2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langnsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 3.
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP;
4. Barang siapa yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti
dimaksud pada Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah
atau janji dianggp melekat pada jabatan atau kedudukkan ini; 5.
Barang siapa dengan tanpa alasan yang wajar, dalam waktu sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya,
seperti yang tersebut dalam Pasal-Pasal 418, 419, dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian tersebut kepada yang berwajib;
6. Barang siapa melakukan percobaan dan pemufakatan untuk melakukan tindak
pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat 1 a, b, c, d, e Pasal ini. Rumusan formulasi dan ruang lingkup tindak pidana korupsi didalam
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ini kemudian berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Perkembangan pengaturan
perundang-undangan pidana
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
Universitas Sumatera Utara
perkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaruan hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa
Indonesia terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.
64
Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi dilakukannya hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik,
maupun dari aspek sosiokultural. Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan, baik kebijakan social social policy, kebijakan kriminal criminal
policy maupun dari aspek kebijakan penegakan hukum pidana criminal law enforcement.
65
Pembentukan sebuah undang-undang baru sebagai sebuah instrument hukum pidana dalam penanggulangan korupsi, dapat didekati dan di analisis atas
dasar 3 alasan utama, yaitu:
66
1. Alasan Sosiologis
Krisis kepercayaan dalam setiap segemn kehidupan yang melanda bangsa Indonesia, secara umum bermuara pada suatu penyebab besar, yaitu
belum terciptanya suatu pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari korupsi. Sikap pemerintah yang terkesan belum konsisten dalam menegakkan hukum,
mengakibatkan bangsa ini harus membayar mahal, sebab realitas korupsi telah menghancurkan perekonomian Negara.
Bertolak dari berbgai relitas sosial, maka secara sosiologis adalah wajar dilakukan kebijakan legislative untuk memperkuat landasan hukum dalam
64
Elwi Danil, Opcit, halaman 17
65
Ibid, halaman 31
66
Ibid, halaman 17
Universitas Sumatera Utara
menciptakan pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Esensi pemikiran yang demikian dapat diterapkan dalam kerangka filosofi penyusunan suatu undang-
undang tentang pemberantasan korupsi. Kerangka filosofi tersebut disamping guna memperkuat landasan hukum pemberantasan korupsi yang semakin canggih
dan sulit pembuktiannya, juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar terhadap keuangan dan perekonomian Negara.
2. Alasan praktis
Alasan dan latar belakang pementukan suatu undang-undang dapat diketahui antara lain dari bunyi konsiderannya. Demikian pula dengan UU
Nomor 31 tahun 1999 yang dibentuk dengan konsideran dan pengakuan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan
keuangan Negara. Korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi dalam rangka
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus
diberantas. Pertimbangan lainnya adalah bahwa undang-undang korupsi sebelumnya
dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diganti dengan undang-undang yang baru sehingga akan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dimasa
mendatang. 3.
Kebijakan Politis
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan legislasi yang diwujudkan dengan lahirnya peraturan perundang-undangan secara politis pada akhirnya dapat ditempatkan dalam
rangka memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang korupsi dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai peraturan yang memayungi undang-undang
lain dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi good governance. Artinya, kebijakan pembentukan peraturan perundang-
undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat digambarkan sebagai suatu perwujudan politik hukum nasional dalam penanggulangan
masalah korupsi.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan Negara