang
penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi diri,
pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam hidup.
Min Ma (2008) menyebutkan bahwa Buhler, Erikson dan Neugarten
berpendapat bahwa psychologica l well-being adalah identifikasi dari fungsi
positif psikologis yang dijelaskan dalam gambaran dari perkembangan
sepanjang hidup, sedangkan Allport mengartikan psychologica l well-being
sebagai kedewasaan, oleh Jung diartikan individuasi, oleh Rogers dimaknai
orang yang berfungsi penuh, oleh Maslow diartikan aktualisasi diri, dan oleh
Jahoda psychologica l well-being diartikan sebagai kesehatan mental yang
(40)
Ryff (dalam Pudrovska, 2005) memandang psychologica l well-being
sebagai aspek fundamental dari perkembangan dan komponen yang sangat
diperlukan dalam proses perkembangan kehidupan serta kemampuan
beradaptasi.
P sychologica l well-being oleh Maslow (dalam Schultz, 1991)
dikemukakan sebagai kesehatan psikologis pada diri individu. Kesehatan
psikologis terwujud dalam sifat-sifat pengaktualisasian diri, yang sifat-sifat
tersebut telah cukup memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah
secara teratur berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, serta
penghargaan. Individu tersebut bebas dari psikosis, neurosis, atau gangguan
patologis lain. Selain itu, individu tersebut juga memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi dengan cara memenuhi potensi-potensi dan
mengetahui serta memahami dunia sekitar.
Penelitian ini mendasarkan pada pengertian psychological well-being dari
Ryff (dalam Min Ma, 2008) dengan pertimbangan bahwa pengertian
psychologica l well-being dari Ryff (dalam Min Ma, 2008) telah mencakup
berbagai pengertian psychologica l well-being dari beberapa ahli lain dalam
landasan teori ini. Pengertian psychologica l well-being tersebut menurut Ryff
(dalam Min Ma, 2008) adalah kebahagiaan yang dapat dialami dari aktivitas
pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi
(41)
2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being
Ryff (dalam Christopher, 1999) memformulasikan enam dimensi
psychologica l well-being yang disusunnya berdasarkan teori psikologi
perkembangan, teori psikologi klinis, maupun teori kesehatan sebagai berikut:
a. Penerimaan diri
Penerimaan diri merupakan kriteria psychologica l well-being paling
penting. Penerimaan diri merupakan sikap positif seseorang terhadap
dirinya terkait dengan masa kini maupun masa lalu hidupnya.
b. Hubungan positif dengan orang lain
Hubungan positif dengan orang lain maksudnya terkait dengan
kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan antar pribadi yang
hangat, memuaskan, saling mempercayai, serta terdapat hubungan
saling memberi dan menerima.
c. Kemandirian
Kemandirian maksudnya individu memiliki kebebasan menentukan
hidupnya sendiri dan kemandirian dalam menjalani hidupnya serta
berperilaku sesuai dengan standar nilai itu sendiri.
d. Penguasaan lingkungan
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memilih
maupun menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi
(42)
e. Tujuan hidup
Tujuan hidup maksudnya memiliki suatu perasaan bahwa hidupnya
memiliki tujuan dan makna baik masa lalu maupun yang sedang
dijalaninya kini. Individu yang berfungsi secara positif memiliki
tujuan, intensi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki
makna.
f. Pertumbuhan pribadi
Pertumbuhan pribadi yaitu terus mengembangkan potensinya secara
berkesinambungan untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi.
Melengkapi enam dimensi kesejahteraan diatas, Rathi (2007)
menambahkan bahwa remaja yang menunjukkan kekuatan pada setiap dan
semua area dimensi tersebut akan berada dalam keadaan psychologica l
well-being yang tinggi, sedangkan remaja yang lemah dalam area dimensi-dimensi
tersebut akan berada dalam keadaan psychologica l well-being yang rendah.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Ryff (1995) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
psychologica l well-beingadalah:
a. Status pernikahan
Individu yang telah menikah lebih banyak memiliki emosi positif
(43)
b. Latar belakang budaya
Individu yang berasal dari negara timur mempunyai hubungan
dengan orang lain yang lebih tinggi, akan tetapi, mempunyai
penerimaan diri, kemandirian, dan pengembangan pribadi yang
rendah daripada individu dari negara barat. Selain itu individu dari
negara timur lebih mementingkan kesejahteraan psikologis orang lain
(misal anaknya) untuk menentukan kesejahteraannya sendiri.
c. Pengalaman hidup dan interpretasinya
Individu akan mengiterpretasikan pengalaman hidupnya dengan
bervariasi. Interpretasi tersebut berupa membandingkan dirinya
dengan orang lain, mengevaluasi umpan balik yang mereka terima
dari orang orang terdekatnya, mencoba mengerti penyebab
pengalaman mereka, dan mengambil makna yang relatif penting dari
beberapa pengalaman hidup yang dialaminya.
Kemudian Ryff (Papalia dkk, 2001) menambahkan faktor faktor yang
mempengaruhi well-being individu antara lain:
a. Usia
Individu usia dewasa madya memiliki psychologica l well-being yang
lebih tinggi pada beberapa dimensi daripada individu dewasa akhir
dan dewasa awal. Individu dewasa madya lebih mandiri dan memiliki
penguasaan lingkungan yang lebih tinggi daripada dewasa awal tetapi
kurang memiliki tujuan hidup dan kurang terfokus pada pertumbuhan
(44)
b. Jenis kelamin
Pada umumnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai
psychologica l well-being yang sama, tetapi perempuan lebih
memiliki hubungan sosial yang positif dengan orang lain.
c. Pendapatan atau status sosial ekonomi
Individu yang memiliki pekerjaan yang bagus dengan pendapatan
yang tinggi atau status sosial ekonominya tinggi akan memiliki
psychologica l well-being yang tinggi daripada individu yang
mempunyai pendapatan yang rendah atau tidak bekerja.
d. Pendidikan
Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki
psychologica l well-being yang tinggi daripada individu yang
berpendidikan rendah.
Faktor lain yang juga mempengaruhi psychologica l well-being
menurut Schumutte dan Ryff (1997) adalah temperamen dan kepribadian.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi psychologica l well-being adalah usia, jenis kelamin,
pendapatan atau status sosial ekonomi, pendidikan, temperamen dan
(45)
C. Program Akselerasi
1. Pengertian Program Akselerasi
Menurut Kamdi (2004) akselerasi adalah program percepatan belajar
untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang mendapat
perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi
dan bakatnya. Menurut Pressey (dalam Hawadi, 2004) akselerasi adalah
sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran yang lebih
cepat atau usia yang lebih muda yang konvensional. Hal ini menunjukkan
bahwa akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan
pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan proses-proses
yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat
dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa. Program akselerasi bertujuan bagi
siswa yang berbakat istimewa di bidang kecerdasan akademik dapat
menyelesaikan studinya dengan lebih cepat dari waktu yang ditentukan
(Widyorini, 2002).
Hawadi (2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah
pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan
memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler
dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan teman-temannya.
Akselerasi juga diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan
yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk
dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan
(46)
anak, bukan saja hanya merugikan anak itu sendiri, melainkan akan membawa
kerugian yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan
pembangunan di Indonesia, dan jika potensi mereka tidak dimanfaatkan,
mereka akan mengalami kesulitan walau potensial (Hawadi, 2004).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil kesimpulan
bedasarkan pendapat Kamdi (2004) bahwa program akselerasi adalah
program percepatan belajar untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar
biasa yang mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu
perkembangan prestasi dan bakatnya.
2. Ciri-Ciri Program Akselerasi
Menurut Depdiknas (2003), program akselerasi memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Masukan (Input)
Masukan siswa diseleksi ketat dengan menggunakan kriteria dan
prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan, kriteria yang digunakan
adalah:
1) Informasi Data Objek
Informasi data objek yang diperoleh dari pohak sekolah berupa
skor akademis (nilai UAN dari sekolah sebelumnya rata-rata
delapan, oleh tes kemampuan akademik, rapor seluruh mata
(47)
pemeriksaan psikologis berdasarkan hasil tes intelektual umum
dengan tes IQ.
2) Kesehatan Fisik
3) Informasi Data Subyektif
Yaitu nominasi yang diperoleh dari diri sendiri, teman sebaya,
orang tua, dan guru sebagai hasil dari pengamatan sejumlah
ciri-ciri keberbakatan.
4) Kesediaan Calon Siswa
Kesediaan calon siswa dan persetujuan dari orang tua secara
tertulis mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap
perlu untuk menjadi peserta program akselerasi.
b. Tenaga Kependidikan.
Guru yang dipilih untuk mengajar program akselerasi adalah
guru yang memiliki kemampuan sikap dan ketrampilan terbaik diantara
guru yang ada dan setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Memiliki tingkat pendidikan yang dipersyaratkan sesuai dengan
jenjang sekolah yang diajarkan minimal lulusan S1.
2) Mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya
3) Memiliki pengalaman mengakar di kelas reguler minimal 3 tahun
dengan prestasi baik.
4) Memiliki pengetahuan tentang karateristik siswa berpotensi,
kecerdasan dan bakat istimewa secara umum dan program
(48)
5) Memiliki karakterisitik umum yang dipersyaratkan seperti: adil dan
tidak memihak, sikap kooperatif demokratis, fleksibilitas, rasa
humor, menggunakan penghargaan dan pujian, minat yang luas,
memberi perhatian terhadap masalah anak, dan penampilan sikap
menarik.
6) Memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki pengetahuan
tentang sifat dan kebutuhan anak berbakat, memiliki kemampuan
berfikir tingkat tinggi. Memiliki pengetahuan tentang kebutuhan
afektif dan kognitif anak bebakat, memiliki kemampuan untuk
menunjuk teknik mengajar yang sesuai, memiliki kemampuan
untuk membimbing dan memberi konseling kepada siswa berbakat
dan orangtuanya dan memiliki kemampuan untuk melakukan
penelitian.
c. Kurikulum.
Kurikulum program akselerasi adalah kurikulum nasional dan
muatan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi
esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat
memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual,
logika, etika dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan
berpikir holistic, kreatif, sistematis, linear, dan konvergen, untuk
memenuhi tuntutan masa kini dan masa mendatang.
(49)
Sarana belajar yang harus dipenuhi adalah:
1) Sumber belajar seperti buku paket, buku pelengkap, buku
referensi, buku bacaan, majalah, koran, modul, lembar kerja,
kaset video, VCD, CD ROM, dan sebagainya.
2) Media pembelajaran seperti radio, ca sette recorder , TV,
OHP, wireless, slide projector, LD/LCD/VCD/DVD pla yer,
komputer, dan sebagainya
3) Adanya sarana Informa tion Technology (IT), jaringan
internet, dan lain-lain.
Sedangkan prasarana belajar yang harus dipenuhi adalah:
1) Ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, ruang TU, dan
ruang OSIS.
2) Ruang kelas, dengan formasi tempat duduk yang mudah
dipindah-pindah sesuai dengan keperluan.
3) Ruang laboratorium IPA, laboratorium IPS, laboratorium
bahasa, laboratorium komputer dan ruang perpustakaan.
4) Kantin sekolah, koperasi sekolah, mushola atau tempat
ibadah dan poliklinik.
5) Aula pertemuan
6) Lapangan olah raga
7) Kamar mandi/WC
(50)
Pengembangan sistem proses belajar mengajar siswa program akselerasi,
diarahkan pada terwujudnya proses belajar mengajar tuntas dengan
memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara: a) dimensi tujuan
pembelajaran, b) dimensi pengembangan persaingan dan kerjasama, d) dimensi
penegembangan kemampuan holistik dan kemampuan berfikir elaborasi, e)
dimensi pelatihan berfikir induktif dan deduktif, dan f) pengembangan IPTEK
dan IMTAQ secara terpadu, serta g) lingkungan.
3. Kelebihan Program Akselerasi.
Menurut Southerm dan Jones (dalam Akbar, 2004) keuntungan program
akselerasi bagi anak berbakat:
a. Meningkatkan efesiensi
Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai
kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih
efisien
b. Meningkatkan efektivitas
Siswa yang terkait belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan
menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa
yang paling efektif.
c. Penghargaan
Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya
memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya
(51)
Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas
siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain
e. Membuka siswa pada kelompok barunya
Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung
dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektial dan akademis
yang sama
f. Ekonomis
Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak
biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.
4. Kekurangan Program Akselerasi
Akan tetapi dibalik semua itu program akselerasi menurut Southerm dan
Jones (dalam Akbar, 2004) masih banyak mempunyai kelemahan antara lain:
a. Segi akademik
1) Bahan ajar terlalu tinggi bagi siswa akselerasi.
2) Kemampuan siswa melebihi teman sebayanya sementara siswa
akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik dan emosional
dalam tingkatan kelas tertentu
3) Siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini tidak
efisien sehingga mahal.
4) Siswa akseleran mengembangkan kedewasaan yang luar biasa
(52)
5) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak
dialami karena tidak merupakan bagian dari kurikulum
6) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik
konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen.
b. Segi penyesuaian sosial
1) Kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya
2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia
sebenarnya dan kehilangan waktu bermain.
c. Berkurangnya kesempatan kegiatan ekstrakurikuler
d. Penyesuaian emosional
1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah
rekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever
2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan
tuntutan berprestasi.
e. Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.
Kelas dengan program akselerasi adalah salah satu dari beberapa
program belajar bagi siswa berbakat, program ini mungkin sesuai pada
beberapa siswa berbakat tetapi belum tentu sesuai dengan siswa berbakat
lainnya. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah data seleksi untuk
(53)
D.Psychological Well-BeingDitinjau Dari Tipe Coping Stres Pada Siswa Program Akselerasi
Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya
pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan
luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa yang memiliki bakat istimewa dan
kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat
dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, yang nantinya mereka dapat
menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan.
Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga
memiliki dampak negatif bagi siswanya. Dampak negatif dari pelaksanaan
program akselerasi menurut Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007)
diantaranya pada bidang akademis, penyesuaian sosial, dan penyesuaian emosi.
Pada bidang akademis, dampak negatif yang mungkin muncul adalah
ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan tingginya tuntutan berprestasi,
padatnya materi, banyaknya pekerjaan rumah sehingga membuat kreativitas
mereka terbelenggu dan berkurangnya kemampuan mereka untuk berpikir
divergen. Pada bidang penyesuaian sosial, dampak negatif yang mungkin muncul
adalah berkurangnya waktu beraktivitas dengan teman sebaya, juga kemungkinan
penolakan oleh teman-teman yang lebih dewasa atau teman-teman di luar program
akselerasi. Pada bidang penyesuaian emosi, dampak negatif yang muncul menurut
Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007) adalah munculnya rasa frustrasi
(54)
Berbagai hal diatas berpotensi menimbulkan stres pada siswa program
akselerasi. Stres adalah keadaan dimana tuntutan melampaui kemampuan dan
sumberdaya individu untuk mengatur tuntutan tersebut (Strens, 2007). Sebagai
manusia, saat remaja mengalami situasi dan kondisi yang menimbulkan stres,
secara alamiah mereka akan berusaha mengatasi stres tersebut dengan
menggunakan sejumlah perilaku. Usaha untuk mengatasi stres tersebut disebut
coping stres. Menurut Lazarus (dalam Compas dkk, 2001) coping adalah respon
penuh arti yang ditujukan langsung untuk memecahkan hubungan penuh stres
antara diri dengan lingkungan atau diri dengan emosi negatif yang muncul akibat
stres itu sendiri. Coping mempunyai dua tipe, yaitu problem focused coping dan
emotion focused coping.Menurut Lazarus dan Folkman ( dalam Andrews, Ainley,
Frydenberg, 2004) problem focused coping termasuk usaha untuk mengendalikan
atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused coping adalah usaha
untuk mengelola respon emosional terhadap stres.Penelitian Oleh Compas dkk
(Dalam Kephart, 2001) menemukan bahwa problem focused coping berhubungan
negatif dengan masalah emosi dan perilaku, sedangkan emotion focused coping
berhubungan positif dengan masalah tersebut.
Pada remaja, problem focused coping lebih fungsional dalam
menyelesaikan masalah, sedangkan emotion focused coping menunjukkan
disfungsinya dalam menyelesaikan masalah dan dapat menuntun pada penarikan
diri, tingkah laku merusak dan penghindaran masalah (Kilburn dan Whitlock,
2008). Problem focused coping berhubungan dengan rendahnya tingkat simtom
(55)
dengan derajat yang tinggi (Compas dkk dalam Ellen, DiGuissepe, Froh, 2006).
Causey (dalam Compas, B. E., Smith, J. K. C., Saltzman, H., Thomsen, A. H.,
Wadsworth, M. E., 2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara
problem focused coping dengan kompetensi akademik dan sosial. Remaja yang
kurang dalam membiasakan menggunakan problem focused coping mengalami
lebih banyak masalah penyesuaian (Kilburn dan Whitlock, 2008).
Feldman (dalam Indriasari, 2007) mengungkapkan bahwa stres yang
berlebihan tanpa adanya kemampuan coping efektif akan mempunyai implikasi
jangka panjang pada kesehatan psikologis dan fisiologis. Rathi (2007)
menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas dan keintiman dalam
hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor penting yang memberi
kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychologica l well-being pada remaja.
Psychologica l well-being menurut Ryan dan Deci (dalam Strens, 2007) adalah
konsep mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit, serta menjadi berfungsi
sepenuhnya termasuk kesehatan fisik dan pikiran yang bagus. Gambaran diatas,
menunjukkan bahwa coping stres dalam tipe problem focused coping maupun
emotion focused coping memiliki karakteristik yang berbeda dalam membantu
siswa program akselerasi untuk mempertahankan psychologica l well-being
mereka dalam kondisi tertekan akibat berbagai tuntutan akademis dari program
akselerasi maupun akibat perubahan karakteristik perkembangan masa remaja.
Dinamika hubungan antara tipe coping stres dengan psychologica l
(56)
E. Kerangka Pikir
Gambar 1
Dinamika Psychological Well-BeingDitinjau Dari TipeCoping Stres
Copingstres mempunyai dua tipe yaitu problem focused coping dan emotion focused coping, yang keduanya mempengaruhi tinggi rendahnya
psychologica l well being.
F. Hipotesis
Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah ada perbedaan psychologica l
well-beingditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi.
Coping Stres
problem focused
emotion focused
P sychologica l Well-Being
rendah tinggi
(57)
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian perlu ditentukan agar dapat menentukan
metode pengumpulan data yang akan dilakukan serta menentukan jenis-jenis
analisis data yang sesuai dengan penelitian. Variabel-variabel yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Bebas : Tipe Coping Stres
2. Variabel Tergantung : P sychologica l Well-Being
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional dari variabel penelitian ini adalah:
1. TipeCoping Stres
Tipe coping stres menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007)
yaitu berupa tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung
digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau
situasi yang menantang, dapat berubah, dan tipe Emotion Focused Coping
yaitu ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami stres,
menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak ada
yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut
Tipe coping stres tersebut akan dilihat dengan menggunakan skala yang
(58)
Carver dkk., 1989) yang disempurnakan dalam COPE oleh Carver dkk. (1989)
yang memuat dimensi dari problem focused coping dan emotion focused
coping serta dimensi untuk mengukur respon coping. Namun sesuai dengan
judul penelitian, peneliti hanya memfokuskan pada problem focused coping
dan emotion focused coping sehingga dimensi-dimensi coping stres yang
dipakai adalah a ctive coping, pla nning, suppression of competiting a ctivities,
restra int coping, seeking socia l support for instrumenta l rea son, seeking social
support for emotiona l rea son, positif reinterpr etation, a ccepta nce, denia l,
turning to religion. Penentuan tipe coping stres dilakukan dengan melihat
rata-rata nilai hasil dari pengukuran kedua dimensi tipe coping stres.
2. Psychological Well-Being
Psychological well-being adalah kebahagiaan yang dapat dialami dari
aktivitas pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan
potensi diri, pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam
hidup. Psychological well-being tersebut akan diukur dengan menggunakan
Skala Psychological Well-Being yang disusun berdasarkan modifikasi Skala
Psychological Well-Being dari WLS Surveys 1992-1993 (Pudrovska, 2005)
yang memuat dimensi-dimensi psychologica l well-being dari Ryff (dalam
Papalia dkk, 2001) berupa penerimaan diri, hubungan positif dengan orang
lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan
pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula
psychologica l well-beingnya, begitu pula sebaliknya jika semakin rendah skor
(59)
C. Populasi, Sampel, dan Sampling
Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah siswa program
akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X pada program akselerasi SMA
NEGERI 3 SURAKARTA. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan studi populasi dikarenakan terbatasnya jumlah siswa
program akselerasi di SMA NEGERI 3 SURAKARTA.
Populasi program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA pada kelas
X seluruhnya berjumlah 50 siswa, terdiri dari 2 kategori kelas yaitu kelas A dan
kelas B dengan tiap-tiap kelas berisi 25 siswa. Penelitian ini menggunakan seluruh
siswa dari kelas A dan kelas B tersebut.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua alat pengumpulan data, yaitu skala
Coping Stres untuk menentukan tipe coping stres yang sering dipakai serta skala
Psychological Well-Beinguntuk mengukur psychologica l well-being.
Skala Coping Stres yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
modifikasi COPE Inventory (Carver dkk, 1989) dengan empat pilihan jawaban
yaitu sangat jarang, kadang, sering, dan selalu. COPE Inventory yang memuat
dimensi dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi
untuk mengukur respon coping. Namun sesuai dengan judul penelitian , peneliti
hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping
(60)
pla nning, suppression of competiting a ctivities, restr aint coping, seeking social
support for instrumental rea son, seeking social support for emotiona l r ea son,
positif reinterpreta tion, a ccepta nce, denia l, turning to religion. Skala Coping
Stres tersebut jumlahnya 70 item, terdiri dari 35 item dari dimensi problem
focused coping dan 35 item dari dimensi emotion focused coping. Semakin
banyak skor yang dikumpulkan dari dimensi-dimensi dari tipe coping stres
tersebut maka semakin kuatlah kecenderungan penggunaan tipe coping stres
tersebut, begitu juga sebaliknya, semakin sedikit skor yang dikumpulkan dari
dimensi-dimensi dari tipe coping stres tersebut maka semakin lemah
kecenderungan penggunaan tipe coping stres tersebut. Selanjutnya hasil skor
tersebut dirubah dalam model data dummy dengan kode yang telah ditentukan
sebagai berikut:
Tabel 1
Variabel Dummy Untuk Skala Coping Stres
Kode Tipe Coping
1 2
Problem Focused Coping Emotion Focused Coping
Skala Psychological Well-Being yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan modifikasi Skala Psychologica l Well-Being dari WLS Surveys
1992-1993 (Pudrovska, 2005) dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju,
kurang setuju dan tidak setuju. Skala Psychologica l Well-Being memuat
dimensi-dimensi psychological well-being dari Ryff (dalam Papalia dkk, 2001) yang
berupa penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala
(61)
maka semakin tinggi pula psychological well-beingnya, begitu pula sebaliknya
jika semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah psychological
well-beingnya.
Tabel 2
Skala TipeCoping StresProblem F ocused Coping
No. Dimensi Nomor Item
1 Active coping 1, 6, 11, 16, 21, 26, 31
2 P la nning 2, 7, 12, 17, 22, 27, 32
3 Suppression of competiting a ctivities 3, 8, 13, 18, 23, 28, 33
4 Restra int coping 4, 9, 14, 19, 24, 29, 34
5 Seeking social support for instr umenta l r ea son 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35
Tabel 3
Skala TipeCoping StresEmotion F ocused Coping
No. Dimensi Nomor Aitem
1 Seeking social support for emotiona l r ea son 1, 6, 11, 16, 21, 26, 31
2 P ositif reinter preta tion 2, 7, 12, 17, 22, 27, 32
3 Accepta nce 3, 8, 13, 18, 23, 28, 33
4 Denia l 4, 9, 14, 19, 24, 29, 34
5 Turning to r eligion 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35
Tabel 4
Skala Psychological Well-Being
No. Dimensi Nomor Aitem
1 Penerimaan diri 1, 7, 13, 19, 25, 31, 37
2 Hubungan positif dengan orang lain 2, 8, 14, 20, 26, 32, 38
3 Kemandirian 3, 9, 15, 21, 27, 33, 39
4 Penguasaan lingkungan 4, 10, 16, 22, 28, 34, 40
5 Tujuan hidup 5, 11, 17, 23, 29, 35, 41
(1)
commit to user
D. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kondisi
psychologica l well-being pada siswa program akselerasi SMA Negeri 3 Surakarta
ditinjau dari tipe coping stres yang cenderung dipilih dalam mengatasi ketertekanan.
Program akselerasi adalah program khusus, dimana siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan masa sekolahnya lebih cepat daripada masa sekolah siswa program reguler. Siswa program akselerasi juga dituntut untuk belajar lebih keras, masuk sekolah pagi hingga sore, les tambahan serta mengerjakan tugas sekolah dirumah. Karakteristik program akselerasi dengan berbagai tuntutannya mengarahkan pada kondisi ketertekanan bagi siswa kelas akselerasi. Kondisi ketertekanan tersebut ditambah dengan berbagai problematika remaja yang digambarkan oleh oleh Hurlock (2004) sebagai masa “badai dan tekanan” seperti masalah yang menyangkut harga diri, komitmen pribadi, serta nilai individu (Haber dan Runyon dalam Indriasari, 2007). Kondisi ketertekanan tersebut menghasilkan respon pikiran atau tindakan yang disebut dengan coping (Carver dkk., 1989).
Secara teoritis, pemilihan penggunaan tipe coping stres akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian psychologica l well-being yang diharapkan (Aldwin dan Revenson, 1987). Dalam penelitian ini siswa program akselerasi dalam mempertahankan psychologica l well-beingnya cenderung menggunakan tipe
(2)
Indriasari, 2007) bahwa remaja dalam menghadapi masalah cenderung menggunakan emotion focused coping.
Coping dimoderasi oleh faktor lingkungan dan faktor pribadi, faktor
tersebut mempengaruhi peluang dan kendala dalam penggunaan coping (Mattlin dkk. dalam Edwards, 1998). Kecenderungan pengggunaan tipe emotion focused
coping juga disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam mengubah langsung
kondisi ketertekanan di sekolah seperti jam pelajaran yang padat, berbagai peraturan yang mengikat, adanya keharusan mengikuti bimbingan belajar untuk menjaga prestasi mereka. gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Compas dkk (dalam Hernandez, 2008) yang menyatakan bahwa emotion focused coping sesungguhnya lebih cocok untuk keadaan yang tidak dapat dikontrol dimana seseorang tersebut tidak mampu mengubah keadaan tersebut hanya dengan kemampuannya sendiri. Kesesuaian penggunaan tipe emotion focused coping, ditunjukkan dengan kondisi psychologica l well being siswa program akselerasi tersebut, dimana dari hasil analisis deskriptif, siswa program akselerasi psychologica l well beingnya lebih banyak pada tingkat sedang dan tinggi daripada yang berada pada tingkat psychologica l well being rendah.
Kondisi psychologica l well being siswa program akselerasi yang lebih banyak pada pada tingkat sedang dan tinggi juga dimungkinkan karena kesiapan awal mereka dalam memasuki program akselerasi hal ini ditunjukkan dengan lolosnya mereka dari mekanisme penjaringan yang berupa tes Psikologi dan
(3)
commit to user
memegang peranan yang sangat penting (Indriasari, 2007), serta situasi dan kondisi yang tercipta dalam lingkungan program akselerasi di SMA Negeri 3 Surakarta yang cukup kondusif antara lain tenaga pendidik di SMA Negeri 3 Surakarta cukup kooperatif, ramah, dan simpatik serta, lingkungan sekolah yang cukup tenang dan nyaman.
Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan kepada siswa ataupun remaja pada umumnya. Populasi yang lebih luas dengan karakteristik berbeda perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan atau menambah variabel lain yang belum disertakan dalam penelitian ini, ataupun dengan menambah dan memperluas ruang lingkup penelitian.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan rata-rata, siswa program akselerasi cenderung menggunakan tipe emotion focused coping.
2. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang.
3. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi yang menggunakan tipe emotion focused coping paling banyak berada dalam kategori sedang.
4. Berdasarkan kategorisasi, siswa program akselerasi cenderung memiliki
psychologica l well-being yang sedang.
5. Hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan psychologica l
well-being ditinjau dari tipe coping stres yang digunakan siswa program
akselerasi ditolak, walaupun ada selisih mean psychologica l well-being siswa program akselerasi yang menggunakan tipe problem focused
coping dengan tipe emotion focused coping, akan tetapi selisih tersebut
(5)
commit to user
B.Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi siswa program akselerasi
a. Diharapkan untuk terus berusaha mempertahankan taraf psychologica l
well-being mereka, dan dapat mengusahakannya menuju tingkatan
yang lebih tinggi
b. Diharapkan pula untuk dapat membiasakan problem focused coping guna menyeimbangkannya dengan emotion focused coping agar masalah/stressor dapat teratasi dengan baik.
c. Apabila memang tidak mampu untuk mengusahakan problem focused
coping maka sebaiknya diusahakan emotion focused coping dengan
positif misal a ccepta nce (ihlas) dan tur ning to religion
(memperbanyak aktivitas keagamaan).
2. Bagi pihak yang terkait dengan siswa program akselerasi
Orang tua dan guru diharapkan memahami kebutuhan-kebutuhan siswa terlebih bagi siswa yang memiliki psychologica l well-being rendah, mampu memberikan motivasi dan penghargaan atas prestasi yang telah dicapai selama berada dalam program akselerasi, mampu menjadi sahabat yang dapat menjadi tempat keluh kesah sekaligus menjadi pengasuh yang dapat memberikan alternatif pemecahan masalah.
(6)
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, khususnya ilmuwan psikologi yang tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tema yang sama, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan acuan dalam penelitian. Peneliti menyarankan untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut dengan lebih memperluas ruang lingkup, misalnya dengan memperluas jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian, membandingkannya dengan program reguler dilakukan bersama penelitian kualitatif, dan mencermati faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychologica l well-being yang belum diungkap dalam penelitian ini, misalnya dukungan sosial, jenis kelamin, tempat tinggal selama mengikuti program akselerasi, dan status perkawinan orang tua.