Ussama, Arief, 2008, Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Forum Kajian Hukum UNPAK.
Wijaya, Firman, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Jakarta: Penaku bekerjasama dengan Maharini Press.
Winarta,Frans H, 2009, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Kompas. Wiryono, R., 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
B. Undang-undang
Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
C. INTERNET
http:id.shvoong.comlaw-and-politicslaw2027081-pengertian-korupsi-dan- tindak-
pidanaixzz32Qu090CVhttp:www.ombar.net200910pertanggungjawa ban-terhadap-pelaku.html.
http:id.shvoong.comlaw-and-politicslaw2027081-pengertian-korupsi-dan- tindak-pidanaixzz32Qu090CV.
Universitas Sumatera Utara
http:agusthutabarat.wordpress.com20091106tindak-pidana-korupsi-di- indonesia-tinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-
pemberantasan-tindak-pidana-korupsi http:definisipengertian.com2012pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli
http:www.arti-definisi.com http:www.hukumonline.comklinikdetailcl5461syarat-dan-kekuatan-hukum-
alat-bukti-elektronik http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phppandecta
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt52770db2b956dsyarat-dan- dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana
http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=28idsu=35idke= 0hal=1id=52bc=
Universitas Sumatera Utara
BAB III KEKUATAN HUKUM PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PENERAPANNYA DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Penyadapan dalam Tindak Pidana Korupsi
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di era reformasi dan era globalisasi ini telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
mendorong perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat yang saat ini sangat tergantung dan dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi dan informasi yang ada.
132
Penyadapan dalam tindak pidana korupsi merupakan front-gate untuk membuka tabir bentuk perbuatan koruptik lainnya, seperti halnya penyalahgunaan
wewenang dari Aparatur Negara atau pejabat publik. Dalam tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK banyak permasalahan yang timbul. Permasalahan yang
mengemuka, adalah 1 sampai sejauh mana legalitas penyadapan KPK yang ditebarluaskan disidang pengadilan tipikor, selain juga, 2 sorotan keras kinerja
pengawas penegak hukum terhadap komunikasi pihak-pihak yang berstatus tahanan tersebut, sehingga menimbulkan kritik, kegeraman publik terhadap
keleluasaan pelaku berkomunikasi dengan membentuk fabrikasi proses peradilan pidana yang sedang berjalan.
133
Penyadapan yang sesuai dengan hukum atau dapat dikatakan sebagai penyadapan yang sah lawful interception bukanlah sesuatu yang baru di
132
Kristian Yopi Gunawan, Opcit, halaman 3
133
Indriyanto Seno Adji, Opcit, halaman 490
Universitas Sumatera Utara
kehidupan masyarakat internasional. Dikarenakan dalam 50-60 tahun terakhir pemerintah diseluruh dunia telah memperkenankan tindakan yang mampu
melacak informasi dan telekomunikasi, yakni tindakan penyadapan.
134
Cara penyadapan ini bisa dikatakan adalah cara yang efektif dalam menjerat pelaku
tindak pidana berat, salah satunya adalah tindak pidana korupsi. Tindakan penyadapan yang dikatakan sesuai dengan hukum adalah
apabila tindakan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang secara tegas diperintahkan, diamanatkan, atau ditugaskan secara langsung dan tegas oleh hukum, limitative,
bukan karena kewenangan yang seketika itu juga muncul implied trust.
135
Apabila tindakan penyadapan tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka tindakan penyadapan tersebut telah bertentangan dengan hukum dan dianggap
sebagai tindakan yang illegal. Sehingga memungkinkan pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.
Menurut pendapat dari Romanidis Evripidis, defenisi dari lawful interception bahwa penyadapan adalah akuisisi dari panggilan yang
mengidentifikasi informasi dan penyadapan isi komunikasi yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum setelah menerima otorisasi pejabat yang berwenang.
136
Penyadapan yang sah ini pada dasarnya dapat dilakukan pada semua sistem modern termasuk di dalamnya jaringan nirkabel daerah, sistem televise kabel, dan
internet, atau bahkan dalam perkembangannya penyadapan dapt dilakukan pada pelacakan yang menggunakan telepon selular.
137
134
Kristian Yopi Gunawan, Opcit, halaman 182
135
Ibid, halaman 184
136
Ibid, halaman 187
137
Ibid, halaman 187
Universitas Sumatera Utara
Perlu dikem ukakan bahwa istilah “intersepsi” sesungguhnya telah
menggambarkan penyadapan telekomunikasi. Namun, konsep penyadapan yang digambarkan dalam istilah ini pada dasarnya lebih luas daripada sekedar
penyadapan telekomunikasi. Dikatakan demikian karena konsep penyadapan juga meliputi penyadapan dalam ruangan.
138
Istilah penyadapan juga memiliki persamaan pengetian serupa dengan istilah eavesdropping
139
. Menurut Black‟s Law Dictionary, eavesdropping ini adalah kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
140
1. Masuk kedalam wilayah privat seseorang atau mendengarkan secara diam-
diam pembicaraan yang bersifat pribadi atau untuk mengamati tingkah laku seseorang;
2. Memasang alat untuk mendengar pembicaraan pribadi, untuk mendengar,
merekam, mengeraskan, atau menyiarkan suara asli di beberapa tempat dengan suara yang biasanya tidak akan terdengar atau diselidiki dari luar, tanpa
sepengetahuan dari orang atau pihak yang dipasangkan peralatan tersebut; 3.
Memasang alat untuk menyadap telepon, telegram, atau jaringan komunikasi kabel tanpa izin dari seseorang atau tanpa izin dari pihak yang mempunyai
otoritas untuk itu, misalnya dari penyedia layanan jaringan komunikasi kabel sebagaimana diatur dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah atau
perintah pengadilan seperti biasanya.
138
Ibid, halaman 200
139
Eavesdropping dapat diartikan secara sederhana sebagai perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa izin atau tanpa otoritas hukum. Ibid, halaman 185
140
Ibid,halaman 185
Universitas Sumatera Utara
Pengaturan mengenai tindakan penyadapan di Indonesia dapat ditemukan dalam Peraturan Menkominfo Nomor 11 PER M. KOMINFO 02 2006 tentang
Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, dimana dalam peraturan ini dikemukakan bahwa penyadapan didefenisikan sebagai kegiatan mendengarkan, mencatat, atau
merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan perangkat tambahanpada jaringan telekomunikasi.
141
Namun, didalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi hanya menyebutkan
tentang penyadapan saja, tidak disebutkan tentang pengertian penyadapan. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 hanya menyebutkan dan
mengatur tentang pelanggaran penyadapan. Hukum positif Indonesia sendiri tepatnya dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri telah dikemukakan dengan tegas defenisi mengenai penyadapan dengan cukup teknis,
yang diatur secara tegas di dalam penjelasan Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
142
“Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, danatau mencatat transmisi
informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti
pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi” Pengertian diatas masih belum menggambarkan perihal penyadapan secara
teknis. Dikatakan demikian karen masih terlihat usaha-usaha untuk menkonversi
141
Ibid, Halaman 201
142
Ibid, halaman 204
Universitas Sumatera Utara
rumusan tersebut kedalam bahasa yang mudah dimengerti masyarakat umum. Dapat menjadi masalah apabila undang-undang ini dijadikan rujukan utama
dikarenakan perumusan
pengertian penyadapan
dalam undang-undang,
sesungguhnya merupakan derivasi teknis dari penyadapan.
143
Sehingga diperlukan orang-orang yang ahli dibidang teknologi yang mendalami penyadapan.
Terdapat 4 bentuk utama dari kegiatan penyadapan itu sendiri, tindakan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:
144
a Penyadapan Pasif Passive Interception
Penyadapan pasif dapat didefenisikan sebagai tindakan penyadapan yang dilakukan secara tidak langsung dengan cara membaca data yang tidak
diotorisasi. b
Penyadapan Aktif Active Interception Penyadapan aktif, dalam hal ini secara sederhana dapat didefenisikan
sebagai tindakan penyadapan yang dilakukan secara langsung dan disertai dengan tindakan mengubah data yang tidak diotorisasi.
c Penyadapan Semi Aktif.
d Penyadapan yang merupakan penggabungan antara penyadapan aktif dan
penyadapan pasif. Konsep teknis penyadapan yang sering dilakukan adalah penyadapan
yang dilakukan dengan sistem Voice Biometric Diversity, yakni teknologi yang memiliki pengenalan suara yang dapt mengenali aksen, frekuensi, dan vocal pitch,
143
Ibid, halaman 205
144
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan memiliki pola getaran suara. Menggunakan teknologi tersebut, penyadapan dilakukan dengan dua jenis, yaitu sebagai berikut:
145
a. Real Time yang dilakukan dengan cara menganalisis percakapan yang
terjadi dengan melakukan akses pada server utama provider seluler. Dengan sampel suara yang ada, dilakukan analisis percakapan, dan jika
ditemukan ada kecocokan suara menggunakan voice graph maka dilakukan penyadapan.
b. Analisi Scanning dilakukan pada database percakapan yang terjadi
yang didahului filter melalui asumsi lokal dari objek atau target penyadapan.
Kedua cara ini merupakan cara khusus dengan menggunakan teknologi terkini. Secara umum, penyadapan terbagi dalam lima bentuk utama, yaitu:
a. Penyadapan telepon rumah analog
Penyadapan ini merupakan penyadapan yang dilakukan dengan menggunakan splitter.
146
Kabel cabang splitter dipasang pada telepon target penyadapan, kemudian disambungkan langsung ke perekam suara,
atau alat perekam lainnya. b.
Penyadapan telepon rumah digital Penyadapan telepon rumah digital dilakukan dengan menggunakan alat
kecil yang disebut bug. Dengan bug tersebut data akan dikirmkan dengan menggunakan frekuensi radio ke penangkap gelombang.
c. Ponsel pengintai
145
Ibid, halaman 206
146
Splitter merupakan alat sederhana yang digunakan untuk memaralel telepon rumah Ibid, halaman 207
Universitas Sumatera Utara
Penyadapan ini adalah penyadapan yang dilakukan dengan menggunakan perangkat khusus yang telah dimodifikasi pada telepon seluler target atau
objek penyadapan. Penyadap kemudian melakukan panggilan kepada tersadap tanpa tanda-tanda adanya panggilan apapun pada telepon seluler
tersebut. Dengan cara ini, penyadap dapat mendengarkan segala sesuatu percakapan dan suara yang terjadi disekeliling target.
d. Penyadapan dalam Ruangan
Penyadapan dalam ruangan merupakan cara yang paling klasik dalam melakukan tindakan penyadapan, namun masih digunakan hingga saat
ini. Penyadapan dalam ruangan merupakan tindakan penyadapan yang dilakukan dengan cara meletakkan secara diam-diam alat penyadapan di
dalam ruangan target penyadapan. e.
Software pengintai Software pengintai merupakan penyadapan yang dilakukan dengan
menanamkan aplikasi penyadap pada telepon seluler target penyadapan. Ketika objek yang disadap melakukan sambungan telekomunikasi atau
menerima sambungan telekomunikasi maka secara otomatis software tersebut mengirimkannya pada penyadap.
Penyadapan hanya dilakukan untuk mencegah dan memberantas tindak- tindak pidana yang bersifat extra ordinary atau white collar crime dan criteria-
kriteria tindak pidana modern lainnya. Hal ini dikarenakan penegakan hukum yang menggunakan cara-cara luar biasa yang menderogasi hak asasi manusia atau
setidaknya yang berpotensi menderogasi hak asasi manusia harus dipersempit.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain penyadapan tidak dilakukan untuk tindak-tindak pidana yang konvensional atau tindak pidana biasa.
Metode penyadapan ini dianggap sebagai metode yang luar biasa dalam rangka mencegah dan memberantas atau bahkan mengungkap tindak pidana.
Metode ini memang menimbulkan kontroversi baik di kalangan praktisi hukum maupun kalangan akademisi hukum. Selain itun tindakan penyadapan dianggap
tidak lazim atau bahkan tidak patut dilakukan apabila dilihat dari sudut pandang atau menurut ukuran hak asasi manusia.
147
Namun, tidaklah berlebihan apabila tindakan penyadapan dilakukan berdasarkan hukum
dan dilakukan demi kepentingan hukum dalam pelaksanaannya harus kembali didasarkan pada konstitusi. Maknanya adalah
penyadapan tidak boleh dilakukan tanpa legalitas tertentu yang diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan.
148
Kini tinggal bagaimana hukum di negara tersebut mengatur secara tegas perlindungan terhadap hak-hak individu beserta
pengecualian-pengecualian dalam melakukan tindak pidana penyadapan. Tindakan
penyadapan merupakan
tindakan yang
berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia tepatnya yang berkenaan dengan
hak atas privasi. Namun, bukan berarti kita menutup mata akan kenyataan bahwa dengan berkembangnya zaman, maka berkembang pula modus-modus baru yang
semakin sulit dideteksi oleh hukum. Sehingga perlu cara-cara yang luar biasa untuk mencegahnya, yang salah satunya adalah tindakan penyadapan.
147
Ibid, halaman 238
148
Ibid, halaman 239
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan asas-asas hak asasi manusia, maka tentunya tindakan penyadapan membutuhkan batasan-batasan yang tegas. Oleh karena itu, tindakan
penyadapan harus dilakukan pengaturan yang memberikan wewenang kepada lembaga-lembaga penegak hukum tertentu untuk melakukan tindakan
penyadapan. Namun, memberikan batasan-batasan secara tegas yang dimulai dari proses permohonan izin sampai pada pelaksanaan tindakan penyadapan tersebut
sehingga dapat meminimalisasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
149
Menurut Chairul Huda, wewenang untuk melakukan penyadapan yang diberikan oleh UU PTPK tahun 2002 tidak bertentangan dengan hak-hak yang
berada dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, sebab-sebab sebagai berikut:
150
1 Penyadapan bukan merupakan serangan terhadap diri pribadi atau
keluarga orang yang terkena penyadapan 2
Penyadapan buka merupakan serangan terhadap kehormatan danatau martabat orang yang disadap, karena Komisi Pemberantasan Korupsi
selanjutnya disebut KPK hanya menggunakan hasil penyadapan untuk kepentingan pembuktian perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan.
Dengan demikian, jika hasil penyadapan tidak menunjukkan adanya keterlibatan orang yang disadap dalam perkara tindak pidana korupsi,
KPK tidak dapat menggunakan hasil penyadapan untuk kepentingan apapun.
149
Ibid, halaman 241
150
Ibid, halaman 245
Universitas Sumatera Utara
3 Penyadapan bukan merupakan serangan terhadap harta benda milik atau
yang yang dikuasai oleh orang yang disadap. 4
Penyadapan tidak membuat seseorang merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang sah menurut hukum.
5 Penyadapan bukan merupakan penyiksaan karena penyadapan tidak
menimbulkan rasa sakit. 6
Penyadapan buka merupakan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, karena pelaksanaan penyadapan tidak disertai dengan
kata-kata atau tindakan-tindakan yang merendahkan derajat martabat pihak yang disadap dan hasil penyadapan hanya digunakan untuk
kepentingan pembuktian dalam proses peradilan atas perkara tindak pidana korupsi, tidak digunakan untuk merendahkan derajat martabat
seseorang. 7
Seandainya kewenangan penyadapan tersebut bertentangan dengan hak- hak yang tercantum di dalam pasal 28G UUD 1945, Pasal 28 J ayat 2
UUD 1945 memperkenankan diterbitkannya undang-undang yang membatasi hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 G UUD 1945.
Dengan demikian, pembatasan atas hak-hak yang tercantum dalam pasal 28 G UUD 1945, sepanjang pembatasan itu ditetapkan di dalam Undang-
Undang. Chairul Huda juga menjelaskan bahwa penyadapan dan merekam
pembicaraan adalah tindakan yang memungkinkan dalam penyidikan suatu tindak pidana. Menurutnya, penyadapan dalam undang-undang nomor 30 tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU KPTPK memang agak berbeda, karena kewengangan diberika kepada KPK,
sehingga tidak tepat jika kewenangan diberikan kepada KPK, seharusnya kewenangan diberikan kepada penyidik KPK.
151
Pada dasarnya penyadapan bertentangan dengan privasi seseorang. Setiap upaya yang berhubungan dengan penyidikan tindak pidana, maka akan
berhubungan pula dengan hak-hak dasar seseorang, oleh karena itu di dalam hukum pidana berlaku prisip due process of law.
152
Selagi kewenangan itu tidak diberikan oleh undang-undang, maka aparat penegak hukum tidak berwenang
untuk melakukan tindakan-tindakan yang membatasi kebebasan seseorang. Kewenangan melakukan tindakan penyadapan seyogianya tidak diberikan kepada
KPK sebagaai kelembagaan, melainkan kewenangan ini diberikan kepada pejabat penyidik, penyelidik, dan penuntut umum KPK.
Pelunya pembatasan dalam melakukan penyadapan juga meneladan pada berbagai ketentuan lain dalam hukum acara pidana. Dalam penyadapan, juga
terdapat sesuatu hal yang diambil, yaitu informasi. Informasi yang disadap juga sangant penting bagi yang bersangkutan dan boleh jadi mempunyai nilai yang
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan uang atau barang lainnya.
153
Berkaitan dengan pasal 12 ayat 1 huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK yang mengatur tentang kewenangan KPK untuk melakukan
penyadapan dan perekaman pembicaraan. Mahkamah Konstitusi selanjutnya
151
Ibid, halaman 247
152
Dalam literature Indonesia, due process of law diterjemahkan seagai proses hukum yang wajar, yaitu proses hukum berdasarkan undang-undang Ibid, halaman 247
153
Ibid, halaman 250
Universitas Sumatera Utara
disebut MK telah mengeluarkan Putusan Nomor 006PUU-I2003 tentang Pengujian Konstitusionalitas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK, dimana
MK berpendapat bahwa:
154
“Hak-hak yang terdapat dalam pasal 28 G ayat 1 dan Pasal 28 D UUD 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun sebagaimana ditentukan dalam pasal 28 I UUD 1945. Dengan demikian, hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh Undang-Undang
sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk
mengawasi tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas
kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- satu miliar rupiah sebagaimana
telah ditentukan dalam pasal 11 huruf c Jo. Pasal 12 ayat 1 huruf a UU KPTPK. Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan
kewenangan untuk penyadapan dan perekaman, MK berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara
penyadapan dan perekaman dimaksud”
Mengingat korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga tidak cukup sekedar metode pemdekatan yang konvensional atau biasa saja.
kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK sama sekali tidak mengurangi hak warga negara untuk mendapatkan rasa aman. Perinsipnya,
penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik terhadap suatu tindak pidana.
155
Perlu diketahui bahwa, KPK dalam kasus-kasus yang telah ditanganinya menggunakan
penyadapan sebagai penguatan terhadap bukti permulaan dan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
156
154
Ibid, halaman 259-260
155
Ibid, halaman 260
156
Ibid, halaman 261
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana jenis baru atau tindak pidana modern dewasa ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat canggih serta modus oprandi yang semakin sulit
untuk dideteksi. Untuk mendeteksi tindak pidana ini perlu dilakukan upaya-upaya baru yang penuh dengan terobosan hukum salah satunya adalah penyadapan.
Menurut hemat penulis, tidak semua tindak pidana dapat dilakukan tindakan penyadapan. Tindak pidana yang dapat dilakukan tindakan penyadapan adalah
tindakan yang bersifat luar biasa extra ordinary crime, tindak pidana yang teroganisir, tindak pidana kerah putih, tindak pidana kejahatan manusia, serta
kejahatan lain yang dianggap sebagai tindakan kejahatan berat, yang salah satunya adalah kejahatan yang dapat mengancam kedaulatan negara.
Sistem penyadapan di Indonesia harus dibentuk dengan prinsip efisiensi dan efektivitas yang tinggi. Artinya, dalam melakukan penyadapan tidak
perlu memperpanjang rantai birokrasi atau bahkan menambahkan lembaga khusus lainnya, melainkan mengoptimalkan lembaga yang sudah ada.
Namun, haruslah menentukan substansi pengaturan dan pengawasan yang lebih baik sehingga tindakan penyadapan yang dilakukan dapat mencapai
tujuannya.
157
B. Kedudukan Hukum Alat Bukti Penyadapan Dalam Pembuktian Di Persidangan Tindak Pidana Korupsi
Alat bukti penyadapan dalam Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut TIPIKOR dewasa ini cenderung sering dipergunakan. Dalam upaya menjerat
perlaku TIPIKOR, pemerintah menggunakan berbagai upaya untuk melindungi
157
Ibid, halaman 268
Universitas Sumatera Utara
keuangan negara dan mengembaikan kerugian negara. Salah satunya dengan cara melakukan tindakan penyadapan. Namun, kedudukan hukum dari tindakan
penyadapan ini masih menentukan peran dari keterangan ahli untuk memperkuat pembuktiannya di persidangan.
Penjelasan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dikemukakan pula ketentuan mengenai sumber pengolahan alat bukti yang sah berupa petunjuk dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik electronic data interchange, surat elektronik e-mail, telegram, teleks, faksimili,
dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
158
Tidaklah berlebihan apabila disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana kerah putih white collar crime yang bersifat ekstra
ordinary extra ordinary crime dan terorganisasi organized crime dengan dimensi kejahatan baru new dimention of crime yang sudah tentu akan sangat
berdampak negatif dan berbahaya sehingga dalam upaya pencegahan dan
158
Kristian Yopi Gunawan, Opcit, halaman 274
Universitas Sumatera Utara
pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula, salah satu caranya adalah dengan melakukan tindakan penyadapan dan mengakui hasil
penyadapan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi.
159
Terkait dengan pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan sebagai salah satu upaya luar biasa dalam menangani maraknya tindak pidana korupsi
dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan sebagai berikut:
160
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Sedangkan apabila dilihat dari penjelasannya, dikemukakan dengan tegas bahwa: “Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk
melakukan penyadapan wiretapping .”
Mengenai hasil sadapan sebagai alat bukti petunjuk dapat dilihat dari ketentuan Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur dengan jelas bahwa:
161
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi, juga dapat diperoleh dari: alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap
rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, danatau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain
159
Ibid
160
Ibid, halaman 280
161
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau
perforasi yang memiliki makna.” Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
dapat dilihat bahwa kewenangan yang memiliki oleh seorang penyidik dalam rangka membuat terang
dan menemukan pelaku dari suatu dugaan tindak pidana korupsi adalah dengan melakukan penyadapan wiretrapping dan berdasarkan ketentuan di atas pula
dapat dilihat bahwa dalam hal terjadi tindak pidana korupsi maka hasil penyadapan diakui sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, yaitu berupa alat
bukti petunjuk.
162
Khusus terkait dengan tindakan penyadapan, pengaturan mengenai penyadapan dalam Undang-Undang ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 42
ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan dengan tegas bahwa :
163
“Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirm danatau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. Permintaan tertulis Jaksa Agung danatau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b.
Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-
undang yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat 2
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi di atas, dapat dilihat bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim danatau diterima oleh
162
Ibid
163
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Universitas Sumatera Utara
penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Namun, hal tersebut baru
dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Jaksa Agung bagi Jaksa yang ingin melakukan penyadapan danatau Kepala Kepolisian Republik Indonesia bagi
Polisi yang ingin melakukan tindakan penyadapan atau berdasarkan permintaan penyidik lainnya dan tindakan ini diajukan untuk tindak pidana tertentu atau
tindak pidana yang bersifat khusus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
164
Pasal tersebut juga mengatur tentang subjek atau lembaga yang berwenang melakukan tindakan penyadapan. Menurut undang-undang ini, subjek
atau lembaga yang memiliki wewenang dalam melakaukan tindakan penyadapan bukanlah merupakan penyidik tindak pidana yang bersangkutan melainkan
penyelenggara jasa telekomunikasi.
165
Dengan demikian, penyidik baik itu kepolisian ataupun kejaksaan atau penyidik lainnya yang tidak berwenang untuk
melakukan tindakan penyadapan secara langsung dapat meminta untuk dilakukan tindakan penyadapan kepada penyelenggara telekomunikasi.
166
Menurut Kristian, kondisi demikian mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak negatif dalam hal ini adalah penyidik tidak dapat langsung
melakukan tindakan penyadapan secara langsung, sehingga harus melalui rantai birokrasi dan prosedural yang lebih panjang, lebih rumit, dan membutuhkan
waktu yang lama. Dan juga akan membuka peluang untuk terbukanya rahasia
164
Kristian Yopi Gunawan, Opcit, halaman 281-282
165
Berbeda halnya dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat langsung melakukan tindakan penyadapan sebagaimana telah disinggung pada bagian 2 diatas.
Ibid, halaman 282
166
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tindakan penyadapan yang akan dilakukan ataupun hasil sadapan atau bahkan melanggar hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan dampak
positif dalam hal ini adalah terkontrolnya tindakan penyadapan oleh pihak yang diberikan wewenang, untuk keperluan apa tindakan penyadapan dilakukan serta
tindakan penyadapan tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
167
Tindakan penyadapan sering kali dikaitkan dengan penegakan hak asasi manusia.
Dengan adanya
tindakan penyadapan
dikhawatirkan akan
menderogasikan atau bahkan meniadakan hak asasi manusia. Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada seluruh
warga negaranya. Hal ini dikemukakan dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I ayat 4 dan ayat 5. Bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Sehingga, untuk melindungi hak asasi setiap warga
negaranya adalah suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dalam Pasal 32 Undang-Undang ini mengemukakan bahwa:
168
“Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronika tidak boleh
diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.” Berdasarkan pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia tersebut, data dilihat bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam
167
Ibid. halaman 282
168
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Universitas Sumatera Utara
hubungan komunikasi melalui sarana elektronik dapat dikesampingkan atau dikecualikan selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat
tersebut adalah dengan adanya perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan pertaruan perundang-undangan yang berlaku.
Hal senada juga diatur secara tegas dalam Pasal 28 J ayat 2 Undang- Undang Dasar 1945 yang meyatakan bahwa:
169
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan denga Undang-Undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.” Dapat disimpulkan, dalam ketentuan Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut dikaitkan dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa tindakan penyadapan diperkenankan
untuk dilakukan terhadap hak asasi manusia yang dilakukan dengan pembatasan. Tindakan penyadapan juga diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 28
ayat 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang meyatakan bahwa:
170
“Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Pada dasarnya, ketentuan mengenai penyadapan dalam undang-undang ini berkaitan erat dengan kekuatan pembuktian dari hasil sadapan di Pengadilan.
169
Undang-Undang Dasar 1945
170
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, yang menjadi poin penting adalah berkaitan dengan cara melakukan penyadapan yang akan sangat mempengaruhi kekuatan hasil sadapan
sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan.
171
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat 1 di atas, dapat diketahui bahwa penyadapan dapat dilakukan dan hasil dari penyadapan akan dianggap sebagai alat
bukti yang sah di Pengadilan apabila penyadapan yang dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan SOPStandart Operation Procedure yang
telah ditentukan. Sebaliknya, apabila tindakan penyadapan yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, maka hasil sadapan tersebut tidak dapt
dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan atau disebut juga dengan istilah unlawful gathering evidence.
Adapun prosedur yang harus dilakukan sebelum melaksanakan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik, antara lain yaitu:
172
1 Telah Memperoleh Bukti Permulaan yang Cukup
Bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana
173
harus diartikan sebagai bukti minimal, berupa alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahuhn 1981 tentang Hukum Acara
171
Kristian Yopi Gunawan, Opcit, halaman 302
172
Ibid. halaman 346.
173
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana e yataka : …..dilakuka terhadap seora g ya g diduga keras elakuka ti dak pida a
erdasarka ukti per ulaa ya g ukup
Universitas Sumatera Utara
Pidana
174
. Sehingga, tindakan penyadapan baru dapat dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga keras telah
melakukan tindak pidana maupun sebagai pihak yang terlibat dalam tindak pidana yang bersangkutan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. 2
Dokumen Perintah Kepada Penegak Hukum yang Bersangkutan Dokumen ini berisi nama penyidik yang akan melakukan tindakan
penyadapan dan nama pejabat yang memberikan perintah melakukan penyadapan. Pejabat yang memberikan perintah
tersebut secara organisatoris merupakan atasan dari penyidik yang akan melakukan tindakan penyadapan dan perintah ini juga harus
dketahui oleh pimpinan tertinggi dari masing-masing lembaga sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.
3 Identifikasi Sasaran Penyadapan
Identifikasi tindakan penyadapan ini akan diuraikan indentitas lengkap mengenai pihak yang akan disadap objek penyadapan.
Identitas lengkap tersebut akan memuat namu tidak terbatas pada: nama tersadap, tempat lahir tersadap, tanggal lahir atau umur
tersadap, jenis kelamin, kebangsaan atau kewarganegaraan, tempat tinggal atau alamat tersadap, agama, pekerjaan, dan pendidikan.
Hal ini sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya error in
174
Pasal 184 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pida a e yataka ahwa: alat ukti ya g sah ialah : keterangan saksi, keterang ahli, surat,
petu juk, da ketera ga terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
persona dalam tindakan penyadapan yang dilakukan serta mengurangi potensi pelanggaran hak asasi manusia.
4 Pasal Tindak Pidana yang Disangkakan
Pasal tindak pidana yang disangkakan kepada objek penyadapan harus dicantumkan di dalam berkas yang akan diberikan kepada
Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Tinggi apabila penyadapan yang dilakukan, dilakukan oleh badan-badan tertentu
atau kepada Komisi Yudisial apabila objek penyadapan adalah Hakim atau Ketua danatau Wakil Ketua Pengadilan baik
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau bahkan Mahkamah Agung. Hal ini bertujuan agar pihak pemberi izin dapat menilai
apakah suatu tindak pidana perlu dilakukan penyadapan atau tidak dan dapat mengetahui seberapa penting tindakan penyadapan itu
dilakukan. 5
Tujuan dan Alasan Dilakukannya Penyadapan Tujuan dan alasan dilakukannya penyadapan ini disusun oleh
pejabat penegak hukum yang bermaksud atau akan melakukan tindakan penyadapan. Tujuan dan alasan ini dimaksudkan sebgai
bahan pertimbangan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Tinggi atau Komisi Yudisial untuk menilai apakah
penyadapan itu memang perlu untuk dilakukan atau tidak. 6
Substansi Informasi yang Dicari
Universitas Sumatera Utara
Substansi informasi yang dicari dalam hal ini berisi unsur-unsur dari pasal tindak pidana yang disangkakan sebagaimana diuraikan
dalam poin 4 diatas. Dengan demikian, dapat diuraikan sejauh mana tindakan penyadapan akan dilakukan, yakni tindakan
penyadapan hanya akan dilakukan dalam proses membuktikan telah terjadi tindak pidana dan menemukan pelakunya atau bahkan
membongkar jaringan atau sindikat dari tindak pidana tersebut. 7
Jangka Waktu Penyadapan Dalam hal jangka waktu penyadapan hanya dapat dilakukan untuk
jangka waktu 12 dua belas bulan, namun dapat diperpanjang setiap 12 dua belas bulan sesuai dengan keperluan. Meskipun
demikian, mengenai berapa lama atau jangka waktu untuk dilakukannya tindakan penyadapan ini dapat disesuaikan dengan
situasi dan kondisi, misalnya dapat ditentukan jangka waktunya 3 tiga bulan dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, dan lain
sebagainya. Terkait dengan alat bukti penyadapan sebagai alat bukti sah, dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tepatnya pada Pasal 5 ayat 1 sampai dengan ayat 4 dinyatakan
dengan tegas bahwa:
175
1 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
175
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Universitas Sumatera Utara
2 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
3 Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
4 Ketentuan mengenai Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku untuk: a.
surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Ketentuan diatas dapat dilihat bahwa alat bukti penyadapan merupakan alat bukti yang sah. Dimana pasal 1 tersebut menyebutkan alat bukti berupa
informasi elektronik, dokumen elektronik, dan hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dan di Pasal 2 menyebutkan informasi elektronik,
dokumen elektronik, dan hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau
kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau „bungkus‟ dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita
berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan
Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.
176
176
http:www.hukumonline.comklinikdetailcl5461syarat-dan-kekuatan-hukum- alat-bukti-elektronik halaman 1
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 ayat 2 UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik danatau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti
hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Josua Sitompul yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan
dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU ITE. Perluasan di sini maksudnya:
177
a. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di
Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang
diatur dalam KUHAP; b.
Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi
atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP.
Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen
Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang
berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
178
177
Ibid.
178
Ibid. halaman 2
Universitas Sumatera Utara
Josua Sitompul juga menambahkan bahwa Informasi dan Dokumen Elektronik harus memenuhi syarat formil dan syarat materil agar menjadi alat
bukti yang sah. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat 4 UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut
perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan
Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang
dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik.
179
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa alat bukti penyadapan termasuk dalam alat bukti
yang sah di Pengadilan. Hanya saja alat bukti penyadapan tersebut haruslah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang ataupun peraturan
yang berlaku. Dengan demikian, email, file rekaman atas chatting, dan berbagai
dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai
kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan. Sehingga, jika disesuaikan dengan pasal 26 A Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait alat bukti penyadapan adalah sah adanya sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam
persidangan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan dalam pasal 26 A UU
179
Ibid. halaman 3
Universitas Sumatera Utara
PTPK dijelaskan bahwa alat bukti secara elektronik merupakan alat bukti yang sah. Alat bukti penyadapan merupakan alat bukti yang termasuk dalam alat bukti
elektronik yang sesuai dengan maksud dalam Pasal 5 1 UU ITE.
C. Peran Keterangan Saksi Ahli Tentang Alat Bukti Penyadapan di dalam Persidangan Tindak Pidana Korupsi
Seorang ahli dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan membutuhkan penelaahan dan ketelitian dalam memberikan keterangannya,
terutama untuk kejahatan yang tergolong dalam kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Tindak Pidana Korupsi tergolong dalam kejahatan luar biasa
sehingga diperlukan penegakan hukum yang luar biasa pula pada hal tersebut terbukti dengan diaturnya suatu aturan khusus yakni Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi diubah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi serta aturan lain yang memiliki andil dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
180
Pada umumnya, alat bukti yang dihadirkan di Peradilan Tindak Pidana Korupsi dibutuhkan keterangan ahli dalam memperkuat kebenaran dari alat bukti
tersebut. Sehingga peran keterangan ahli tidak dapat dihilangkan dari proses
180
http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phppandecta halaman 2
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Keterangan ahli juga dapat memberikan pencerahan kepada majelis hakim terkait perkara tindak pidana korupsi tersebut.
Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pengertian diatas memiliki makna jika KUHAP menerangkan ahli dan memposisikannya dalam peradilan sebagai penjernih dan penerang, karena dalam
keterangan yang diberikan seorang ahli, hakim akan melihat dari apa yang disampaikannya kemudian disandingkan dengan keterangan saksi dan alat bukti
yang lain, jika ada persusesuaian maka jelaslah sebuah perkara tersebut dan menjadi petunjuk bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pada terdakwa.
Keterangan ahli dalam memeriksa tindak pidana korupsi dalam hal keterangan alat bukti penyadapan dapat memberikan keyakinan terhadapan hakim
bahwa alat bukti penyadapan yang dihadirkan di persidangan adalah benar dan tidak dimanipulasi. Ahli yang dihadirkan dipersidangan dalam pembuktian
kebenaran alat bukti penyadapan adalah ahli yang berkaitan dengan IT, yang akan menjelaskan tentang informasi elektronik dan hal lain yang masih di bidang IT.
Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi
atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya
atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah
Universitas Sumatera Utara
suatu penghargaan dan kenyataan danatau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat
penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.
Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka
dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya.
181
Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak
manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.
Mengenai peran ahli dalam memberikan keterangannya dalam pemeriksaan di persidangan terdapat dalam sejumlah peraturan dalam KUHAP,
antara lain:
182
Pasal 132 ayat 1 KUHAP “Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau
dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu
dari orang ahli;
” Pasal 133 ayat 1 KUHAP
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
181
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 120 ayat 1
182
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt52770db2b956dsyarat-dan-dasar- hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana
halaman 2
Universitas Sumatera Utara
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
.” Pasal 179 ayat 1 KUHAP
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan .”
KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya
keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi. Seorang ahli
umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang
sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai
Visi apabila:
183
a. apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk
dalam ruang lingkup keahliannya;
b.
apa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan
yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan
183
http:www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan.php?idu=28idsu=35idke=0hal=1i d=52bc= halaman 2.
Universitas Sumatera Utara
putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi.
Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan
ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.
Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan
ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi
minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 dua hal pokok, yaitu:
mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Maka jelaslah peran dari pada keterangan ahli tentang alat bukti penyadapan di persidangan pengadilan tindak pidana korupsi sebagai pencerahan
dan membentuk keyakinan hakim terhadap alat bukti penyadapan yang dihadirkan dipersidangan. Sehingga hakim dapat memutuskan bahwa alat bukti penyadapan
adalah benar dan tidak dimanipulasi. Serta memberikan penerangan kepada hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengaturan alat bukti dalam tindak pidana korupsi dalam hal alat bukti
penyadapan yang dihadirkan dalam persidangan sering terjadi pro-kontra. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menjelaskan alat-alat bukti yang dapat
dikategorikan sebagai alat bukti yang dapat dihadirkan di dalam persidangan. Hal ini dijelaskan dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang alat bukti yang sah sebagai petunjuk yang didalamnya menegaskan alat bukti elektronik merpakan alat bukti yang
sah. Alat bukti penyadapan termasuk kategori alat bukti elektronik. Dalam Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan intersepsi ataupun penyadapan merupakan kegiatan yang mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, danatau mencatat informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang bersifat publik. Undang-undang ini
juga menegaskan posisi alat bukti penyadapan merupakan alat bukti dalam bentuk dokumen elektronik seperti halnya yang dimaksud dalam Pasal 26
A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dapat disimpulkan juga bahwa kedudukan daripada alat
bukti penyadan ini harus lah sesuai denga peraturan perundang-undangan,
Universitas Sumatera Utara
karena dalam melakukan tindakan penyadapan juga harus sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Karena tindakan penyadapan ini
merupakan tindakan yang sangat rentan melanggar hak asasi manusia, sehingga perlu tata cara mekanisme yang harus dilakukan untuk
melaksanakan kegiatan penyadapan ini. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 J ayat 2 jika dikaitkan dengan Pasal 32 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa kegiatan penyadapan dapat dilakukan dan diperkenankan, hanya saja dilakukan
pembatasan. Artinya, kegiatan penyadapan haruslah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Sehingga tindakan penyadapan tidak
melanggar ketentuan dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh penyidik yang berwenang dalam tindak
pidana korupsi Dalam hal ini adalah KPK memang harus dilakukan, mengingat tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa
sehingga perlu pula dilakukan cara-cara yang luar biasa dalam menjerat pelakunya yaitu salah satunya adalah dengan cara melakukan tindakan
penyadapan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi.
2. Kedudukan hukum alat bukti penyadapan di dalam persidangan telah
diatur dalam beberapa undang-undang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 26 A yang menyebutkan bahwa rekaman elektronik danatau dokumen elektronik merupakan alat bukti
Universitas Sumatera Utara
yang sah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 5 ayat 1 sampai dengan ayat 4 yang
menjelaskan kedudukan dari pada alat bukti penyadapan. Pasal tersebut merupakan syarat formil untuk mejelaskan kedudukan dari pada alat bukti
penyadapan. Alat bukti dari hasil penyadapan juga harus dibuktikan kebenaran, keotentikannya, serta keutuhannya sehingga dapat dihadirkan
dipersidangan dan menguatkan kedudukan hukum dari pada alat bukti hasil penyadapan tersebut. Selain itu juga, kedudukan hukum alat bukti
penyadapan juga tidak terlepas dari proses prosedur yang dilakukan untuk memperoleh hasil penyadapan tersebut. Haruslah juga sesuai dengan
ketentuan yang berlaku agar alat bukti penyadapan dapat di pergunakan di pengadilan.
B. Saran
1. Perlu dibentuknya pengaturan mengenai tindakan penyadapan dalam
bentuk undang-undang, dan juga dibutuhkan pengaturan terhadap pengawasan penyadapan. Pengaturan tersebut haruslah lebih dipandang
sebagai bentuk lex superior derogate legi inferiori yang menderogasikan atau mengenyampingkan ketentuan yang secara hirearkis lebih rendah
kedudukannya. Sehingga menjadi lebih jelas pengaturan prosedur tentang tindakan penyadapan yang benar dan tidak melanggar ketentuan privasi
seseorang atau sekelompok orang. Selain itu juga dapat menentukan pihak yang berwenang melakukan tindakan penyadapan, dengan tujuan agar
Universitas Sumatera Utara
tidak terjadi tumpang tindih dalam hal kewenangan yang dapat melakukan tindakan penyadapan tersebut.
2. Perlu dilakukan peningkatan kemampuan teknis penyidikan secara terus
menerus mengingat bahwa dalam pembuktian yang menghadirkan alat bukti penyadapan dibutuhkan keterangan seorang ahli untuk membuktikan
bahwa alat bukti tersebut adalah benar dan tidak dimanipulasi. Selain itu perlu dilakukan perlindungan terhadap seorang saksi ahli dan keluarganya
mengingat keterangan yang diberikan oleh saksi ahli merupakan keterangan yang dapat menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KETENTUAN ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangan Pengaturannya